"Tapi Papa ga tahu di mana mamamu sekarang." Mendengar jawabanku ia menunduk kecewa."Kamu ga usah khawatir Papa akan cari Mama sampai ketemu ya."Ia mendongkak dan menatapku dengan ceria."Terima kasih, Pa, semoga Mama cepat ketemu ya aku sudah kangen sekali.""Aamiin." Aku menganggukkan kepala, sepertinya kali ini harus menemui Om Feri dan Tante Ajeng, mereka lah orang terdekat Melta, dan sudah pasti tahu keberadaannya di mana.Sore hari lepas pulang dari kantor aku segera meluncur ke alamat rumah Om Feri yang dulu, setelah satpam mempersilakan masuk aku duduk di kursi teras."Cari siapa, Mas?" tanya seorang wanita, dari wajah sepertinya dia Amanda anak kedua Om Feri."Ini Amanda 'kan anaknya Om Feri?" tanyaku sambil menatap wanita itu."Iya betul, ini ... Kak Adnan?" ia bertanya sambil mengingat-ingat."Iya betul, kamu berubah ya sekarang."Ia tersenyum saat mendengar beberapa pujian dari bibirku, kami mengobrol sejenak basa-basi dan menanyakan Om Feri, ia mengatakan jika ayahnya
"Mel, lehermu kenapa itu merah-merah begitu?" tanyaku sambil menatap batang leher Melta dan wajahnya bergantian."Emmm, anu, Mas aku juga ga tahu, gatal lho ini," jawabnya sedikit gelagapan sambil menggaruk-garuk perlahan, dari gestur tubuh dapat kubaca jika yang ia lakukan memang sebuah kedustaan.Tanda merah itu kecil dan sedikit memanjang, untuk orang dewasa dan sudah menikah, tentu semua akan menilai jika tanda itu buatan suaminya.Namun, aku sama sekali tak pernah merasa membuatnya, fikiran buruk tiba-tiba berkecamuk memenuhi isi kepalaku, benarkah tanda merah itu pertanda jika ada lelaki lain yang bisa memuaskan dahaganya?"Coba sini aku lihat," ucapku sambil menyibak rambutnya."Ini digigit serangga kali, Mas, bentar lagi juga ilang." Ia berkilah, menepis pelan tanganku yang hendak menyibak rambutnya yang terurai panjang.Dalam hati ini sudah tertancap benih keraguan, aku menggeser posisi duduk yang semula menghadapnya, mulai menyuapkan nasi goreng buatannya, sarapan favoritku
"Mel, ini noda apaan?!" tanyaku dengan nada tinggi, sehingga wanita yang sedang menghadap cermin itu menoleh seketika."Apaan sih, Mas." Melta bangkit dan menghampiri, lalu melihat noda yang kumaksud.Ia terdiam sejenak, mungkin sedang mempersiapkan jawaban yang tepat untuk berkilah, aku sudah membaca dari raut wajahnya."I-ini ... iler ... iya ilernya Sandrina, tadi sore dia tidur di sini, aku lupa sprei-nya belum dicuci," jawabnya terbata, lalu bibirnya menyeringai dengan terpaksa.Kupandangi wajahnya dalam untuk mencari kebohongan di sana, ya aku temukan itu, temanku Dendi seorang psikolog setidaknya aku sedikit tahu dan bisa membedakan mana yang sedang berbohong dan tidak."Yakin ini iler Sandrina? bukan iler lelaki lain?" tanyaku menohok, Melta nampak menelan ludah sambil mengedipkan kedua bola matanya.Kena kamu! Lihat saja jika kutemukan siapa lelaki itu maka, akan kuhabisi saat itu juga di hadapan wajahnya.Untuk saat ini aku harus bersikap tenang dan berpura-pura mempercayain
Sejak hari itu, aku selalu menelisik wajah Sandrina yang kata Haris sangat mirip dengan Gian, Ya itu memang benar, ucapan Haris memang tak salah.Hidung, bibir juga kening gadis kecil itu persis seperti Gian, sedangkan rambutnya hitam dan lebat mirip ibunya, sementara aku tak satupun anggota tubuhku yang menurun pada gadis itu.Haris bilang, tak ada jejakku di tubuh Sandrina, walaupun ia bercanda tetap saja hatiku teriris rasanya, jika saja dugaan ini benar Sandrina bukan berasal dari benihku maka, takkan kuampuni mereka sampai kapanpun.Dan akan kupastikan jika mereka akan menerima balasan yang lebih menyakitkan dariku, tunggu saja waktunya Melta!"Elo yakin ga nih, jangan sampai lo berprasangka buruk terhadap adik sendiri," ucap Haris sambil menghisap satu batang rokok."Gua waktu itu becanda Adnan," lanjutnya, sepertinya sahabatku ini menyesali candaannya tempo hari.Saat ini aku sedang berada di sebuah cafe bersama Haris, menceritakan semua masalahku padanya, sejak SMA kami bersah
"Ehhhmmm." Aku berdehem sambil melangkah menghampiri, mereka terperanjat melihat kedatanganku yang tiba-tiba, tubuh keduanya terguncang. Namun, beberapa saat kemudian binar wajahnya terlihat biasa saja, ternyata mereka cukup pintar dalam berakting.Sayangnya, posisi mereka berseberangan terhalang oleh meja makan, jika saja mereka kepergok bermesraan mungkin lain lagi ceritanya."Kamu sudah pulang, Mas, kok suara mobilnya ga kedengaran," sapa Melta basa-basi.Kuteguk segelas air minum hingga tandas, lumayan bisa meredakan panas yang terasa membakar di dalam sana."Mobilku mogok," jawabku tanpa menoleh ke wajahnya."Mau makan?" "Aku sudah makan di luar," jawabku masih dengan nada yang sama."Tumben makan di luar.""Dari pada jajan di luar," jawabku sambil menyeringai lalu pergi meninggalkannya yang sedang keheranan.Kubasahi tubuh yang bercampur peluh, guyuran air shower cukup menyejukkan anggota badan ini, bagaimanapun juga aku harus tetap waras dan berfikir jernih untuk menghadapi m
Ya Tuhan, apakah aku salah? ternyata mereka tak melakukan apa-apa, hanya interkasi biasa layaknya seorang adik dan kakak.Kuusap rambut ini dengan gusar, semakin bingung menghadapi keadaan yang terasa berputar-putar, jika mereka ada main di belakang harusnya kesempatan emas ini digunakan untuknya bersenang-senang.Namun, apa itu? Melta malah terbaring di tempat tidur seorang diri, wanita itu sibuk memainkan gawainya, tanpa ada siapapun yang menghampiri apalagi menggauli seperti dugaanku tempo hari.Agghh menyebalkan! Apa yang kulihat ini nyata? ataukah hanya sebuah dusta? otakku tak bisa berfikir jernih kali ini, gegas aku menelpon Haris untuk membicarakan masalah ini.Untungnya pria itu tak pernah menolak, kapanpun ia siap untuk membantu segala kesusahanku, semoga saja ia bisa memecahkan masalah ini.Hampir satu jam akhirnya Haris datang, ia melepas jas yang membalut tubuhnya."Ada apa, Nan?" tanyanya enteng sambil duduk di sampingku."Lo lihat ini." Aku mengalihkan laptop ke hadapa
Lututku terasa lemas, jiwaku bergetar bagaikan dihantam palu godam, kutatap wajah Haris yang memancarkan kesungguhan, ia sedang tak bercanda, ya Tuhan, bagaimana bisa."Dengerin gua Adnan, Susi ternyata dibayar Melta buat jebak elo," ujar Haris lagi membuat bibirku terbungkam seribu bahasa.Pantas saja semua jejaknya tak nampak di kamera pengintai itu, rupanya semua ini akibat ulah Susi, mereka main cantik pertempuran ini tak semudah yang kubayangkan."Adnan, ko elo bengong." Haris mengguncang tubuhku yang memang terasa kaku."Bentar, Lo tau dari mana kalau mereka kerja sama?" tanyaku penasaran, kuurai degup jantung yang semula berpacu hebat.Ia menyeringai sesaat." Tadi sore gua buntuti si Susi terus mereka ketemuan sama bini Lo dan dia ngasih sesuatu, gua sendiri juga lihat dia mencampurkan itu ke beberapa minuman, setelah ini gua yakin Susi bakal pakai seribu cara supaya elo bisa minum minuman buatan dia," pungkas Haris panjang lebar.Tertegun mendengarnya untung saja minuman itu
