Apa yang diharapkan Hani dengan sebuah jawaban dari Niko. Kemunculan Nita secara tiba-tiba membuat Niko mengurungkan niatnya untuk menjawab pertanyaannya.Tangan Nita bergelayut manja di lengan Niko. Tanpa rasa risih sedikit pun, membuat Niko menghempaskan kasar tangan Nita."Mas Niko," suara manja Nita dibuat selemah mungkin.Niko enggan menjawab. Dalam hatinya ingin sekali rasanya dia memuntahkan seluruh isi perutnya. Jika saja dia tak tahu, mereka sedang merencanakan sesuatu di dalam rumah ini. Mungkin hati Niko masih bisa berbesar hati untuk sekedar mengobrol bersama wanita itu."Hani, masuklah ke rumah utama. Buatkan saya secangkir kopi panas," pinta Niko sambil berbalik lalu pergi meninggalkan kedua wanita itu."Biar aku saja ya mas, teh buatanku jauh lebih enak dibandingkan kopi buatan Hani," teriak Nita pada Niko yang sudah memasuki rumah utama.Nita lalu memandang ke arah Hani sambil memiringkan bibirnya."Aku semakin yakin, jika kamu sudah memelet mas Niko deh."Hani mengge
Wajah Hani memanas, saat mengingat kembali kejadian di kamar tuan Niko. Seberapa banyak pekerjaan yang dia lakukan, bayangan wajah tuan Niko berada tepat di hadapan wajahnya selalu saja terngiang. Sesibuk apa pun pekerjaannya, pasti wajah tuan Niko akan muncul kembali."Aduh Hani, sadarlah," gumamnya dalam hati sambil mengetuk keningnya.Apa lagi saat tuan Niko bergurau dengannya. Seakan jarak status antara mereka tak jauh sama sekali. Tapi Hani sadar akan posisinya, apa lagi ada batasan yang harus dia buat untuk dirinya sendiri. Jangan sampai dia terlena dan larut dalam sebuah rasa yang tak semestinya. "Tidak Hani kamu tak boleh terjembab jatuh pada kubangan lumpur. Tetaplah menjadi diri sendiri. Suatu saat kamu pasti bisa terbebas dari belenggu permainan jahat Bram." Tak hentinya Hani terus meyakinkan dirinya agar tetap berdiri pada posisinya di dalam rumah ini.Jika nyonya Greta tahu Niko ingin berteman dengannya. Pasti nyonya Greta akan melarangnya. Hani menggeleng pedih, bahkan
Hani masuk ke dapur. Membuka lemari penyimpanan lalu membaca satu per satu kemasan yang ada di sana."Ketemu," gumam Hani tersenyum senang. Dia lalu melakukan apa yang diperintahkan tuan Niko padanya.Sebenarnya Hani juga tak tahu apa alasan Niko untuk melakukan sesuatu itu. Saat Nita lengah, dan menyibukkan diri menumis sayuran di kompor, Hani membubuhkan bubuk dari kemasan yang dia ambil di olahan daging sapi yang dibuat oleh Nita.Hani mengacungkan jempolnya ke arah tuan Niko, tanda dia sudah melaksanakan perintahnya. Niko tersenyum puas, lalu segera berlalu pergi dari sana. Melanjutkan pekerjaannya di lantai atas.Hani menghela nafas panjang, masih ada beban berat di dalam hatinya. Seandainya dia dan Bram sudah resmi bercerai, mungkin tak sesakit ini rasanya. Melihat dan mendengar dengan mata kepala sendiri orang yang pernah singgah di hatinya, dan pernah berkomitmen hidup bersama dengannnya malah bercumbu ria dengan wanita lain. Hati perempuan mana yang tak merasa sakit.Jika da
Mata mbok Rumi melotot meminta penjelasan dari Hani. "Katakan jujur pada mbok, apa yang sudah kamu lakukan?"Hani menajadi gugup, apa yang terjadi pada nyonya Greta jika dipikir-pikir memang adalah ulahnya. "Hani?" Mbok Rumi terus mendesaknya agar mau menjawab pertanyaannya."Ma--afkan sa--ya mbok."Hani tertunduk lesu. Merasa gugup karena perbuatannya sudah ketahuan. Dia takut mbok Rumi orang kepercayaan nyonya Greta di rumah ini akan mengadukannya."Kenapa kamu meminta maaf, apa kamu sudah membuat kesalahan?"Tiba-tiba suara Niko mengagetkan mereka berdua."Tuan Niko, saya.."SsstttttNiko menutup bibir dengan telunjuknya memotong pembicaraan mbok Rumi."Semuanya adalah rencanaku, apa yang dilakukan oleh Hani adalah suruhanku. Aku minta mbok untuk menutup mulut. Jangan sampai kakakku tahu yang sebenarnya.""Baik tuan, saya mengerti."Mbok Rumi mengangguk."Ayo Hani, kita kembali bereskan pekerjaan," ajak mbok Rumi, diikuti oleh Hani.Hani menghela napas lega, melihat punggung Niko
"HANI !"Teriak Niko mengagetkan ibu Siti dan Nita.Karena panas terik membuat Hani tak bisa mendengar suara Niko yang memanggilnya dengan suara yang keras. Niko berjalan melangkah menuju Hani yang masih menggunting rumput."Apa yang kamu lakukan di sini?""Tuan, kenapa anda berada di sini?""Aku sedang bertanya padamu, kenapa malah menjawab dengan pertanyaan?"Hani tertawa kecil, sambil menggaruk kepalanya. Keringatnya bercucuran di keningnya. Membuat Niko merasa kasihan."Ayo ikut aku!""Tapi tuan, pekerjaannku belum selesai.""Ikut aku, atau aku akan membanting semua orang di hadapanmu," ucap Niko tegas.Sedang Hani melirik ke arah teras, membayangkan tubuh kekar Niko membanting ibu Siti dan Nita, Hani merasa ngeri sendiri."Ya sudah, aku ikut," jawab Hani.Niko mengajak Hani masuk ke dalam rumah."Perlakukan pelayan di rumah ini sesuai porsinya masing-masing. Jangan seenaknya memerintah, jika tak pernah mengerluarkan sepeser pun untuk upah mereka," tekan Niko pada ibu Siti dan Nit
Niko menghentikan laju mobilnya di garasi. Lalu masuk ke dalam rumah. Hari ini pekerjaannya menumpuk, dan dia memilih segera menyelesaikannya di kantor. Tubuhnya terasa lelah, dan berniat segera naik ke lantai atas beristirahat tenang di kamarnya. Saat akan naik tangga, tubuh Hani terbaring menelungkup di atas lantai."Bangun Hani, bangun."Niko membalikkan tubuh Hani, dan betapa terkejutnya dia, pelipis Hani mengeluarkan banyak darah.Tanpa berpikir panjang Niko mengangkat tubuh Hani. Sepertinya Bram dan Greta tak menyadari kejadian ini, masih terlelap dalam dunia mimpi mereka masing-masing. Niko membuka pintu mobil dan membaringkan tubuh Hani di jok belakang. Lalu kembali ke depan dan mengemudikan mobilnya secepat mungkin agar segera tiba di rumah sakit.***Satu jam yang lalu, Hani tak sedikit pun mengeluh dengan semua perintah ibu Siti.Semua yang diperintahakan oleh mereka Hani lakukan dalam diam. Semua itu membuat hati ibu Siti dan Nita tambah dongkol.Apa lagi saat Nita mulai b
Mobil sport milik Niko masuk ke pelataran parkir sebuah Rumah Sakit ternama di kotanya. Beberapa petugas menyambut kedatangan Niko dengan mendorong sebuah brangkar dan membaringkan tubuh Hani. Lalu membawa Hani menuju ruang UGD. Seorang perawat mendekati Niko dan memintanya menyelesaikan administrasi."Tuan , silahkan menyelesaikan admistrasi dahulu. Baru kami bisa menangani pasien.""Tidak bisakah kalian menanganinya dulu. Apa aku kelihatan seperti tak memiliki uang?"Ketus Niko pada perawat di meja resepsionis."Ini sudah prosedur Rumah Sakit tuan," jawab perawat itu hormat."Baiklah, apa saja yang kalian inginkan. Cepat tangani pasiennya."Perawat itu meminta kartu pengenal Niko.Sambil mengambil kartu pengenalnya dan mengisi data, mata Niko terus mengawasi Hani yang sedang terbaring tak sadarkan diri di ranjangnya.Beberapa dokter terlihat berlarian ke arah ranjang Hani. Entah apa yang mereka lakukan, setelah tahu tanda pengenal milik Niko. Membuat semua dokter ahli di Rumah
Niko mengamati dengan seksama, sosok yang berada di dalam lembar foto di tangannya. Memastikannya berulang kali, dan menyangkal jika itu bukan orang yang sangat dikenali olehnya. Berulang kali dia menggelengkan kepalanya. Namun hatinya membenarkan apa yang tak ingin diiyakan oleh pikirannya.Niko mengacak rambutnya frustasi. Sambil meremas lembar foto di tangannya. Merasa dibohongi selama ini. Baik oleh Hani maupun Bram."Tidak akan aku biarkan kau mengacaukan hidup kakakku. Tak semudah itu. Kau harus membayar mahal atas kebohongan mu, bajingan!"Niko mengeratkan rahangnya, emosinya benar-benar harus dilampiaskan saat ini.Setelah membereskan pakaian Hani. Niko kembali mengendarai mobilnya membelah jalanan kota menuju ke Rumah Sakit. Tanpa menunggu waktu yang lama, Niko masuk ke ruangan Hani. Meyerahkan tas berisi pakaiannya."Terima kasih tuan."Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Niko. Seakan Hani sedang berbicara pada patung. Hani memilih tidur di ranjangnya, meski perutnya saat