Tiba di rumah, aku dibuat tercengang. Bukan apa-apa, para tetangga tengah berkerumun. Di depan rumahku tampak dua mobil yang sedang terparkir dan isinya beragam furniture. Beberapa orang tengah sibuk menurunkannya dan menggotongnya ke teras rumah. Aku berjalan tergesa, heran. Siapa yang membawa barang-barang sebanyak ini ke rumahku?
“Loh ini ada apa, ya?” tanyaku sambil mendekat. Beberapa tetangga menoleh padaku sambil berdecak.“Wah pasti kemarin hasil amplopnya banyak ya, Rin? Sampe-sampe bisa borong furniture mahal-mahal kayak gini?” tanya Bi Mae---tetangga samping rumah. Dia sibuk mengusap-usap ukiran lemari pakaian tiga pintu yang masih ada di atas mobil pick up.“Amplop? Borong?” Aku menggaruk kepala dan menautkan alis. Masih shock dengan beragam perabotan kayu jati yang tampak berat-berat itu."Iya 'kan habis bukain amplop, langsung borong-borong! Dapet berapa gitu, Rin?" tanya Bi Mae lagi. Namun, belum sempat kumenjawab, suara Bi Icah terdengar menyela.“Arina, Arina! Kamu itu baru pegang duit dikit saja, sudah kalap, ya? Dulu waktu Mia habis nikahan sama Sandi, uangnya gak dihambur-hamburkan kayak gini. Dibeliin emas, biar nanti bisa dijual kalau pas butuh. Ini dibeliin perabotan, cuma jadi sampah nanti!” Suara Bi Icah terdengar jelas. Dia keluar dari dalam rumah dan mendekat ke arahku.Aku mendengus, pusing dengan cemoohan tak berdasar. Uang amplop, hasil hajatan apaan? Amplopnya saja masih utuh dalam tas belum sempat aku buka. Nikah tanpa cinta itu gak ada seneng-senengnya, habis acara, ya, tidur. Capek, lelah dan hanya berharap cibiran per4w4n tua padaku akan segera hilang. Bapak dan Ibu bisa sehat dan gak malu lagi karena aku selalu jadi bahan omongan.“Iya sih, harusnya dihemat-hemat, ya, Bi Icah! Harus ada planning ke depan kalau jadi orang. Sama, anak saya juga si Rohaeni, waktu habis nikahan, uangnya dibeliin kalung. Jadi, pas mau bangun rumah bisa dijual lagi.” Bi Anah---yang bertetanggaan dengan Bi Icah turut menimpali.“Kalian ngomongin apa, sih? Saya saja gak tahu ini barang-barang siapa? Eh, Mang! Ini perabotan siapa, sih?!” Aku berteriak pada pekerja toko yang tengah sibuk menurunkan barang-barang.Salah satu dari mereka menghampiri dan menunjukkan nota dengan nominal puluhan juta. Lalu di sana tertera jelas ada nama suamiku, Reza.Aku menoleh pada Mas Reza yang baru saja memarkirkan sepeda motor bututnya dan berbincang dengan seorang pekerja toko lainnya, ada empat orang jumlahnya. Lalu kutergesa menghampirinya.“Mas, aku mau ngomong!” tukasku sambil menarik lengannya agar menjauh dari lawan bicaranya. Dia tampak menoleh pada pekerja toko dan mengangguk. Lalu dia menurut saja saat kuajak menjauh. Kini dia berdiri menatapku.“Ya, Dek? Ada apa? Apa masih ada yang ingin Adek beli?” tanyanya dengan wajah polos.“Mas, ini siapa yang belanja sebanyak ini? Siapa beli perabotan sampe habis tiga puluh jutaan kayak gini? Mas aku gak mau ya habis nikahan ini capek bayarin utang.” tukasku sambil menunjukkan nota yang kupegang.“Utang? Utang apaan? Adek masih punya utang?” tanyanya dengan wajah terheran-heran.“Oh, jadi beli barang-barang sebanyak ini cuma ngutang?” Tak kusangka, Bi Icah sudah berdiri tak jauh dari kami. Dia bicara sambil sengaja mengeraskan suaranya. Suamiku menoleh padanya.“Siapa yang ngutang, Bi?” Mas Reza menoleh dan lagi-lagi menatap bingung.“Ini, kamu beli perabotan ngutang ‘kan?” tanya Bi Icah lagi.“Maaf, Pak Reza. Ini kembaliannya! Makasih ya sudah berlanja di toko kami! Karena Pak Reza sudah belanja dalam jumlah banyak dan cash, kami akan memberikan bonus! Tadi bos nelepon, kalau bonusnya sore ini dianter ke sini!”Bi Icah terdiam. Dia menatap lembaran pecahan dua puluh ribuan yang disodorkan pekerja toko. Namun, Mas Reza mendorong uang itu lagi.“Kembaliannya ambil saja, Mas! Ini saya tambah buat tips, ya!” Mas Reza mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompet lusuhnya lalu menyerahkan pada pekerja toko itu.“Wah, makasih banyak, Pak Reza! Semoga rejekinya lancar, Pak!” Pekerja toko itu mengambil selembar uang itu dengan sumringah.Bi Icah yang tadi sibuk menuduh ngutang, kini bungkam. Apalagi beberapa tetangga yang lain juga tampaknya mencuri-curi dengar. Mereka jadi sudah tahu kalau semua ini dibeli cash oleh Mas Reza.“Reza, kamu gak usah seheboh ini biar bisa nyaingin mantu saya! Dari kerjaan saja jauh ke mana-mana. Sandi kerjanya kantoran, kamu cuma serabutan! Jangan-jangan duit hasil jual warisan kamu beliin perabotan semua! Harusnya mikirin dulu nanti mau tinggal di mana? Beli rumah dulu, bukan hura-hura gak jelas kayak gini!” ketus Bi Icah sebelum pergi. Dia terlihat sewot.Aku mengusap wajah. Padahal kami tak merugikannya. Apa dia kesal karena merasa Mas Sandi, menantu yang selalu dia bangga-banggakan itu tersaingi? Apa dia merasa jika Mia yang selalu dia bilang sangat beruntung karena punya suami karyawan tetap itu jadi kalah pamor?Aku menatap Mas Reza, aku juga ingin menanyakan hal yang sama. Kenapa tiba-tiba dia beli barang-barang sebanyak ini. Bukankah untuk mahar saja cuma seratus ribu rupiah.Hanya saja karena di pekarangan masih banyak tetangga berbincang. Mereka sibuk berspekulasi tentang perabotan kayu jati yang mahal-mahal ini. Aku lekas menarik lengan Mas Reza dan mengajaknya masuk.“Mas, tolong jangan buat aku bingung! Mas belanja dengan uang sebanyak ini untuk apa? Aku gak minta ‘kan? Lalu, uangnya dari mana? Amplop hasil kondangan saja belum kita buka ‘kan? Bener juga loh yang Bi Icah bilang, kalaupun ada uang, harusnya kita pikirin dulu buat beli tanah sama rumah, baru belanja perabotan.” Aku menatapnya dan menunggu jawaban."Mas, tolong jangan buat aku bingung! Mas belanja dengan uang sebanyak ini untuk apa? Aku gak minta ‘kan? Lalu, uangnya dari mana? Amplop hasil kondangan saja belum kita buka ‘kan? Bener juga loh yang Bi Icah bilang, kalaupun ada uang, harusnya kita pikirin dulu buat beli tanah sama rumah, baru belanja perabotan.” Aku menatapnya dan sibuk menunggu jawaban. Mas Reza menggaruk kepala. Dia menatapku lekat-lekat dengan terlihat merasa bersalah. “Maafin Mas kalau adek gak suka. Orang tua Mas kemarin denger omong-omongan tetangganya Adek. Katanya gini, pantas saja ada yang mau, dimurahin kayaknya. Maharnya masa cuma seratus ribu, terus di sini ‘kan kalau anak perawan itu biasanya dibawain perabotan, seserahan, bukan kayak gini doang.”“Terus ada lagi yang nyeletuk, namanya juga per4w4n tua, ada yang mau saja sudah syukur. Lagian kayaknya nikahnya juga cuma asal sah saja, paling habis beberapa hari juga cerai, yang penting sudah kehapus gelarnya, gak per4w4n tua lagi.” Aku mendengarkan Ma
