Chelsi terlonjak bangun saat merasakan silau matahari menyinari wajahnya. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya.
"Kok aku bisa di sini?" Alis gadis itu bertaut mendapati dirinya di sebuah sofa panjang di dalam ruang rawat kelas VIP. Tubuhnya pun terbalut oleh sebuah jas putih. Tampak jas kedokteran. Punya siapa?
Pandangan Chelsi lantas tertuju pada seseorang yang terbaring di ranjang depan sana. Ibunya. Sang ibu terbaring masih tak sadarkan diri dengan beberapa selang yang melilit di lengannya. Chelsi segera bangkit, memperhatikannya dengan baik. Memastikan kondisi ibunya baik-baik saja.
Suara deritan pintu di arah jam sembilan, mengalihkan perhatian gadis itu. Berdiri di sana, seorang perawat yang hendak mengecek perkembangan kondisi ibunya Chelsi.
"Permisi, Mbak," sapa perawat itu sopan.
Affandi yang panik dengan gadis manis di hadapannya yang tiba-tiba tersedak, segera bangkit dari kursi sambil meraih gelas minum. Memberikannya ke Chelsi."Terima kasih," ucap Chelsi setelah meminum air yang diberikan Affandi hingga tandas. Lantas, dia menatap ayah atasan songongnya itu dengan melongo. Pertanyaan macam apa tadi?"Emm, pertanyaanku salah?" tanya Affandi polos.Chelsi tak habis pikir dengan kedua orang tua Abimanyu--pria yang terkenal garang itu. Ibunya begitu lemah lembut, sedangkan ayahnya agak tengil. Pertanyaan konyol seperti apa tadi."Boro-boro mau mempermainkan Pak Abimanyu, Pak. Setiap hari saja kendali hidupku ada di tangannya." Chelsi meringis. Berpikir, kemarin saja Abimanyu selalu memaksa agar mengikuti apa perintahnya. Apalagi sekarang, Chelsi punya utang ke dia, utang uang juga utang jasa. Pasti Chelsi sekarang tak ubahnya boneka di t
Dress brokat berwarna merah muda dengan lengan dan dada transparan, membalut pas di tubuh indah Chelsi. Gadis itu sedikit tercengang dengan hasil tangan para perias yang memoles wajahnya begitu sangat cantik hingga kelihatan berseri-seri. Rambut panjang Chelsi dikepang sedikit di kedua bagian pinggir rambut, lalu dibawa ke belakang dijepit.Chelsi kini sudah siap untuk datang ke perayaan acara ulang tahun Abimanyu, sekaligus penyambutan dia sebagai CEO baru Group Adipati. Gadis itu duduk di bangku sofa salon ternama yang mengajaknya tadi, menanti Abimanyu untuk menjemputnya.Ya, Chelsi lebih memilih untuk pergi bersama Abimanyu ketimbang Angkasa. Jangan tanyakan bagaimana kondisi hati pria lembut tersebut, tentunya kecewa dan sakit, sebab merasa kalah lagi dari sang abang sepupu."Malam, Pak Abimanyu, Anda sudah datang?" Suara karyawan salon di ambang pintu, membuat Chelsi di samping kanan
"Lepas!" Chelsi menepis tangan Friska, sedikit membuat wanita itu terhuyung."Berani banget lo!" Mata Friska melotot tajam."Masalahmu apa dengan saya?" Chelsi meringis sambil membersihkan dada dress mahalnya yang cantik. Dibersihkan malah tambah kotor. Bagaimana sekarang?"Lo nggak usah kege'eran Abi ngasih cincin itu! Dia itu cuman mainin lo aja, bukannya ngelamar sungguhan." Sambil melipat tangan di dada, Friska melontarkan raut mengejek.Alis Chelsi mengernyit mendengar kalimat ambigu wanita di hadapannya. Dia menoleh ke kanan-kiri. Walaupun posisi mereka sekarang sedikit jauh dari keramaian, tapi tetap saja, ada orang yang berlalu-lalang menuju ke ruang acara. Dia merasa malu."Lo dengerin gue nggak, sih?" kesal Friska, merasa tak ditanggapi. "Gue itu kasihan sama lo, karena cuman dimainin sama Abi."
