"Kalau habis jual beras hasil hajatannya! Jangan lupa bilang sama Ibu kamu, Rin! Bayar utangnya! Dua puluh juta loh, sudah lama!” Suara Ibunya Mas Sandi kudengar cempreng. Aku menelan saliva lalu menoleh. Namun, belum sempat aku menjawab, perhatianku teralihkan pada sosok lelaki tinggi tegap yang baru saja turun dari sepeda motor butut. Kemeja sederhana dan celana panjang dia kenakannya.
“Mohon maaf kalau mertua saya punya utang, Bu! Berapa utangnya tadi, Bu?” tuturnya dengan santun dan wajah tetap terlihat ramah.Bu Ambar---Ibunya Mas Sandi menoleh. Dia tampak tak berkedip beberapa detik, sampai akhirnya dia mencebik lalu bicara, “Oh jadi ini menantunya Si Imah? Kampungan gini, mana sebanding sama Sandi?” kekehnya sambil melirik ke arahku.“Iya, Bu. Saya menantunya Bu Imah. Mohon maaf, utang mertua saya berapa, ya, Bu?” Mas Reza terlihat masih saja bersikap sopan, padahal Ibunya Mas Sandi memandangnya dengan merendahkan. Apalagi suamiku hanya mengenakan sandal japit, kemeja yang warnanya sudah pudar dan turun dari motor Supra X jadul.“Gak usah nanya kalau ujung-ujungnya kamu malah jantungan. Dua puluh juta itu mungkin kamu harus ngumpulin bertahun-tahun, Mas.” Bu Ambar melirik sinis.“Bu, tolong dong! Mas Reza gak ada salah sama Ibu. Gak usah Ibu menghina dia kayak gitu.” Aku merasa tak terima. Meskipun aku tak pernah cinta dengan Mas Reza, tapi kini dialah suamiku.“Gak apa-apa, Rin. Mas ada kok kalau Cuma dua puluh juta, tapi sekarang gak bawa semua uangnya.” Dia bicara dengan ringannya. Lalu membungkuk dan mengangguk sopan. Setelah itu dia tergesa menuju sepeda motor yang terparkir tak jauh dari toko beras Mang Muh. Dia tampak membuka kunci jok, lalu mengeluarkan kantong keresek warna hitam dan menentengnya mendekat.“Maaf, saya cuma bawa lima belas juta. Tadinya mau ajak Arina belanja ke pasar beli pakaian. Jadi, ini saya kasih ke Ibu saja dulu. Sisanya lima juta lagi, ya, Bu! Sore nanti saya antar ke rumah.”Bukan hanya Ibunya Mas Sandi yang melongo, tapi aku juga. Bukankah kemarin mahar saja Cuma seratus ribu. Terus, kok tiba-tiba hari ini Mas Reza punya uang sebanyak itu? Dari mana, ya?“Pasti ini uang amplop hasil hajatan, ya? Kasihan banget kamu jadi mantunya Si Imah, baru ngerasain megang duit segini saja, udah dipakai bayar utang.”Bu Ambar terkekeh. Dia mengambil uang dalam plastik itu, lalu menghitungnya di depan banyak orang.“Sebentar, saya itung dulu! Takutnya gak lima belas juta.” Dia bicara sambil sibuk menghitung lembaran merah itu. Sementara itu, Mas Reza berdiri mematung dan memperhatikan Bu Ambar menghitung uangnya.“Gimana, cukup, Bu?” tanya Mas Reza setelah Bu Ambar mengikat kembali uang-uang itu dengan karet.“Kurang lima juta lagi, ya! Sore saya tunggu, mumpung masih ada uang hasil hajatan! Nanti ngaret lagi kalau keburu habis!” cebiknya sambil memasukkan lembaran uang yang terikat karet itu ke dalam tasnya. Lalu, dia ngeloyor pergi begitu saja.“Iya, Bu!” Mas Reza mengangguk sopan.Aku berdecak. Selemah itu suamiku coba. Kenapa gak tegas dikit, kek. Sudah tahu Ibunya Mas Sandi, bicaranya saja lima oktaf. Dia masih nunduk-nunduk sambil tersenyum, bikin gemes.Aku menghampiri Mas Reza setelah berpamitan pada Mang Muh. Lalu kutarik lengannya menjauh. Sebal juga melihat Ibu-ibu yang tadi muji Mas Reza, sibuk-sibuk nyuri pandang sama suamiku itu.“Mas ngapain sih ke sini?” tanyaku sambil melepas tarikan tangaku darinya.“Tadi Ibu bilang, Adek lagi ke toko beras Pak Muh. Mas mau ajak ke pasar tadinya, beli-beli baju buat Adek. Cuman sekarang uangnya kepake dulu.”“Ya sudah, ayo pulang! Ibu bilang memang mau bayar keu Bu Ambar juga. Biar aku minta Ibu sama Bapak ganti uang kamu yang tadi, Mas.”Aku hendak ngeloyor, tapi Mas Reza menarik lenganku.“Eh, Adek gak usah. Mas iklhas kok uang Mas dipake bayar utang Ibu sama Bapak. Tapi minta maaf saja kalau belanjanya kita undur lagi, ya!” tuturnya sambil menahanku.Aku menatapnya. Ada rasa iba. Aku tak tahu berapa lama Mas Reza mengumpulkan uang sebanyak itu. Sekarang tiba-tiba saja harus dipakai untuk melunasi utang Bapak dan Ibu. Aku saja yang memang kerja di toko, tiap bulan tak banyak tersisa dari gajiku. Habis untuk makan. Apalagi Mas Reza yang katanya, kerjanya saja serabutan.Aku melirik ke arah Ibu-ibu yang ternyata tengah memandangi suamiku. Lekas aku mengajaknya pulang. Biar masalah ini dibahas di rumah saja. Toh, kesehatan Bapak mungkin tak perlu lagi dikhawatirkan. Dia selama ini sakit-sakitan karena mikirin aku, kata Ibu. Sekarang, aku sudah jadi istri orang. Jadi, harusnya Bapak gak perlu sedih lagi. Aku bukan lagi per4w4n tua sekarang.Tiba di rumah, aku dibuat tercengang. Bukan apa-apa, para tetangga tengah berkerumun. Di depan rumahku tampak dua mobil yang sedang terparkir dan isinya beragam furniture. Beberapa orang tengah sibuk menurunkannya dan menggotongnya ke teras rumah. Aku berjalan tergesa, heran. Siapa yang membawa barang-barang sebanyak ini ke rumahku?Tiba di rumah, aku dibuat tercengang. Bukan apa-apa, para tetangga tengah berkerumun. Di depan rumahku tampak dua mobil yang sedang terparkir dan isinya beragam furniture. Beberapa orang tengah sibuk menurunkannya dan menggotongnya ke teras rumah. Aku berjalan tergesa, heran. Siapa yang membawa barang-barang sebanyak ini ke rumahku? “Loh ini ada apa, ya?” tanyaku sambil mendekat. Beberapa tetangga menoleh padaku sambil berdecak. “Wah pasti kemarin hasil amplopnya banyak ya, Rin? Sampe-sampe bisa borong furniture mahal-mahal kayak gini?” tanya Bi Mae---tetangga samping rumah. Dia sibuk mengusap-usap ukiran lemari pakaian tiga pintu yang masih ada di atas mobil pick up. “Amplop? Borong?” Aku menggaruk kepala dan menautkan alis. Masih shock dengan beragam perabotan kayu jati yang tampak berat-berat itu."Iya 'kan habis bukain amplop, langsung borong-borong! Dapet berapa gitu, Rin?" tanya Bi Mae lagi. Namun, belum sempat kumenjawab, suara Bi Icah terdengar menyela. “Arina, Arina! Kamu
"Mas, tolong jangan buat aku bingung! Mas belanja dengan uang sebanyak ini untuk apa? Aku gak minta ‘kan? Lalu, uangnya dari mana? Amplop hasil kondangan saja belum kita buka ‘kan? Bener juga loh yang Bi Icah bilang, kalaupun ada uang, harusnya kita pikirin dulu buat beli tanah sama rumah, baru belanja perabotan.” Aku menatapnya dan sibuk menunggu jawaban. Mas Reza menggaruk kepala. Dia menatapku lekat-lekat dengan terlihat merasa bersalah. “Maafin Mas kalau adek gak suka. Orang tua Mas kemarin denger omong-omongan tetangganya Adek. Katanya gini, pantas saja ada yang mau, dimurahin kayaknya. Maharnya masa cuma seratus ribu, terus di sini ‘kan kalau anak perawan itu biasanya dibawain perabotan, seserahan, bukan kayak gini doang.”“Terus ada lagi yang nyeletuk, namanya juga per4w4n tua, ada yang mau saja sudah syukur. Lagian kayaknya nikahnya juga cuma asal sah saja, paling habis beberapa hari juga cerai, yang penting sudah kehapus gelarnya, gak per4w4n tua lagi.” Aku mendengarkan Ma
“Oalah! Jadi dia itu sok pamer kekayaan dan banyak uang, tapi nyatanya cuma uang palsu, ya! Bu Ibu, lihat sini! Suaminya Si Arina itu ternyata pengedar uang palsu!” Suara Bi Icah yang cempreng membuat para tetangga yang masih tersisa dan tengah sibuk membuka-buka lemari kayu jati milikku menoleh ke arahnya. Mas Reza dan anak buah Mang Muh pun menghentikkan kegiatan menimbang berasnya. Lalu, semua mata terarah kepada Mas Reza yang mendadak jadi tersangka, pengedar uang palsu.“Uang palsu?” Mas Reza menoleh pada Bi Icah dengan alis bertaut. Para tetangga sudah mulai berbisik-bisik. “Jadi orang itu yang jujur, bukan rela ngelakuin apa saja biar kelihatan wah. Kamu cuma bakal jadiin keluarga kakak saya dalam masalah saja, Reza. Kamu gak takut polisi, ngedarin uang palsu? Kirain dari gunung,orangnya lugu, eh belagu.” Bi Icah seperti punya angin segar untuk menyerang. Sudah sejak tadi dia seperti kesal, eh ada kesempatan.Mas Sandi tampaknya baru sadar kalau ada Ibu mertuanya. Dia menoleh
“Mas! Mas Reza tunggu! Jangan seperti ini, Mas! Gak usah bawa-bawa polisi!” Lalu tubuh Mas Sandi sudah menghalangi langkah kami. Loh, kenapa jadi dia yang panik? Bukannya Mas Reza yang katanya tersangka? “Biarin saja lah, San! Kamu itu kok aneh?” Bi Icah tampak tak suka dengan sikap Mas Sandi. “Aku cuma gak mau, nama keluarga kita jelek, Bu! Calm down, Mas! Yuk duduk dulu! Jangan bawa-bawa polisi, ya!” Mas Sandi menepuk-nepuk bahu Mas Reza. “Mas cuma mau buktiin, San. Itu uang yang Mas kasih ke Bu Ambar itu asli dan yang kamu bawa itu bukan uang Mas. Itu saja. Kalau nggak ke polisi, gimana kamu bisa percaya kalau itu uang asli.” Mas Reza bicara tenang. Wajah polosnya menatap pada Mas Sandi. “Oke-oke, demi nama baik keluarga! Aku percaya! Aku percaya itu uang asli! Yuk duduk, yuk!” Mas Sandi menggiring Mas Reza untuk balik lagi ke teras. “Jadi, kamu nggak minta ganti lagi lima belas jutanya ‘kan? Mas cuma tinggal bayarin sisanya yang lima juta?” tanya Mas Sandi lagi memastikan.“
Tunggu! Sebenarnya siapa suamiku? Kenapa orang yang terlihat keren saja berlaku begitu hormat padanya? Aku pun mendekat sambil membawa satu bungkus keripik singkong seharga lima ribuan. Sudah kubuka dan kumakan setengah tadi. Mas Reza tersenyum ketika melihatku datang. “Loh, Mas kira, Adek masih di dalem, lagi zikir.” Aku hanya tersenyum saja. Bingung mau komentar apa. Selama ini, aku lagi rajin zikir kalau ada maunya saja, biasanya. Tepatnya kalau lagi susah saja. “Lagi jajan, Mas. Hmmm … siapa yang tadi?” tanyaku sambil menunjukkan keripik singkong di tangan. Hanya menunjukkan, tapi tak menawarinya. Cuman dikit soalnya. “Oh itu, teman lama, Dek.” Dia bicara santai. Seketika aku kecewa, padahal tadi sudah berharap-harap kalau ternyata Mas Reza adalah orang kaya yang lagi menyamar, misalnya.Duh, kebanyakan baca novel di KBM jadi halunya kebawa ke dunia nyata. Bukannya sudah jelas, Mas Reza memang gak ada kerjaan tetap, katanya.Ya sudahlah, aku gak mau bahas lagi. Yang penting,
“Maaf, ya, Mas! Itu, Mas! Aku mau nagih janji, Mas. Katanya mau cerita!” tuturku sambil menatapnya. “Oh, iya, iya, yang tadi siang, ya? Maaf kalau Mas kelupaan.” Dia terkekeh sendiri lalu membetulkan duduknya. Aku sudah bersiap mendengarkan penuturannya.“Jadi, gini, Dek ….” Akhirnya, dia mulai bercerita juga. Aku sudah siap untuk mendengarkan dengan seksama. “Uang yang Mas pakai beli perabotan itu uang tabungan, Mas. Terus yang dipakai buat bayar utang Ibunya Adek ke Bu Ambar juga, uang tabungan Mas.” Dia bicara, terus menjeda. Aku masih bersiap mendengarkan. Mas Reza bangun. Lalu menggeliatkan badan. Aku menatapnya, masih sambil menunggu lanjutan ceritanya.“Sudah malam, Dek. Tidur dulu.” Dia bicara sambil beranjak pindah ke karpet. Seketika aku terbengong, jadi, cuma ini yang dia jelaskan? “Mas, kok malah tidur?” tanyaku spontan. Seketika dia mendongakkan wajah dan menautkan alisnya padaku. “Ahmmm … memangnya Adek sudah siap?” tanyanya dengan sepasang mata itu menatapku lekat
Pagi-pagi sekali, aku dan Mas Reza sudah berangkat. Rupanya dia mengajakku ke pasar induk. Pantas saja tadi sampai pinjam helm dulu. Perjalanan cukup jauh, jadi kami tiba di sana pas matahari sudah menghangat. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil memarkirkan sepeda motor supra X jadul di pelataran parkir. “Mas mau beli apa, si? Jauh-jauh ke sini?” tanyaku lagi.“Mumpung Adek masih cuti. Kita jalan-jalan.” Dia tersenyum sambil menunduk. Tanpa kusangka, dia meraih jemariku lalu digenggamnya. Aku masih melongo ketika dia menarik lenganku dan bergerak menuju ke dalam pasar.Jalan-jalan katanya. Ya ampuuun? Apa dia kira pasar tempat jalan-jalan? Namun, aku tak enak kalau membantah. Aku ikut saja. Hingga dia berhenti di sebuah toko yang cukup besar. “Silakan gamisnya kakak! Ada yang model terbaru kakak! Ini bahan import, modelnya bagus-bagus, bahannya adem-adem!” Seorang penjaga toko sibuk menggiringku dan Mas Reza ke arah koleksi gamis-gamisnya. “Adek pilih, ya! Nanti mau ada pertemuan di kelua
“Loh, loh, loh? Bukannya tadi cuma beli satu set baju, ya? Kok kenapa Mas Reza bawa tentengan sebanyak itu?” “Maafin lama ya, Dek. Packingnya lama tadi.” Mas Reza meletakkan tiga kantong belanjaan yang sepertinya penuh semua.“Mas, itu bawa apaan? Banyak banget?” tanyaku sebelum duduk diboncengannya. “Ini, itu, Dek. Baju.” Dia menjawab singkat. Lalu segera naik ke atas sepeda motor setelah barang-barang bawaannya dia tata. “Baju?” tanyaku masih bingung. “Iya.” Dia menjawab singkat. Lalu segera melajukan sepeda motornya. Tiba di rumah, Mas Reza menurunkan barang-barang yang dibawa. Tampak Bi Mae yang sedang menyapu teras rumahnya melongokkan kepala. “Habis dari mana, Rin?!” Suaranya kencang terdengar lantang.“Pasar, Bi!” Aku menjawab sambil turun. “Wah mborong lagi, Mas?” Tanpa kuharapkan, Bi Mae sudah muncul dan ikut-ikutan membantu menurunkan barang belanjaan dari motor butut Mas Reza. “Iya, Bi. Cuma beli baju-baju buat Dek Arin. Pas nikah nggak sempet bikin seserahan lengka
Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi
Bab 45 – POV RezaPerempuan yang kunikahi beberapa bulan lalu itu, bernama Dek Arin. Gadis yang dulu katanya sempat dijuluki perawan tua. Dia lambat nikah karena gak bisa move on dari mantannya. Sandi, itu yang kutahu. Pernikahan kami tanpa cinta. Namun, dari pandangan pertama aku sudah menyukai Dek Arin. Wajahnya oval dengan kulit kuning langsat, bibir merah muda terlihat mungil dan agak berisi, hidungnya tak terlalu mancung, tapi membuatnya terlihat seimbang dengan komposisi wajahnya. Satu hal yang membuatku betah memandang Dek Arin lama-lama, iris cokelat terang Dek Arin membuat sepasang mata itu terlihat indah. Iris cokelat itu seperti berbicara, meski dia tak mengatakan apa-apa. Jika Dek Arin tersenyum terbentuk lesung pipi di sebelah kiri yang membuat penampilannya semakin cantik saja. Dek Arin itu, intinya cantik, manis dan aku suka. Aku nggak sanggup memandang iris cokelat terang itu lama-lama. Jujur, aku takut tak bisa mengendalikan diri. Biasanya aku lekas-lekas menunduk
Aku sudah berada di klinik. Mas Reza membawaku dengan susah payah keluar dari lereng gunung menuju pemukiman. Kini, aku sudah terbaring sambil menyeka air mataku berulang. Pernyataan yang dokter sampaikan membuatku merasa seperti kapas terkna air. Lemas lunglai tak bertenaga. “Pak Reza yang sabar, ya! Bu Arin mengalami keguguran. Kita coba pakai infus dulu ya untuk mengeluarkan sisa-sisa janinnya. Kalau belum bersih, terpaksa harus dikuret,” tutur dokter tadi setelah melakukan pemeriksaan. Mas Reza pun sama, sejak tadi lebih banyak diam. Kami sama-sama merasa terhenyak dengan kenyataan. Gara-gara keegoisanku, kini … aku kehilangan calon janin yang padahal sedang kutunnggu. Sesekali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Terasa sesak, benar-benar sesak kenyataan yang kuhadapi sekarang. Ibu Mertua datang ketika kami masih saling diam. Dia menatap kami bergantian. Namun, tak ada komentar apapun. Mas Reza hanya melirik ketika Ibunya menghampiriku dan terlihat cemas.
Ini sudah memasuki hari ketiga Mas Reza gak pulang. Aku sebetulnya ingin menghubungi Ibu Mertuaku atau Mbak Rena. Hanya saja, aku takut mereka akan curiga kalau kami ada masalah. Selama tiga hari ini juga, Ibu selalu ke sini menemaniku menjaga toko. “Bu, kok Mas Reza gak pulang-pulang, ya? Apa Arin susul saja?” “Hmmm, coba telepon dulu.” “Gak aktif, Bu.” “Ibu Mertuamu?” Aku tertegun. Malu dan canggung sebetulnya. “Gak enak, Bu! Hmmm … apa Mbak Rena saja, ya?” gumamku seolah bicara pada diri sendiri. “Ya sudah, Mbak Rena saja coba.” Akhirnya aku memutuskan. Lekas kutelepon, tetapi ternyata Mbak Rena sedang menginap di rumah mertuanya. Sudah satu minggu, orang tuanya Kang Hilman sakit, katanya.“Kalau Ibu ada di rumah, Mbak?” “Ibu ada. Kalau mau main, datang saja. Biasanya juga gitu.” “Iya, Mbak.” Aku pun menutup panggilan. Sepertinya, Mbak Rena tak tahu kalau Mas Reza menginjak hari ketiga ini tak pulang. Akhirnya, mau tak mau aku menelpon nomor Ibu Mertua. Hanya saja, bisa