“Oalah! Jadi dia itu sok pamer kekayaan dan banyak uang, tapi nyatanya cuma uang palsu, ya! Bu Ibu, lihat sini! Suaminya Si Arina itu ternyata pengedar uang palsu!” Suara Bi Icah yang cempreng membuat para tetangga yang masih tersisa dan tengah sibuk membuka-buka lemari kayu jati milikku menoleh ke arahnya. Mas Reza dan anak buah Mang Muh pun menghentikkan kegiatan menimbang berasnya. Lalu, semua mata terarah kepada Mas Reza yang mendadak jadi tersangka, pengedar uang palsu.“Uang palsu?” Mas Reza menoleh pada Bi Icah dengan alis bertaut. Para tetangga sudah mulai berbisik-bisik. “Jadi orang itu yang jujur, bukan rela ngelakuin apa saja biar kelihatan wah. Kamu cuma bakal jadiin keluarga kakak saya dalam masalah saja, Reza. Kamu gak takut polisi, ngedarin uang palsu? Kirain dari gunung,orangnya lugu, eh belagu.” Bi Icah seperti punya angin segar untuk menyerang. Sudah sejak tadi dia seperti kesal, eh ada kesempatan.Mas Sandi tampaknya baru sadar kalau ada Ibu mertuanya. Dia menoleh
“Mas! Mas Reza tunggu! Jangan seperti ini, Mas! Gak usah bawa-bawa polisi!” Lalu tubuh Mas Sandi sudah menghalangi langkah kami. Loh, kenapa jadi dia yang panik? Bukannya Mas Reza yang katanya tersangka? “Biarin saja lah, San! Kamu itu kok aneh?” Bi Icah tampak tak suka dengan sikap Mas Sandi. “Aku cuma gak mau, nama keluarga kita jelek, Bu! Calm down, Mas! Yuk duduk dulu! Jangan bawa-bawa polisi, ya!” Mas Sandi menepuk-nepuk bahu Mas Reza. “Mas cuma mau buktiin, San. Itu uang yang Mas kasih ke Bu Ambar itu asli dan yang kamu bawa itu bukan uang Mas. Itu saja. Kalau nggak ke polisi, gimana kamu bisa percaya kalau itu uang asli.” Mas Reza bicara tenang. Wajah polosnya menatap pada Mas Sandi. “Oke-oke, demi nama baik keluarga! Aku percaya! Aku percaya itu uang asli! Yuk duduk, yuk!” Mas Sandi menggiring Mas Reza untuk balik lagi ke teras. “Jadi, kamu nggak minta ganti lagi lima belas jutanya ‘kan? Mas cuma tinggal bayarin sisanya yang lima juta?” tanya Mas Sandi lagi memastikan.“
Tunggu! Sebenarnya siapa suamiku? Kenapa orang yang terlihat keren saja berlaku begitu hormat padanya? Aku pun mendekat sambil membawa satu bungkus keripik singkong seharga lima ribuan. Sudah kubuka dan kumakan setengah tadi. Mas Reza tersenyum ketika melihatku datang. “Loh, Mas kira, Adek masih di dalem, lagi zikir.” Aku hanya tersenyum saja. Bingung mau komentar apa. Selama ini, aku lagi rajin zikir kalau ada maunya saja, biasanya. Tepatnya kalau lagi susah saja. “Lagi jajan, Mas. Hmmm … siapa yang tadi?” tanyaku sambil menunjukkan keripik singkong di tangan. Hanya menunjukkan, tapi tak menawarinya. Cuman dikit soalnya. “Oh itu, teman lama, Dek.” Dia bicara santai. Seketika aku kecewa, padahal tadi sudah berharap-harap kalau ternyata Mas Reza adalah orang kaya yang lagi menyamar, misalnya.Duh, kebanyakan baca novel di KBM jadi halunya kebawa ke dunia nyata. Bukannya sudah jelas, Mas Reza memang gak ada kerjaan tetap, katanya.Ya sudahlah, aku gak mau bahas lagi. Yang penting,
“Maaf, ya, Mas! Itu, Mas! Aku mau nagih janji, Mas. Katanya mau cerita!” tuturku sambil menatapnya. “Oh, iya, iya, yang tadi siang, ya? Maaf kalau Mas kelupaan.” Dia terkekeh sendiri lalu membetulkan duduknya. Aku sudah bersiap mendengarkan penuturannya.“Jadi, gini, Dek ….” Akhirnya, dia mulai bercerita juga. Aku sudah siap untuk mendengarkan dengan seksama. “Uang yang Mas pakai beli perabotan itu uang tabungan, Mas. Terus yang dipakai buat bayar utang Ibunya Adek ke Bu Ambar juga, uang tabungan Mas.” Dia bicara, terus menjeda. Aku masih bersiap mendengarkan. Mas Reza bangun. Lalu menggeliatkan badan. Aku menatapnya, masih sambil menunggu lanjutan ceritanya.“Sudah malam, Dek. Tidur dulu.” Dia bicara sambil beranjak pindah ke karpet. Seketika aku terbengong, jadi, cuma ini yang dia jelaskan? “Mas, kok malah tidur?” tanyaku spontan. Seketika dia mendongakkan wajah dan menautkan alisnya padaku. “Ahmmm … memangnya Adek sudah siap?” tanyanya dengan sepasang mata itu menatapku lekat
Pagi-pagi sekali, aku dan Mas Reza sudah berangkat. Rupanya dia mengajakku ke pasar induk. Pantas saja tadi sampai pinjam helm dulu. Perjalanan cukup jauh, jadi kami tiba di sana pas matahari sudah menghangat. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil memarkirkan sepeda motor supra X jadul di pelataran parkir. “Mas mau beli apa, si? Jauh-jauh ke sini?” tanyaku lagi.“Mumpung Adek masih cuti. Kita jalan-jalan.” Dia tersenyum sambil menunduk. Tanpa kusangka, dia meraih jemariku lalu digenggamnya. Aku masih melongo ketika dia menarik lenganku dan bergerak menuju ke dalam pasar.Jalan-jalan katanya. Ya ampuuun? Apa dia kira pasar tempat jalan-jalan? Namun, aku tak enak kalau membantah. Aku ikut saja. Hingga dia berhenti di sebuah toko yang cukup besar. “Silakan gamisnya kakak! Ada yang model terbaru kakak! Ini bahan import, modelnya bagus-bagus, bahannya adem-adem!” Seorang penjaga toko sibuk menggiringku dan Mas Reza ke arah koleksi gamis-gamisnya. “Adek pilih, ya! Nanti mau ada pertemuan di kelua
“Loh, loh, loh? Bukannya tadi cuma beli satu set baju, ya? Kok kenapa Mas Reza bawa tentengan sebanyak itu?” “Maafin lama ya, Dek. Packingnya lama tadi.” Mas Reza meletakkan tiga kantong belanjaan yang sepertinya penuh semua.“Mas, itu bawa apaan? Banyak banget?” tanyaku sebelum duduk diboncengannya. “Ini, itu, Dek. Baju.” Dia menjawab singkat. Lalu segera naik ke atas sepeda motor setelah barang-barang bawaannya dia tata. “Baju?” tanyaku masih bingung. “Iya.” Dia menjawab singkat. Lalu segera melajukan sepeda motornya. Tiba di rumah, Mas Reza menurunkan barang-barang yang dibawa. Tampak Bi Mae yang sedang menyapu teras rumahnya melongokkan kepala. “Habis dari mana, Rin?!” Suaranya kencang terdengar lantang.“Pasar, Bi!” Aku menjawab sambil turun. “Wah mborong lagi, Mas?” Tanpa kuharapkan, Bi Mae sudah muncul dan ikut-ikutan membantu menurunkan barang belanjaan dari motor butut Mas Reza. “Iya, Bi. Cuma beli baju-baju buat Dek Arin. Pas nikah nggak sempet bikin seserahan lengka
“Ya Allah, kenapa suami kamu bisa punya uang sebanyak itu, Rin?” tanya Ibu menatap heran. “Katanya dia sudah nabung dari usia dua puluh tahunan, Bu.”Aku mengedik dan menjawab seperti yang Mas Reza bicarakan kemarin. Hanya saja, besok adalah kesempatanku untuk mencari tahu, seperti apa sebetulnya kehidupan Mas Reza di gunung sana? Huh, gimana kalau dia ternyata bandar narkoba, kan katanya tanaman ganja itu harganya mahal-mahal, ya? Atau dia pesugihan, kan kalau orang-orang di pegunungan itu biasanya masih kental sama hal-hal mistis. Ya Allah, kenapa aku jadi takut gini, ya? Gimana kalau salah satu tebakanku benar? Soalnya kalau memang dia orang kaya, kenapa harus jadi bujang lapuk segala? Empat puluh tahun gak nikah-nikah karena gak ada yang mau, katanya. “Ya Allah, Rin. Alhamdulilah … Bapak gak salah pilihkan suami buat kamu. Reza sayang banget sama kamu.” “Iya. Bu. Cuma Arin sendiri sebetulnya masih takut … Mas Reza itu sebenernya kerjaannya apa. Kok bisa belanja was wis wus saja
Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi
Bab 45 – POV RezaPerempuan yang kunikahi beberapa bulan lalu itu, bernama Dek Arin. Gadis yang dulu katanya sempat dijuluki perawan tua. Dia lambat nikah karena gak bisa move on dari mantannya. Sandi, itu yang kutahu. Pernikahan kami tanpa cinta. Namun, dari pandangan pertama aku sudah menyukai Dek Arin. Wajahnya oval dengan kulit kuning langsat, bibir merah muda terlihat mungil dan agak berisi, hidungnya tak terlalu mancung, tapi membuatnya terlihat seimbang dengan komposisi wajahnya. Satu hal yang membuatku betah memandang Dek Arin lama-lama, iris cokelat terang Dek Arin membuat sepasang mata itu terlihat indah. Iris cokelat itu seperti berbicara, meski dia tak mengatakan apa-apa. Jika Dek Arin tersenyum terbentuk lesung pipi di sebelah kiri yang membuat penampilannya semakin cantik saja. Dek Arin itu, intinya cantik, manis dan aku suka. Aku nggak sanggup memandang iris cokelat terang itu lama-lama. Jujur, aku takut tak bisa mengendalikan diri. Biasanya aku lekas-lekas menunduk
Aku sudah berada di klinik. Mas Reza membawaku dengan susah payah keluar dari lereng gunung menuju pemukiman. Kini, aku sudah terbaring sambil menyeka air mataku berulang. Pernyataan yang dokter sampaikan membuatku merasa seperti kapas terkna air. Lemas lunglai tak bertenaga. “Pak Reza yang sabar, ya! Bu Arin mengalami keguguran. Kita coba pakai infus dulu ya untuk mengeluarkan sisa-sisa janinnya. Kalau belum bersih, terpaksa harus dikuret,” tutur dokter tadi setelah melakukan pemeriksaan. Mas Reza pun sama, sejak tadi lebih banyak diam. Kami sama-sama merasa terhenyak dengan kenyataan. Gara-gara keegoisanku, kini … aku kehilangan calon janin yang padahal sedang kutunnggu. Sesekali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Terasa sesak, benar-benar sesak kenyataan yang kuhadapi sekarang. Ibu Mertua datang ketika kami masih saling diam. Dia menatap kami bergantian. Namun, tak ada komentar apapun. Mas Reza hanya melirik ketika Ibunya menghampiriku dan terlihat cemas.
Ini sudah memasuki hari ketiga Mas Reza gak pulang. Aku sebetulnya ingin menghubungi Ibu Mertuaku atau Mbak Rena. Hanya saja, aku takut mereka akan curiga kalau kami ada masalah. Selama tiga hari ini juga, Ibu selalu ke sini menemaniku menjaga toko. “Bu, kok Mas Reza gak pulang-pulang, ya? Apa Arin susul saja?” “Hmmm, coba telepon dulu.” “Gak aktif, Bu.” “Ibu Mertuamu?” Aku tertegun. Malu dan canggung sebetulnya. “Gak enak, Bu! Hmmm … apa Mbak Rena saja, ya?” gumamku seolah bicara pada diri sendiri. “Ya sudah, Mbak Rena saja coba.” Akhirnya aku memutuskan. Lekas kutelepon, tetapi ternyata Mbak Rena sedang menginap di rumah mertuanya. Sudah satu minggu, orang tuanya Kang Hilman sakit, katanya.“Kalau Ibu ada di rumah, Mbak?” “Ibu ada. Kalau mau main, datang saja. Biasanya juga gitu.” “Iya, Mbak.” Aku pun menutup panggilan. Sepertinya, Mbak Rena tak tahu kalau Mas Reza menginjak hari ketiga ini tak pulang. Akhirnya, mau tak mau aku menelpon nomor Ibu Mertua. Hanya saja, bisa