Hening ..., begitu lamban sang pria berbaju kaus oblong dan dibalut jaket hitam itu, melajukan mobil. Tak ada suara yang keluar dari bibir kedua sejoli tersebut. Semua mengatup mulut dengan rapat. Tangan Abimanyu fokus pada setir, sedangkan tangan Chelsi fokus merogoh tas selempang-nya. Jaga-jaga jika Abimanyu kurang ajar, maka Chelsi akan menghadiahi sang pria semprotan cabai tanpa aba-aba.
"Setakut itukah?" gumam sang pria, sedikit melirik ke gadis.
Chelsi yang mendengar gumaman Abimanyu juga melirik sekilas, lalu membuang pandangan. Hening kembali menyelimuti.
Lampu merah mengambil alih jalanan. Tampak seorang ibu tua dengan daster usang membalut tubuh agak tambun itu, berdiri di luar pintu samping Abimanyu. Di tangan sang ibu memegang sebuah mangkuk plastik. Wajah yang tampak berisi itu, dibuat sendu.
"Sedekahnya, Tuan, Nyonya. Saya lapar, sejak kemarin nggak
Susan tersentak dengan ucapannya sendiri. Mulut tuanya itu memang suka sekali mencerocos lepas jika menyangkut Binar dan putranya. Kemarahan juga keirian selalu membayang-bayangi wanita tua itu. Binar, yang pernah merusak kebahagiaan putrinya. Dan sekarang, putra Binar menjadi penghalang kesuksesan bagi sang cucu kesayangan--Angkasa. Jika bukan dirinya, siapa lagi yang akan memperingati anak dan cucunya. Menurut Susan, Syeira dan Angkasa sama saja. Mereka terlalu naif, gampang berbuat baik pada setiap orang dan selalu berpikiran bodoh. Jika bukan dirinya, siapa lagi yang akan menyadarkan anak dan cucunya, jika tak semua orang itu harus diperlakukan baik. Terutama, Binar dan keturunannya."Jawab Kasa, Nin!" Angkasa meraih lengan Susan yang terbalut dress berlengan panjang.Sangat kentara Angkasa lihat raut kepanikan di wajah tua neneknya itu."Bukan apa-apa, Kasa. Nini tadi cuman ..., cuman
Chelsi mengernyit melihat respon Binar dan Affandi yang melihat ibunya. Sementara sang ibu sendiri, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Namun, masih bisa ditangkap oleh Affandi raut cemas di wajah tua mantan pacarnya dulu. Benarlah dugaan Affandi, jika ibunya Chelsi adalah Venuska. Dia telah mengganti identitasnya menjadi Vena. "Mama kenal sama Bu Binar?" Chelsi memastikan, menatap wanita yang satu-satunya sumber kebahagiaannya itu. Tampak Vena meremas punggung tangan, dengan pandangan yang lari ke sana kemari. Dia tak pernah menyangka, jika sang puteri bekerja di bawah pimpinan keluarga Affandi. Vena juga tidak banyak tahu tentang keluarga Affandi dulu. Yang Vena tahu, Affandi seorang dokter manis, humoris, romantis, dan loyal banget. Vena tak menyangka, jika putrinya sekarang terjebak di tengah-tengah keluarga yang sangat ingin dia hindari dalam hidupnya. "Ti-tidak," jawabnya gugup, sekilas menatap sang putri, lalu ke Affandi, Binar, dan men
Langkah sepatu bertumit pendek itu, menyusuri pinggir trotoar dengan tangan yang memegang surat lamaran kerja. Ya, Chelsi menyanggupi permintaan ibunya agar berhenti bekerja dan berhenti mendekat dengan keluarga Abimanyu. Walaupun begitu sulit mencari pekerjaan di tengah gempuran haus jabatan, Chelsi tetap berusaha masuk ke gedung satu, ke gedung lainnnya. Berharap salah satu gedung itu, memberinya pekerjaan. Namun, sudah hampir sore pun, gadis manis dengan baju blouse biru itu belum juga diterima kerja di mana pun. Chelsi merasa putus asa. Sudah hampir seminggu dia mencoba mencari pekerjaan baru, tetapi tak ada satu perusahaan pun yang mau menerimanya. "Maaf, lowongan pekerjaan di sini sudah penuh.""Pengalaman bekerja Anda masih kurang untuk hal ini.""Kami sedang tak membutuhkan bidang di bagian itu."Ada saja alasan yang harus diterima gadis itu agar menelan pahit kenyataan, bahwa sampai sekarang dia belum juga mendapat pekerja
Pria tua itu jelas membulat matanya melihat darah dagingnya, menghantam tanpa ampun pada darah daging lainnya. Gegas Aiman mencengkram kedua lengan berotot Abimanyu, menariknya menjauh dari Angkasa yang sudah bonyok wajahnya. Abimanyu meronta dengan tatapan tajam pada Angkasa saat Aiman membawanya menjauh. Darah pria itu masih membara, masih belum puas menghajar sang pria yang sudah terkulai lemas dengan wajah lecet parah sana. "Hentikan, Abi!" Aiman sedikit kewalahan melawan tenaga Abimanyu yang masih terus ingin maju menghajar Angkasa. Pria tua itu, seperti melawan dirinya sendiri di masa muda. Penuh api emosi. Susah buat dipadamkan. "Hentikan, Abi!" Layangan kasar mendarat di wajah Abimanyu seiring dengan peringatan tegas itu. Wajah Abimanyu teleng dengan bibir sobek. Dia membeku. Sudut bibirnya sontak mengeluarkan darah. "Abi ... Kasa ...?" Aiman linglung dengan tatapan nanar pada telapak tangannya yang telah menampar sang d