Gadis yang mengenakan kaus lengan panjang berwarna putih dan dipadukan dengan celana jins hitam itu, perlahan memasuki rumah besar keluarga Adipati. Seorang ART berusia lanjut menyambut kehadirannya di pintu."Owh, Nak Chelsi. Ayo, Nak. Bu Binar dari kemarin kangen sama situ." ART tersebut langsung menarik gadis berambut panjang itu yang dibiarkan tergerai. Menuju ke ruang keluarga. Tepatnya ke meja makan.Sesampainya di sana, Chelsi terpaku. Tepat, pandangannya langsung bersirobok dengan seorang pria yang mengenakan kaus oblong putih. Segera Chelsi memutuskan kontak mata, dan beralih pada pria muda lainnya."Chelsi," sapa pria tersebut, yang tak lain adalah Angkasa."Anda di sini, Pak?" Chelsi ikutan menyapa. Lantas, tersenyum hormat pada Binar yang duduk di samping Abimanyu."Ayo, Nak Chelsi, makan dulu." Binar segera bangkit dari kur
Chelsi meronta, memukul lengan kekar yang masih menggengam pergelangan tangannya. Pria yang tak lain adalah Abimanyu itu, mendorong tubuh Chelsi ke dinding, menguncinya dengan kedua lengan berototnya yang menekan di dinding. Tatapan keduanya saling beradu tajam, dengan emosi yang membumbung tinggi di dada sang gadis, dan ... perasaan bersalah di hati sang pria."Minggir!" Chelsi berucap geram.Abimanyu tak mengindahkan. Menatap wajah manis Chelsi dalam jarak yang dekat begini, mampu membuat akal sehat pria itu hilang."Saya bilang minggir, Pak!" Chelsi membentak, mencoba mendorong dada bidang Abimanyu. Sang pria hanya tertolak sedikit, lalu kembali mengunci si gadis.Chelsi benar-benar kesal. Dia melayangkan tamparan di pipi Abimanyu. Kepala sang pria langsung tertoleh ke samping dengan pipi yang memanas. Namun, belum juga menjauh dari Chelsi. Tetap
Hening ..., begitu lamban sang pria berbaju kaus oblong dan dibalut jaket hitam itu, melajukan mobil. Tak ada suara yang keluar dari bibir kedua sejoli tersebut. Semua mengatup mulut dengan rapat. Tangan Abimanyu fokus pada setir, sedangkan tangan Chelsi fokus merogoh tas selempang-nya. Jaga-jaga jika Abimanyu kurang ajar, maka Chelsi akan menghadiahi sang pria semprotan cabai tanpa aba-aba."Setakut itukah?" gumam sang pria, sedikit melirik ke gadis.Chelsi yang mendengar gumaman Abimanyu juga melirik sekilas, lalu membuang pandangan. Hening kembali menyelimuti.Lampu merah mengambil alih jalanan. Tampak seorang ibu tua dengan daster usang membalut tubuh agak tambun itu, berdiri di luar pintu samping Abimanyu. Di tangan sang ibu memegang sebuah mangkuk plastik. Wajah yang tampak berisi itu, dibuat sendu."Sedekahnya, Tuan, Nyonya. Saya lapar, sejak kemarin nggak
Susan tersentak dengan ucapannya sendiri. Mulut tuanya itu memang suka sekali mencerocos lepas jika menyangkut Binar dan putranya. Kemarahan juga keirian selalu membayang-bayangi wanita tua itu. Binar, yang pernah merusak kebahagiaan putrinya. Dan sekarang, putra Binar menjadi penghalang kesuksesan bagi sang cucu kesayangan--Angkasa. Jika bukan dirinya, siapa lagi yang akan memperingati anak dan cucunya. Menurut Susan, Syeira dan Angkasa sama saja. Mereka terlalu naif, gampang berbuat baik pada setiap orang dan selalu berpikiran bodoh. Jika bukan dirinya, siapa lagi yang akan menyadarkan anak dan cucunya, jika tak semua orang itu harus diperlakukan baik. Terutama, Binar dan keturunannya."Jawab Kasa, Nin!" Angkasa meraih lengan Susan yang terbalut dress berlengan panjang.Sangat kentara Angkasa lihat raut kepanikan di wajah tua neneknya itu."Bukan apa-apa, Kasa. Nini tadi cuman ..., cuman
Chelsi mengernyit melihat respon Binar dan Affandi yang melihat ibunya. Sementara sang ibu sendiri, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Namun, masih bisa ditangkap oleh Affandi raut cemas di wajah tua mantan pacarnya dulu. Benarlah dugaan Affandi, jika ibunya Chelsi adalah Venuska. Dia telah mengganti identitasnya menjadi Vena. "Mama kenal sama Bu Binar?" Chelsi memastikan, menatap wanita yang satu-satunya sumber kebahagiaannya itu. Tampak Vena meremas punggung tangan, dengan pandangan yang lari ke sana kemari. Dia tak pernah menyangka, jika sang puteri bekerja di bawah pimpinan keluarga Affandi. Vena juga tidak banyak tahu tentang keluarga Affandi dulu. Yang Vena tahu, Affandi seorang dokter manis, humoris, romantis, dan loyal banget. Vena tak menyangka, jika putrinya sekarang terjebak di tengah-tengah keluarga yang sangat ingin dia hindari dalam hidupnya. "Ti-tidak," jawabnya gugup, sekilas menatap sang putri, lalu ke Affandi, Binar, dan men
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda