Semua orang masih tercengang dan bimbang, antara harus mempercayai ucapanku atau Melta, wanita itu terus saja meracau membela dirinya di hadapan kedua keluarga."Itu bukan editan, Melta! Lihatlah Vidio itu dibuat di kamar Gian bukan?!" balasku dengan berteriak.Melta diam dengan tubuh yang bergetar, dapat kulihat ada amarah membara yang terpancar dari sorot matanya, Ibuku juga ibunya sama-sama menggelengkan kepala, sepertinya mereka mulai mempercayai setiap kata yang kuucapkan.Mereka juga memiliki logika, jika Vidio itu settingan mana mungkin latar belakangnya ada di kamar Gian, hanya orang tak waras yang akan mempercayai ucapan Melta."Kamu mau tahu dari mana aku bisa mendapat Vidio itu?" tanyaku seraya menghujaninya dengan tatapan tajam.Wanita yang mengenakan dress selutut itu masih diam terpaku, mungkin ia kehabisan kata untuk menyangkal setiap tuduhan yang menusuknya.Rasakan kau, Melta! Bagaimana sakitnya ditikam dari belakang, itu menyakitkan bukan? "Waktu Sandrina dirawat di
Wanita itu merebut sprei yang sedang kubentangkan, melemparnya ke segala arah lalu menginjak-injak dengan penuh amarah.Aku menyeringai puas saat melihat jiwa dan emosinya tak tentu arah, sekarang kamu bukan hanya dit*lanj*ngi, Melta, bahkan sampai dikuliti habis-habisan.Hancur sudah semua karir dan martabat yang selama ini diagungkan di hadapan semua keluarga, Melta, seorang ibu pintar beranak satu, memiliki penampilan menarik dan energik, kini berubah menjadi Melta yang picik."Kamu keterlaluan, Mas! Seharusnya ga membongkar ini di hadapan semuanya."Melta berjongkok sambil mencengkram kepalanya, wanita itu rupanya mulai sadar diri."Suami mana yang tak sakit saat istri yang selama ini diperjuangkan mati-matian selingkuh diam-diam? apa aku harus memaklumi perbuatan kejimu yang sudah berjalan bertahun-tahun lamanya?!" tegasku sedikit berteriak, sedangkan ibu-ibu kami semakin terisak."Kamu tega, Melta! Kamu pikir aku tak sakit hati hah! Sejak aku merasa curiga dan sejak itu pula aku
"Jaga bicaramu, Melta!" teriakku cukup membuat bibirnya terbungkam.Kutatap ibu mertua ia nampak semakin tak berdaya, tubuhnya luruh dan terduduk di lantai sambil memegangi sebelah dadanya, wanita itu terisak-isak, menahan pedihnya rasa sesak."Iya, Ma, dialah lelaki yang selama ini kita cari, dan bodohnya aku malah menikah dengan lelaki itu."Melta berjongkok sambil memegangi kedua pundak ibunya, mereka saling terisak berbagi tangisan."Kamu jangan ngomong sembarangan, Melta! Elya memang mantan pacarku, tapi aku belum pernah sekalipun menyentuhnya apalagi membuatnya berbadan dua," jawabku membela.Aku kenal betul gadis itu, Elya memang mantan kekasihku, ia seorang gadis cantik, menarik dan sopan, saat itu ia masih kelas tiga SMA, dan aku masih kuliah di semester pertama.Kami memang pernah menjalin kasih dalam waktu singkat, bisa dibilang cinta kami masih cinta monyet, jangankan untuk menghamili menyentuhnya saja aku tak pernah.***Terakhir kami berjumpa memang nampak beberapa keane
"Rekaman yang selama ini kamu takutkan sudah sampai ke tanganku, Melta! Berhentilah memfitnahku tanpa bukti!" tegasku sekali lagi.Wanita yang berwajah sembab itu seolah telah kehilangan pijakan, kedua tangannya menutupi wajah lalu ia terisak lagi, hanya sebatas itukah perlawananmu, Melta?!Masa iya aku harus bertarung dengan seseorang yang sudah melemah, kutatap seluruh wajah anggota keluarga, kembali terpancar sorot keanehan di mata mereka.Mungkin merasa pening menyaksikan perdebatan kami yang melebar kemana-mana, sedangkan Gian bagaikan kerbau di cucuk hidung, berdiri mematung menyaksikan kehancuran rumah tangga kami, tanpa kata ataupun upaya untuk membela."Kalian semua harus tahu, Melta telah berupaya beberapa kali untuk melenyapkanku, bahkan kecelakaan mobil dua Minggu yang lalu juga karena ulahnya, untung saja yang memakai mobil itu orang lain bukan aku!"Suaraku menggelegar cukup menghantam gendang telinga mereka, untuk kesekian kalinya mereka terperangah tak menyangka."Bena
Jujur saja melihat Melta mengiba adalah hiburan tersendiri, belakangan ini aku jarang sekali tertawa lepas, sekalipun mata ini melihat acara komedi di layar televisi."Apa kamu bilang? jangan lapor polisi? kenapa?" Tanyaku dengan senyum mengejek.Puas, sangat puas sekali melihatnya merintih dan mengiba, ketakutan yang tergambar di wajahnya seolah obat bagi luka hati yang selama ini berdarah hingga bernanah."Aku itu punya hati, Melta, sakit hatiku! Dan kamu harus membayar rasa sakit ini."Kutinggalkan wajah penuh dusta itu, segera menelpon polisi untuk melakukan penangkapan hari ini, satu hari sebelumnya aku telah melaporkan kasus Melta pada pihak berwajib."Kamu akan terjerat dua kasus sekaligus, Melta, lihat saja kupastikan istrinya Devan juga akan menuntutmu," imbuhku dengan tatapan benci.Melta seperti kerupuk yang disiram air, nyalinya langsung kempes saat itu juga, air matanya mulai menggenang, beberapa kali ia mencuri pandang ke arah Gian, sedangakan lelaki itu hanya diam terpa
"Sejak masih sekolah Adnan selalu pulang tepat waktu, sehingga waktunya banyak membantu Ibu dan ayahmu, sedangkan kamu setiap hari hanya keluyuran, pantas saja mendiang ayahmu sering murka," ungkap ibu, lalu ia terisak-isak.Entah mengapa aku lebih tertarik pada perdebatan antara ibu dan Gian, sejak dulu Ibu memang sering mengeluh tentang perlakuan anak bungsunya, itu mengapa ia menyuruh Gian untuk tinggal denganku, agar anak itu mau belajar dan menjadi seseorang yang sukses sepertiku.Tapi kenyataannya, bukan kesuksesan yang didapat, malah sebuah kehancuran, waktu itu harusnya aku menolak dengan keras usul ibu, bagaimanapun juga ipar adalah maut, tak seharusnya kami tinggal satu atap.Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin kehancuran ini bisa diperbaiki kembali, mungkin inilah sebuah takdir yang harus kami jalani."Sudahlah, Bu, orang macam dia ga pantas ditangisi, dan kamu Gian! Selain sudah berdosa padaku juga berdosa pada Ibu!"Kupeluk erat wanita yang mulai renta itu,
Mama terlentang di atas lantai dengan kedua mata yang terpejam, matanya enggan terbangun sekalipun kami sudah berusaha menepuk-nepuk pipinya.Tante Ajeng yang tak lain istri Om Feri dan anak keduanya sibuk memberikan pertolongan agar mama cepat kembali tersadar."Jangan pergi, Melta! Kasihan Ibumu!" teriak Om Feri murka.Wanita itu melepas cekalan tangan Gian, lalu berlari menghampiri ibunya sambil terisak."Mama, bangun, maafin aku," ucapnya dengan derai air mata. Namun, mama belum juga membuka matanya."Kita harus bawa Mamamu ke rumah sakit, Melta," sahut Om Feri.Sedangkan Gian entah di mana mungkin lelaki p*ng*c*t itu sudah melarikan diri, aku tak peduli karena di luar sana para security sedang berjaga.Jika ia berhasil melarikan diri itu tak masalah, polisi pasti berhasil mencarinya, lagipula aku tahu semua tempat persembunyian anak itu."Ini semua gara-gara kamu, Adnan!" teriak Melta sambil memandang wajahku penuh bara.Aku mendengus, benar-benar tak tahu malu, harusnya ia berka
Cipratan air panas itu sedikit mengenai celanaku dan Om Feri, jika saja kami tidak reflex menjauh, sudah pasti air panas itu mengenai kaki kami lebih banyak." Astaghfirullah, Melta!" teriak semua orang bersamaan.Sedangkan Melta meraung kesakitan sambil guling-guling di atas lantai, hampir satu panci air panas itu mengguyur wajah juga badannya, bagaimana ia tak tersiksa dengan rasa terbakar."Om sudah bilang jangan nekat, begini jadinya senjata yang kamu ciptakan malah menyerang dirimu sendiri," gerutu Om Feri kesal."Raihan, cepat telpon ambulans, dua sekaligus," perintah Om Feri pada anak sulungnya.Sementara Sandrina menangis kejer saat melihat ibunya terkapar kesakitan di atas lantai, Shakira gegas membawa gadis kecil itu ke lantai atas."Mama ... Mama kenapa?" teriak Sandrina sambil terisak-isak."Mama ga apa-apa, Sayang, ayo kita istirahat di kamar," ujar tantenya sambil membawa tubuh Sandrina dalam dekapan.Aku masih tercenung menyaksikan keadaan yang terjadi, dimana Melta mem