"Kasa ...!" panik Susan melihat sang sucu kesayangan yang hampir tak dikenalinya. Dia segera menarik lengan kekar Angkasa sambil menyerukan nama Syeira, agar melihat kondisi putranya. Syeira turun dari lantai atas, kala mendengar suara jeritan ibunya yang menusuk telinga. Dan terperangah-lah dia kala melihat wajah putra kesayangannya babak belur. Syeira tahu betul kalau Angkasa tipe pria yang lemah lembut. Jangankan mengajak orang lain berduel, pria itu bahkan tak pernah bersitegang secara kasar dengan yang lainnya. "Kamu ... kamu kenapa?" Mata Syeira sontak berkaca-kaca, melihat sudut bibir putranya yang meleleh darah, serta wajahnya yang bonyok. "Siapa? Siapa yang melakukan ini semua padamu, Kasa?" Hati Syeira merasa sakit. Sementara Susan tergopoh mengambil kotak P3K. Angkasa hanya menarik napas lemah, dia terbaring di sofa panjang. Pikirannya melayang dengan kejadian di kantor tadi. "Ini kenapa bisa begini, Kasa? Siapa yang melakukann
Embusan asap rokok menguar, membumbung tinggi di atas kepala pria yang terasa memanas itu. Di sela mengisap rokoknya, pria itu kembali menenggak minuman beralkohol. Kepala Abimanyu berputar, pandangannya memburam untuk sekejap menatap orang-orang yang berlenggak-lenggok di bawah lampu disko. Beberapa kali dia mencoba untuk melupakan dan menyangkal apa yang diucapkan Angkasa tadi, tetapi fakta-fakta malah bermunculan di benaknya. "Abi anaknya agak dingin ya, tidak seperti Affandi yang selalu hangat, cengar-cengir setiap saat.""Abimanyu keras sekali orangnya, tidak seperti Affandi maupun Binar yang lemah lembut.""Saya pikir Abimanyu akan tertarik di dunia medis sama seperti Affandi, tapi ternyata dia lebih suka dengan dunia perusahaan.""Iya, Jeng. Cucu saya si Abi ini, dia lebih ngikutin jiwa suami saya--Tuan Adipati. Makanya seperti ini orangnya. Abimanyu tersenyum miris mengingat saat teman-teman neneknya mengomentari tentang si
Binar melotot melihat Abimanyu yang memotong jalan dalam keadaan sempoyongan. Terlebih ketika melihat ada mobil sedan yang melaju kencang dari pembelokkan. Sekuat mungkin, Binar ayunkan kakinya cepat. Lari secepat mungkin ke arah Abimanyu. Tak terima jika mobil itu menghantam tubuh sang putra. "Abii, awas mobil!"Keduanya langsung terhempas. Abimanyu terhempas akibat dorongan kasar ibunya, sementara Binar terhempas akibat tabrakan kasar dari mobil itu. Tubuh Binar terpental sejauh dua meter, lalu berakhir dengan pelipis membentur bahu jalan. Abimanyu yang tersadar dengan aksi barusan, segera menoleh. Matanya langsung mendelik syok ke arah mana tubuh ibunya tergeletak bersimbah darah. Mabuk Abimanyu langsung hilang. Dia mengerjap dengan jantung yang terasa digodam, sesak menghimpitnya. "Tidak, tidak ...." Abimanyu menggeleng seraya merangkak berdiri, lari meraih tubuh ibunya yang telah lemah itu. Dipangkunya sang ibu dengan tangan
Wajah manis itu tampak mendung dari beberapa jam yang lalu. Dia menatap langit-langit kamar, lalu berputar ke samping, lalu sebelahnya lagi. Begitu terus sejak tadi. Entah kenapa, perasaan Chelsi rasanya sesak dan panas. Tanpa tahu apa penyebabnya. Waktu sudah menujukan pukul 23.00, matanya telah berat, tetapi akalnya selalu berselancar tentang kenapa perasaannya saat ini seperti sedang ketakutan. Apa karena mungkin dia belum mendapatkan pekerjaan, sedangkan sebentar lagi dia harus bayar kontrakan juga cek-up kondisi ibunya. Ya, Chelsi rasa itu. Tapi ... seperti bukan juga. "Ck, capek!" Chelsi memilih bangkit dari ranjang, pergi ke dapur mengambil air minum. Sambil meminum air putihnya, Chelsi membuka ponsel. Berusaha mencari pekerjaan lagi, juga ingin melihat jawaban pekerjaan yang dia tawarkan ke beberapa temannya. Nihil. Tak ada yang bisa dikerjakan. Chelsi belum juga mendapatkan pekerjaan untuk waktu yang dekat ini. Chelsi memilih men-scro
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda