Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore dan semua pekerjaan selesai tanpa perlu lembur. Semoga saja Crazy Baldie itu tidak datang ke ruangan dan menyuruh untuk kerja lembur menyelesaikan pekerjaannya. Selain itu masih punya waktu lebih dari satu jam sebelum pergi ke restoran yang menjadi tempat pekerjaan yang lain, tetapi sepertinya harus datang lebih awal karena hampir memasuki jam makan malam.
Lagi, hal yang membuat kesal sejak tadi adalah ada beberapa nomor yang tidak dikenal sama sekali terus menerus mengirimkan spam pesan. Isinya hampir sama, berisi ancaman-ancaman yang tidak tahu apa alasannya, tawaran pada sesuatu yang sudah jelas merupakan suatu penipuan. Mereka benar-benar tidak lelah mengganggu orang lain dengan cara seperti ini.
“Tricia? Kamu sudah pulang?” ternyata Julia yang memasuki ruanganku.
“Juli? Kupikir yang datang Thomas si Crazy Baldie,” aku muncul dari tempat persembunyianku dengan penuh kelegaan.
“Memangnya dia selalu datang ke ruanganmu setiap jam pulang kerja?” ujarnya menunggu di dekat pintu.
“Siapa lagi yang selalu mencariku di tempat ini selain orang itu, jika dia mencariku saat jam pulang seperti ini sudah pasti dia akan menyerahkan pekerjaannya padaku.” Setelah membereskan meja kerja sendiri dan memasukkan barang-barang pribadi ke dalam tas, cepat-cepat berjalan keluar dari tempat ini.
“Aku lihat ada seorang wanita yang masuk ke dalam ruangannya, tetapi aku sama sekali tidak tahu siapa orang itu mungkin bukan dari tempat kita.” Julia sudah mulai untuk bergosip ria.
“Benarkah? Bagaimana kamu bisa tahu? Apa kamu juga baru saja dari ruangannya?” Aku sebenarnya tidak tertarik dengan apa yang Julia bicarakan, aku hanya menghargainya saja dengan mendengarkan apa yang dia katakan.
“Jangan aneh-aneh! Untuk apa aku masuk ke dalam ruangan orang tua itu tanpa alasan, lebih baik aku berduaan di sebuah ruangan dengan Erick,” ujarnya dengan ekspresi yang malu-malu dan pipinya yang bersemu merah.
“Kamu sudah melakukan hal sejauh itu dengannya? Bagaimana bisa kamu menyerahkan diri dengan mudah pada seorang lelaki?” Patricia menggelengkan kepalaku pada pernyataan Julia bahwa dia menyukai berduaan saja dengan pacarnya di satu ruangan.
“Kenapa tidak? Semua orang pasti senang melakukan hal berdua saja dengan pasangan mereka, lagi pula aku dan Eric sudah cukup dewasa untuk melakukan hal semacam itu. Lagi pula, di negara ini pasangan mana yang tidak melakukan hubungan seks dengan pasangannya? Setidaknya mereka pasti sudah melakukannya, kecuali jika mereka tidak normal,” jawabnya sambil menyindirku.
“Tidak semua orang sebebas itu, mungkin juga ada beberapa orang yang tidak melakukan hal seperti itu sampai mereka akhirnya menikah. Memangnya kamu tidak takut, bagaimana jika kamu hamil dan dia tidak mau bertanggung jawab lalu meninggalkanmu dengan anak yang ada di dalam perutmu?”
Patricia menatap tajam Julia, mengingatkannya bahwa ada resiko lain dibalik tindakan sembrononya itu. Orang ini sepertinya tidak memikirkannya sama sekali, malah tersenyum simpul.
“Tenang saja, aku tidak akan hamil. Aku selalu meminum pil kontrasepsi dan dia juga selalu memakai pengaman. Jika dia meninggalkanku, berarti dia memang bukan untukku. Daripada waswas memikirkan hal yang belum tentu akan terjadi, aku menikmati waktu saat kami saling mencintai. Aku jamin, ketika kamu tertarik dan mulai mencintai seseorang kamu pasti mengerti bagaimana perasaanku.”
Aku menggeleng kepala tidak setuju. Bagaimana Julia mengucapkan hal itu dengan mudah saat aku menyaksikan dua orang yang saling mencintai berubah menjadi saling menyakiti satu sama lain. Papa yang menyukai Mama, malah membawa wanita lain ke dalam hidupnya membuat suasana di rumah menjadi tidak harmonis.
