Binar melotot melihat Abimanyu yang memotong jalan dalam keadaan sempoyongan. Terlebih ketika melihat ada mobil sedan yang melaju kencang dari pembelokkan. Sekuat mungkin, Binar ayunkan kakinya cepat. Lari secepat mungkin ke arah Abimanyu. Tak terima jika mobil itu menghantam tubuh sang putra. "Abii, awas mobil!"Keduanya langsung terhempas. Abimanyu terhempas akibat dorongan kasar ibunya, sementara Binar terhempas akibat tabrakan kasar dari mobil itu. Tubuh Binar terpental sejauh dua meter, lalu berakhir dengan pelipis membentur bahu jalan. Abimanyu yang tersadar dengan aksi barusan, segera menoleh. Matanya langsung mendelik syok ke arah mana tubuh ibunya tergeletak bersimbah darah. Mabuk Abimanyu langsung hilang. Dia mengerjap dengan jantung yang terasa digodam, sesak menghimpitnya. "Tidak, tidak ...." Abimanyu menggeleng seraya merangkak berdiri, lari meraih tubuh ibunya yang telah lemah itu. Dipangkunya sang ibu dengan tangan
Wajah manis itu tampak mendung dari beberapa jam yang lalu. Dia menatap langit-langit kamar, lalu berputar ke samping, lalu sebelahnya lagi. Begitu terus sejak tadi. Entah kenapa, perasaan Chelsi rasanya sesak dan panas. Tanpa tahu apa penyebabnya. Waktu sudah menujukan pukul 23.00, matanya telah berat, tetapi akalnya selalu berselancar tentang kenapa perasaannya saat ini seperti sedang ketakutan. Apa karena mungkin dia belum mendapatkan pekerjaan, sedangkan sebentar lagi dia harus bayar kontrakan juga cek-up kondisi ibunya. Ya, Chelsi rasa itu. Tapi ... seperti bukan juga. "Ck, capek!" Chelsi memilih bangkit dari ranjang, pergi ke dapur mengambil air minum. Sambil meminum air putihnya, Chelsi membuka ponsel. Berusaha mencari pekerjaan lagi, juga ingin melihat jawaban pekerjaan yang dia tawarkan ke beberapa temannya. Nihil. Tak ada yang bisa dikerjakan. Chelsi belum juga mendapatkan pekerjaan untuk waktu yang dekat ini. Chelsi memilih men-scro
Laju mobil yang dikendarai pria lemah lembut itu hampir memasuki wilayah kompleks kumuh tempat tinggal Chelsi. Beberapa kali gadis itu meminta agar si Pak Direktur tersebut menghentikan mobilnya saja. Chelsi takut, jika sang ibu tahu dirinya habis menemui keluarga Affandi."Setakut itu ya kamu, sama ibu sendiri?" Angkasa melirik si gadis yang tampak mengigit bibir cemas.Chelsi ikutan melirik ke sumber suara, dan tersenyum kikuk-lah dia melihat senyuman hangat Angkasa. Walaupun di wajah Angkasa masih penuh bekas luka penganiayaan Abimanyu, tetapi tetap saja, hal tersebut tak mengurangi kadar ketampanan sang pria."Eng-nggak juga sih, Pak. Saya cuman ..., takutnya Pak Angkasa nantinya yang disembur." Cengar-cengir sedikit gadis itu menanggapi pertanyaan Angkasa.Angkasa tertawa, lalu meringis sebab luka di sudut bibirnya robek. "Issh."
Semua orang di dalam ruangan rawat Binar itu serempak memandang ke asal suara, di ambang pintu kamar. Kecuali Abimanyu. Pria itu tetap fokus pada layar yang menampilkan kehidupan ibunya."Memang bukan kesalahan Bang Abi." Kembali pria itu mengulang ucapannya. Pria yang tak lain adalah Angkasa itu, turut memandang ke ranjang Binar dengan sendu. Walaupun tahu wanita yang terbaring di ranjang itu pernah menyakiti hati ibunya di masa lampau, tetapi Angkasa memilih melupakan hal itu. Syeira sudah menasehati Angkasa dengan baik, kembali menanamkan kebaikan di hati sang putra. Mencoba menyingkirkan kebencian yang sempat ditanamkan oleh sang nenek."Ini semua salahku." Tertunduk sesal pria itu, sambil mengayunkan langkah ke Abimanyu.Aiman dan Syeira hanya menatap sang putra, sedangkan Affandi kembali menghela napas dalam-dalam. Pikirannya sedang kacau, begitu pula perasaannya.
Angkasa yang hendak pulang dari rumah sakit, di lobi--pandangan sang pria malah teralihkan pada sosok gadis berparas manis yang sedang mendorong brankar. Sontak saja melihat hal itu, Angkasa langsung menghampiri dengan cemas."Chelsi, ibumu kenapa?" Angkasa bertanya sambil membantu mendorong brankar di sisi lainnya. Di atas brankar tersebut, terbaring tubuh ibunya Chelsi yang tak sadarkan diri.Chelsi hanya menatap Angkasa sekilas dengan raut sedih, lalu membuang muka. Tak ada niat menjawab. Angkasa bisa menangkap raut penyesalan di wajah manis itu."Apa penyakit ibumu kambuh lagi?" Angkasa kembali bertanya, tetapi Chelsi hanya menunduk dalam.Brankar dimasukan ke ruang UGD. Chelsi dan Angkasa berdiam diri di luar. Menunggu dengan perasaan cemas di hati Chelsi, dan tanda tanya di benak Angkasa. Mungkinkah ibu Chelsi ...?"Apa yang terja
Tangan Chelsi dengan lembut mengusap rambut Abimanyu yang terbaring di pahanya. Gadis itu bersila, memangku kepala sang pria yang tampak begitu kelelahan akibat keterpurukannya itu. Beberapa saat kemudian, terdengar dengkuran halus dari Abimanyu. Dia baru terlelap setelah kejadian yang menimpa ibunya kemarin. Sesekali, Chelsi bisa merasakan embusan napas sesenggukan dari sang pria. Chelsi tak menyangka, pria yang dia kira kasar, ternyata memiliki hati selemah ini jika menyangkut sang ibu.Affandi menatap adegan keduanya dengan hati berdesir. Dia tersenyum hangat, melihat gadis itu yang bisa menaklukkan keras kepalanya sang anak. Sementara Aiman dan Syeira memerhatikan sang putra, tampak Angkasa mengulum bibir dengan perasaan yang ... entah. Pikiran pria itu terlempar di saat dirinya dan Chelsi saat masih di ruangan Vena kemarin...."Mending kita pulang saja, Chelsi. Mama nggak mau lama-la
Angkasa menatap ayahnya serius. Tak ingin lagi dia merasa ada persaingan kasih sayang dengan sang abang. Namun, entah kenapa ucapan neneknya selalu berhasil membuat hati Angkasa dicengkeram panas.Aiman menggeleng, menyangkal apa yang dikatan sang mertua. "Bukan begitu, Kasa. Papa sempat melihat saja, gadis itu datang ke pesta Abimanyu saat itu. Mereka datang berdua, bergandengan," jelasnya.Aiman memang sempat melihat Abimanyu datang bersama Chelsi, sesaat sebelum Abimanyu dipanggil olehnya menemui rekan-rekan kerja. Bahkan, Aiman juga sempat melihat cincin berlian yang melingkar di jari manis gadis itu. Hal tersebutlah yang membuat Aiman yakin, bahwa gadis itu memiliki hubungan dengan darah daging pertamanya tersebutAngkasa mengangguk paham. "Chelsi nggak punya hubungan apa-apa sama Bang Abi, Pah. Maka dari itu, aku ingin menikahinya." Kembali Angkasa mengutarakan niatnya.
Mata tua Vena mulai menggenang air. Lantas, dia sedikit mendelik ke sang putri. Kata Chelsi, tidak akan mungkin bertemu dengan keluarga Affandi, karena mereka pasti sibuk menjaga Binar yang sedang koma. Maka dari itu, Vena mau ke rumah sakit untuk mengecek kesehatan setelah merasa pusing lagi tadi pagi. Tapi apa, langkah mereka malah dihadap oleh pria yang ingin sekali Vena hindari.Melihat tatapan Affandi yang tak seteduh dulu menatapnya, jujur saja membuat Vena merinding ngeri. Terlebih, wanita tua itu memiliki kesalahan."Chelsi, kita pulang, ya." Vena kembali menarik lengan putrinya, mengambil arah lain. Namun, Chelsi menahan langkah dengan tatapan yang tak teralihkan pada Affandi. Membuat Vena merasa gamang."Chelsi, ayo!""Kenapa Pak Dokter memanggil mama saya dengan sebutan Venuska? Dan kenapa Mama berhenti dipanggil dengan nama itu?" Chelsi melemparkan
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda