Mendengar ucapan Rose yang bernada menyindir, Edward reflek melemparkan pandangan kesal pada wanita itu. Mengacuhkan Oliver yang sedang berdiri di samping istrinya itu dan tengah menatap ke arahnya."Sebaiknya, urus wanitamu, Kak!" tukasnya pada Oliver tanpa melihat sama sekali pada saudara lelakinya itu.Usai berbicara, Edward pergi begitu saja meninggalkan aula. Di sisi lain, Oliver langsung menegur Rose atas ulah istrinya itu."Apa kau tidak tahu betapa sulitnya membujuk Edward agar dia mau menyetujui perjodohannya dengan Lean Marquise?" cetusnya, "Sekarang, kau semakin memperburuk situasi," tambahnya lagi.Meski memarahi sang istri, Oliver sengaja berbicara dengan suara yang sangat pelan pada Rose. Cukup hanya untuk didengar olehnya juga Rose saja. Selain itu, ia melakukannya untuk menghindarkan Rose dari rasa malu.Sedangkan Rose, hanya bisa menatap suaminya dengan wajah sebal. Tanpa ingin membalas ucapan Oliver sama sekali. Lagipula, ia sudah mulai mencintai Oliver sejak suamin
Degg!Edward tertegun menatap Rosalia. "Pergilah, Ed! Jangan sampai kau kehilangan wanitamu," tukas Rosalia lagi."Rosi!""Edward!" balas Rosalia dingin, dengan tatapan mata yang sangat serius. "Kalau kau tidak pergi sekarang, kau pasti akan menyesali keputusanmu ini."Edward menyugar rambutnya dengan gusar. Setelahnya, ia mengumpat sangat keras, "Sial!" teriaknya geram. Lalu pergi meninggalkan Rosalia.Rosalia hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah keponakan suaminya itu. Tapi ia senang karena akhirnya ia berhasil membujuk seorang Edward yang sangat keras kepala."Huft! Semoga saja dia tidak membuat keributan di aula," cicitnya, sembari melangkahkan kakinya untuk menyusul Edward.Lima menit kemudian, Edward yang telah tiba di aula langsung menghampiri Lean yang tengah makan berseberangan dengan Brad. Wanita itu makan dengan tenang, sementara Brad tampak terus memperhatikan Lean. Ia bisa melihatnya dari posisi kepala Brad yang tegak lurus, meski pria itu duduk dengan posisi membe
"Nanti malam, aku ingin bicara padamu," bisik Edward pada Lean, seiring ia menarik sebuah kursi kosong yang berada di sebelah kursi yang terletak tepat di samping Rosalia. Dengan wajah bingung, Lean memperhatikan Edward. Lalu mengucapkan terima kasih pada atasannya itu saat Edward memintanya untuk duduk. Setelah Lean duduk dengan nyaman, Edward pun menjatuhkan bokongnya tepat di samping Rosalia. Ia memiringkan tubuhnya ke arah wanita itu dan mengatakan sesuatu pada Rosalia tanpa menyadari jika Lean tengah menyaksikan apa yang sedang ia lakukan. "Kau salah, Rosi," bisiknya. Rosalia yang ingin menyendokkan makanan ke dalam mulutnya sontak tersentak ketika ia mendengar ucapan Edward yang diucapkan oleh keponakan semuanya itu padanya sambil berbisik di telinganya. Dan kelopak matanya semakin melebar setelah Edward melanjutkan kata-katanya. "Sampai kapanpun, aku akan terus menunggumu," lanjut Edward. Tidak percaya pada apa yang baru ia dengar, Rosalia reflek menoleh. Menatap Edward d
"Lean Marquise, kau ...." Gemas melihat raut polos yang Lean tampilkan di wajahnya, Edward segera memalingkan wajahnya. Huft, setelah merasakan resah selama hampir dua jam, ia akhirnya baru menyadari perasaannya terhadap Lean. Keinginannya untuk menyentuh wanita itu bukan hanya sekedar gairah yang harus ia puaskan. Tidak! Ia, benar-benar menyukai Lean. Tanpa ia sadari, ia telah jatuh cinta pada wanita ini. Meski ia tidak tahu sejak kapan hal itu terjadi. "Maaf, karena aku telah menyentuhmu tanpa seijinmu. Aku hanya ... ingin memastikan sesuatu." Diam-diam Edward melirik Lean, memperhatikan pakaian wanita itu yang tampak berantakan karena ulahnya. "Sebaiknya rapikan pakaianmu terlebih dahulu, kemudian temuilah Rosi. Mungkin dia sedang mencarimu sekarang," titahnya pada wanita itu. Namun Lean hanya bergeming dan terus menatapnya. Melihat tingkah wanita itu, Edward lantas melanjutkan. "Tentang permintaanku tadi, akan kita bicarakan nanti malam. Dan satu lagi, jangan pernah melakukan s
"Singa?" Lean mengerjapkan matanya, menatap Rosalia dengan wajah penasaran."Psst." Rosalia memberi isyarat pada Lean dengan meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. Setelah itu, ia mendekati Lean kemudian berbisik. "Anak dan cucu Tuan Besar adalah sekumpulan pria mesum. Jika mereka menyukaimu, mereka akan selalu menggodamu. Itu berlaku untuk Ernest dan Edward, tapi tidak pada Oliver. Pria itu adalah seorang Pangeran yang terjebak di sekitar singa lapar. Sayangnya, kau juga, Lean Marquise."Lean menunduk lesu setelah ia mendengar penjelasan dari Rosalia. Ia pikir, tadinya Edward merupakan pria yang cukup sopan. Sebab semalam Edward bersedia mematuhi semua syarat yang telah ia tuliskan di dalam surat perjanjian mereka. Tetapi, mengingat apa yang telah atasannya itu lakukan beberapa saat yang lalu padanya, meski ia tidak tahu untuk apa Edward melakukan hal itu, kini ia tentu saja percaya pada Rosalia.Melihat Lean tampak lemas, mengerti dengan apa yang sedang dipikirkan oleh wani
Dengan wajah ragu, Lean mengulurkan tangannya. Meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan Edward yang terbuka. Ketika tangannya menyentuh telapak pria itu, Edward langsung menggenggamnya. Ada kehangatan yang Lean rasakan lewat genggaman tangan Edward yang lembut, seolah pria itu tidak ingin menyakitinya."Terima kasih, Lean Marquise. Mulai hari ini, ijinkan aku menjagamu." Edward menarik tangan Lean ke depan bibirnya, kemudian mengecup punggung telapak tangan Lean sambil melirik wajah wanita cantik itu. Wajah Lean tampak bersemu di hadapannya. Melihat hal itu, ia pun tersenyum smirk.Edward tahu, masih ada banyak hal yang membingungkan baginya saat ini. Tapi di sisi lain, ia juga sadar bahwa ia tidak ingin kehilangan Lean. Ia akui Rosalia benar saat wanita yang pernah mengisi hatinya itu mengatakan padanya jika ia telah jatuh cinta pada Lean. Hanya saja, saat itu ia belum sepenuhnya mengerti tentang apa yang ia rasakan terhadap wanita ini.Tidak, hingga Lean mengangkat tangan
Sore hari, bunyi tanda sebuah email telah masuk ke dalam ponselnya mengejutkan Lean yang tengah sibuk merapikan beberapa brosur yang akan ia dan Rosalia edarkan di hari rabu nanti. Rose tidak ingin terlibat dalam hal itu, karena wanita itu lebih menyukai kerjanya yang tetap mengurus bagian catering. Tugas termudah yang tidak terlalu memakan banyak waktu sebanyak yang ia lakukan bersama Rosalia.Lean melirik jam di layar ponselnya terlebih dahulu sebelum ia membuka email yang baru saja ia terima, waktu telah menunjukkan pukul 4.45 sore saat email tersebut masuk ke dalam ponselnya yang disusul oleh chat dari Edward setelahnya. Edward membatalkan janji mereka untuk berbicara malam ini di apartemennya. Pria itu juga mengirimkan kembali surat perjanjian mereka sebelumnya yang pernah ia kirim kepada Edward. Terdapat tulisan ditolak yang besar dan melintang di setiap halaman dari surat itu.Edward, membatalkan perjanjian mereka. Perjanjian yang mengikat dirinya sebagai wanita simpanan pria i
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun Lean masih termangu di ruang tamu apartemennya. Sejak ia menyelesaikan makan malamnya ia terus memasang telinganya untuk mendengar suara dari apartemen Edward. Tapi hingga saat ini pria itu masih belum juga kembali ke apartemennya, membuat Lean mengingat lagi tentang chat yang telah Edward kirimkan padanya."Huft!" ia menghela nafas lelah, merasa bingung dengan situasi yang sedang ia hadapi saat ini.Sebenarnya, Lean bukan tidak ingin jika hubungannya dengan Edward diketahui oleh semua penduduk di Kota L. Hanya saja, ia memiliki terlalu banyak pertimbangan mengingat betapa banyaknya wanita yang tampak tertarik pada atasannya itu. Tidak hanya di Gail Mart, Lean juga mendapat cibiran dari para wanita yang melihatnya makan di restoran bersama Edward terakhir kali. Lean, merasa jengah menerima semua tatapan itu, tatapan yang seolah berkata. "Siapa wanita tidak tahu diri ini? Apakah dia menjual tubuhnya demi mendapatkan simpati dari seorang Ed
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara