Keluar dari hotelnya yang kumuh, pria ini berusaha berjalan dengan wajar bersama pria yang telah menjemputnya. "Bagaimana keadaan di luar sana?" tanyanya pada pria di sampingnya dengan suara sangat pelan. Pria yang ditanya itu melirik pada pria yang bertanya padanya sekilas, kemudian kembali menatap ke arah parkiran. Pada sedan berwarna metalik yang telah ia kendarai untuk mencapai hotel kumuh ini. "Sangat buruk, Mr. Ernest Gail memperketat pencarian ke segala arah bahkan ke bandara. Sangat sulit untukku tadinya untuk mencapai tempat ini, tapi setelah aku menunjukkan pasportku yang menandakan aku baru tiba di Kota L hari ini, mereka lalu melepasku." Pria brewok itu manggut-manggut menanggapi ucapan dari lawan bicaranya. "Dan kau ... bagaimana caranya hingga kau bisa tidak ditemukan oleh mereka? Maksudku para pengawal pribadi Mr. Ernest Gail?" pria yang berjalan bersama si pria brewok balik bertanya. "Sejujurnya itu tidak mudah," sahut pria brewok dengan tatapan waspada ke segala
Pukul 8.30, di rumah sakit. Charlotte, Rosalia, Oliver, tampak sedang mencemaskan keadaan Lean.Benjamin masuk bersama seorang perawat ke dalam ruangan demi menenangkan Lean, namun sepasang mata Lean yang sayu terus tertuju pada Edward. Bibirnya yang mungil tak henti-hentinya berbisik lirih.Melihat kondisi Lean yang semakin memprihatinkan, Benjamin pun mengusulkan pada Charlotte agar kembali memberi Lean obat penenang supaya Lean tidak stres hingga membahayakan kondisi janin yang berada di dalam kandungannya."Di mana Anton?" tanya Charlotte, pada Rosalia setelah ia memberi ijin pada Benjamin."Lima menit yang lalu aku sudah menghubunginya, dia sedang dalam perjalanan ke sini bersama Ernest dan Ben," jawab Rosalia. Ia melepaskan lengan Lean saat perawat yang datang bersama Benjamin menghampiri Lean."Sebaiknya Tuan dan Nyonya-Nyonya keluar dulu, biar aku dan Dokter Benjamin yang akan menangani Nyonya Lean."Meski tak ingin meninggalkan Lean, Rosalia dan Charlotte terpaksa menyerahkan
"Apa? Dia sudah ditemukan?" Anton tiba-tiba dihubungi oleh salah seorang Bodyguard yang sedang mengejar Bart, hanya berselang beberapa menit setelah kepergian Oliver. "Dia tewas?"Ben dan Ernest yang berada di sekitar Anton, menatap Anton dengan wajah serius.Sementara Rosalia berada di dalam ruangan demi menemani Lean yang telah mulai terpengaruh obat penenang yang telah diberikan padanya.Usai memutuskan sambungan telepon, Anton pun menoleh ke arah Ernest. "Mereka telah menemukan Bart, Tuan. Tetapi pria itu tewas ketika mencoba melarikan diri di sekitar bandara."Ernest mendengus gusar, merasa tidak puas atas kinerja para Bodyguardnya. Padahal, ia telah memerintahkan kepada mereka agar membawa Bart hidup-hidup ke hadapannya. Cukup patahkan saja kakinya, lalu seret pria itu. Sisanya, ia yang akan mengurusnya nanti."Mereka benar-benar tidak becus!" sungut Ernest. Ia lalu diam sejenak sambil menatap Anton, "Sekarang, ke mana mereka membawa mayat bajingan itu?" lontarnya kemudian.Anto
Pukul 10 malam di gudang kosong yang terletak di belakang Gail Group, Ernest yang baru saja tiba bersama Ben sontak memasang wajah muram saat ia melihat sesosok mayat tergeletak di lantai gudang. "Apakah dia benar-benar sendiri ketika kalian menemukannya?" lontarnya kepada para Bodyguardnya, sembari menendang mayat itu dengan ujung sepatunya. Salah seorang Bodyguard maju ke depan, kemudian berbicara. "Kami tidak menemukan seorang pun ada bersamanya ketika dia terlihat di sekitar bandara, Tuan. Bahkan di saat pria ini melarikan diri, dia hanya hanya sendiri, dan kami telah memintanya untuk berhenti. Salah seorang dari kami mencoba memberikan tembakan peringatan ke arah kakinya, tetapi tembakan itu justru mengenai atas lambung pria ini dan membuatnya langsung ambruk di tempat," lapornya. Ernest mengernyit heran, merasa ada sesuatu yang terasa janggal dari laporan Bodyguardnya itu. Semua Bodyguard yang bekerja di bawah pimpinannya, mereka semua minimal telah bekerja padanya lebih dari
