"Papa kemari. Aku butuh Papa. Sekarang aku hancur. Aku hanya mau Papa di sini. Kalau Papa tidak datang, aku mati saja."
Danan menghela napas khawatir, setiap teringat ucapan putrinya di telepon tadi setelah makan malam. Putrinya lebih banyak menangis, tidak menjelaskan apa yang terjadi. Setiap kali Danan bertanya, Olive akan memekik histeris, menuntut Danan untuk segera ke apartemen sewaannya.
"Aku hanya mau Papa saja yang datang. Aku tidak mau ada Mama."
Permintaan yang aneh, tapi tidak sulit untuk dipenuhi karena Nadia; istrinya, ada pekerjaan ke luar kota.
Hampir dua jam Danan menyetir untuk sampai di apartemen Olive. Waktu yang sedikit lebih lama dari biasanya, karena hujan lebat dan beberapa titik perjalanan mengalami macet. Hujan masih cukup deras dan Danan harus setengah berlari dari parkiran ke apartemen.
Danan sampai di lantai dua puluh satu, tempat Olive tinggal. Di depan pintu apartemen, Danan mengetuk dengan cepat. Dia lupa kalau pintu apartemen Olive menggunakan sistem kunci pintar yang kode sandinya sangat diingat oleh Danan.
Pintu terbuka perlahan. Seorang gadis dengan rambut panjang yang dipotong berlayer-layer, berdiri dengan wajah menunduk. Dia mengenakan kaos putih yang sangat longgar dan hanya menutupi sebagian kecil paha putihnya. Itu adalah kaos santai milik Danan.
Danan melangkah masuk dan langsung menangkup wajah putrinya dengan kedua tangan. Didongakkan kepala Olive yang langsung terlihat bagaimana sendunya wajah putri sulungnya itu. Begitu lembab pipi Olive, bekas air mata.
"Kamu kenapa, Sayang? Ribut lagi sama Rasyid?" Danan berpraduga dari yang biasa terjadi kalau Olive sedih.
Bukannya menjawab, Olive langsung memeluk erat ayahnya dan kembali menangis. Tangan kiri Danan, merangkul Olive, sedangkan tangan kanannya menutup pintu. Setelahnya, Danan menggiring Olive menuju ruang utama. Keduanya duduk bersisian, dengan Olive yang masih menangis di dada Danan.
Danan menatap sekitar yang berantakan. Meja tamu dan sofa, bergeser tidak rapi. Bahkan Danan melihat ada pecahan gelas di sudut dekat meja TV dan pecahan vas bunga di sisi yang lain. Tidak biasanya ada keributan hingga menyebabkan adanya barang yang hancur.
"Sekarang masalahnya apa? Kok, sampai berantakan begini?" tanya Danan sembari membelai kepala dan punggung sang putri.
"Papa ambilkan minum, ya? Biar kamu tenang. Biar bisa cerita," tawar Danan.
Tapi, tubuh Danan ditahan dengan pelukan yang semakin erat. Kepala Olive juga semakin terbenam dalam di dada Danan dengan isakan tangis yang semakin jadi. Danan menarik napas dan menepuk-nepuk lembut pundak Olive. Itu salah satu cara untuk menenangkan putrinya.
"Ya, udah..., nangis aja dulu. Abis itu cerita, terus kita pikirkan penyelesaiannya," ucap Danan yang kemudian menyandarkan tubuhnya, membuat posisi nyaman bagi Olive yang menangis di pelukannya.
"Aku putus." Akhirnya Olive bicara, setelah sekian waktu menangis. Tapi, Olive tidak melepaskan pelukannya dan tetap menyandar di dada ayahnya.
Danan tersenyum samar. Itu bukan yang pertama kalinya.
Hubungan Olive dan Rasyid sudah delapan tahun lebih, tepatnya dimulai saat usia Olive tujuh belas tahun. Usia Rasyid, lima tahun lebih tua dari Olive. Selama ini, Danan melihat hubungan keduanya adalah hubungan yang naik turun. Keributan sebenarnya cenderung dimulai dari Olive yang terlalu banyak menuntut dan pencemburu.
Dananlah yang selalu menjadi penengah dan juru damai, karena yakin kalau Olive mencintai Rasyid, dan juga Rasyid adalah calon menantu idaman bagi Danan dan Nadia, karena latar belakang keluarga Rasyid dan kepribadian kekasih putrinya itu.
"Sekarang masalahnya apa?" tanya Danan sabar.
"Aku sudah gak sanggup lagi, Pa. Aku tidak bisa lagi sama dia." jawab Olive dengan tangisan yang semakin menderu.
"Shhh ... kok malah nyaring nangisnya. Udah, dong. Kan sudah ada Papa di sini."
"Aku sudah gak bisa lagi sama Rasyid, Pa. Aku muak sama dia."
"Memang sekarang masalahnya apa?" tanya Danan.
Olive sudah tidak menangis lagi. Meski begitu, Olive belum mau melepaskan diri dari ayahnya. Raut wajahnya juga menyiratkan kesenduan sekaligus kebimbangan untuk menjawab.
"Apa Rasyid ada dekat sama perempuan lain lagi? Atau, kamunya yang deket sama cowok lain dan Rasyidnya cemburu?" Danan berpraduga atas kebiasaan keributan Olive dengan kekasihnya.
Olive masih diam, enggan menjawab.
"Jangan diam saja. Bagaimana Papa bisa tahu masalahnya kalau kamu gak bicara."
"Pa..., aku gak bisa lagi sama Rasyid."
"Memangnya Rasyid buat salah apa ke kamu?" tanya Danan masih dengan ketenangannya. Danan yakin kalau ini hanyalah keributan yang sama dengan sebelumnya, yang pada akhirnya akan kembali bersama.
"Sepertinya, kali ini aku yang salah, Pa."
Danan terkekeh kecil. Dia masih menganggap kalau masalah putrinya pastilah bukan hal yang rumit dan aneh.
"Ya, kalau kamunya yang salah, kamu dong yang minta maaf dengan baik. Bukan dengan ...." Danan mengarahkan tangannya ke sekeliling, ke kekacauan yang tersebar akibat keributan.
"Gak capek apa ribut terus? Memangnya salah kamu sebesar apa sampai bikin keributan sebesar ini?"
Bukannya menjawab, Olive kembali menggelengkan kepala sebagai jawaban. Gadis berambut panjang itu justru semakin merapatkan tubuhnya ke Danan, menempelkan erat kepalanya di dada Danan.
"Aku sulit mencintai Rasyid, Pa."
Kening Danan mengernyit. Tergambar di wajahnya kalau dia agak bingung.
"Sulit bagaimana?" tanya Danan. "Coba ngomongnya yang jelas sama Papa. Cerita yang runut. Biar Papa paham apa yang jadi persoalan kalian."
"Aku bingung ceritanya, Pa. Aku juga takut buat cerita." Kembali Olive menangis. Kepalanya semakin terbenam di dada Danan.
"Bingungnya kenapa? Takutnya juga kenapa?"
"Aku bingung mau cerita bagaimana. Aku juga takut kalau ...."
"Kalau apa?"
"Kalau Papa dan semua orang akan membenciku."
Lagi-lagi Danan terkekeh geli. Diusapnya lagi kepala dan rambut putrinya, lalu ditangkupnya pipi sang putri yang sembab basah. Dengan kedua tangannya yang lebar, Danan memenuhi kedua pipi Olive. Memberikan tidak hanya kehangatan tapi juga ketenangan. Didongaknya kepala Olive, membuat kedua mata masing-masing saling menatap.
"Papa tidak akan pernah membencimu, Sayang. Papa akan selalu ada buat kamu, untuk semua kebenaran dan kesalahanmu," ucap Danan penuh keyakinan. Diusapnya setetes air mata yang berguulir lagi di pipi Olive, dengan ibu jarinya.
"Papa gak bohong? Papa janji untuk itu semua?"
"Papa janji."
"Papa tidak akan membenciku? Papa tidak akan membuangku?"
"Hahaha..., tidak ada alasan apa pun bagi Papa untuk melakukan itu semua padamu, Sayang."
"Tapi kali ini, Papa punya alasan untuk itu semua."
Danan menatap serius putrinya. Ada perasaan aneh yang menyusup. Ada perasaan khawatir yang mulai membuat Danan gelisah.
"Katakan pada Papa, apa itu?" desak Danan pelan.
Olive menatap lekat-lekat kedua mata ayahnya. Ada tarikan napas yang dalam sebelum kemudian Olive menjawab pertanyaan ayahnya.
"Aku mencintai Papa."
***
"Aku sangat mencintai Papa."Untuk sesaat, suasana menjadi sangat hening. Danan terpaku di dalam mata Olive, begitu juga sebaliknya. Masing-masing mencari jawaban dan kebenaran atas lontaran pernyataan, yang harusnya biasa saja. Sampai kemudian Danan tertawa kecil. Didekapnya kembali kepala Olive di dadanya yang bidang."Olive ... Olive ... Anakku tersayang. Cuma ngomong gini aja, kamu sampai harus seperti ini. Papa juga mencintaimu, Sayang. Papa juga sayang sama kamu.""Tapi aku bukan anakmu."Pernyataan Olive seketika menghentikan tawa kecil Danan dan juga usapan lembut jemari Danan di punggung Olive. Wajah Danan berubah menjadi sangat kaku sekaligus tubuhnya menjadi tegang."Jangan bicara sembarangan. Kamu anak Papa, Olive," tegas Danan dengan nada suara yang tidak meyakinkan.Olive melepaskan diri dari pelukan Danan yang hangat. Dia sedikit mendongak, menantang tatapan mata ayahnya dengan serius."Aku tau kalau aku bukan anak Papa dan Mama. Sudah lama aku tau itu."Danan tidak bis
Shanas terbangun dengan tubuh yang kesakitan. Wajar saja begitu karena dia ketiduran dengan posisi masih duduk di kursi belajarnya dengan posisi tubuh telungkup di atas meja. Sebagai asisten pengacara publik yang sedang menangani sebuah kasus, Shanas dituntut untuk turut membantu mengumpulkan fakta-fakta dan merancang pembelaan. Pekerjaan yang berat tapi Shanas tidak keberatan karena memang menyukainya.Baru selesai menguap panjang ketika ponselnya bergetar, tanda ada yang menelepon. Dengan agak malas, Shanas menerima panggilan telepon itu."Halo, Ma," sapa Shanas dan menguap untuk kedua kalinya."Baru bangun, Nas?" tanya suara lembut dari seberang telepon."Iya, Ma. Pagi nanti ada sidang.""Jam berapa?""Jam 10. Kenapa, Ma?" tanya Shanas menyudahi basa-basi. Dia melirik ponselnya yang lain, memeriksa waktu yang masih jam enam pagi."Papamu udah pulang?"Shanas tertegun. Dia baru tersadar kalau belum ada kabar dari ayahnya lagi, sejak pamit pergi setelah makan malam. Danan berpamitan
Malam sebelum hari ini.Mobil terparkir di parkir dalam apartemen, dengan bunyi decitan ban yang nyaring. Sangat jelas kalau mobil diparkir dengan tergesa. Sama tergesa dengan keluarnya seorang pria jangkung dari dalam mobil. Langkahnye lebar menuju lift dengan tangan kanan menenteng kotak lebar berisi kue, kesukaan sang kekasih.Meski sudah membawakan sesuatu yang disukai, tetap saja raut wajah Rasyid tegang. Itu karena dia tahu kalau Olive, kekasihnya tetap akan uring-uringan. Wanita itu meneleponnya sudah dengan emosi karena pekerjaannya yang berantakan. Meminta Rasyid segera datang sejak siang tadi, tapi Rasyid justru baru bisa datang malam hari.Dan benar saja, baru juga Rasyid masuk dan menyapa, sebuah sandal teplek, melayang ke dadanya."Ngapain datang? Ngapain?" teriak Olive. "Aku butuh kamu lagi! Laki-laki gak bisa diandalkan! Gak berguna!""Maaf, Sayang. Tapi kan tadi aku udah bilang kalau aku lagi rapat. Ditambah lagi ada tinjauan proyek di selatan.""Gak usah banyak bacot!
"Papa!" pekik nyaring Olive.Langkah Olive riang dengan senyum yang tersungging lebar. Keriangan ternyata menular pad abanyak orang yang ada di lobi perusahaan. Sebagian besarnya tahu apa hubungan Olive dan Danan, yaitu ayah dan anak, karena mereka adalah bagian dari perusahaan Danan. Sebagiannya lagi sudah bisa menduga hubungan keduanya dari sapaan Olive, karena mereka adalah tamu.Danan yang baru selesia meninjau proyek bersama timnya, terperangah dengan kedatangan Olive. Sebenarnya, itu adalah hal biasa. Hanya saja, karena kejadian semalam, Danan semakin sulit melihat Olive sebagai putrinya."Papa, sudah selesai belum, kerjanya? Makan, yuk," ajak Olive manja. Tangannya langsung menggayut di lengan Danan. Sikapnya benar-benar seperti seorang gadis yang sedang bermanja-manja dengan ayahnya.Dunia Danan berubah dalam sekejap karena apa yang terjadi semalam. Danan menjadi kikuk, tidak tahu harus berbuat apa . Padahal di hari-hari sebelumnya, jika Olive tiba-tiba datang, Danan akan meny
"Shan, bukannya itu papamu sama Kak Olive?" tanya Renata sahabat Shanas.Kedua gadis itu baru keluar dari mobil Renata dan berniat akan makan siang yang terlambat karena Shanas ada jadwal sidang bersama seniornya di pengadilan. Restoran yang dituju kebetulan sama hanya saja Renata terpaksa parkir sedikit jauh karena ini masih jam padat orang makan siang.Shanas ayahnya dan kakaknya dengan cara pandang yang berbeda—pertama kalinya. Gadis itu merasa kedekatan ayahnya dan kakak perempuannya itu agak berbeda, meskipun pemandangan di mana Olive merangkul pinggang ayahnya bukanlah sesuatu yang pertama kalinya. Tapi, Shanas tetap merasa ada yang aneh.Tanpa banyak bicara, Shanas melangkah cepat mendekati ayahnya dan Olive yang sudah hampir dekat dengan mobil."Papa!" panggil Shanas yang langsung menghentikan langkah Danan.Bergegas Danan dan Olive berbalik. Shanas bisa melihat bagaimana keduanya tampak terkejut. Tak hanya itu, tatapan Shanas yang terarah pada rangkulan Olive, seketika membua
Olive menatap wajah Danan dengan perasaan campur aduk antara kesal juga gemas. Danan semakin tenggelam dalam diamnya, setelah bertemu dengan Shanas. Dalam hatinya, Olive terus mengutuk munculnya Shanas di restoran tadi. Dari sekian banyak restoran di Jakarta, bisa-bisanya adik beda darah itu ada di sana.Mobil meluncur ke arah apartemen Olive, bukan kembali ke kantor Danan dulu. Gedung apartemen mulai terlihat puncaknya dan Olive mulai tidak nyaman. Ada perasaannya yang mengatakan kalau hubungannya dengan Danan tidak akan berlanjut lagi. Dirinya akan kesulitan bertemu dengan Danan lagi, mengingat tadi ibu angkatnya sudah menelepon dan mengabarkan akan pulang.Akhirnya mobil berhenti di pelataran depan lobi apartemen. Olive langsung merangkul erat lengan Danan."Papa anter aku ke atas, 'kan?" tanya Olive dengan sikap manjanya."Papa harus kembali ke kantor. Kan kamu dengar sendiri, Papa mau ada meeting lagi.""Tapi, biasanya kan Papa selalu antar aku ke atas.""Ya, tapi ini Papa buru-b
Saat akan memasuki parkir khusus penghuni apartemen, Rasyid tercekat melihat adanya mobil yang dia kenal, sedang berputar untuk mendapatkan parkiran. Melihat itu, rasa penasaran membuat Rasyid tidak jadi parkir di dalam. Dia justru parkir di luar, yang diperuntukan bagi tamu. Dengan sengaja Rasyid parkir di dekat mobil sedan hitam yang dia kenali.Saat melihat seorang pria keluar dari dalam mobil, Rasyid pun bergegas keluar dari mobilnya, dan menghampiri pria berkemeja hitam, yang berjalan menuju lobi apartemen."Pak Gatot!" sapa Rasyid yang langsung mendapat sambutan senyum cemerlang dari pria berkumis lebat itu."Mas Rasyid. Mau ke tempat Mbak Olive, ya?" tanya Gatot ramah."Iya. Pak Gatot ini mau jemput Olive apa bagaimana?" pancing Rasyid."O, itu tadi ngantar Mbak Olive.""Maksudnya?""Tadi Mbak Olive kan ke kantornya Bapak, terus makan siang bareng. Ini lagi nganter Mbak Olive pulang.""Sama Om Danan ke atas?" tanya Rasyid hati-hati."Iya, Mas. Diantar Bapak."Rasyid mengangguk-
Nadia baru kembali dari pekerjaannya mengaudit keuangan anak perusahaan tempatnya bekerja. Pekerjaan yang berat dan sebenarnya Danan sudah berulang kali meminta Nadia untuk berhneti, secara Danan sendiri memiliki perusahaan yang cukup besar. Danan bahkan menawari Nadia untuk menjadi CMO di perusahaannya.Namun, Nadia selalu menolak. Sebagai seorang yang idealis, Nadia ingin menjadi pribadi yang mandiri. Lagi pula, bekerja dengan orang lain, jauh lebih sehat karena minim konflik dengan keluarga.Sebenarnya, seharian bekerja ini, perasaan Nadia buruk. Pikirannya kalut ke mana-mana. Ada syak wasangka yang diam-diam sedang mengganggunya sepanjang hari.Di kamar hotel, Nadia tidak langsung mandi ataupun memesan makan malam. Dia langsung mencoba menelepon Danan, suaminya. Tak lama keningnya berkerut, saat membaca informasi yang tertera di aplikasi menelepon WA. Itu memanggil.Hanya ada tiga kemungkinan. Ponsel mati, ada gangguan jaringan, atau sedang ada di saluran panggilan lain. Nadia men
Shanas sudah di meja makan lebih awal. Dia adalah seorang yang selalu tepat waktu. Mendului adalah yang terbaik yang Shanas lakukan. Itu menguntungkan baginya, karena dengan begoitu, Shanas bisa mencerna situasinya dan menganalisa kemungkinan.Danan muncul kemudian, tapi tanpa Nadia, karena istrinya itu masih merapikan rambutnya. Danan menyapa putri bungsunya itu, sembari memberikan kecupan ringan di kening. Setelah duduk, kepala Danan celingukan, seperti mencari sesuatu."Kakakmu belum turun?"Shanas menatap heran pada ayahnya dan menaikkan bahu malas."Kak Olive kan di paviliun." Shanas mengingatkan pindahnya kamar Olive."Oh iya..., Papa lupa. Apa dia gak sarapan, ya?" Danan memeriksa jam tangannya dan kini celingukan ke arah belakang rumah yang pintu gesernya sudah dibuka lebar."Udah jam segini, kok belum datang dia? Papa panggil dia dulu, ya." Danan berdiri, hendak pergi ke paviliun."Gak usah, Pa." Suara Nadia yang cukup tegas, membatalkan niat Danan keluar dari kursinya.Nadia
Di tempat tidurnya, Danan terlihat gelisah. Danan sendiri tidak sedang benar-benar tidur. Dia duduk bersandar di sandaran tempat tidur, sembari melihat-lihat konten virtual melalui tabletnya. Tapi Danan tidak benar-benar fokus dengan apa pun bentuk konten virtual yang disajikan, pikirannya justru terpecah pada Olive yang ada di paviliunnya dan Nadia yang masih sibuk dengan sisa pekerjaanya di meja kerja.Danan memeriksa ponselnya yang diletakkannya terbalik—bagian layar menghadap ke bawah. Ada pesan lagi masuk dan lagi-lagi itu dari Olive yang tidak sabar.Olive: Pa, ini udah jam satu lebih lima menit.Danan: Mamamu belum tidur.Olive: Papa bohong, kan? Mama gak pernah tidur lewat jam dua belas malam.Danan mengarahkan kamera ponsel pintarnya ke Nadia yang masih fokus dengan laptopnya dan mengirimnya ke Olive.Danan: Percaya? Udahlah kamu tidur aja. Kayaknya mamamu bakal lebih lama lagi kerja.Olive: Aku tetap tunggu Papa.Danan menghela napasnya kasar. Tanpa dia sadari, suara helaan
Dengan sengaja Olive mematikan semua lampu, kecuali lampu di teras paviliun dan lampu baca di dalam kamarnya. Dia berjalan mondar-mandir di ruang utama, sembari mengintip keluar beberapa kali melalui jendela. Olive menunggu kemunculan Danan. Gadis itu yakin kalau ayah angkatnya itu akan datang menjemputnya kalau tahu dirinya tidak muncul di ruang makan.Seperti yang sudah diduga, Olive melihat kemunculan Danan yang berjalan cepat dan secepat itu juga Olive berlari masuk ke dalam kamar, naik ke tempat tidur, duduk dengan kaki menekuk dan kedua tangan merangkul kaki. Wajahnya memelas, sikapnya benar-benar seperti seornag gadis kecil yang merajuk.Tak lama terdengar suara Danan yang memanggil nama Olive dari ruang utama paviliun. Keheranan karena lampu belum menyala dan Olive juga tidak menyahut. Setelah menyalakan lampu, juga melihat kalau Olive tidak ada, Danan bergerak cepat menuju ke kamar."Kamu kenapa, Live?" tanya Danan sembari melangkah masuk. Ada nada kesal dari caranya bertanya
Dengan wajah berseri-seri dan saling berpegangan tangan, Danan dan Nadia masuk ke ruang makan. Bahkan Danan membuat lelucon yang membuat wajah Nadia bersemu merah dan tertawa lebar. Rupanya, Danan sedang menggoda Nadia perihal permainan mereka di hotel tadi siang.Shanas yang melihat kemunculan kedua orang tuanya, diam-diam tersenyum bahagia. Sebenarnya itu bukan pemandangan yang luar biasa, bahkan itu adalah hal biasa jika Danan dan Nadia masuk ruang makan bersamaan sembari bercanda. Tapi, kali ini terasa ebrbeda bagi Shanas yang sudah berprasangka aneh tentang ayahnya dan kakak perempuannya."Lho, mana Olive?" tanya Nadia sembari matanya mencari-cari.Shanas hanya menaik turunkan pundak dengan sikap tidak acuh. Nadia dan Danan duduk pelan-pelan dengan kepala yang masih celingukan."Kamu gak ajak Olive makan bersama?" tanya Nadia ke Shanas."Enggak. Malas," jawab singkat Shanas.Shanas mengernyit heran dan menoleh ke Danan. Tatapan matanya menyiratkan tanya perihal apa yang terjadi a
Satu jam sebelum sampai rumah"Beri aku alasan kenapa kamu menolakku?" tanya Rasyid dengan tatapan gelap yang menekan Shanas"Aku masih magang," jawab Shanas."Halah, kamu kira aku bodoh? Kamu sudah lulus PKPA dan lolos ujian UPA. Kamu bahkan lulusan terbaik sekaligus termuda. Saat ini kamu magang cuma untuk mendapatkan izin praktek saja. Tapi teknisnya, kamu bisa menerima klien. Ada yang perlu dikoreksi?" Rasyid tersenyum dengan jumawa. Kedua tangannya dikembangkan seolah menantang Shanas untuk menyanggah apa yang sudah Rasyid ketahui tentang hukum juga tentang Shanas.Diam-diam Shanas kagum dengan pengetahuan Rasyid yang selama ini dia anggap hanyalah lelaki manja kaya-raya dan sedikit bodoh."Aku tidak suka mengurusi perintilan. Apalagi ini hanya perihal asmara biasa. Urus saja sendiri!"Shanas segera bangkit berdiri. Perasaannya tidak nyaman jika terlalu lama dekat dengan Rasyid."Bilang saja kamu takut!"Shanas langsung menghentikan langkahnya yang baru dua tiga jengkal. Dia men
Setelahnya Danan tidak banyak bicara lagi, begitu juga Nadia. Masing-masing memilih diam untuk menenangkan diri sendiri, agar keributan tidak menjadi jauh lebih besar.Dalam diamnya, kepala Danan berputar-putar memikirkan cara untuk memebritahukan ke Nadia, perihal kepulangan Olive dan niatan gadis itu untuk kembali tinggal di rumah ketimbang di apartemennya. Danan khawatir kalau itu akan kembali membuat ricuh di antara dirinya dan istrinya.Tapi, jarak ke rumah sudah hampir dekat. Danan tetap tidak menemukan cara dan tidak mendapatkan waktu yang tepat untuk menyampaikan ke Nadia. Akhirnya Danan pasrah. Lebih baik ribut di luar drai pada di rumah, yang bisa dilihat orang-orang di rumah, terutama pembantu dan satpam."Ma..., Olive pulang ke rumah."Seperti yang sudah diduga, Nadia menarik napasnya dengan dramatis, hingga terdengar suara seperti tercekik. Dia menoleh cepat dengan kedua mata mendelik lebar."Sejak kapan? Kok, kamu bilang ke aku, Pa? Kenapa gak ada diskusinya sama aku? Ol
Rasyid jadi tidak selera makan. Cara bicara Shanas yang datar dan terkesan tidak peduli, sedikitnya membuat Rasyid menjadi gemas. Ini juga seperti usaha Rasyid sia-sia. Dia yang tadinya mengira kalau Shanas bisa membantunya, ternyata kosong. Malah gadis itu terlihat menikmati makanannya.Rasyid menyandarkan tubuhnya, menatap lekat gadis yang kecantikannya sangat berbeda dengan Olive. Sejak kenal dengan keluarga Olive, diam-diam Rasyid menaruh pertanyaan untuk dirinya sendiri, ini tentang perbedaan mencolok antara Olive dan Shanas, atau bahkan Olive dan kedua orang tuanya. Rasyid tidak berani menanyakan, karena dia berpikir bahwa adalah mungkin saja jika dalam satu keluarga, ada satu yang berbeda.Shanas memiliki kecantikan yang natrural. Alisnya tebal, dan melengkung dengan benar, hingga sepertinya itu tidak perlu lagi ditambah dengan penebal dan pembentukan dari pensil alis. Hidungnya mancing dan sedikit bangir. Bibirnya kecil, sedikit bulat, seperti seorang yang cemberut.'Itu mengg
Rasyid memegang setirnya dengan kedua tangan mencengkeram kuat. Wajahnya terlihat kaku dan marah. Tatapannya lurus, juga fokus terhadapa padatnya lalu lintas di siang hari. Sesekali dia menekan bel mobil dengan kuat, agar dia mendapat akses jalan."Itu serius?" tanya Teguh dari seberang telepon. Agar nyaman dan aman menyetir, Rasyid menggunakan TWS atau sambungan nirkabel ke telinga."Serius! Memang perempuan brengsek! Gak ada otak!" Rasyid semakin gemas meremas setir mobilnya."Bisa-biasanya dia mengganti kunci pin apartemen dan sekaligus memblokir kunci kartuku ke manajemen apartemen. Kan setan!" lanjut Rasyid."Wah, kalau gitu, dia memang sudah terniat buat mendepakmu.""Aku gak peduli! Masalahnya, itu kan juga masih apartemenku. Ditambah, barang-barangku juga masih di sana dan mobilku masih juga ada di garasi sana. Thats teh problem! Aku mau ambil itu semua dan termasuk apartemen. Kalau dia mau ambil, ya dia harus bayar setengahnya saat pembelian," ucap Rasyid."Ya, udah, ke tempa
Suara lenguhan pendek yang keluar dari bibir Danan dan suara memekik lemah dari Olive, menjadi tanda kalau permain bercinta keduanya sudah mencapai puncaknya. Pelepasan atas hasrat masing-masing sudah tersalurkan. Tubuh keduanya lembab dan berkeringat.Danan yang berada di atas tubuh Olive, perlahan melepaskan diri dan bergeser rebah di sebelah Olive. Sedangkan Olive, merentangkan tangan kanan Danan, baru kemudian menyelusup masuk ke dada Danan yang bergerak naik turun dengan ritme cepat. Danan pun otomatis merangkul Olive, serta membelai lembut lengan Olive.Masing-masing masih menikmati sisa-sisa romantisme yang menggelora, sembari mengatur napas agar kembali normal. Tidak ada yang bicara. Hanya belaian-belaian sebagai bentuk kasih sayang."Papa keluar dulu, ya. Liat keadaan. Kalau Papa telpon kamu, baru kamunya keluar," ucap Danan, dengan tubuh yang menggeliat, bersiap untuk bangun.Tapi, Olive menahannya. Gadis itu justru memeluk erat Danan."Sebentar. Aku masih kangen," ucap manj