Selepas pulang kerja, aku bersandar di depan pintu untuk merefleksikan lagi kegiatanku beberapa hari ini. Aku mengingat lagi satu per satu kegiatanku sepanjang waktu. “Tak ada yang mengembirakan.”. pikirku dalam hati. Yang terjadi malah sebaliknya. Aku semakin terpuruk dalam lubang hitam yang tak berujung, sepertinya kebahagiaan enggak untuk menampakkan wujud aslinya kepada diriku. Tanpa sadar air mata mengalir deras di pipiku. Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar kamar. Tok tok tok “Shaina, apa yang terjadi. Kamu kenapa?”. Ucap Mbah cemas. Aku baru sadar ternyata aku menangis cukup kencang dan tentu saja si Mbah dapat mendengarnya. “tidak apa-apa Mbah.”. ucapku sambil menghapus air mata. Tapi walaupun begitu Mbahku dapat melihatku dengan jelas sesunggukan sambil aku membukakkan pintu untuknya. Mbah melihatku dengan teliti, jelas sekali dari tatapannya kalau ia menghawatirkan kondisiku saat ini. Apalagi beberapa hari yang lalu Mbah menerima telepon dari orang tuaku kalau ternyata a
Dalam kurun waktu seminggu sudah lebih dari tiga kali keluarga Shaina mendapatkan terror dari orang yang tidak mereka kenal. Salah satu orang misterius itu berbadan besar dengan tatapan matanya yang dingin, juga nada bicaranya tegas. Siapa saja yang berhadapan dengannya pasti akan merasa teriintimidasi olehnya. Alasan mereka datang adalah ingin bertemu dengan Shaina, namun karena menurut orang orang tua Shaina anaknya tidak ada di rumah, mereka mengancam akan sering datang kemari untuk menemui Shaina. Pria misterius itu juga mengatakan kalau maksud kedatangan mereka adalah untuk menagih hutang yang sudah lebih dari satu tahun menunggak. Kalau di total berikut dengan bunganya Shaina harus membayar kurang lebih lima ratus juta rupiah. Seperti tersambar petir di siang bolong, orang tua Shaina kaget bukan main. Tidak menyangka kalau ternyata Shaina memiliki hutang yang begitu banyak. Yang timbul di pikiran Orang tua Shaina adalah untuk apa anaknya berhutang, dan kenapa bisa sampai
Sepulang dari rumah orang tua Shaina, Yudhis mampir ke kafetaria yang berada di dekat kampusnya. Di sana Yudhis segera duduk di kursi dan memanggil pramusaji. Yudhis memesan kopi. Sambil mencecap kopi yang sudah dihidangkan. Yudhis segera menghubungi Ghai, salah satu teman indekos untuk menemaninya. Sembari menunggu kedatangan Ghai, Yudhis mencoba menghubungi telepon genggam Shaina. Kring kring kring Yudhis gembira bukan main, “sambungannya masuk.”. kata Yudhis dalam hati. Terdengar suara lembut dari suatu tempat. “halo beb.”. suaranya terdengar renyah di telinga Yudhis. Tiba-tiba Jantung Yudhis deg degan untuk melepas rindu yang menggebu-gebu. Tak terasa sudah lebih dari dua jam mereka berbicara, juga melepas rindu. “Beb, aku sudah memutuskan untuk membantu meringankan bebanmu.”. ucap Shaina. Yudhis juga mengatakan bahwa dia tidak jadi untuk mengunjungi Shaina. Mendengar ucapan itu dari Yudhis membuat Shaina menjadi kecewa, sebab setelah be
Setelah berbicara dengan Ghai, Yudhis memutuskan untuk bekerja paruh waktu demi membantu Shaina melunasi hutangnya. Dia membuka aplikasi yang memuat info lowongan pekerjaan. banyak sudah surat lamaran kerja yang Yudhis kirim. Satu bulan berlalu semenjak kekasihnya pindah ke luar kota. Yudhis pun mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pencari berita untuk bekerja paruh waktu. Sebagai seorang mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra, menjadi seorang pewarta bukan hal yang asing bagi Yudhis. Seminggu pertama Yudhis di sibukkan dengan tulisan-tulisan yang banyak di revisi oleh editor tempat Yudhis bekerja. Hubungannya dengan Shaina pun terbilang baik-baik saja. Di tempat Yudhis bekerja tak ada hal-hal menarik yang Yudhis lakukan, selain bekerja dan sesekali mengunjungi kediaman orang tua Shaina. Di sana Yudhis dan kedua orang tua Shaina banyak mengobrol dan bercerita. Yang menarik perhatian Yudhis kekita kedua orang tua Shaina menceritakan masa kecil Shaina