Keadaan di rumah memanas karena mereka berdua saling bertengkar dan berteriak satu sama lain, lalu di lain waktu rumah menjadi sangat dingin karena dua orang itu tidak berbicara satu sama lain. Mama mulai depresi ketika melihat Papa dan wanita simpanannya berada di dalam kamar berdua saja dengan tubuh yang setengah telanjang. Kehidupan di rumah menjadi seperti neraka karena wanita itu. Kuputuskan untuk membawa Mama dan dua adikku pergi dari tempat itu dengan membawa tabungan dan juga harta milik Mama untuk membeli rumah yang bisa kami tempati.
“Tricia, hello? Tricia?” Julia yang melambai-lambaikan tangannya di depanku segera kutepis. “Kamu melamun, apa yang kamu pikiran sampai beberapa kali aku panggil kamu gak dengar?”
“Tidak ada. Terserah kamu saja ingin melakukan hal apa pun dengan pacarmu itu, yang penting jangan datang padaku saat ada masalah dengannya. Masalahku sudah cukup rumit.” Aku berjalan semakin cepat, Julia juga semakin menyamakan langkahnya denganku.
“Kamu masih saja kaku denganku padahal kita sudah berteman cukup lama, bicaralah dengan santai padaku,” ujar Julia dengan ceria.
“Jangan memaksa Julia. Aku akan cerita kalau aku mau,” balasku dengan gusar.
“Tricia, kamu tidak boleh seperti itu. Kamu butuh teman seperti aku untuk mewarnai hidupmu.” Julia merangkul bahu Patricia dengan dengan ekspresi yang senang. Lebih baik tidak perlu mempedulikannya sebelum dia benar-benar menjadi terlalu percaya diri.
“Akk! Kenapa kamu menarik leherku?! Aku harus pergi ke arah sana, lepaskan aku?!” Patricia berusaha melepaskan rangkulan yang terlihat seperti kuncian siku.
“Aku akan mengantarmu ke tempat kerja paruh waktumu itu, temanmu ini sangat baik hati bukan?” jawabnya dengan sedikit sombong.
“Dengan apa kamu mengantarku? Memangnya kamu punya kendaraan?” sama sekali aku tidak bermaksud untuk merendahkan temanku, tetapi aku tahu dia sama sepertiku bepergian dengan kendaraan umum. Julia lebih banyak menghabiskan uangnya untuk membeli kosmetik, perawatan wajah dan pakaian juga tas daripada menabung untuk membeli mobil.
“Tentu saja aku punya.” Dia mengeluarkan sebuah kunci dan mengayun-ayunkan di jarinya.
“Sejak kapan kamu punya mobil? Selama ini aku tidak pernah melihatmu membawa kendaraan?” Perempuan ini benar-benar tidak bisa diduga sama sekali.
“Sebenarnya ini bukan punyaku. Erick sedang libur dan berada di apartemenku sejak semalam jadi aku meminjam mobilnya sebentar saja.” Dia mengerlingkan matanya. Ternyata milik pacarnya, tak disangka dia memiliki kekasih kaya meskipun yang dia punya sepertinya mobil keluaran lama.
“Lalu, apa kamu bisa mengendarai mobil? Aku tidak mau nyawaku menjadi taruhannya, atau kau bisa biarkan aku menyetir sendiri sampai ke tempat kerjaku yang lain.” Semoga saja dia tahu caranya menyetir mobil.
“Jangan meremehkanku Patricia! Aku bisa buktikan padamu aku bisa menyetir dengan baik! Justru aku yang harusnya bertanya padamu memangnya kau bisa menyetir? Kamu juga tidak memiliki kendaraan apa pun sepertiku,” balasnya dengan sebal.
“Tentu saja, di masa lalu…” gumamku pelan.
“Masuklah, kamu bisa menilai bagaimana aku membawa mobil ini.” dengan perasaan yang tidak menentu kami naik ke mobil itu dengan mengencangkan sabuk pengaman.
***
Benar-benar bencana. Sesuai seperti prediksi, Julia memang belum terlalu mahir dalam mengemudikan mobil. Bagaimana bisa dia mengebut dengan kecepatan hampir 100km/jam di jalanan yang cukup ramai sampai aku berpegangan dengan erat pada hand grip. Belum lagi dia mengerem dengan mendadak ketika akan berbelok dan berhenti ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Tubuhku maju mundur dengan kasar ketika dia menginjak pedal gas dan juga rem. Benar-benar tidak tahan lagi, isi perut seolah ingin meronta keluar, penglihatan juga seolah berputar tidak bisa fokus.
“Sudah sampai?!” seru Julia dengan senang. “Bagaimana, aku bisa mengendarainya dengan cukup mahir bukan? Kenapa kamu terlihat begitu pucat? Kamu mabuk darat, Tricia?”
Patricia menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan-pelan, dia lakukan itu berulang kali sampai rasa mual dan pusingnya hilang.
“Mau kubelikan obat atau minuman yang segar?” tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala pelan untuk meresponnya.
“Lebih baik kamu tidak mengendarai mobil lagi Julia, itu sangat membahayakan orang lain dan juga penumpang sepertiku?” rasa mual di perutku masih juga belum hilang.
“Aku belum pernah menabrak siapa pun selama Erick mengajarkanku bagaimana caranya mengendarai mobil. Ini ketiga kalinya aku membawa mobil Erick dan mobil ini juga masih mulus tanpa tergores sedikit pun,” belanya pada diri sendiri.
“Terserah, pokoknya aku tidak mau lagi naik mobil jika kau yang mengendarainya.” Patricia keluar dari mobil itu. “Terima kasih sudah susah payah untuk mengantarku kesini.”
Sekali lagi, dia menarik napasku dalam-dalam dan menghembuskannya. Rasa mual di perut sedikit membaik saat berada di luar mobil.
“Aku akan mengantarmu lagi jika Erick meminjamkan mobilnya padaku!’ ujarnya heboh dari balik kaca mobil yang dia buka.
“Cepatlah pergi Julia, sudah kubilang aku tidak akan menumpang jika kau yang mengendarainya,” sahutku dengan kesal. Dengan perasaan yang seperti ini, aku bisa saja membentak Julia dan membuatnya sakit hati. Entah kenapa aku bisa sabar menghadapinya meskipun suasana hatiku sedang kesal.
Kulihat Julia tertawa kemudian melambaikan tangannya padaku. Mobilnya menjauh dengan kecepatan yang tinggi. Semoga tidak terjadi apa pun ketika dia sedang membawa mobil. Kulangkahkan kaki imi masuk ke dalam restoran yang menjadi tempat kerja kedua meskipun hanya sebagai pekerja paruh waktu.
Melalui pintu belakang dan segera menuju ruang ganti untuk mengganti pakaian formal dengan pakaian seragam restoran fastfood ini yang berwarna merah dengan celemek hitam. Tidak lupa aku juga mengikat rambut ke belakang dan mengganti sepatu agar lebih nyaman berdiri dalam waktu yang lama. Begitu sampai di dapur, beberapa orang sangat sibuk menggoreng dan beberapa lain sibuk membuat adonan.
“Tidak biasanya kita sibuk seperti ini, maksudku setiap jam makan kita memang selalu sibuk tetapi hari ini kita jauh lebih sibuk dari biasanya. Apa ada sesuatu?” ujarku sambil membantu mereka menyiapkan semuanya.
“Patricia! Syukurlah kamu datang lebih awal, ada seorang pelajar yang merayakan ulang tahunnya dan mentraktir teman-teman satu kelasnya. Seperti yang kamu lihat kita kewalahan dengan semua pesanan yang masuk!” seru salah satu pegawai yang aku tidak tahu namanya karena sebelumnya dia tidak pernah satu shift denganku.
“Serahkan padaku, kau bisa mengurus yang lainnya.” Aku mengambil alih bagian penggorengan ayam yang sedang dia lakukan, sementara dia mengerjakan bagian lain.
Suasana di dapur menjadi semakin panas, karena semua alat masak seperti penggorengan dan juga panggangan menyala, orang-orang yang sibuk berjalan kesana kemari untuk memastikan jumlah pesanan sesuai dengan yang sudah mereka buat, lalu disajikan. Keringat mulai bercucuran padahal belum lama berada di dapur. Belum lagi aku sedikit lapar karena hanya makan sepotong sandwich yang aku buat dari sisa sandwich untuk Karin.
“Apa ada satu atau dua orang dari kalian yang membantuku untuk melayani pesanan? Kerjaan kalian hanya menaruh makanan sesuai dengan pesanan customer lalu memberikan pada mereka, Jeff dan Sam sedang keluar untuk layanan antar makanan!” teriak seseorang, namun tidak ada satu pun yang menanggapinya.
“Kamu, tolong bantu aku di depan. Tidak mungkin aku bekerja sendirian untuk memberikan pesanan mereka.” Aku diam saja karena tidak berpikir dia menunjukku.
