Namira bersiap lebih pagi dari biasanya, sebab, hari ini ia ke kantor tidak mengendarai mobilnya sendiri. “Kemana ya mobil gue? Kenapa gue kemarin nggak tanya sama Pak Dewa sih!” Namira kesal dengan dirinya sendiri. Kesalahpahaman yang hampir terjadi di kamar hotel Dewangga membuat buyar segala yang ada di pikiran Namira. Tidak hanya mobil, Namira juga lupa menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya harus selesai pagi ini. “Gue sial banget. Sudah kemarin nangis di depan Pak Dewangga, ketemu mantan dan pacar barunya, terus lupa sama banyak kerjaan gue,” Namira tak berhenti ngedumel. “Oh iya satu lagi, mobil gue nggak tahu dimana keberadaannya!” tambahan dari Namira seraya melempar handuknya ke kursi.“Halo, Nimas. Lo bisa nggak jemput gue hari ini?” suara Namira lebih kencang karena ia meletakkan ponselnya di atas meja, sementara ia sedang merias wajah dan rambutnya. “Hah? Tumben banget. Tapi ini kan juga masih pagi,” jawab Nimas tidak memberikan kepastian untuk sahabatnya yang sedang run
Curahan isi hati Namira masih terus dibahas sampai ke kantor. Nimas dan Namira saling beradu pendapat. Nimas melakukan ini juga untuk kebaikan sahabatnya. Ia tidak ingin sahabatnya terpenjara dalam masa lalunya. Namira berhak bahagia dengan pasangan masa depannya. “Ra, gue bisa bantu apa agar Lo bisa melupakan perasaan Lo ke Aidan? Atau setidaknya lo nggak terus menerus mikirin Aidan. Inget, Aidan sudah punya pasangan baru,” terang Nimas menghampiri Namira di ruang kerjanya. “Gue juga nggak tahu harus bagaimana. Bukan gue yang mau ini semua. Tapi, perasaan gue,” jawab Namira seolah masih enggan pergi dari masa lalunya. “Bukan perasaan lo yang sulit, tapi lo yang belum mau. Betul, kan?” tebakan Nimas kali ini membuat Namira kesal.Namira juga tidak inigin ada di posisi sekarang. Sulit melupakan mantan kekasih, apalagi mantan sang mantan sudah memiliki pasangan baru. “Ra, denger ya gue nggak mau lo dipermalukan sama perasaan Lo sendiri. Gue akan bantu lo membuktikan sama semua orang kal
“Kenapa Dewanti sekarang jadi sering datang ke kantor, ya? Sebelumnya nggak pernah seperti ini perasaan,” batin Namira di dalam ruang kerjanya. “Ah mungkin ada perlu, atau jangan-jangan akan ada bisnis yang mereka bangun bersama?” pertanyaan itu terus timbul dalam hati Namira. Namira tidak mau mengucapkan dengan gamblang meski di ruangannya sendiri. Sebab, ia takut akan ada telinga yang nantinya menjadi mulut untuk menyampaikan ucapannya kepada orang lain. Tangannya sibuk dengan huruf-huruf yang terpasang di keyboard laptop, namun, pikirannya melalang buana. Fokusnya terbagi oleh banyak hal. Perasaan pribadinya yang tak kunjung sembuh, tentang pekerjaan, dan pastinya perihal Dewanti yang kini sering datang ke kantor bertemu dengan Dewangga.“Ra!” panggil Ailin setelah ia membuka pintu ruang kerja Dewanti. “Ailin, ada apa?” tanya Namira yang tadinya mau marah karena Ailin tidak mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk. “Ngelamun saja gue liat,” celetuknya sembari melanjutkan masuk
Pekerjaan memaksa Namira pulang lebih malam dari biasanya. Badannya sudah protes untuk tidak lagi memberinya kegiatan, namun apa daya Namira hanyalah seorang sekretaris yang tak bisa meninggalkan kantor lebih dulu jika Dewangga belum beranjak dari kursi kerjanya. “Namira,” panggil Dewangga dari ujung pintu. Pintu ruangan Namira sengaja tidak ditutup, Namira ingin lebih mudah memantau Dewangga. “Namira, bisa ke ruangan saya sekarang?” ucap Dewangga yang tiba-tiba sudah berada di depan ruangan Namira. Namira melepas pekerjaannya saat itu. Ia langsung berdiri dan menyambut kedatangan Dewangga. “Bapak kenapa ke sini? Kan bisa telepon saya, minta saya ke ruangan Bapak,” jawab Namira merasa tidak enak.Dewangga tidak menjawab apapun, ia hanya tersenyum tipis dan meninggalkan ruangan Namira. Tanpa aba-aba lagi, Namira pun mengikuti permintaan Dewangga tadi. Sembari berjalan menuju ruangan Dewangga, tangannya sibuk memeriksa ponsel. Namira tidak menemukan panggilan atau pesan dari bosnya. Ia
Dewangga menarik lembut punggung tangan Namira yang tergantung bebas. Ada gerakan kecil atas respon dari apa yang Dewangga lakukan. Namira menoleh ke belakang, ingin tahu siapa seseorang yang berani mengelus punggung tangannya tanpa izin darinya. “Pak Dewangga?” panggil Namira seakan tak percaya tangannya ditarik mesra oleh bosnya sendiri. “Ini yang kamu mau?” tanya Dewangga tidak mempedulikan keterkejutan yang Namira alami. “Maksudnya?” Namira tak mengerti. “Kenapa berdiri di atas sini, pandangan ke bawah seperti tidak ada pemandangan lain yang bisa kamu lihat,” ujar Dewangga tanpa melepas tangan Namira. Di bawah gedung terlihat Aidan dan Laras sedang bermesraan. Laras memperlihatkan sikap manjanya. “Belum move on?” pertanyaan Dewangga mengundang ketidaknyamanan Namira.“Emm, nggak perlu dijawab. Kita sekarang harus pergi, Namira,” ajak Dewangga kembali menarik tangan Namira. Namira tidak memberi penolakan. Ia berjalan mengikuti langkah kaki Dewangga. Namun, ketika seseorang pegawai
Perjalanan kali ini tidak banyak yang bisa Namira ceritakan. Di pesawat, tak terjadi hal yang menarik. Namira lebih memilih untuk beristirahat untuk menyimpan energinya sebelum ia memforsis dirinya ketika sampai di Surabaya nanti. Dewangga membiarkan sekretarisnya mengunci mulut selama perjalanan. Di pikirannya, mungkin Namira sedang lelah atau memang sedang tidak ingin banyak bicara. Namun nyatanya, ada sesuatu yang Namira sembunyikan. Namira sedang tidak ingin banyak bertukar pandang dengan Dewangga. Sekarang ia sudah mulai sering salah tingkah dan sampai mati gaya. “Hmm, capek juga ya pura-pura tidur seperti ini,” batin Namira yang dari tadi memejamkan matanya. “Kamu nggak mau makan apapun begitu?” tanya Dewangga seperti tahu drama yang sedang Namira jalani.Namira bangun dari kepura-puraan yang begitu membuatnya lelah. Ia meregangkan otot kepalanya, lalu memulai mengeluarkan suaranya melalui sebuah pertanyaan. “Bagaimana, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” pertanyaan seolah Namira t
Jika tidur di rumah, Namira pasti akan mencari guling untuk ia dekap dalam peluknya. Tidurnya juga akan menjadi lebih nyaman dan nyenyak ketika benda itu bisa menjadi satu dalam selimut bersamanya. Kali itu, Namira berusaha mencari keberadaan guling. Ia ingin sekali memeluk erat dan melanjutkan mimpinya. Karena mata masih terpejam, pun nyawa belum berkumpul penuh, Namira memeluk seseorang yang ada di sampingnya. Ia mencoba menarik. “Hmm berat sekali guling ini,” gumamnya dengan mata yang masih tertutup rapat. Namira berusaha dengan tenaga yang lemah karena rasa kantuknya belum pergi. “Dewangga!” teriakan dari luar kamar hotel membangunkan Dewangga dan Namira. “Aaaaaa!” teriak Namira begitu sadar di sampingnya ada Dewangga.“Bapak, sejak kapan tidur di sini? Kenapa nggak tidur di kamar Pak Dewangga? Saya sudah pesan dua kamar yang berbeda,” protes Namira. “Namira, ini kamar hotel saya,” jawab Dewangga belum sepenuhnya sadar. “Hah?” seru Namira. Lalu ia mengamati seisi ruangan. Matanya
Ruang kerja Namira dan Dewangga sunyi tanpa suara, sepi tanpa ada tanda kehidupan di sana, kecuali, jam yang menggantung di dinding. Suaranya terdengar jelas saat ada orang yang melewati ruangan itu. Nimas merasa sedikit kesepian karena hari itu tidak ada sahabatnya yang bisa ia ajak bergosip, ngobrol, dan pastinya makan siang. Tak ada karyawan lain yang dekat dengan Nimas kecuali Namira. “Hei, kemana bestie lo itu?” tanya Ailin yang baru saja datang menghampiri tempat kerja Nimas. Nimas memberikan lirikan tajam. Ia enggan menjawab pertanyaan yang baginya tidak penting itu. “Tuli Lo? Gue doain beneran nggak bisa denger!” celetuk Ailin kesal karena dicuekin oleh Nimas. Walaupun sudah mendengar sumpah serapah dari Ailin, Nimas masih tidak mau menoleh ke arahnya.“Ih dasar sombong!” seru Ailin seraya menggebrak meja Nimas. Nimas meradang. Kepalanya sudah mulai panas, lalu membakar emosinya dengan cepat. Ia berdiri dari tempat duduknya, kemudian bersiap meladeni umpan yang diberikan oleh
Para pegawai Dewangga kini kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Meski telah dihadang oleh berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja kerja masing-masing, suasana hati mereka tetap masih terbawa ceria. Hasil dari staycation tiba-tiba yang diadakan oleh Dewanti. Meski sedikit lancang karena tak minta persetujuan dari Dewangga, Dewanti ternyata berhasil membahagiakan pekerja di kantor Dewangga. Hati Dewanti semakin besar. Ia merasa dirinya akan memenangkan hati semua orang. “Seru banget ya, kemarin! Andai aja tiap bulan ada staycation, kita pasti bakal betah kerja di sini. Walaupun lembur, banyak kerjaan, sering kena marah, tapi kalau ada acara kayak kemarin sih gue betah,” celetuk Ailin dengan geng gosipnya itu. Nimas datang mendengar ocehan Ailin yang cukup kencang hingga bisa didengar meski belum sampai ke meja kerjanya.“Pagi, Nimas!” sapa Ailin iseng mendekati Nimas. Wajah Ailin tidak mencerminkan keceriaan sama sekali. Wajahnya lecek seperti pakaian yang masih kusut karena b
“Semua itu karena kesalahan Papa Dewangga. Beliau yang membuat perusahaan Dewangga hancur.” Anggara menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan Dewangga sebelum hadirnya Namira. Dewangga sudah berjuang sejak lama. Namun, keringatnya tak ada yang melihat. Semua menilai bahwa Dewangga hanya mampu seperti sekarang. “Apa yang membuat hutang?” Namira bertanya terus dengan detail. Ia ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang yang saat itu masih bertengger di hatinya. “Hutang,” jawab Anggara lalu menoleh ke arah Namira seolah memberi garis bawah. “Jadi...” “Iya, pertengkaran Dewangga dan Papanya bermula dari hutang perusahaan. Dewangga sudah susah payah membangun perusahaan itu, tetapi, Papanya justru menghancurkan sekejap dengan hutang yang menumpuk,” jelas Anggara lagi. “Kepergian dan Dewangga bukan tanpa alasan. Tapi, karena dengan hal itu Dewangga bisa damai dengan keadaan.”Selama ini diamnya Dewangga menyimpan banyak sekali luka. Dingin sikapnya melampiaskan segala kecewa yang seja
Akhir pekan ajaib bagi para pegawai kantor Dewangga. Untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan liburan bersama tanpa harus pusing dengan biaya atau pun lainnya. Mereka datang dengan outfit terbaik masing-masing. “Pasti bakalan seru banget!” celetuk Ailin dengan penampilannya yang begitu mencolok. Ailin juga geng gosipnya turun dari mobil, masuk ke villa yang sudah Dewanti sewa untuk liburan pegawai kantor calon suaminya. “Nanti fotoin gue disetiap sudut villa, ya!” pinta Ailin kepada salah satu temannya. Temannya hanya mengangguk lalu terus berjalan, karena sudah tidak sabar mengetahui isi di dalam villa. “Hai semua!” sapa Dewanti. Ia bersama Dewangga dan Anggara sudah lebih dulu sampai di villa. “Hai!” balas karyawan yang baru saja sampai di villa.Tangan Dewanti terlihat menggandeng Dewangga. Karena merasa tidak nyaman, Dewangga berusaha melepas gandengan tangan itu. Ada seseorang yang Dewangga cari, dari tatapan juga gerak tubuhnya menandakan ia sedang menanti. “Sudah datang sem
“Ada yang luka?” Namira masuk membawa setumpuk berkas. Tetapi, hal pertama yang ia tanyakan bukanlah tentang pekerjaan. Namira dan Dewangga hanya bisa saling menatap. Banyak sekali perasaan yang ingin mereka tumpahkan satu sama lain. Sayangnya, saat itu waktu dan keadaannya nya tak mendukung mereka menyuarakan isi hati masing-masing. “Ada apa, Namira?” Dewangga memulai obrolan setelah keheningan yang panjang. “Ada beberapa berkas yang harus diperiksa juga ditandangani,” jawab Namira lalu ia duduk di depan meja kerja Dewangga. Dewangga masih tidak percaya Namira masuk ke ruangannya ketika ia sedang menjadi sosok tak waras karena cinta. “Bukan itu. Tadi apa yang kamu tanya saat pertama masuk ke ruangan saya?” Dewangga ingin mendengar lagi pertanyaan dari Namira tadi. Rasanya ada secuil perhatian dari Namira untuk Dewangga.Tangan Dewangga merah. Rasa sakitnya tak ia hiraukan. Biar mengalir begitu saja. “Apa ada yang luka?” Namira mengulang sesuai permintaan Dewangga. “Sejak kapan kamu a
“Bapak sengaja mau mencelakai saya? Apa Bapak belum puas sudah melukai perasaan saya?” pertanyaan yang sungguh menggores lubuk hati. “Saya salah apa, Pak? Bapak tega sekali melakukan ini kepada saya,” sambung Namira. “Namira, tenang dulu. Saya bisa jelaskan semuanya. Kamu salah paham,” pinta Dewangga, ingin mendekat ke arah Namira tetapi Namira menolak. “Tolong tetap di situ saja,” perintah Namira untuk Dewangga yang hampir berpindah tempat ke samping Namira. “Saya tahu kejadian itu, tapi bukan berarti saya yang melakukan itu, Namira. Saya nggak mungkin tega melukai orang yang saya cintai,” jelas Dewangga yang tak mau didengar oleh Namira. “Lalu apa?” “Saya mengutus seorang menjadi mata-mata saya,” aku Dewangga semakin membuat Namira tak habis pikir.“Untuk apa?” Namira duduk, mencoba tidak membesarkan masalah yang sebenarnya menurut Namira ini adalah masalah besar. “Untuk jagain kamu,” jawab Dewangga. Suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Namira panik. Dewangga langsung mendekat
Hubungan yang sudah diselesaikan ternyata bukan berarti berakhir. Seperti hubungan Namira dan Aidan yang kembali terjalin. Mungkin masih ada sisa rasa yang dulu mereka miliki, atau hanya sekedar ingin mengulang lembar yang tak mereka temukan pada orang lain. “Kita salah nggak sih?” tanya Namira disuatu malam ketika Namira dan Aidan sedang makan malam bersama. “Kenapa salah?” “Salah karena memulai hubungan yang pernah berakhir.” “Kalau kamu pernah dengar, hubungan lama yang dimulai lagi seperti halnya membaca novel yang sama berulang kali, menurut aku itu hanya sebuah opini. Anggapan yang belum tentu terjadi,” ungkap Aidan. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Yang kita bisa hanya memperbaiki hari ini untuk masa depan itu,” tambah Aidan.“Memangnya kamu setuju?” Aidan kini berbalik tanya ke Namira. “Emm.. enggak juga sih,” jawab Namira masih belum yakin akan pendapat itu. Tetapi ia juga tak yakin hubungannya akan lebih baik dari sebelumnya. “Menurutku, semua oran
Setelah malam yang menyebalkan terlewati dengan tidur, kini Namira siap kembali menyongsong pagi untuk bekerja. Pakaiannya sudah rapi. Namira selalu terlihat fashionable dalam setiap hari kerjanya. Baginya, itu adalah salah satu cara menghargai dirinya sendiri juga menambah semangat menjalani kesehariannya yang padat. “Apa ini?” katanya panik ketika menemukan sebuah kotak di depan pintu rumahnya. “Perasaan gue nggak pesan apa pun, kenapa ada paket yang datang?” Namira heran dengan kotak coklat misterius itu. “Ambil nggak ya?” tanya Namira bimbang. “Tapi kalau gue ambil terus isinya bahaya gimana?” Namira dilema. Sudah menunduk untuk mengambil paket itu, tetapi gagal karena pikirannya yang buruk muncul. “Apa mungkin dari Papa dan Mama? Kenapa nggak ada yang kabarin gue kalau mau kirim paket?” Namira terus bertanya-tanya sendiri.“Gue tinggal aja deh. Nanti gue buka pulang kerja,” ucap Namira menyingkirkan kotak coklat itu ke area pinggir pintu rumahnya. “Gue harus cari asisten rumah ta
Aidan meraih tangan Namira, ia menahan sang mantan kekasih agar tidak mendekati Dewangga. “Kenapa datang ke sini? Ada perlu apa lagi?” tanya Aidan seolah Aidan pemilik Namira saat itu. Namira tak menyangka Aidan akan bersikap demikian. Ia pun heran, mengapa tubuhnya memberi respon sesuai permintaan Aidan. Ia berhenti dari langkahnya mendekat ke arah Dewangga dan membiarkan Aidan yang mengambil alih. “Lo siapa? Gue ke sini ada perlu dengan pemilik rumah,” jawab Dewangga tetap ngotot masuk ke dalam rumah Namira. Malam itu, Namira membuka lebar pintu rumahnya, sebab, ia hanya berdua bersama Aidan di ruang tamu. Tak ingin ada pikiran yang buruk, Namira memilih untuk membuka lebar pintu rumahnya.“Namira, kenapa kamu biarkan dia datang ke sini lagi? Kenapa kamu masih terima dia?” Dewangga kecewa karena Namira menerima Aidan dengan baik. Namira hanya menghela napas. Tak memberi jawaban apa pun, padahal Dewangga menanti Namira membuka suara dan memberi penjelasan. “Tunggu!” Aidan menghadang
Dewangga turun dari mobilnya. Ia melihat Namira sedang duduk ditemani oleh Aidan. Ketika Dewangga turun, Namira berusaha menjauh dari Aidan. “Ngapain Namira sama laki-laki itu?” Dewangga kesal meski tak biasa ia utarakan langsung. Kemudian, pintu sebelah kiri mobil Dewangga terbuka. Namira melihat Dewanti turun dari sana. Dewanti terlihat sangat bahagia. “Aku kira kamu sendiri,” batin Namira. Namira langsung mengabaikan rasa tidak enaknya karena sedang berduaan dengan Aidan. Ia mendekat ke arah Aidan dan meminta Aidan untuk membantunya mengobati rasa sakit di kepalanya secara tiba-tiba. Aidan pun terkejut atas sikap Namira barusan. Tanpa basa basi atau pertanyaan lain, Aidan meraih tangan Namira untuk lebih dekat dengannya dan melihat di kepala Namira, apakah ada luka serius.“Sebelah mana yang sakit, Ra? Apa perlu kita ke dokter? Aku takut terjadi sesuatu,” kata Aidan cemas Namira mengeluh sakit pada kepalanya. “Emm, coba tolong kamu periksa,” pinta Namira. Ucapannya mengarah ke Aida