Malam ini kamu jangan pulang dulu Shaina, kamu harus menemani Mr. Xiao. Dia akan sampai beberapa saat lagi. “ucap menejer restoran. Wajah Shaina berubah menjadi kecut, Shaina tidak bisa menolak permintaan tersebut.Di kejauhan terdengar suara kendaraan berhenti tepat di depan pintu restoran tempat Shaina bekerja. Samar-samar Shaina melihat bahwa yang datang tidak lain adalah Mr. Xiao. Setelah Mr. Xiao memasuki restoran, dia langsung disambut oleh menejer restoran. Tak berapa lama kemudian suara menejer restoran terdengar memanggil Shaina. Segera Shaina menghampiri sumber suara dengan dandanan yang sangat aduhai. Kalau kamu sudah siap. Segera berangkat. Mr. Xiao sudah menunggu. “Baik Pak.”. pungkas Shaina. Setelah itu kendaraan yang membawa Mr. Xiao dan Shaina pergi meninggalkan restoran. Kendaraan tersebut menuju sebuah villa besar yang terletak di atas bukit. Di villa tersebut sedang berlangsung sebuah pesta yang sangat megah. Hampir semua yang
Jatuh Cinta Bangun dari siumannya, Shaina merasa sudah bukan lagi berada di rumah nenknya. “Mbah, kita di rumah sakit?”. Pungkas Shaina, setelah memperhatikan dengan seksama apa yang ada di sekitarnya. “Iya. Setelah kamu pingsan semalam, atasanmu membawamu ke mari.”. jawab Mbah. Mendengar itu Shaina merasa agak sedikit merasa tidak enak terhadap Mr. Xiao. Jadi Shaina memutuskan untuk mengucapkan terima kasih kepada Mr. Xiao jika Shaina sudah pulih. Namun sebelum Shaina menyelesaikan apa yang semenjak tadi terlintas di pikirannya. Pintu kamar Shaina berderit. Seorang lelaki tampan masuk setelah membuka pintu kamar. Dia tidak lain adalah Mr. Xiao.Semenjak Shaina pingsan semalam, Mr. Xiao tidak bisa tidak khawatir terhadap Shaina. Karena sebelum meninggalkan pesta Shaina sudah mabuk berat. Ditambah Shaina mendapat kabar yang kurang baik mengenai orang tuanya yang berada di Jakarta. Jadi mau tidak mau Mr. Xiao secara tidak langsung bertanggung jawab juga atas pingsanny
PEREMPUAN YANG MEMBAWA RUMAHNYA KEMANA-MANASatu bulan sudah berlalu semenjak aku masuk rumah sakit. Kabar dari ibu yang mengatakan ayahku telah sembuh juga membuat keadaan psikisku menjadi lebih baik. Aku tidak perlu khawatir lagi mengenai kondisi kedua orang tuaku di Jakarta. Namun begitu aku sadar, bahwa hutang-hutangku semakin membengkak. Aku harus begegas mengumpulkan uang dan segera Kembali ke Jakarta untuk melunasi hutang. Entah mengapa hubunganku dengan Mr. Xiao semakin dekat. Mr. Xiao kini lebih sering mengantarkanku pulang. Dia tidak lagi menggunakan supir pribadinya untuk mengendarai mobil. Kini Mr. Xiao sendiri yang mengemudikannya. Sebelum pulang kami selalu mampir membeli makanan untuk Mbah di rumah. Semenjak kedekatanku di endus oleh Orang-orang di tempatku bekerja Kay, dan beberapa orang di sana semakin tidak suka denganku. Mereka selalu memasang wajah sinis setiap berpapasan denganku. Tapi aku tak menghiraukan mereka. Pernah suatu Ketika sedang makan siang, s
“Halo, selamat malam.”. Ucapku seraya lengulurkan tangan. Tetapi Perempuan pembawa gerobak reot dengan atap yang di tutupi Jerami yang di pilin-pilin menyerupai genting. Di sisi samping gerobaknya terdapat tulisan rumah itu tak acuh terhadap uluran tanganku. Melenggang pergi bahkan tidak menengok sama sekali. “aku pikir, dia bukan pengemis. Aku menjadi semakin penasaran terhadapnya.”. Tuturku dengan suara yang cukup pelan. Tanpa sepengetahuan dari Perempuan pembawa gerobak reot dengan atap yang di tutupi Jerami yang di pilin-pilin menyerupai genting, dan di sisi samping gerobak terdapat tulisan rumah itu aku mengikutinya dengan cara mengendap-endap dari belakang. Aku melihat dengan seksama punggung perempuan itu. Di sebuah tempat. Perempuan itu berhenti sesaat, melihat itu aku juga ikut berhenti dan memperhatikannya dari kejauhan. Sesekali, aku perhatikan tempat kami berhenti. Tempat itu banyak terdapat bar dan hiburan malam di sepanjang jalan. Di beberapa sudut beran