“Apa kamu berpura-pura untuk tidak tahu! Dia menunjukmu!” seseorang mendorong bahuku sehingga tanganku terkena cipratan minyak panas. Wajahnya terlihat tidak suka padaku.
“Oh maaf, baiklah aku akan kesana. Kamu tolong gantikan pekerjaanku disini.” Aku segera pergi ke bagian depan untuk membantu menyocokkan pesanan tanpa sempat mengobati luka bakarku lebih dahulu.
Rupanya, anak yang sedang merayakan ulang tahun di tempat ini adalah seorang pelajar dari sekolah yang sama dengan Karin. Melihat seragam yang sama seperti yang dia pakai tadi pagi, seragam sekolah privat terbaik di kota New York. Apa dia ada sini juga dengan teman-temannya sekarang?
Satu jam kemudian, semua kesibukan itu mulai mereda dan tinggal menunggu mereka selesai lalu pergi dari tempat ini. Patricia mengambil orange juice yang menjadi jatahnya, menenggaknya sampai habis. Minuman dingin setelah pekerjaan yang sibuk benar-benar bisa membuat tubuh kembali segar. Sepertinya Karin bukan teman mereka karena tidak melihatnya ada di sini.
“Bisa aku bicara denganmu sebentar?” seorang pegawai yang mendorongku tadi, kulihat tag namanya bernama Milla. Dia masih saja menatapku dengan tidak suka.
“Silakan, ingin bicara apa denganku?”
“Tidak di sini, ikut aku.” Dia membawaku ke bagian belakang, tempat masuk karyawan lalu ke tempat yang paling ujung dan sepi, tempat yang jarang dilalui orang.
“Kenapa harus di tempat sepi?”
Itu bukan urusanmu untuk menyuruhku berhenti bekerja. Aku ingin bekerja di mana pun, berapa pekerjaan yang aku lakukan semua itu bukan urusanmu.” Rupanya dia ingin aku keluar dari sini. Tapi apa masalahnya sampai aku harus keluar, memangnya dia siapa?“Jangan serakah Patricia, perusahaan tempatmu bekerja adalah perusahaan multinasional yang memiliki banyak bisnis salah satunya adalah ritel supermarket terbesar. Gajimu pasti puluhan juta dari tempat itu, kenapa kau mau bekerja paruh waktu yang bahkan gajinya sangat jauh dari tempatmu bekerja sekarang.” Milla terus menekan agar Patricia keluar bekerja dari tempat ini dengan terus mengungkit gaji dari perusahaan tempatnya bekerja.“Kenapa mengaturku harus bekerja di mana. Sudah kubilang aku bisa bekerja di mana saja, tentang gajiku itu bukan urusanmu. Kamu tidak perlu tahu kenapa aku mengambil pekerjaan lain selain menjadi karyawan perusahaan. Bagaimana kamu bisa tahu profil perusahaanku, apa sebelumnya kamu juga bekerja disana?” cecarku
Apa yang Patricia lakukan di dalam mobil dengan seorang lelaki yang baru saja dia kenal beberapa menit yang lalu? Bus yang ditunggu juga tidak kunjung datang dan tidak mungkin juga berjalan kaki sampai rumah. Malam hari di New York sedikit berbahaya, meskipun terkenal sebagai kota yang tidak pernah tidur, pelaku kejahatan, pelecehan seksual, pencuri juga tidak pernah tidur. Lebih tidak mungkin lagi naik taksi yang harganya jauh lebih mahal dibanding naik bus. Anggap saja hari ini adalah hari keberuntungan setelah semua kesialan yang dialami dengan mendapat dua tumpangan gratis.“Kamu sering jalan-jalan sampai larut malam seperti ini Tricia?” tanya Allan memecah keheningan. Sejak masuk ke dalam mobilnya, kami berdua hanya diam saja dengan sedikit canggung. Bukannya tidak mau mengobrol dengannya, hanya saja tidak terbiasa untuk membuka obrolan lebih dahulu.“Ya, aku selalu berjalan-jalan malam seperti ini sepulang kerja. Ini sangat menenangkan pikiranku setelah penat dan lelah yang aku