Saat mata ini mengerejap nampak wajah Fandy dan Haris menatapku dengan iba, pandangan mereka sayu sepertinya khawatir pada keadaanku yang terbaring lemah, luka batin sungguh mematikan dari pada luka badan.Kubuka bola mata dengan sempurna, aku berada di sebuah kamar besar ber chat serba putih begitu pula dengan furniture lainnya, berjejer dengan warna yang sama, mungkin ini kamarnya Fandi."Elo udah bangun? gimana? enakkan badannya?" tanya Fandi sambil meraba keningku."Iya, gua pingsan ya, Fand?" tanyaku dengan suara bergetar.Bukan hanya suara yang bergetar, rasanya seluruh tubuhku pun ikut bergetar hebat, bagaikan sebuah kapal yang dihantam badai, terombang-ambing di tengah lautan, tak tentu arah, harus apa aku sekarang."Iya kamar gua, santai aja, kalo masih lemes mending Lo tidur lagi," titahnya sambil membantuku yang hendak bangkit.Haris menyodorkan satu gelas air putih. Aku langsung meminumnya seteguk, air itu terasa pahit di lidah, terlebih saat otakku mengingat-ngingat lagi
"Tapi Papa ga tahu di mana mamamu sekarang." Mendengar jawabanku ia menunduk kecewa."Kamu ga usah khawatir Papa akan cari Mama sampai ketemu ya."Ia mendongkak dan menatapku dengan ceria."Terima kasih, Pa, semoga Mama cepat ketemu ya aku sudah kangen sekali.""Aamiin." Aku menganggukkan kepala, sepertinya kali ini harus menemui Om Feri dan Tante Ajeng, mereka lah orang terdekat Melta, dan sudah pasti tahu keberadaannya di mana.Sore hari lepas pulang dari kantor aku segera meluncur ke alamat rumah Om Feri yang dulu, setelah satpam mempersilakan masuk aku duduk di kursi teras."Cari siapa, Mas?" tanya seorang wanita, dari wajah sepertinya dia Amanda anak kedua Om Feri."Ini Amanda 'kan anaknya Om Feri?" tanyaku sambil menatap wanita itu."Iya betul, ini ... Kak Adnan?" ia bertanya sambil mengingat-ingat."Iya betul, kamu berubah ya sekarang."Ia tersenyum saat mendengar beberapa pujian dari bibirku, kami mengobrol sejenak basa-basi dan menanyakan Om Feri, ia mengatakan jika ayahnya
10 Tahun Kemudian.Hari, tahun dan bulan silih berganti tak terasa kini usia pernikahanku dengan Renata sudah memasuki tahun ke sepuluh, Sandrina telah remaja bahkan pemikirannya hampir sepadan dengan orang dewasa, ia berubah menjadi gadis yang cantik, lembut dan berhijab syar'i seperti ibu tirinya.Renata telah berhasil mendidik anak itu ke jalan yang benar, aku bersyukur memilki dia yang tak pernah mengungkit kekurangan diri ini, ia selalu fokus pada kekurangan dirinya dalam melayani suami.Tak ada anak yang dihasilkan dalam pernikahan kami. Namun, kami dikelilingi oleh empat orang anak sekaligus.Arjuna yang tak lain putranya Haura Rahimahullah, kini telah berusia sepuluh tahun, ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tidak manja, itu juga berkat didikan dari istriku tercinta.Sedangkan kedua anaknya Syafiq dan Maryam jauh lebih berprestasi dari Sandrina, kini si sulung Syafiq sudah berumur tujuh belas tahun dan sudah menjadi hafiz Qur'an, sedangkan si bungsu Maryam, kini berusia t
