“Apa lantai ruanganku kotor? Kenapa kamu terus menunduk seperti itu?” tanya sang manajer yang dengan santai menyesap kopinya.Patricia yang tadi hendak masuk ke ruangan manajer, kemudian mengurungkan niatnya dan menunggu sedikit lebih lama di luar. Dia pasti heran melihat Patricia membuka pintu, kemudian menutupnya lagi dengan keras. Patricia bersikap seperti itu karena begitu dia membuka pintu, manajer sedang bertelanjang dada mengganti kemeja yang dipakainya dengan kaus berwarna hitam. Tanpa sengaja Patricia melihat tubuh telanjang lelaki lain selain adiknya William. Tubuhnya memang sangat bagus, bahu yang lebar, dada yang bidang dan perut yang berotot kencang.“Aku menunggu kamu berbicara karena kamu bilang ada yang ada ingin kamu bicarakan, tapi kamu datang dan masuk ke dalam ruanganku untuk diam saja sambil menunduk?” manajer mengamati Patricia sambil bersandar pada meja. Kakinya dia disilangkan, kedua tangan terlipat di dada.“Ah maaf, aku sedikit melamun.” Patricia menyelipkan
“Nomor siapa lagi yang meneleponku?” Patricia mengernyit begitu melihat layer ponselnya menunjukan nomor tidak dikenal terus meneleponnya. Sudah ada belasan nomor asing yang terus menghubunginya. Tak ingin diganggu lagi, Patricia mematikan teleponnya sebentar. “Kenapa, Kak?” Karin bertanya padaku karena Patricia terdiam cukup lama sambil menatap ponselnya. “Hari ini banyak sekali nomor yang tidak dikenal meneleponku. Mungkin aku harus mengganti nomor agar orang-orang ini tidak menggangguku lagi. Bagaimana dengan Will? Dengan menghubungimu lagi?” Karin mengambil bantal sofa lalu memeluknya. “Ya, hari ini dia cukup menggangguku dengan mengirimkan banyak pesan. Kamu bisa membacanya sendiri kalau mau tahu.” Karin menyodorkan ponselnya pada Patricia dan memperlihatkan pesan yang dikirimkan oleh adik lelakinya itu. Pesan yang dikirimkan William kurang lebih sama seperti yang sebelumnya, meminta uang milik Karin berapa pun yang dia punya. Cara memintanya pun sepertinya sangat mendesak, se
“Mengubah hidupku? Memangnya kamu siapa? Kamu Tuhan? Cukup, jangan bermain-main denganku Sean Fernandez. Aku bisa melaporkanmu pada polisi dengan tuduhan mengganggu orang lain.” Suara di telepon tertawa terbahak-bahak begitu mendengar ancaman yang keluar dari Patricia.“Kamu pikir itu lucu? Aku serius akan melaporkanmu jika kamu terus menggangguku seperti ini,” imbuh Patricia.“Lucu sekali caramu mengancamku. Lebih baik kau tahu dulu dengan siapa orang yang kau ancam, atau kau akan kehilangan semuanya yang kamu punya saat ini.” Kata-katanya membuat Patricia marah.“Kehilangan semuanya? Memangnya apa lagi yang mau kamu ambil dari hidupku? Aku sudah tidak memiliki apa pun lagi yang berharga selain adik dan ibuku. Kamu ingin mengambil mereka? Langkahin dulu mayatku, brengsek!” umpat Patricia dengan kesal.“Aku sama sekali tidak butuh adik dan ibumu, tidak ada gunanya aku mendapatkan mereka. Aku akan membantumu, kau sedang kesulitan keuangan bukan? Aku akan memberikanmu apa pun asalkan …”
Suara-suara pukulan yang membabi buta dan juga erangan kesakitan terdengar di belakang Patricia. Patricia terlalu takut untuk melihat apa yang terjadi di belakangnya, tubuhnya gemetar dengan sangat hebat karena ketakutan. Ingin berteriak minta tolong, tapi dia hanya membuka mulut tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Untuk berlari menjauh pun dia tampak tidak sanggup untuk berdiri, hanya bisa menangis dan berharap ada orang baik yang akan menolongnya.“Dasar berengsek, beraninya menyerang wanita yang berjalan sendirian di malam hari!” hardik seseorang. Tiba-tiba dia tidak berkata apa pun sehingga membuat suasana menjadi sangat hening. Patricia memohon pada siapa pun, jangan menganggu dan pergi saja, tinggalkan dirinya sendiri.“Kamu tidak apa-apa?” suara seorang pria dewasa bertanya dan menghampiri Patricia yang terduduk sambil memeluk kakinya. Patricia hanya diam saja tidak mau menjawab orang itu, siapa tahu dia adalah orang jahat lain yang mempunyai niat yang tidak baik padanya. Saa
Begitu masuk kedalam rumah, Patricia memergok Karin yang sedang bertelepon di ruang tamu. Gerakan mulut Karin memberitahuku bahwa William sedang menelponnya. Patricia bergegas mendekati Karin dan memintanya untuk menggunakan speaker tanpa dicurigai, tentu saja Patricia melakukan itu dengan gerakan mulutnya. Jika dia tidak mau berbicara pada kakaknya, Patricia akan meminta Karin untuk berbicara mewakilinya bicara.“Ayolah Karin, dia pasti memberimu uang kan? Pinjamkan aku beberapa, aku benar-benar sedang membutuhkan uang saat ini,” ujar William di telepon.“Will, kakak sudah memberimu uang yang cukup besar. Kenapa kamu bisa seboros itu menggunakan uangmu? Memangnya kamu pakai untuk apa saja?” Patricia mengetikkan hal-hal yang harus Karin tanyakan di ponselku.“Aku perlu uang untuk pindah apartemen, uang yang dia kirim sama sekali tidak cukup. Ditambah lagi aku juga perlu uang untuk membeli makanan juga uang untuk ikut kelas tambahan. Aku harus bayar untuk bisa ikut, itu akan sangat mem
Patricia dan Karin memutuskan untuk mengajak Mama berjalan-jalan di Central Park yang jaraknya sekitar satu jam setengah dengan naik bus. Selama perjalanan, Mama hanya diam saja sambil mendengarkan cerita-cerita panjang Karin sambil menggenggam erat kedua tangannya. Matanya sama sekali tidak pernah lepas menatap Karin, sepertinya dokter itu benar, Mama merindukan semua anak-anaknya dan kehadiran kami semua bisa membuat Mama lebih kuat dan semangat lagi.“Apa kalian sama sekali tidak menganggapku ada? Aku benar-benar sakit hati karena kalian hanya mengobrol berdua saja sejak tadi, aku benar-benar tidak dianggap.” Patricia pura-pura merajuk pada mama yang duduk bersama Karin di kursi seberang sebelah kiri.“Kamu sejak tadi hanya diam saja dan menatap keluar jendela, kupikir kamu tidak mau bergabung dengan Mama dan mengobrol, jadi kita biarkan saja dia sendirian. Benar kan Ma?” Karin mulai memperlihatkan sifat manjanya di hadapan Mama.“Dari tadi kalian hanya mengobrol berdua saja tanpa
“Kenapa kamu meninggalkannya sendirian untuk membuang sampah?! Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tidak meninggalkannya walau sedetik saja?! Kenapa tidak menunggu aku kembali dan kamu bisa membuang sampah itu? sekarang bagaimana kita mencarinya di tempat seluas ini?!”Patricia memarahi Karin yang begitu ceroboh meninggalkan Mama sendirian hanya untuk membuang sampah yang lokasinya memang tidak begitu jauh dari tempat kami duduk tadi. Karin menelpon Patricia ketika Patricia baru saja menyelesaikan urusannya di toilet dan mengabari kalau Mama hilang. Patricia langsung berlari menemui Karin karena dia mendengar teriakannya di kejauhan. Karin tertunduk merasa bersalah, orang-orang yang sedang lewat juga memerhatikan kami berdua dengan raut penasaran.“Maaf, aku tidak seharusnya memarahimu di tempat umum seperti ini. Aku panik dan takut Mama tidak bisa ditemukan.” Patricia menepuk bahu adiknya pelan, menenangkan adiknya sekaligus dirinya sendiri. Matanya mencari-cari keberadaan ibunya yan
Dokter Malvin datang sedikit lebih lama dari yang seharusnya, dia memakai kendaraan pribadi yang harusnya bisa datang lebih cepat karena tidakperlu memutar jalan seperti naik bus. Patricia memakluminya karena ada pasien rumah sakit yang membutuhkan penanganannya.“Apa dia akan terus seperti itu, dokter? Tidak ada cara lain untuk menenangkannya? Dia sudah menangis cukup lama, aku khawatir Mama akan…” Patricia tidak mau menduga-duga hal yang buruk pada ibunya sendiri.“Tidak apa-apa, dia masih memiliki kemarahan yang sangat besar pada suaminya dan sudah memendamnya terlalu lama. Begitu dia bertemu dengan sosok yang mirip, dia ingin melampiaskan semua pada orang itu dan tentu saja pemicunya adalah orang yang sangat mirip dengan orang yang membuatnya seperti ini, begitu juga dengan yang terjadi di rumah sakit beberapa waktu yang lalu.”Dokter Malvin menenangkan mama dengan merangkulnya dan mengelus lengannya pelan, tangis Mama perlahan semakin mereda sejak dokter Malvin datang. Patricia d
“Apa-apaan kau! Aku masih bicara dengan ibuku dan kau malah menyeretku masuk kedalam mobil!” protes Patricia. Sean mengunci mobilnya sehingga dia tidak bisa kabur.“Kau sudah pergi meninggalkan pekerjaanmu selama dua jam dan membiarkanmu mengerjakan semuanya sendiri. Bisa-bisanya asisten pribadiku meninggalkan pekerjaannya tanpa persetujuanku. Meeting tadi hampir kacau karena kau tidak menyiapkan apa yang aku butuhkan!” Sean benar-benar marah dengan sikap seenaknya Patricia.“Aku tahu aku melakukan kesalahan, aku juga akan bertanggung jawab dengan menambah jam kerjaku selama beberapa hari. Tolong buka kuncinya, ibuku sedang menunggu di rumah, dia pasti merasa cemas karena aku tidak kembali,” pinta Patricia.“Baiklah.”“Sean! Sean!”Sean keluar dari mobilnya dan tetap mengunci Patricia dari dalam. Dia tidak mau Patricia punya kesempatan kabur dan bersembunyi dibalik ibunya. Maka, dia sendiri yang akan menghadapi ibu dari Patricia. Sean menekan bell pintu dan menunggu beberapa saat samp
Patricia semakin panik karena ternyata ibunya tidak ada di rumah. Semua sudut rumah sudah dijelajahi, namun tidak ada satu pun jejak ibunya berada bahkan dia tidak membawa ponselnya sama sekali. Ponsel milik Karina yang ditinggalkan untuk ibunya.“Kemana dia pergi? Sejak kapan dia pergi dari rumah?” bisik Patricia pada dirinya sendiri. Dia berjalan bolak balik dengan linglung, tidak tahu harus mencari ibunya kemana dan kemana dia harus mencari lebih dulu.“Haruskah aku menelpon polisi dan melaporkan orang hilang?”Ditengah rasa kebingungannya memutuskan sesuatu, Sean menelponnya.“Kau sudah pergi terlalu lama, cepat kembali dan bantu pekerjaanku. Sudah pergi tanpa izinku, pergi terlalu lama, siapa boss Perusahaan tempatmu bekerja, hah!” omel Sean di telepon.“Maaf Sean, aku pergi keluar terlalu lama. Tapi ini benar-benar serius, ibuku menghilang. Dia pergi dari rumah,” jawab Patricia dengan nada yang cemas.“Sudahlah Patricia, kau terlalu cemas berlebihan. Ibumu itu wanita dewasa, dia
Karina yang sedang duduk di sofa sambil memakan cemilannya terlihat bingung melihat kakaknya terlihat cemas. Dia sudah tahu sejak tadi menjemput ibu mereka, Patricia bersikap seperti itu. Dia pikir kakaknya seperti itu karena gugup, tapi sepertinya ada hal lain yang mengganggu pikiran kakaknya.“Ya? Bicara saja, aku akan mendengarkanmu,” sahut Karin. Patricia melirik ke arah kamar tempat ibu mereka berada.“Jangan pernah membicarakan atau mengungkit apa pun pada Mama tentang rumah dan apa pun tentang rumah itu,” ujar Patricia sambil berbisik sangat pelan.“Memangnya kenapa Mama tidak boleh tahu?” tanyanya dengan wajah polos.“Kau lupa apa saja yang sudah terjadi di rumah itu? Perampokan, preman, apa kau ingin Mama tahu dan kembali depresi memikirkan semua itu?”Mendengar hal itu membuat Karina membuka kedua mulutnya kemudian mengangguk.“Benar, aku tidak mau membuat Mama kepikiran hal itu lalu depresinya kembali,” ucap Karin menyetujui ide Patricia.“Berbohonglah apa saja jika dia mul
Patricia meremas kedua tangannya dengan gelisah, perasaan dan pikirannya bercampur aduk karena suatu kejadian yang membuat pikirannya tidak bisa melupakan hal itu dan menghapusnya dari pikirannya. Kejadian itu terus berputar-putar tanpa henti di otaknya dengan cepat.“Apa kamu gugup bertemu dengan Mama?” tanya Karina yang sejak tadi memerhatikan kakaknya yang terlihat tidak tenang di dalam mobil. Karina mengerutkan keningnya karena tidak biasanya kakaknya bersikap seperti itu dengan sangat jelas.“Hah? Ya, tentu saja aku merasa gugup. Ini pertama kalinya kita menjemput Mama pulang, dia akan kembali tinggal bersama dengan kita setelah beberapa tahun. Tentu saja aku merasa gugup,” jawab Patricia.“Aku sangat senang karena akhirnya Mama kembali bersama kita. Aku akan memberitahu Will dan dokter Malvine tentang hal ini. Tapi belakang ini Will sangat sulit dihubungi, ponselnya pun tidak aktif, apa terjadi sesuatu padanya?” tanya Karin padaku dengan wajah penasaran.Patricia menggelengkan k
“Apa yang ingin kamu bicarakan sampai membawaku ke taman rooftop?” tanya Patricia. Dia sama sekali tidak menyangka ada taman rooftop seindah ini.“Berapa dia membayarmu?” wanita itu menatap marah pada Patricia.“Apa maksudmu? Ah, jika maksudmu gajiku sebagai asisten pribadinya itu hampir tiga digit,” jawab Patricia.“Katakan padaku berapa dia membayarmu untuk menjadi teman kencannya? Aku akan membayarmu dua kali lipat jika kau mau menjauhinya,” perintahnya.“Kenapa kamu ingin aku menjauhinya? Harusnya kamu yang menjauh darinya karena dia milikku.”Kata “milikku” yang diucapkan Patricia membuat perempuan Bernama Oliv itu tersulut emosi.“Jaga kata-katamu jalang! Dia tidak akan pernah menjadi milikmu!”“Kamu yang jalang! Sudah tahu dia memilihku masih saja terus menyangkal! Seharusnya kamu sadar diri!”Tangan kanan Oliv terangkat dan menampar keras pipi Patricia sampai menimbulkan bunyi yang sangat nyaring. Tak hanya diam, Patricia juga turut membalas apa yang wanita itu lakukan padanya
Sudah selama dua minggu ini Patricia menjadi kekasih sewaan dari seorang Sean Fernandes. Banyak perubahan yang terjadi di hidupnya, termasuk gaya pakaian dia yang biasanya sederhana dan murah berubah menjadi fashionable dan bermerek mahal. Tak hanya itu, dia juga mendapat perawatan ke salon setiap akhir pekan. Dia benar-benar berubah dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.“Tidak, hari ini aku tidak bisa menginap di tempatku. Aku dan Karina ingin menjemput Mama pulang dari rumah sakit jiwa,” tolak Patricia pada permintaan Sean yang memintanya untuk menginap kembali di rumahnya.“Ya. Dokter Fhadh menyarankan untuk perawatan di rumah agar kondisi ibuku lebih stabil lagi. Katanya, jauh dari keluarga bisa membuat kondisinya naik turun. Dokter Alvin juga dulu menyarankan hal ini tapi aku tidak mendengarkannya dan memilih sibuk bekerja. Jadi, aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama kali ini,” beber Patricia Panjang lebar.“Kalau begitu nanti aku akan kirim makanan untuk kalian berdua,”
Patricia keluar kamar mandi dengan memakai jubah mandi dan handuk yang melilit kepalanya. Dia melihat Sean masih berada di situ dengan sebuah laptop di pangkuannya. Merasa heran karena sudah semalam ini orang itu masih saja bekerja dan dia juga tidak pernah melihatnya beristirahat sedikit pun, sekadar ketiduran di tempat kerjanya pun tidak pernah.“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku tadi? Kamu bilang ada yang ingin dibicarakan setelah aku mandi, sekarang aku sudah selesai. Jadi apa itu?” Patricia datang menghampiri Sean lalu terhenti. “Jangan menatapku seperti itu! Atau aku akan melempar kepalamu dengan vas bunga ini!”Patricia mengambil vas bunga kecil yang terletak di meja terdekatnya dan bersiap melemparnya ke kepala Sean.“Apa gunanya mata jika tidak untuk melihat, Patcy. Ternyata seperti itu dirimu setelah mandi, menarik,” godanya pada Patricia. Patricia yang takut segera merapatkan jubah mandinya.“Kapan pelayanmu itu membawakan baju untukku?” tanya Patricia.“Mungkin sebent
Patricia terdiam beberapa saat, dia sadar apa pun jawabannya bisa jadi merugikan dirinya. Terlebih lelaki ini bisa saja memanfaatkan dan memanipulasi situasi yang terjadi.“Apa pun, aku akan melakukan apa pun asalkan kedua adikku aman dan selamat dari ancaman Evelyn. Orang seperti dia pasti tidak main-main dengan ucapannya bukan? Aku juga tidak boleh setengah-setengah untuk melindungi keluargaku. Akan kulakukan apa pun untuk melindungi mereka,” ucap Patricia sambil menatap pada Sean.“Kau yakin dengan jawaban yang keluar dari mulutmu itu? Apa pun, berarti aku berhak meminta sesuatu darimu tanpa penolakan sama sekali bukan?”Patricia kembali terdiam, dia seperti sadar sudah mengucapkan hal yang salah dan ingin menarik ucapannya kembali.“Kau ragu dengan jawabanmu bukan? Ingin menariknya kembali? Tapi apa yang sudah terucap tidak bisa kau tarik kembali. Jadi aku bertanya sekali lagi padamu, apa kau yakin dengan jawabanmu itu?”“Aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak punya uang, tidak p
“Apa aku tidak salah dengar?” Sean memutar tubuhnya sehingga menghadap Patricia sepenuhnya, namun Patricia menolak menatap Sean dan memilih melihat lurus ke jalan.“Kau tidak salah dengar, aku menyetujui menjadi wanitamu,” balas Patricia.“Tunggu dulu Patcy, kenapa kau tiba-tiba seperti ini?”“Ini tidak tiba-tiba, aku sudah memikirkannya matang-matang.”“Kapan? Kapan kau memikirkan hal itu?” cecar Sean. “Hei, lihat aku.”Patricia menatap Sean dengan wajah datarnya. Wajahnya terlihat lelah, matanya juga sedikit sembab karena sempat menangis.“Apakah itu penting? Bukankah yang paling penting itu sudah menyetujuinya sekarang?” Patricia menjawab Sean dengan sebuah pertanyaan lagi.“Tidak, ini seperti bukan dirimu,” timpal Sean sambil menggelengkan kepala.“Memangnya kau tahu apa tentang diriku? Jangan bertingkah seolah kau tahu semua tentangku,” balas Patricia sambil memutar bola matanya.“Jujur saja aku merasa senang tapi sekaligus kecewa. Aku memang ingin mendapatkanmu, tapi bukan denga