Patricia terlihat sangat sibuk pagi ini. Jemarinya tidak berhenti mengetikkan sesuatu, tatapan matanya sangat fokus menatap layer laptop. Sesekali keningnya berkerut untuk menambah konsentrasi karena orang-orang di sekelilingnya mulai mengganggu konsentrasi kerjanya.“Patricia, bisakah kamu memeriksa ini lebih dulu? Kuharap sudah selesai sebelum makan siang…”“Tricia, bagaimana menurutmu? Apakah ini sudah cukup bagus untuk aku serahkan pada atasan atau masih ada yang kurang?”“Tricia, tolong bantu aku menyiapkan materi untuk meeting nanti siang,”“Patricia, apa laporanmu sudah selesai? Cepat berikan pada Thomas, dia sudah menanyakannya sejak satu jam yang lalu…”Orang-orang ini, kenapa mereka selalu membebankan pekerjaan mereka pada orang lain. Apa mereka tidak tahu kalau masing-masing orang juga punya pekerjaan sendiri di sini? Kenapa mereka selalu bergantung pada orang lain, apa mereka tidak bisa melakukannya sendiri? Patricia menahan rasa marahnya dengan menggenggam pulpen dengan e
Seperti yang sudah diduga, mereka semua menghindari Patricia saat dia masuk kedalam ruang kerjanya. Tidak ada satu orang pun yang berani menatap matanya, bahkan saat Patricia datang mereka buru-buru menghindar ke tempat yang agak jauh dari posisi Patricia berada. Di sisi yang lain, Patricia melihat melihat mereka sedang berbisik-bisik dengan pandangan yang menghakimi. Baiklah, biarkan saja mereka seperti itu, setidaknya mereka tidak akan mengganggu saat sedang bekerja. Patricia benar-benar harus menyelesaikan semuanya sebelum jam pulang tiba atau dia akan dipaksa lembur lagi.“Patricia, Crazy…maksudku Thomas memanggilmu untuk datang ke ruangannya. Dia bilang ada pekerjaan mendesak,” ujar salah satu rekan kerjaku. Baru saja aku bisa bernapas lega karena tidak ada yang menggangguku, Crazy Baldie ini merusak ketenanganku.“Hati-hati Tricia…mungkin kamu akan mendapat surat peringatan karena membuat keributan di kantor, atau ini adalah hari terakhirmu bekerja disini” Melanie lagi-lagi beru
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu sampai menyerang temanmu? Kenapa kamu bisa semarah itu padanya?” Patricia sedang berbicara dengan Karin setelah keluar dari ruangan kepala sekolah, berada jauh dari lingkungan sekolahnya agar dia tidak merasa malu saat aku menasehatinya.“Karina, kamu tidak mau menjawabku?” tanyaku lagi sambil menghadapnya. Karin menatap marah kearah lain dan menolak kontak mata dengan Patricia.“Aku tidak akan memarahimu, jadi katakan saja padaku kenapa kamu memukul dan menjambak teman sekelasmu Karin, apa aku sama sekali tidak boleh tahu bagaimana kehidupan sekolahmu?” Karin tetap tidak bergeming sama sekali.“Ya sudah, aku tidak akan memaksamu untuk bicara sekarang. Tapi aku tetap harus tahu apa yang terjadi padamu tadi, ayo aku antar naik bus. Kamu harus pulang dan aku harus bekerja.” Aku merangkul pundak Karin dan mengajaknya untuk berjalan bersama. Dia mungkin merasa terkejut sudah melukai teman sekelasnya, Karin, anak manis ini tidak mungkin berbuat kasar pad
“Apa lantai ruanganku kotor? Kenapa kamu terus menunduk seperti itu?” tanya sang manajer yang dengan santai menyesap kopinya.Patricia yang tadi hendak masuk ke ruangan manajer, kemudian mengurungkan niatnya dan menunggu sedikit lebih lama di luar. Dia pasti heran melihat Patricia membuka pintu, kemudian menutupnya lagi dengan keras. Patricia bersikap seperti itu karena begitu dia membuka pintu, manajer sedang bertelanjang dada mengganti kemeja yang dipakainya dengan kaus berwarna hitam. Tanpa sengaja Patricia melihat tubuh telanjang lelaki lain selain adiknya William. Tubuhnya memang sangat bagus, bahu yang lebar, dada yang bidang dan perut yang berotot kencang.“Aku menunggu kamu berbicara karena kamu bilang ada yang ada ingin kamu bicarakan, tapi kamu datang dan masuk ke dalam ruanganku untuk diam saja sambil menunduk?” manajer mengamati Patricia sambil bersandar pada meja. Kakinya dia disilangkan, kedua tangan terlipat di dada.“Ah maaf, aku sedikit melamun.” Patricia menyelipkan