(POV MELTA)Tak ingin lagi menanggapi ocehannya yang pedas, aku melihat cermin yang berada di dinding dekat spring bed tempatku berbaring.Luka bakar wajahku memang sudah pulih. Namun, bekasnya membuat wajah ini terlihat menjadi seram, tak terbayang jika ke luar sana tak mengenakan masker pasti orang-orang akan takut melihatnya.Bukan hanya wajah yang hancur tapi hidupku pun menjadi hancur, jika saja aku tak sedang mengandung mungkin dari kemarin aku sudah mengakhiri hidup ini.Terpuruk tanpa ada seseorang yang memberi kekuatan dan semangat hidup itu terasa menyakitkan, lebih sakit dari pada ditusuk sebuah pedang.Sempat aku berharap agar diri ini mati seperti Gian, ia tak lagi menanggung malu dan cemoohan orang-orang, kenapa ia lenyap semudah itu? setelah semunya hancur tak bersisa.Namun, aku lega karena Justin sudah mendapat hukumannya, yang kudengar dari Om Feri beberapa Minggu yang kalau pria blasteran Amerika itu mengalami depresi, dan selalu mencoba bunuh diri.Aku menyeringai
(POV MELTA)Sembilan bulan sudah janin ini tumbuh di rahimku, kini waktunya ia keluar melihat dunia yang luas dan indah, perutku sudah terasa mulas, entah mengapa janin ini tetap hidup walau aku banyak stres dan banyak makan makanan yang tidak bergizi.Kuharap bayi yang tak jelas siapa ayahnya ini akan lenyap seiring waktu. Namun, di luar dugaan ia begitu kuat laksana sebuah baja."Bu, tolong! Perutku sakit, kayanya mau lahiran ini!" teriakku pada petugas lapas.Dengan napas yang terengah-engah aku berdiri sambil memegang perut yang sudah membukit ini, berteriak lagi pada petugas lapas yang tak kunjung datang memberi pertolongan."Mulesnya berapa menit sekali?" tanya petugas itu dingin."Sudah sering, ini udah mau lengkap pembukaannya, cepat bawa saya ke rumah sakit.""Ya sudah ayo ikut saya.""Aku ga kuat jalan, Bu, sakit," rintihku, wanita berbadan tinggi itu berdecak kesal."Sebentar saya ambil kursi roda," ujarnya ketus, lalu mendelik sebelum pergi.Begitulah nasibku di sini, dise
Ya Tuhan, aku tak kuasa melihat deritanya, kupeluk tubuh mungil itu dan mengusap-usap punggungnya."Dia sudah di alam kubur, Sayang, Tante Ara ga akan pulang lagi ke sini, Ina doain supaya Tante Haura dikasih tempat yang paling nyaman di sana."Ia menangis terisak-isak, meraung menginginkan pengasuhnya kembali."Sini sama Nenek, walaupun Tante Ara sudah ga ada tapi 'kanasih ada bayinya, kalau sudah gede Ina bisa jagain Dede bayi pasti Tante Haura seneng di alam sana." Ibu membawa gadis kecil itu ke pangkuannya.Ia masih menangis meluapkan emosinya, aku faham Sandrina pasti sangat kehilangan, tak mudah mengobati luka hatinya yang sudah terlanjur memiliki harapan."Aku mau Tante Ara, Nek, bilang sama dia suruh pulang ke sini lagi," rengek Sandrina, membuat semua mata menangis karenanya."Dia sudah pulang ke pencipta-nya, yaitu Allah, doa in saja ya," bujuk ibu lagi sambil memeluk erat tubuhnya."Jadi Tante Ara ga bakal temenin Ina main lagi? ga bakal pulang ke sini lagi?""Kan masih ada
"Jangan ngaco kamu, Dati!" bentak ibu tak terima."Anakmu 'kan yang sudah menyebabkan putriku meninggal, jadi kalian harus tanggung jawab, kalau engga aku akan melaporkan masalah ini ke polisi!" teriaknya sambil menyeka ingus dan air mata."Ngelaporin apa lagi? toh anak saya Gian juga lagi dipenjara, dan kamu ga ada bukti sama sekali, kalau mau lapor ya silakan, ga ngaruh ke kehidupan saya dan Adnan!" tegas ibu Ternyata wanita yang berumur senja itu bisa juga berfikir realistis, Bu Dati nampak terbungkam dan melirik suaminya."Ya maksudnya kalian 'kan orang berada seenggaknya kasihlah kami uang untuk biaya tahlilan Haura, gitu lho maksud istriku." Bapak menimpali.Huhh, bilang saja mau duit!"Ya masa cuma buat tahlilan aja harus 1 Milyar, mikir dong, saya bisa laporkan istrimu ke polisi atas kasus pemerasan, mau kamu!" tegas ibu lagi.Sepertinya wanita yang telah melahirkanku itu sangat membenci mantan suaminya, terlihat sekali dari nada suara seolah ada dendam yang membara dalam dad
"Jangan dikeluarkan dulu, Pak, saya akan memberitahukan orang tuanya dulu," ujarku, mereka pun mengangguk.Kuhampiri sepasang suami istri yang sedang berdiri di teras rumahnya itu, sudah nampak kepanikan di wajah mereka."Hei kamu, bawa jenazah siapa kemari?!" tanya ibunya Haura ketus.Aku dan ibu terdiam mempersiapkan jawaban."Ratna! Jenazah siapa yang kamu bawa?" tanya Bapak Haura sekaligus bapakku juga."Itu jenazah ... Haura, dia mengalami pendarahan usai melahirkan dan dokter tak bisa menyelamatkan," ujar ibu"Apaa?! Jangan bercanda kamu ya!" Ibunya Haura mulai histeris."Pak, itu ga mungkin 'kan?!""Kalau kalian ga percaya silakan lihat saja langsung, ini murni kehendak Tuhan, bahkan aku sudah membawanya ke dokter terbaik," jawab Ibu dan mereka terlihat meradang."Kenapa anakku bisa mati?! Apa selama ini kalian menyiksanya?!" tanya ibunya Haura histeris.Orang-orang sekita mulai berkerumun dan banyak melempar tanya, membuat kepalaku pening oleh ocehan mereka yang banyak menduga
"Haura kenapa, Bu?" tanya ibu sekali lagi."Dia sudah tak bernyawa, maafkan saya tak bisa menolongnya, saya harap Bapak juga bersabar dan merelakan kepergian istrinya."Dokter wanita itu mengira jika aku suaminya, bukan hanya dokter itu tapi semua orang yang menyaksikan, dibanding ibu akulah yang paling mencemaskan gadis malang itu, aku pula yang mengurus semua proses persalinannya.Tak mungkin ia pergi sebelum mendapat kebahagiaan sejati yang hendak aku limpahkan, sebagai seorang adik ia juga berhak mendapat kebahagiaan dariku sebagai seorang kakak.Oh Haura! Mengapa kau tak bisa bertahan sebentar saja! Aku cukup frustatsi terlebih penyebab semua ini adalah Gian, si pecund*ng itu!"Maksud Ibu anak saya meninggal gitu?" tanya ibu bergetar, sedangkan tubuh ini sudah hilang keseimbangan.Tuhan, mengapa engkau tak bisa memberikan aku kesempatan untuk menebus semua kesalahan si br*ngs*k itu, dia sudah merenggut nyawa satu wanita."Betul, Bu, yang tabah ya, semua ini adalah kehendak Yang M
Setelah sekian lama hati ini kering laksana gurun Sahara, hadirnya Renata seolah air hujan yang sanggup menumbuhkan berbagai macam tumbuhan.Aku tak mampu membalasnya dengan kata-kata, hanya mampu membalas dengan senyuman dan dekapan mesra.Duhh, suasana pengantin baru ini sungguh berbeda."Waah rumahnya bagus banget Kak Adnan, maa syaa Allah," tutur Haura terpukau, ia sudah terbiasa memanggilku kakak sekarang."Rumahnya lebih gede dari yang kemarin ya, Tante," celetuk Sandrina tak kalah riang."Lebih gede juga lebih mewah," timpal ibu sambil memandang takjub istana di depan matanya.Kami memasuki rumah baru ini dengan bismillah, agar para jin dan sejenisnya tak bisa bermalam di dalam sana."Mas, kita harus bacakan surat Al Baqarah ya, agar para penghuni gaib segera pergi meninggalkan rumah ini," ujar Renata membuatku semakin kagum, karena semua yang ia lakukan pasti sesuai dengan Sunnah Nabi."Iya, nanti malam ya Sayang."Wanita berhijab hitam itu nampak tersipu malu mendengar kata s