"Shan, bukannya itu papamu sama Kak Olive?" tanya Renata sahabat Shanas.
Kedua gadis itu baru keluar dari mobil Renata dan berniat akan makan siang yang terlambat karena Shanas ada jadwal sidang bersama seniornya di pengadilan. Restoran yang dituju kebetulan sama hanya saja Renata terpaksa parkir sedikit jauh karena ini masih jam padat orang makan siang.
Shanas ayahnya dan kakaknya dengan cara pandang yang berbeda—pertama kalinya. Gadis itu merasa kedekatan ayahnya dan kakak perempuannya itu agak berbeda, meskipun pemandangan di mana Olive merangkul pinggang ayahnya bukanlah sesuatu yang pertama kalinya. Tapi, Shanas tetap merasa ada yang aneh.
Tanpa banyak bicara, Shanas melangkah cepat mendekati ayahnya dan Olive yang sudah hampir dekat dengan mobil.
"Papa!" panggil Shanas yang langsung menghentikan langkah Danan.
Bergegas Danan dan Olive berbalik. Shanas bisa melihat bagaimana keduanya tampak terkejut. Tak hanya itu, tatapan Shanas yang terarah pada rangkulan Olive, seketika membuat Olive rikuh yang kemudian langsung melepaskan rangkulannya, sedangkan Danan melangkah terlalu cepat, menghampiri Shanas.
Tanpa keduanya sadari, sikap Danan dan Olive, menjadi catatan di hati Shanas. Gadis itu tahu kalau sedang ada yang salah. Hanya saja, tidak tahu di bagian mana yang salah.
"Shanas, kamu di sini?" tanya Danan setelah memberi kecupan ringan di kening sang putri.
"Renata yang ajak. Kok, tumben bisa makan siang bareng?" pertanyaan yang ditujukan ke Danan dan Olive.
"Aku kebetulan ada syuting iklan di dekat sini. Lagi break, aku ajak Papa makan siang bareng," jawab Olive dengan keceriaannya yang berlebihan.
"Papa gak ajak aku?" Tatapan Shanas mengintimidasi Danan.
"Oh, itu..., tadi...." Danan gelagapan untuk menjawab. Dia harus berbohong untuk pertama kalinya.
"Aku yang tadi meminta Papa buat tidak mengganggumu." Olive menjadi penyelamat Danan. Senyumnya diukir di wajah sesantai mungkin.
"Aku tidak merasa terganggu," jawab sarkas Shanas.
"Tapi, kamu kan sedang magang juga buat menambah nilaimu. Aku gak mau kamunya jadi keganggu waktunya kalau aku ajak makan siang. Dan lagi aku kangen Papa."
"Begitu?" Pertanyaan itu lagi-lagi ditujukan ke Danan dengan nada menyudutkan.
"Mmm..., Papa kira juga begitu." Lidah Danan terjulur menjilati bibir bawahnya yang terasa kering tiba-tiba. Itu bukan perilaku yang benar, karena Shanas langsung tahu kalau ada yang sedang berdusta.
Ponsel Shanas berdering. Segera Shanas membuka tasnya. Di saat itulah Danan melihat kesempatan untuk berlalu.
"Papa kembali ke kantor dulu ya, Sayang," pamit Danan.
"Tunggu, Pa! Ini Mama nelpon." Shanas langsung menggapai tangan Danan, mencegah ayahnya pergi.
"Sidangmu sudah selesai?" tanya Nadia dari seberang telepon.
"Sudah, Ma. Ada apa, Ma?" Selalu Shanas tidak berbasa-basi.
"Papamu kok susah banget ya dihubungi. Mama telpon dari tadi gak diangkat-angkat."
Shanas menatap tajam Danan. Seketika itu juga Danan tahu kalau ada yang sedang salah.
"Papa ada di sini." Shanas langsung mengulurkan ponselnya ke Danan. "Mama telpon kok gak diangkat, Pa?"
"Hah?" Danan terkejut tapi tetap menerima ponsel dari putrinya. "Halo, Ma."
"Papa kok sekarang susah dihubungi? Aku telpon dari tadi gak diangkat," keluh Nadia.
"Aku tadi ada meeting, Sayang. Maaf, ya," jawab Danan dengan tawa kecil, seolah-olah itu bukanlah hal besar.
"Aku tanya sekretarismu, dia bilang kamu lagi makan siang sama Olive. Dan aku sudah nelpon berkali-kali di jam yang harusnya kalian lagi makan. Kok, gak diangkat?"
Danan bisa menilai dari suara istrinya kalau Nadia sedang sangat marah. Ada perasaan tidak nyaman dengan itu, tapi Danan tidak ingin berdebat karena yakin itu akan membuatnya semakin terpojok.
"Aku gak dengar, Sayang." Danan bicara dengan suara yang sangat lembut, berharap itu bisa menenangkan keresahan istrinya.
"Memangnya papa lagi apa ini?"
"Lagi makan sianglah. Sama Shanas ini. Kamu mau omong sama dia?" Danan harus segera mengalihkan situasinya. Keadaannya sudah tidak nyaman, meskipun ini lewat telepon.
"Aku harus kembali ke kantor. Tadi kan meeting-nya sama klien dan belum didiskusikan dengan bagian produksi dan pemasaran. Nanti aku telpon kamu setelah kerjaan selesai. Ya, Sayang?"
Di seberang telepon, raut wajah Nadia terlihat kecewa. Dia merasa ada yang sedang disembunyikan suaminya. Untuk pertama kalinya, Danan susah dihubungi dan juga Danan tidak menanyakan pekerjaannya.
Tapi Nadia berusaha memakluminya. Memang benar kalau setelah bertemu klien dan ada kemungkinan itu memberikan untung terbaik, Danan harus segera mendiskusikan dengan tim terkait.
"Oke. Aku mau makan siang dulu. Hati-hati kamu di sana," ucap Nadia.
"Kamu jangan terlambat makan. Aku baik-baik saja di sini. Telponnya aku kembalikan ke Shanas, ya." Danan menyerahkan ponselnya kembali ke pemiliknya.
"Halo, Ma," sapa Shanas tanpa melepaskan tatapan dinginnya ke sang ayah.
"Ya, udah. Mama mau makan siang dulu. Kamu juga makan, ya. Besok Mama pulang."
Shanas mengiyakan dan setelah basa-basi sebentar, sambungan telepon pun dimatikan. Dalam waktu yang snagat cepat, Danan mencium kening Shanas.
"Papa kembali ke kantor dulu, ya," pamit Danan cepat.
"Aku juga, ya. Mau syuting lagi," pamit Olive yang dibarengi dengan kedipan sebelah mata dan senyum yang riang.
Shanas tidak memberikan reaksi apa-apa. Gadis itu diam saja dengan sikap mengamati. Dia bisa melihat bagaiamana ayahnya terlalu terburu-buru, sedangkan Olive justru terlihat lebih santai. Untuk kakaknya, Shanas tidak bisa menilai apakah itu akting ataukah memang Olive merasa tidak ada yang harus dipermasalahkan.
Padahal, sangat jelas kalau tadi Danan memberikan keterangan yang kurang pas perihal makan siang. Ditambah lagi, Danan tidak menyebutkan adanya Olive, hanya Shanas. Seolah-olah ayahnya menyembunyikan kebersamaannya dengan Olive.
"Hei! Malah bengong," tegur Renata yang sedari tadi diam mengamati dari jarak yang tidak begitu jauh. Dia mendekati Shanas karena melihat kalau shabatnya itu mematung.
"Mereka aneh gak, sih?" tanya Shanas dengan kalimat setengah menggumam.
"Siapa? Om Danan dan Kak Olive?"tanya Renata balik sembari menatap ke jalanan, yang mana mobil Danan sudah sangat jauh dari pandangan.
"Papa tuh gak bilang ke Mama kalau lagi sama Kak Olive."
"Iya gitu?" Renata keheranan tapi kemudian berpikir positif. "Mungkin, kelupaan bilang. Karena liatnya ke kamu, Om Danan jadinya cuma nyebut kamu."
"Tapi, Papa bilang lagi makan siang dan hanya menyebut namaku. Seolah-olah dia abis makan siang sama aku. Padahal kan enggak."
"Ya, seperti tadi aku bilang, itu mungkin karena Om Danan hanya melihat kamu, jadi kesebutnya hanya kamu aja." Renata kemudian merangkul lengan Shanas, mengajaknya berbalik menuju ke restoran.
"Ayo, ah makan. Dah laper," ajak Renata.
"Kamu ngelihat gak kalau Papa sama Kak Olive itu agak beda?"