“Nomor siapa lagi yang meneleponku?” Patricia mengernyit begitu melihat layer ponselnya menunjukan nomor tidak dikenal terus meneleponnya. Sudah ada belasan nomor asing yang terus menghubunginya. Tak ingin diganggu lagi, Patricia mematikan teleponnya sebentar. “Kenapa, Kak?” Karin bertanya padaku karena Patricia terdiam cukup lama sambil menatap ponselnya. “Hari ini banyak sekali nomor yang tidak dikenal meneleponku. Mungkin aku harus mengganti nomor agar orang-orang ini tidak menggangguku lagi. Bagaimana dengan Will? Dengan menghubungimu lagi?” Karin mengambil bantal sofa lalu memeluknya. “Ya, hari ini dia cukup menggangguku dengan mengirimkan banyak pesan. Kamu bisa membacanya sendiri kalau mau tahu.” Karin menyodorkan ponselnya pada Patricia dan memperlihatkan pesan yang dikirimkan oleh adik lelakinya itu. Pesan yang dikirimkan William kurang lebih sama seperti yang sebelumnya, meminta uang milik Karin berapa pun yang dia punya. Cara memintanya pun sepertinya sangat mendesak, se
“Mengubah hidupku? Memangnya kamu siapa? Kamu Tuhan? Cukup, jangan bermain-main denganku Sean Fernandez. Aku bisa melaporkanmu pada polisi dengan tuduhan mengganggu orang lain.” Suara di telepon tertawa terbahak-bahak begitu mendengar ancaman yang keluar dari Patricia.“Kamu pikir itu lucu? Aku serius akan melaporkanmu jika kamu terus menggangguku seperti ini,” imbuh Patricia.“Lucu sekali caramu mengancamku. Lebih baik kau tahu dulu dengan siapa orang yang kau ancam, atau kau akan kehilangan semuanya yang kamu punya saat ini.” Kata-katanya membuat Patricia marah.“Kehilangan semuanya? Memangnya apa lagi yang mau kamu ambil dari hidupku? Aku sudah tidak memiliki apa pun lagi yang berharga selain adik dan ibuku. Kamu ingin mengambil mereka? Langkahin dulu mayatku, brengsek!” umpat Patricia dengan kesal.“Aku sama sekali tidak butuh adik dan ibumu, tidak ada gunanya aku mendapatkan mereka. Aku akan membantumu, kau sedang kesulitan keuangan bukan? Aku akan memberikanmu apa pun asalkan …”
“Apa-apaan kau! Aku masih bicara dengan ibuku dan kau malah menyeretku masuk kedalam mobil!” protes Patricia. Sean mengunci mobilnya sehingga dia tidak bisa kabur.“Kau sudah pergi meninggalkan pekerjaanmu selama dua jam dan membiarkanmu mengerjakan semuanya sendiri. Bisa-bisanya asisten pribadiku meninggalkan pekerjaannya tanpa persetujuanku. Meeting tadi hampir kacau karena kau tidak menyiapkan apa yang aku butuhkan!” Sean benar-benar marah dengan sikap seenaknya Patricia.“Aku tahu aku melakukan kesalahan, aku juga akan bertanggung jawab dengan menambah jam kerjaku selama beberapa hari. Tolong buka kuncinya, ibuku sedang menunggu di rumah, dia pasti merasa cemas karena aku tidak kembali,” pinta Patricia.“Baiklah.”“Sean! Sean!”Sean keluar dari mobilnya dan tetap mengunci Patricia dari dalam. Dia tidak mau Patricia punya kesempatan kabur dan bersembunyi dibalik ibunya. Maka, dia sendiri yang akan menghadapi ibu dari Patricia. Sean menekan bell pintu dan menunggu beberapa saat samp
Patricia semakin panik karena ternyata ibunya tidak ada di rumah. Semua sudut rumah sudah dijelajahi, namun tidak ada satu pun jejak ibunya berada bahkan dia tidak membawa ponselnya sama sekali. Ponsel milik Karina yang ditinggalkan untuk ibunya.“Kemana dia pergi? Sejak kapan dia pergi dari rumah?” bisik Patricia pada dirinya sendiri. Dia berjalan bolak balik dengan linglung, tidak tahu harus mencari ibunya kemana dan kemana dia harus mencari lebih dulu.“Haruskah aku menelpon polisi dan melaporkan orang hilang?”Ditengah rasa kebingungannya memutuskan sesuatu, Sean menelponnya.“Kau sudah pergi terlalu lama, cepat kembali dan bantu pekerjaanku. Sudah pergi tanpa izinku, pergi terlalu lama, siapa boss Perusahaan tempatmu bekerja, hah!” omel Sean di telepon.“Maaf Sean, aku pergi keluar terlalu lama. Tapi ini benar-benar serius, ibuku menghilang. Dia pergi dari rumah,” jawab Patricia dengan nada yang cemas.“Sudahlah Patricia, kau terlalu cemas berlebihan. Ibumu itu wanita dewasa, dia