Di dalam ruangan itu waktu seolah berhenti, dua pasang mata terus menatap Rosalia dengan harap cemas. Sementara Ernest tampak tengah berpikir keras. "Bagaimana jika kupukul saja dia?" usul Ernest. Rosalia langsung melotot pada suaminya itu, "Sepertinya kau bukan ingin membuatnya terbangun, tetapi justru ingin mengantarnya ke alam baka," sungutnya gemas. "Hmm, kau yang memintaku untuk balas dendam padanya." Ernest mendengus sebal, sembari melemparkan pandangannya ke arah Edward yang terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang putih, seolah dunia di sekelilingnya terbatas hanya pada suara detak jam dan desah napas orang di sekitarnya. Di samping ranjang keponakan bungsunya itu, Rosalia berdiri harap-harap cemas menunggu keputusannya. “Ernest?!” desak Rosalia, suaranya bergetar geram, “Apa kau ingin melihatnya terus seperti ini?” Ernest memijat pelipisnya, entah mengapa ia tiba-tiba didera rasa pusing dan mual. Dengar! Ia sama sekali tidak takut terhadap Edward, oke? Namun bela
"Uhuk ... uhuk ...." Edward kembali terbatuk setelahnya, cahaya terang lampu di dalam ruang penanganan khusus bahkan terasa menyilaukan matanya yang telah terpejam selama berhari-hari. Kepalanya berdenyut, dan rasa sakit di bagian bekas ia terkena tembakan membangkitkan kesadarannya bahwa ada seseorang yang menginginkan kematiannya. Namun, pikiran itu seketika teralihkan ketika ia mengingat tentang Lean, kekasihnya yang sempat terlibat pertengkaran kecil dengannya sebelum penembakan itu terjadi. "Apa yang telah terjadi padanya?" Edward menoleh, melihat ke arah sang paman sambil menunjuk pada Lean. "Mengapa ... dia ada di sini?" tanyanya seraya berusaha untuk bangkit, tetapi saat bagian dadanya berdenyut nyeri— dengan terpaksa Edward kembali menyandarkan punggungnya ke bantal."Tenang, Edward!" Rosalia bergegas menghampiri dan menepuk lembut punggung tangan Edward. "Kau baru saja terbangun setelah dua hari. Jika kau ingin segera pulih, kau harus beristirahat," nasehatnya. "Apa yang
Semalam suntuk Edward sama sekali tidak bisa memejamkan matanya, hanya menatap ke arah Lean dengan wajah cemas. "Paman Leon dan Eve, sore ini mengunjungi rumah sakit. Mereka sempat berbicara pada Ibumu, bertanya tentang pernikahanmu dengan Lean apabila kau masih belum juga terbangun hingga hari pernikahan kalian tiba." Ini yang Rosalia katakan padanya sebelum wanita itu diantar pulang oleh Ben ke mansion pamannya. "Sudah saatnya dia pulang, Ed. Bukankah kau juga sudah terjaga, Paman ingin agar Rosi beristirahat di mansion malam ini. Nanti, Paman dan Anton yang akan menemanimu dan Lean di sini." Edward hanya mengiyakan ucapan pamannya itu saat itu, lagipula ia melihat wajah Rosalia sudah tampak kelelahan. Selain itu, Rosalia juga sama seperti Lean, tengah mengandung buah cintanya bersama pamannya. "Apa yang mereka pikirkan? Mengapa mereka ingin membatalkan pernikahanku dengannya, dan Paman ... Paman bahkan telah memilihkan jodoh untuknya. Apa mereka pikir aku tidak akan bangun lag
Seakan mengerti apa yang Edward inginkan, Dokter yang baru saja memeriksanya segera mengajak perawat yang telah membantu Lean untuk meninggalkan ruangan di mana ia dan Lean berada. Lean tergugu kala sang Dokter dan perawat itu berpamitan padanya. "Anda belum boleh berdiri terlalu lama, Nona," nasehat perawat wanita itu sebelum ia mengikuti sang Dokter. Lean mengangguk mengerti. "Hanya sebentar." Ia pun tersenyum kaku setelahnya dan mengangkat tangannya. Sebagai isyarat bahwa ia sedang baik-baik saja. Ruang penanganan khusus sontak hening beberapa saat kemudian, hanya menyisakan Edward yang tengah menatap Lean sembari tersenyum nakal. "Kau pergi keluar Kota L, huh?" Lean menepuk dada Edward, beberapa senti dari tempat Edward menerima timah panas. Membuat kekasihnya itu sontak mendesis. "Ma-afkan aku, aku lupa kalau kau terkena tembakan di bagian dada," cetusnya dengan wajah cemas. Edward memajukan bibirnya demi menggoda Lean, dan saat ia melihat tatapan kekasihnya itu berubah men
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara