Sejak pertemuan dengan Roy aku lebih bersikap hati-hati seperti titahnya, tidak makan masakan rumah juga selalu memakai kendaraan umum jika hendak bepergian.Nominal lima puluh juta sudah berpindah ke rekening Roy, upah sekaligus ucapan terima kasih karena telah membantu, aku sangat puas dengan kinerjanya.Hari ini bertepatan dengan ulang tahun Melta, kedua keluarga sudah berkumpul di rumah, di sana juga ada keluarga Om Feri--kakak mendiang ayah Melta--beserta ketiga anaknya, mereka nampak cantik dan tampan, dengan segudang prestasi juga pendidikan yang tinggi.Sedangkan Melta hanyalah anak satu-satunya tanpa saudara, kudengar dari ibu mertua jika adik Melta telah meninggal. Namun, aku tak pernah diberi kesempatan hanya sekedar menatap potonya.Pesta ulang tahun Melta tak semewah biasanya, bahkan tahun yang lalu kami sampai menyewa sebuah villa di kawasan puncak Bogor, mengundang semua teman-teman sosialitanya, tapi sekarang yang nampak bukanlah sebuah pesta hanya berupa kumpulan kelu
Semua orang masih tercengang dan bimbang, antara harus mempercayai ucapanku atau Melta, wanita itu terus saja meracau membela dirinya di hadapan kedua keluarga."Itu bukan editan, Melta! Lihatlah Vidio itu dibuat di kamar Gian bukan?!" balasku dengan berteriak.Melta diam dengan tubuh yang bergetar, dapat kulihat ada amarah membara yang terpancar dari sorot matanya, Ibuku juga ibunya sama-sama menggelengkan kepala, sepertinya mereka mulai mempercayai setiap kata yang kuucapkan.Mereka juga memiliki logika, jika Vidio itu settingan mana mungkin latar belakangnya ada di kamar Gian, hanya orang tak waras yang akan mempercayai ucapan Melta."Kamu mau tahu dari mana aku bisa mendapat Vidio itu?" tanyaku seraya menghujaninya dengan tatapan tajam.Wanita yang mengenakan dress selutut itu masih diam terpaku, mungkin ia kehabisan kata untuk menyangkal setiap tuduhan yang menusuknya.Rasakan kau, Melta! Bagaimana sakitnya ditikam dari belakang, itu menyakitkan bukan? "Waktu Sandrina dirawat di
Wanita itu merebut sprei yang sedang kubentangkan, melemparnya ke segala arah lalu menginjak-injak dengan penuh amarah.Aku menyeringai puas saat melihat jiwa dan emosinya tak tentu arah, sekarang kamu bukan hanya dit*lanj*ngi, Melta, bahkan sampai dikuliti habis-habisan.Hancur sudah semua karir dan martabat yang selama ini diagungkan di hadapan semua keluarga, Melta, seorang ibu pintar beranak satu, memiliki penampilan menarik dan energik, kini berubah menjadi Melta yang picik."Kamu keterlaluan, Mas! Seharusnya ga membongkar ini di hadapan semuanya."Melta berjongkok sambil mencengkram kepalanya, wanita itu rupanya mulai sadar diri."Suami mana yang tak sakit saat istri yang selama ini diperjuangkan mati-matian selingkuh diam-diam? apa aku harus memaklumi perbuatan kejimu yang sudah berjalan bertahun-tahun lamanya?!" tegasku sedikit berteriak, sedangkan ibu-ibu kami semakin terisak."Kamu tega, Melta! Kamu pikir aku tak sakit hati hah! Sejak aku merasa curiga dan sejak itu pula aku