"Mmm..., gak yakin, sih. Kayaknya sama aja. Yang bikin beda, mungkin karena gak ngajak kamu makan siang bareng, karena kan biasanya kalau keluar sama orang tua, di mana ada Kak Olive, pasti juga ada kamu.
Tapi..., bukankah itu terlalu kekanak-kanakan kalau kamu harus menyoalkan itu?"
Shanas diam. Ucapan sahabatnya ada benarnya. Itu memang terkesan kekanak-kanakan. Hanya karena tidak diajak, Shanas merasa cemburu dan lalu berprasangka.
"Tetap saja aku merasa ada yang berbeda. Ini bukan kecemburuan, Ren."
"Lalu ini tentang apa?" tanya Renata.
"Ini tentang Papa yang sepertinya sedang menutupi sesuatu. Tapi, aku tidak yakin itu apa. Dan tentang Kak Olive...."
***
Olive menatap wajah Danan dengan perasaan campur aduk antara kesal juga gemas. Danan semakin tenggelam dalam diamnya, setelah bertemu dengan Shanas. Dalam hatinya, Olive terus mengutuk munculnya Shanas di restoran tadi. Dari sekian banyak restoran di Jakarta, bisa-bisanya adik beda darah itu ada di sana.Mobil meluncur ke arah apartemen Olive, bukan kembali ke kantor Danan dulu. Gedung apartemen mulai terlihat puncaknya dan Olive mulai tidak nyaman. Ada perasaannya yang mengatakan kalau hubungannya dengan Danan tidak akan berlanjut lagi. Dirinya akan kesulitan bertemu dengan Danan lagi, mengingat tadi ibu angkatnya sudah menelepon dan mengabarkan akan pulang.Akhirnya mobil berhenti di pelataran depan lobi apartemen. Olive langsung merangkul erat lengan Danan."Papa anter aku ke atas, 'kan?" tanya Olive dengan sikap manjanya."Papa harus kembali ke kantor. Kan kamu dengar sendiri, Papa mau ada meeting lagi.""Tapi, biasanya kan Papa selalu antar aku ke atas.""Ya, tapi ini Papa buru-b
Saat akan memasuki parkir khusus penghuni apartemen, Rasyid tercekat melihat adanya mobil yang dia kenal, sedang berputar untuk mendapatkan parkiran. Melihat itu, rasa penasaran membuat Rasyid tidak jadi parkir di dalam. Dia justru parkir di luar, yang diperuntukan bagi tamu. Dengan sengaja Rasyid parkir di dekat mobil sedan hitam yang dia kenali.Saat melihat seorang pria keluar dari dalam mobil, Rasyid pun bergegas keluar dari mobilnya, dan menghampiri pria berkemeja hitam, yang berjalan menuju lobi apartemen."Pak Gatot!" sapa Rasyid yang langsung mendapat sambutan senyum cemerlang dari pria berkumis lebat itu."Mas Rasyid. Mau ke tempat Mbak Olive, ya?" tanya Gatot ramah."Iya. Pak Gatot ini mau jemput Olive apa bagaimana?" pancing Rasyid."O, itu tadi ngantar Mbak Olive.""Maksudnya?""Tadi Mbak Olive kan ke kantornya Bapak, terus makan siang bareng. Ini lagi nganter Mbak Olive pulang.""Sama Om Danan ke atas?" tanya Rasyid hati-hati."Iya, Mas. Diantar Bapak."Rasyid mengangguk-
Nadia baru kembali dari pekerjaannya mengaudit keuangan anak perusahaan tempatnya bekerja. Pekerjaan yang berat dan sebenarnya Danan sudah berulang kali meminta Nadia untuk berhneti, secara Danan sendiri memiliki perusahaan yang cukup besar. Danan bahkan menawari Nadia untuk menjadi CMO di perusahaannya.Namun, Nadia selalu menolak. Sebagai seorang yang idealis, Nadia ingin menjadi pribadi yang mandiri. Lagi pula, bekerja dengan orang lain, jauh lebih sehat karena minim konflik dengan keluarga.Sebenarnya, seharian bekerja ini, perasaan Nadia buruk. Pikirannya kalut ke mana-mana. Ada syak wasangka yang diam-diam sedang mengganggunya sepanjang hari.Di kamar hotel, Nadia tidak langsung mandi ataupun memesan makan malam. Dia langsung mencoba menelepon Danan, suaminya. Tak lama keningnya berkerut, saat membaca informasi yang tertera di aplikasi menelepon WA. Itu memanggil.Hanya ada tiga kemungkinan. Ponsel mati, ada gangguan jaringan, atau sedang ada di saluran panggilan lain. Nadia men
Setelah Danan masuk, Shanas bergegas masuk melalui sisi bangunan rumah yang lain. Dia tidak mungkin kembali masuk ke kamarnya, tapi Shanas bisa berada di dapur, dan pura-pura sedang membuat susu cokelat panas. Gadis itu yakin kalau ayahnya akan mencari dirinya, setelah tahu Shanas tidak ada di dalam kamar.Seperti yang sudah diduga, tak berselang lama, Danan menemukan Shanas di dapur sedang menuangkan susu cokelatnya ke gelas."Lah, ada di sini. Papa cari-cari ke mana-mana," ucap Danan dengan wajah sumringah. Pria itu melangkah cepat mendekati Shanas."Susu cokelat? Katanya mau diet." Danan mengingatkan putrinya, perihal program sehat Shanas."Aku gak bisa tidur, Pa," ucap Shanas sembari mengaduk susu cokelat panasnya."Kenapa? Ada yang dipikirin? Atau tugas kuliahnya berat?"Shanas menggeleng lemah. Wajahnya dia buat sendu."Sepi aja gak ada Mama." Shanas menatap ayahnya dengan tatapan memelas. "Papa mau pergi?"Pertanyaan tiba-tiba dari sang putri membuat Danan gelagapan. Ada kebimb
Pintu kamar Danan terbuka perlahan-lahan. Sepasang kaki jenjang dengan kulit yang begitu putih, melangkah masuk dengan sangat perlahan. Pahanya yang mulus, terpapar jelas karena dia mengenakan celana yang terlalu pendek. Tapi, sepertinya dia tidak keberatan dengan itu, meskipun pendingin ruangan menyala dengan suhu yang sangat dingin.Sampai di tepi tempat tidur, langkah kaki itu berhenti, diam. Dia mengamati Danan yang tidur telentang, terlihat sangat lelap juga damai. Dia pun duduk perlahan di bagian kosong, di sisi Danan.Olive diam bergeming, menatap Danan dengan tatapan antara kesal tapi juga rindu. Gadis itu teringat tentang telepon terakhir Danan kepadanya.***Malam sebelum pagi iniOlive tersenyum sumringah karena acara memasak sederhananya sudah selesai. Gadis itu hanya memasak spagheti, tapi itu dengan segenap hati. Olive pergi ke kamar menyiapkan diri. Gaun tidur menerawang yang jatuh di tubuh, membentuk lekukan erotis sesuai harapan. Olive juga menyemprotkan parfum dengan
Suara lenguhan pendek yang keluar dari bibir Danan dan suara memekik lemah dari Olive, menjadi tanda kalau permain bercinta keduanya sudah mencapai puncaknya. Pelepasan atas hasrat masing-masing sudah tersalurkan. Tubuh keduanya lembab dan berkeringat.Danan yang berada di atas tubuh Olive, perlahan melepaskan diri dan bergeser rebah di sebelah Olive. Sedangkan Olive, merentangkan tangan kanan Danan, baru kemudian menyelusup masuk ke dada Danan yang bergerak naik turun dengan ritme cepat. Danan pun otomatis merangkul Olive, serta membelai lembut lengan Olive.Masing-masing masih menikmati sisa-sisa romantisme yang menggelora, sembari mengatur napas agar kembali normal. Tidak ada yang bicara. Hanya belaian-belaian sebagai bentuk kasih sayang."Papa keluar dulu, ya. Liat keadaan. Kalau Papa telpon kamu, baru kamunya keluar," ucap Danan, dengan tubuh yang menggeliat, bersiap untuk bangun.Tapi, Olive menahannya. Gadis itu justru memeluk erat Danan."Sebentar. Aku masih kangen," ucap manj
Rasyid memegang setirnya dengan kedua tangan mencengkeram kuat. Wajahnya terlihat kaku dan marah. Tatapannya lurus, juga fokus terhadapa padatnya lalu lintas di siang hari. Sesekali dia menekan bel mobil dengan kuat, agar dia mendapat akses jalan."Itu serius?" tanya Teguh dari seberang telepon. Agar nyaman dan aman menyetir, Rasyid menggunakan TWS atau sambungan nirkabel ke telinga."Serius! Memang perempuan brengsek! Gak ada otak!" Rasyid semakin gemas meremas setir mobilnya."Bisa-biasanya dia mengganti kunci pin apartemen dan sekaligus memblokir kunci kartuku ke manajemen apartemen. Kan setan!" lanjut Rasyid."Wah, kalau gitu, dia memang sudah terniat buat mendepakmu.""Aku gak peduli! Masalahnya, itu kan juga masih apartemenku. Ditambah, barang-barangku juga masih di sana dan mobilku masih juga ada di garasi sana. Thats teh problem! Aku mau ambil itu semua dan termasuk apartemen. Kalau dia mau ambil, ya dia harus bayar setengahnya saat pembelian," ucap Rasyid."Ya, udah, ke tempa
Rasyid jadi tidak selera makan. Cara bicara Shanas yang datar dan terkesan tidak peduli, sedikitnya membuat Rasyid menjadi gemas. Ini juga seperti usaha Rasyid sia-sia. Dia yang tadinya mengira kalau Shanas bisa membantunya, ternyata kosong. Malah gadis itu terlihat menikmati makanannya.Rasyid menyandarkan tubuhnya, menatap lekat gadis yang kecantikannya sangat berbeda dengan Olive. Sejak kenal dengan keluarga Olive, diam-diam Rasyid menaruh pertanyaan untuk dirinya sendiri, ini tentang perbedaan mencolok antara Olive dan Shanas, atau bahkan Olive dan kedua orang tuanya. Rasyid tidak berani menanyakan, karena dia berpikir bahwa adalah mungkin saja jika dalam satu keluarga, ada satu yang berbeda.Shanas memiliki kecantikan yang natrural. Alisnya tebal, dan melengkung dengan benar, hingga sepertinya itu tidak perlu lagi ditambah dengan penebal dan pembentukan dari pensil alis. Hidungnya mancing dan sedikit bangir. Bibirnya kecil, sedikit bulat, seperti seorang yang cemberut.'Itu mengg
Shanas sudah di meja makan lebih awal. Dia adalah seorang yang selalu tepat waktu. Mendului adalah yang terbaik yang Shanas lakukan. Itu menguntungkan baginya, karena dengan begoitu, Shanas bisa mencerna situasinya dan menganalisa kemungkinan.Danan muncul kemudian, tapi tanpa Nadia, karena istrinya itu masih merapikan rambutnya. Danan menyapa putri bungsunya itu, sembari memberikan kecupan ringan di kening. Setelah duduk, kepala Danan celingukan, seperti mencari sesuatu."Kakakmu belum turun?"Shanas menatap heran pada ayahnya dan menaikkan bahu malas."Kak Olive kan di paviliun." Shanas mengingatkan pindahnya kamar Olive."Oh iya..., Papa lupa. Apa dia gak sarapan, ya?" Danan memeriksa jam tangannya dan kini celingukan ke arah belakang rumah yang pintu gesernya sudah dibuka lebar."Udah jam segini, kok belum datang dia? Papa panggil dia dulu, ya." Danan berdiri, hendak pergi ke paviliun."Gak usah, Pa." Suara Nadia yang cukup tegas, membatalkan niat Danan keluar dari kursinya.Nadia
Di tempat tidurnya, Danan terlihat gelisah. Danan sendiri tidak sedang benar-benar tidur. Dia duduk bersandar di sandaran tempat tidur, sembari melihat-lihat konten virtual melalui tabletnya. Tapi Danan tidak benar-benar fokus dengan apa pun bentuk konten virtual yang disajikan, pikirannya justru terpecah pada Olive yang ada di paviliunnya dan Nadia yang masih sibuk dengan sisa pekerjaanya di meja kerja.Danan memeriksa ponselnya yang diletakkannya terbalik—bagian layar menghadap ke bawah. Ada pesan lagi masuk dan lagi-lagi itu dari Olive yang tidak sabar.Olive: Pa, ini udah jam satu lebih lima menit.Danan: Mamamu belum tidur.Olive: Papa bohong, kan? Mama gak pernah tidur lewat jam dua belas malam.Danan mengarahkan kamera ponsel pintarnya ke Nadia yang masih fokus dengan laptopnya dan mengirimnya ke Olive.Danan: Percaya? Udahlah kamu tidur aja. Kayaknya mamamu bakal lebih lama lagi kerja.Olive: Aku tetap tunggu Papa.Danan menghela napasnya kasar. Tanpa dia sadari, suara helaan