Karina yang sedang duduk di sofa sambil memakan cemilannya terlihat bingung melihat kakaknya terlihat cemas. Dia sudah tahu sejak tadi menjemput ibu mereka, Patricia bersikap seperti itu. Dia pikir kakaknya seperti itu karena gugup, tapi sepertinya ada hal lain yang mengganggu pikiran kakaknya.“Ya? Bicara saja, aku akan mendengarkanmu,” sahut Karin. Patricia melirik ke arah kamar tempat ibu mereka berada.“Jangan pernah membicarakan atau mengungkit apa pun pada Mama tentang rumah dan apa pun tentang rumah itu,” ujar Patricia sambil berbisik sangat pelan.“Memangnya kenapa Mama tidak boleh tahu?” tanyanya dengan wajah polos.“Kau lupa apa saja yang sudah terjadi di rumah itu? Perampokan, preman, apa kau ingin Mama tahu dan kembali depresi memikirkan semua itu?”Mendengar hal itu membuat Karina membuka kedua mulutnya kemudian mengangguk.“Benar, aku tidak mau membuat Mama kepikiran hal itu lalu depresinya kembali,” ucap Karin menyetujui ide Patricia.“Berbohonglah apa saja jika dia mul
Patricia meremas kedua tangannya dengan gelisah, perasaan dan pikirannya bercampur aduk karena suatu kejadian yang membuat pikirannya tidak bisa melupakan hal itu dan menghapusnya dari pikirannya. Kejadian itu terus berputar-putar tanpa henti di otaknya dengan cepat.“Apa kamu gugup bertemu dengan Mama?” tanya Karina yang sejak tadi memerhatikan kakaknya yang terlihat tidak tenang di dalam mobil. Karina mengerutkan keningnya karena tidak biasanya kakaknya bersikap seperti itu dengan sangat jelas.“Hah? Ya, tentu saja aku merasa gugup. Ini pertama kalinya kita menjemput Mama pulang, dia akan kembali tinggal bersama dengan kita setelah beberapa tahun. Tentu saja aku merasa gugup,” jawab Patricia.“Aku sangat senang karena akhirnya Mama kembali bersama kita. Aku akan memberitahu Will dan dokter Malvine tentang hal ini. Tapi belakang ini Will sangat sulit dihubungi, ponselnya pun tidak aktif, apa terjadi sesuatu padanya?” tanya Karin padaku dengan wajah penasaran.Patricia menggelengkan k
“Apa yang ingin kamu bicarakan sampai membawaku ke taman rooftop?” tanya Patricia. Dia sama sekali tidak menyangka ada taman rooftop seindah ini.“Berapa dia membayarmu?” wanita itu menatap marah pada Patricia.“Apa maksudmu? Ah, jika maksudmu gajiku sebagai asisten pribadinya itu hampir tiga digit,” jawab Patricia.“Katakan padaku berapa dia membayarmu untuk menjadi teman kencannya? Aku akan membayarmu dua kali lipat jika kau mau menjauhinya,” perintahnya.“Kenapa kamu ingin aku menjauhinya? Harusnya kamu yang menjauh darinya karena dia milikku.”Kata “milikku” yang diucapkan Patricia membuat perempuan Bernama Oliv itu tersulut emosi.“Jaga kata-katamu jalang! Dia tidak akan pernah menjadi milikmu!”“Kamu yang jalang! Sudah tahu dia memilihku masih saja terus menyangkal! Seharusnya kamu sadar diri!”Tangan kanan Oliv terangkat dan menampar keras pipi Patricia sampai menimbulkan bunyi yang sangat nyaring. Tak hanya diam, Patricia juga turut membalas apa yang wanita itu lakukan padanya
Sudah selama dua minggu ini Patricia menjadi kekasih sewaan dari seorang Sean Fernandes. Banyak perubahan yang terjadi di hidupnya, termasuk gaya pakaian dia yang biasanya sederhana dan murah berubah menjadi fashionable dan bermerek mahal. Tak hanya itu, dia juga mendapat perawatan ke salon setiap akhir pekan. Dia benar-benar berubah dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.“Tidak, hari ini aku tidak bisa menginap di tempatku. Aku dan Karina ingin menjemput Mama pulang dari rumah sakit jiwa,” tolak Patricia pada permintaan Sean yang memintanya untuk menginap kembali di rumahnya.“Ya. Dokter Fhadh menyarankan untuk perawatan di rumah agar kondisi ibuku lebih stabil lagi. Katanya, jauh dari keluarga bisa membuat kondisinya naik turun. Dokter Alvin juga dulu menyarankan hal ini tapi aku tidak mendengarkannya dan memilih sibuk bekerja. Jadi, aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama kali ini,” beber Patricia Panjang lebar.“Kalau begitu nanti aku akan kirim makanan untuk kalian berdua,”
Patricia keluar kamar mandi dengan memakai jubah mandi dan handuk yang melilit kepalanya. Dia melihat Sean masih berada di situ dengan sebuah laptop di pangkuannya. Merasa heran karena sudah semalam ini orang itu masih saja bekerja dan dia juga tidak pernah melihatnya beristirahat sedikit pun, sekadar ketiduran di tempat kerjanya pun tidak pernah.“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku tadi? Kamu bilang ada yang ingin dibicarakan setelah aku mandi, sekarang aku sudah selesai. Jadi apa itu?” Patricia datang menghampiri Sean lalu terhenti. “Jangan menatapku seperti itu! Atau aku akan melempar kepalamu dengan vas bunga ini!”Patricia mengambil vas bunga kecil yang terletak di meja terdekatnya dan bersiap melemparnya ke kepala Sean.“Apa gunanya mata jika tidak untuk melihat, Patcy. Ternyata seperti itu dirimu setelah mandi, menarik,” godanya pada Patricia. Patricia yang takut segera merapatkan jubah mandinya.“Kapan pelayanmu itu membawakan baju untukku?” tanya Patricia.“Mungkin sebent
Patricia terdiam beberapa saat, dia sadar apa pun jawabannya bisa jadi merugikan dirinya. Terlebih lelaki ini bisa saja memanfaatkan dan memanipulasi situasi yang terjadi.“Apa pun, aku akan melakukan apa pun asalkan kedua adikku aman dan selamat dari ancaman Evelyn. Orang seperti dia pasti tidak main-main dengan ucapannya bukan? Aku juga tidak boleh setengah-setengah untuk melindungi keluargaku. Akan kulakukan apa pun untuk melindungi mereka,” ucap Patricia sambil menatap pada Sean.“Kau yakin dengan jawaban yang keluar dari mulutmu itu? Apa pun, berarti aku berhak meminta sesuatu darimu tanpa penolakan sama sekali bukan?”Patricia kembali terdiam, dia seperti sadar sudah mengucapkan hal yang salah dan ingin menarik ucapannya kembali.“Kau ragu dengan jawabanmu bukan? Ingin menariknya kembali? Tapi apa yang sudah terucap tidak bisa kau tarik kembali. Jadi aku bertanya sekali lagi padamu, apa kau yakin dengan jawabanmu itu?”“Aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak punya uang, tidak p
“Apa aku tidak salah dengar?” Sean memutar tubuhnya sehingga menghadap Patricia sepenuhnya, namun Patricia menolak menatap Sean dan memilih melihat lurus ke jalan.“Kau tidak salah dengar, aku menyetujui menjadi wanitamu,” balas Patricia.“Tunggu dulu Patcy, kenapa kau tiba-tiba seperti ini?”“Ini tidak tiba-tiba, aku sudah memikirkannya matang-matang.”“Kapan? Kapan kau memikirkan hal itu?” cecar Sean. “Hei, lihat aku.”Patricia menatap Sean dengan wajah datarnya. Wajahnya terlihat lelah, matanya juga sedikit sembab karena sempat menangis.“Apakah itu penting? Bukankah yang paling penting itu sudah menyetujuinya sekarang?” Patricia menjawab Sean dengan sebuah pertanyaan lagi.“Tidak, ini seperti bukan dirimu,” timpal Sean sambil menggelengkan kepala.“Memangnya kau tahu apa tentang diriku? Jangan bertingkah seolah kau tahu semua tentangku,” balas Patricia sambil memutar bola matanya.“Jujur saja aku merasa senang tapi sekaligus kecewa. Aku memang ingin mendapatkanmu, tapi bukan denga