"Jaga bicaramu, Melta!" teriakku cukup membuat bibirnya terbungkam.Kutatap ibu mertua ia nampak semakin tak berdaya, tubuhnya luruh dan terduduk di lantai sambil memegangi sebelah dadanya, wanita itu terisak-isak, menahan pedihnya rasa sesak."Iya, Ma, dialah lelaki yang selama ini kita cari, dan bodohnya aku malah menikah dengan lelaki itu."Melta berjongkok sambil memegangi kedua pundak ibunya, mereka saling terisak berbagi tangisan."Kamu jangan ngomong sembarangan, Melta! Elya memang mantan pacarku, tapi aku belum pernah sekalipun menyentuhnya apalagi membuatnya berbadan dua," jawabku membela.Aku kenal betul gadis itu, Elya memang mantan kekasihku, ia seorang gadis cantik, menarik dan sopan, saat itu ia masih kelas tiga SMA, dan aku masih kuliah di semester pertama.Kami memang pernah menjalin kasih dalam waktu singkat, bisa dibilang cinta kami masih cinta monyet, jangankan untuk menghamili menyentuhnya saja aku tak pernah.***Terakhir kami berjumpa memang nampak beberapa keane
"Rekaman yang selama ini kamu takutkan sudah sampai ke tanganku, Melta! Berhentilah memfitnahku tanpa bukti!" tegasku sekali lagi.Wanita yang berwajah sembab itu seolah telah kehilangan pijakan, kedua tangannya menutupi wajah lalu ia terisak lagi, hanya sebatas itukah perlawananmu, Melta?!Masa iya aku harus bertarung dengan seseorang yang sudah melemah, kutatap seluruh wajah anggota keluarga, kembali terpancar sorot keanehan di mata mereka.Mungkin merasa pening menyaksikan perdebatan kami yang melebar kemana-mana, sedangkan Gian bagaikan kerbau di cucuk hidung, berdiri mematung menyaksikan kehancuran rumah tangga kami, tanpa kata ataupun upaya untuk membela."Kalian semua harus tahu, Melta telah berupaya beberapa kali untuk melenyapkanku, bahkan kecelakaan mobil dua Minggu yang lalu juga karena ulahnya, untung saja yang memakai mobil itu orang lain bukan aku!"Suaraku menggelegar cukup menghantam gendang telinga mereka, untuk kesekian kalinya mereka terperangah tak menyangka."Bena
Jujur saja melihat Melta mengiba adalah hiburan tersendiri, belakangan ini aku jarang sekali tertawa lepas, sekalipun mata ini melihat acara komedi di layar televisi."Apa kamu bilang? jangan lapor polisi? kenapa?" Tanyaku dengan senyum mengejek.Puas, sangat puas sekali melihatnya merintih dan mengiba, ketakutan yang tergambar di wajahnya seolah obat bagi luka hati yang selama ini berdarah hingga bernanah."Aku itu punya hati, Melta, sakit hatiku! Dan kamu harus membayar rasa sakit ini."Kutinggalkan wajah penuh dusta itu, segera menelpon polisi untuk melakukan penangkapan hari ini, satu hari sebelumnya aku telah melaporkan kasus Melta pada pihak berwajib."Kamu akan terjerat dua kasus sekaligus, Melta, lihat saja kupastikan istrinya Devan juga akan menuntutmu," imbuhku dengan tatapan benci.Melta seperti kerupuk yang disiram air, nyalinya langsung kempes saat itu juga, air matanya mulai menggenang, beberapa kali ia mencuri pandang ke arah Gian, sedangakan lelaki itu hanya diam terpa
"Sejak masih sekolah Adnan selalu pulang tepat waktu, sehingga waktunya banyak membantu Ibu dan ayahmu, sedangkan kamu setiap hari hanya keluyuran, pantas saja mendiang ayahmu sering murka," ungkap ibu, lalu ia terisak-isak.Entah mengapa aku lebih tertarik pada perdebatan antara ibu dan Gian, sejak dulu Ibu memang sering mengeluh tentang perlakuan anak bungsunya, itu mengapa ia menyuruh Gian untuk tinggal denganku, agar anak itu mau belajar dan menjadi seseorang yang sukses sepertiku.Tapi kenyataannya, bukan kesuksesan yang didapat, malah sebuah kehancuran, waktu itu harusnya aku menolak dengan keras usul ibu, bagaimanapun juga ipar adalah maut, tak seharusnya kami tinggal satu atap.Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin kehancuran ini bisa diperbaiki kembali, mungkin inilah sebuah takdir yang harus kami jalani."Sudahlah, Bu, orang macam dia ga pantas ditangisi, dan kamu Gian! Selain sudah berdosa padaku juga berdosa pada Ibu!"Kupeluk erat wanita yang mulai renta itu,
Mama terlentang di atas lantai dengan kedua mata yang terpejam, matanya enggan terbangun sekalipun kami sudah berusaha menepuk-nepuk pipinya.Tante Ajeng yang tak lain istri Om Feri dan anak keduanya sibuk memberikan pertolongan agar mama cepat kembali tersadar."Jangan pergi, Melta! Kasihan Ibumu!" teriak Om Feri murka.Wanita itu melepas cekalan tangan Gian, lalu berlari menghampiri ibunya sambil terisak."Mama, bangun, maafin aku," ucapnya dengan derai air mata. Namun, mama belum juga membuka matanya."Kita harus bawa Mamamu ke rumah sakit, Melta," sahut Om Feri.Sedangkan Gian entah di mana mungkin lelaki p*ng*c*t itu sudah melarikan diri, aku tak peduli karena di luar sana para security sedang berjaga.Jika ia berhasil melarikan diri itu tak masalah, polisi pasti berhasil mencarinya, lagipula aku tahu semua tempat persembunyian anak itu."Ini semua gara-gara kamu, Adnan!" teriak Melta sambil memandang wajahku penuh bara.Aku mendengus, benar-benar tak tahu malu, harusnya ia berka
"Tapi Papa ga tahu di mana mamamu sekarang." Mendengar jawabanku ia menunduk kecewa."Kamu ga usah khawatir Papa akan cari Mama sampai ketemu ya."Ia mendongkak dan menatapku dengan ceria."Terima kasih, Pa, semoga Mama cepat ketemu ya aku sudah kangen sekali.""Aamiin." Aku menganggukkan kepala, sepertinya kali ini harus menemui Om Feri dan Tante Ajeng, mereka lah orang terdekat Melta, dan sudah pasti tahu keberadaannya di mana.Sore hari lepas pulang dari kantor aku segera meluncur ke alamat rumah Om Feri yang dulu, setelah satpam mempersilakan masuk aku duduk di kursi teras."Cari siapa, Mas?" tanya seorang wanita, dari wajah sepertinya dia Amanda anak kedua Om Feri."Ini Amanda 'kan anaknya Om Feri?" tanyaku sambil menatap wanita itu."Iya betul, ini ... Kak Adnan?" ia bertanya sambil mengingat-ingat."Iya betul, kamu berubah ya sekarang."Ia tersenyum saat mendengar beberapa pujian dari bibirku, kami mengobrol sejenak basa-basi dan menanyakan Om Feri, ia mengatakan jika ayahnya
10 Tahun Kemudian.Hari, tahun dan bulan silih berganti tak terasa kini usia pernikahanku dengan Renata sudah memasuki tahun ke sepuluh, Sandrina telah remaja bahkan pemikirannya hampir sepadan dengan orang dewasa, ia berubah menjadi gadis yang cantik, lembut dan berhijab syar'i seperti ibu tirinya.Renata telah berhasil mendidik anak itu ke jalan yang benar, aku bersyukur memilki dia yang tak pernah mengungkit kekurangan diri ini, ia selalu fokus pada kekurangan dirinya dalam melayani suami.Tak ada anak yang dihasilkan dalam pernikahan kami. Namun, kami dikelilingi oleh empat orang anak sekaligus.Arjuna yang tak lain putranya Haura Rahimahullah, kini telah berusia sepuluh tahun, ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tidak manja, itu juga berkat didikan dari istriku tercinta.Sedangkan kedua anaknya Syafiq dan Maryam jauh lebih berprestasi dari Sandrina, kini si sulung Syafiq sudah berumur tujuh belas tahun dan sudah menjadi hafiz Qur'an, sedangkan si bungsu Maryam, kini berusia t
(POV MELTA)Tak ingin lagi menanggapi ocehannya yang pedas, aku melihat cermin yang berada di dinding dekat spring bed tempatku berbaring.Luka bakar wajahku memang sudah pulih. Namun, bekasnya membuat wajah ini terlihat menjadi seram, tak terbayang jika ke luar sana tak mengenakan masker pasti orang-orang akan takut melihatnya.Bukan hanya wajah yang hancur tapi hidupku pun menjadi hancur, jika saja aku tak sedang mengandung mungkin dari kemarin aku sudah mengakhiri hidup ini.Terpuruk tanpa ada seseorang yang memberi kekuatan dan semangat hidup itu terasa menyakitkan, lebih sakit dari pada ditusuk sebuah pedang.Sempat aku berharap agar diri ini mati seperti Gian, ia tak lagi menanggung malu dan cemoohan orang-orang, kenapa ia lenyap semudah itu? setelah semunya hancur tak bersisa.Namun, aku lega karena Justin sudah mendapat hukumannya, yang kudengar dari Om Feri beberapa Minggu yang kalau pria blasteran Amerika itu mengalami depresi, dan selalu mencoba bunuh diri.Aku menyeringai
(POV MELTA)Sembilan bulan sudah janin ini tumbuh di rahimku, kini waktunya ia keluar melihat dunia yang luas dan indah, perutku sudah terasa mulas, entah mengapa janin ini tetap hidup walau aku banyak stres dan banyak makan makanan yang tidak bergizi.Kuharap bayi yang tak jelas siapa ayahnya ini akan lenyap seiring waktu. Namun, di luar dugaan ia begitu kuat laksana sebuah baja."Bu, tolong! Perutku sakit, kayanya mau lahiran ini!" teriakku pada petugas lapas.Dengan napas yang terengah-engah aku berdiri sambil memegang perut yang sudah membukit ini, berteriak lagi pada petugas lapas yang tak kunjung datang memberi pertolongan."Mulesnya berapa menit sekali?" tanya petugas itu dingin."Sudah sering, ini udah mau lengkap pembukaannya, cepat bawa saya ke rumah sakit.""Ya sudah ayo ikut saya.""Aku ga kuat jalan, Bu, sakit," rintihku, wanita berbadan tinggi itu berdecak kesal."Sebentar saya ambil kursi roda," ujarnya ketus, lalu mendelik sebelum pergi.Begitulah nasibku di sini, dise
Ya Tuhan, aku tak kuasa melihat deritanya, kupeluk tubuh mungil itu dan mengusap-usap punggungnya."Dia sudah di alam kubur, Sayang, Tante Ara ga akan pulang lagi ke sini, Ina doain supaya Tante Haura dikasih tempat yang paling nyaman di sana."Ia menangis terisak-isak, meraung menginginkan pengasuhnya kembali."Sini sama Nenek, walaupun Tante Ara sudah ga ada tapi 'kanasih ada bayinya, kalau sudah gede Ina bisa jagain Dede bayi pasti Tante Haura seneng di alam sana." Ibu membawa gadis kecil itu ke pangkuannya.Ia masih menangis meluapkan emosinya, aku faham Sandrina pasti sangat kehilangan, tak mudah mengobati luka hatinya yang sudah terlanjur memiliki harapan."Aku mau Tante Ara, Nek, bilang sama dia suruh pulang ke sini lagi," rengek Sandrina, membuat semua mata menangis karenanya."Dia sudah pulang ke pencipta-nya, yaitu Allah, doa in saja ya," bujuk ibu lagi sambil memeluk erat tubuhnya."Jadi Tante Ara ga bakal temenin Ina main lagi? ga bakal pulang ke sini lagi?""Kan masih ada
"Jangan ngaco kamu, Dati!" bentak ibu tak terima."Anakmu 'kan yang sudah menyebabkan putriku meninggal, jadi kalian harus tanggung jawab, kalau engga aku akan melaporkan masalah ini ke polisi!" teriaknya sambil menyeka ingus dan air mata."Ngelaporin apa lagi? toh anak saya Gian juga lagi dipenjara, dan kamu ga ada bukti sama sekali, kalau mau lapor ya silakan, ga ngaruh ke kehidupan saya dan Adnan!" tegas ibu Ternyata wanita yang berumur senja itu bisa juga berfikir realistis, Bu Dati nampak terbungkam dan melirik suaminya."Ya maksudnya kalian 'kan orang berada seenggaknya kasihlah kami uang untuk biaya tahlilan Haura, gitu lho maksud istriku." Bapak menimpali.Huhh, bilang saja mau duit!"Ya masa cuma buat tahlilan aja harus 1 Milyar, mikir dong, saya bisa laporkan istrimu ke polisi atas kasus pemerasan, mau kamu!" tegas ibu lagi.Sepertinya wanita yang telah melahirkanku itu sangat membenci mantan suaminya, terlihat sekali dari nada suara seolah ada dendam yang membara dalam dad