Dengan sengaja Olive mematikan semua lampu, kecuali lampu di teras paviliun dan lampu baca di dalam kamarnya. Dia berjalan mondar-mandir di ruang utama, sembari mengintip keluar beberapa kali melalui jendela. Olive menunggu kemunculan Danan. Gadis itu yakin kalau ayah angkatnya itu akan datang menjemputnya kalau tahu dirinya tidak muncul di ruang makan.Seperti yang sudah diduga, Olive melihat kemunculan Danan yang berjalan cepat dan secepat itu juga Olive berlari masuk ke dalam kamar, naik ke tempat tidur, duduk dengan kaki menekuk dan kedua tangan merangkul kaki. Wajahnya memelas, sikapnya benar-benar seperti seornag gadis kecil yang merajuk.Tak lama terdengar suara Danan yang memanggil nama Olive dari ruang utama paviliun. Keheranan karena lampu belum menyala dan Olive juga tidak menyahut. Setelah menyalakan lampu, juga melihat kalau Olive tidak ada, Danan bergerak cepat menuju ke kamar."Kamu kenapa, Live?" tanya Danan sembari melangkah masuk. Ada nada kesal dari caranya bertanya
Dengan wajah berseri-seri dan saling berpegangan tangan, Danan dan Nadia masuk ke ruang makan. Bahkan Danan membuat lelucon yang membuat wajah Nadia bersemu merah dan tertawa lebar. Rupanya, Danan sedang menggoda Nadia perihal permainan mereka di hotel tadi siang.Shanas yang melihat kemunculan kedua orang tuanya, diam-diam tersenyum bahagia. Sebenarnya itu bukan pemandangan yang luar biasa, bahkan itu adalah hal biasa jika Danan dan Nadia masuk ruang makan bersamaan sembari bercanda. Tapi, kali ini terasa ebrbeda bagi Shanas yang sudah berprasangka aneh tentang ayahnya dan kakak perempuannya."Lho, mana Olive?" tanya Nadia sembari matanya mencari-cari.Shanas hanya menaik turunkan pundak dengan sikap tidak acuh. Nadia dan Danan duduk pelan-pelan dengan kepala yang masih celingukan."Kamu gak ajak Olive makan bersama?" tanya Nadia ke Shanas."Enggak. Malas," jawab singkat Shanas.Shanas mengernyit heran dan menoleh ke Danan. Tatapan matanya menyiratkan tanya perihal apa yang terjadi a
Satu jam sebelum sampai rumah"Beri aku alasan kenapa kamu menolakku?" tanya Rasyid dengan tatapan gelap yang menekan Shanas"Aku masih magang," jawab Shanas."Halah, kamu kira aku bodoh? Kamu sudah lulus PKPA dan lolos ujian UPA. Kamu bahkan lulusan terbaik sekaligus termuda. Saat ini kamu magang cuma untuk mendapatkan izin praktek saja. Tapi teknisnya, kamu bisa menerima klien. Ada yang perlu dikoreksi?" Rasyid tersenyum dengan jumawa. Kedua tangannya dikembangkan seolah menantang Shanas untuk menyanggah apa yang sudah Rasyid ketahui tentang hukum juga tentang Shanas.Diam-diam Shanas kagum dengan pengetahuan Rasyid yang selama ini dia anggap hanyalah lelaki manja kaya-raya dan sedikit bodoh."Aku tidak suka mengurusi perintilan. Apalagi ini hanya perihal asmara biasa. Urus saja sendiri!"Shanas segera bangkit berdiri. Perasaannya tidak nyaman jika terlalu lama dekat dengan Rasyid."Bilang saja kamu takut!"Shanas langsung menghentikan langkahnya yang baru dua tiga jengkal. Dia men
Setelahnya Danan tidak banyak bicara lagi, begitu juga Nadia. Masing-masing memilih diam untuk menenangkan diri sendiri, agar keributan tidak menjadi jauh lebih besar.Dalam diamnya, kepala Danan berputar-putar memikirkan cara untuk memebritahukan ke Nadia, perihal kepulangan Olive dan niatan gadis itu untuk kembali tinggal di rumah ketimbang di apartemennya. Danan khawatir kalau itu akan kembali membuat ricuh di antara dirinya dan istrinya.Tapi, jarak ke rumah sudah hampir dekat. Danan tetap tidak menemukan cara dan tidak mendapatkan waktu yang tepat untuk menyampaikan ke Nadia. Akhirnya Danan pasrah. Lebih baik ribut di luar drai pada di rumah, yang bisa dilihat orang-orang di rumah, terutama pembantu dan satpam."Ma..., Olive pulang ke rumah."Seperti yang sudah diduga, Nadia menarik napasnya dengan dramatis, hingga terdengar suara seperti tercekik. Dia menoleh cepat dengan kedua mata mendelik lebar."Sejak kapan? Kok, kamu bilang ke aku, Pa? Kenapa gak ada diskusinya sama aku? Ol
Rasyid jadi tidak selera makan. Cara bicara Shanas yang datar dan terkesan tidak peduli, sedikitnya membuat Rasyid menjadi gemas. Ini juga seperti usaha Rasyid sia-sia. Dia yang tadinya mengira kalau Shanas bisa membantunya, ternyata kosong. Malah gadis itu terlihat menikmati makanannya.Rasyid menyandarkan tubuhnya, menatap lekat gadis yang kecantikannya sangat berbeda dengan Olive. Sejak kenal dengan keluarga Olive, diam-diam Rasyid menaruh pertanyaan untuk dirinya sendiri, ini tentang perbedaan mencolok antara Olive dan Shanas, atau bahkan Olive dan kedua orang tuanya. Rasyid tidak berani menanyakan, karena dia berpikir bahwa adalah mungkin saja jika dalam satu keluarga, ada satu yang berbeda.Shanas memiliki kecantikan yang natrural. Alisnya tebal, dan melengkung dengan benar, hingga sepertinya itu tidak perlu lagi ditambah dengan penebal dan pembentukan dari pensil alis. Hidungnya mancing dan sedikit bangir. Bibirnya kecil, sedikit bulat, seperti seorang yang cemberut.'Itu mengg
Rasyid memegang setirnya dengan kedua tangan mencengkeram kuat. Wajahnya terlihat kaku dan marah. Tatapannya lurus, juga fokus terhadapa padatnya lalu lintas di siang hari. Sesekali dia menekan bel mobil dengan kuat, agar dia mendapat akses jalan."Itu serius?" tanya Teguh dari seberang telepon. Agar nyaman dan aman menyetir, Rasyid menggunakan TWS atau sambungan nirkabel ke telinga."Serius! Memang perempuan brengsek! Gak ada otak!" Rasyid semakin gemas meremas setir mobilnya."Bisa-biasanya dia mengganti kunci pin apartemen dan sekaligus memblokir kunci kartuku ke manajemen apartemen. Kan setan!" lanjut Rasyid."Wah, kalau gitu, dia memang sudah terniat buat mendepakmu.""Aku gak peduli! Masalahnya, itu kan juga masih apartemenku. Ditambah, barang-barangku juga masih di sana dan mobilku masih juga ada di garasi sana. Thats teh problem! Aku mau ambil itu semua dan termasuk apartemen. Kalau dia mau ambil, ya dia harus bayar setengahnya saat pembelian," ucap Rasyid."Ya, udah, ke tempa
Suara lenguhan pendek yang keluar dari bibir Danan dan suara memekik lemah dari Olive, menjadi tanda kalau permain bercinta keduanya sudah mencapai puncaknya. Pelepasan atas hasrat masing-masing sudah tersalurkan. Tubuh keduanya lembab dan berkeringat.Danan yang berada di atas tubuh Olive, perlahan melepaskan diri dan bergeser rebah di sebelah Olive. Sedangkan Olive, merentangkan tangan kanan Danan, baru kemudian menyelusup masuk ke dada Danan yang bergerak naik turun dengan ritme cepat. Danan pun otomatis merangkul Olive, serta membelai lembut lengan Olive.Masing-masing masih menikmati sisa-sisa romantisme yang menggelora, sembari mengatur napas agar kembali normal. Tidak ada yang bicara. Hanya belaian-belaian sebagai bentuk kasih sayang."Papa keluar dulu, ya. Liat keadaan. Kalau Papa telpon kamu, baru kamunya keluar," ucap Danan, dengan tubuh yang menggeliat, bersiap untuk bangun.Tapi, Olive menahannya. Gadis itu justru memeluk erat Danan."Sebentar. Aku masih kangen," ucap manj