"Jangan dikeluarkan dulu, Pak, saya akan memberitahukan orang tuanya dulu," ujarku, mereka pun mengangguk.Kuhampiri sepasang suami istri yang sedang berdiri di teras rumahnya itu, sudah nampak kepanikan di wajah mereka."Hei kamu, bawa jenazah siapa kemari?!" tanya ibunya Haura ketus.Aku dan ibu terdiam mempersiapkan jawaban."Ratna! Jenazah siapa yang kamu bawa?" tanya Bapak Haura sekaligus bapakku juga."Itu jenazah ... Haura, dia mengalami pendarahan usai melahirkan dan dokter tak bisa menyelamatkan," ujar ibu"Apaa?! Jangan bercanda kamu ya!" Ibunya Haura mulai histeris."Pak, itu ga mungkin 'kan?!""Kalau kalian ga percaya silakan lihat saja langsung, ini murni kehendak Tuhan, bahkan aku sudah membawanya ke dokter terbaik," jawab Ibu dan mereka terlihat meradang."Kenapa anakku bisa mati?! Apa selama ini kalian menyiksanya?!" tanya ibunya Haura histeris.Orang-orang sekita mulai berkerumun dan banyak melempar tanya, membuat kepalaku pening oleh ocehan mereka yang banyak menduga
"Haura kenapa, Bu?" tanya ibu sekali lagi."Dia sudah tak bernyawa, maafkan saya tak bisa menolongnya, saya harap Bapak juga bersabar dan merelakan kepergian istrinya."Dokter wanita itu mengira jika aku suaminya, bukan hanya dokter itu tapi semua orang yang menyaksikan, dibanding ibu akulah yang paling mencemaskan gadis malang itu, aku pula yang mengurus semua proses persalinannya.Tak mungkin ia pergi sebelum mendapat kebahagiaan sejati yang hendak aku limpahkan, sebagai seorang adik ia juga berhak mendapat kebahagiaan dariku sebagai seorang kakak.Oh Haura! Mengapa kau tak bisa bertahan sebentar saja! Aku cukup frustatsi terlebih penyebab semua ini adalah Gian, si pecund*ng itu!"Maksud Ibu anak saya meninggal gitu?" tanya ibu bergetar, sedangkan tubuh ini sudah hilang keseimbangan.Tuhan, mengapa engkau tak bisa memberikan aku kesempatan untuk menebus semua kesalahan si br*ngs*k itu, dia sudah merenggut nyawa satu wanita."Betul, Bu, yang tabah ya, semua ini adalah kehendak Yang M
Setelah sekian lama hati ini kering laksana gurun Sahara, hadirnya Renata seolah air hujan yang sanggup menumbuhkan berbagai macam tumbuhan.Aku tak mampu membalasnya dengan kata-kata, hanya mampu membalas dengan senyuman dan dekapan mesra.Duhh, suasana pengantin baru ini sungguh berbeda."Waah rumahnya bagus banget Kak Adnan, maa syaa Allah," tutur Haura terpukau, ia sudah terbiasa memanggilku kakak sekarang."Rumahnya lebih gede dari yang kemarin ya, Tante," celetuk Sandrina tak kalah riang."Lebih gede juga lebih mewah," timpal ibu sambil memandang takjub istana di depan matanya.Kami memasuki rumah baru ini dengan bismillah, agar para jin dan sejenisnya tak bisa bermalam di dalam sana."Mas, kita harus bacakan surat Al Baqarah ya, agar para penghuni gaib segera pergi meninggalkan rumah ini," ujar Renata membuatku semakin kagum, karena semua yang ia lakukan pasti sesuai dengan Sunnah Nabi."Iya, nanti malam ya Sayang."Wanita berhijab hitam itu nampak tersipu malu mendengar kata s