Share

Bab 8

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Maaf, ya, Mas! Itu, Mas! Aku mau nagih janji, Mas. Katanya mau cerita!” tuturku sambil menatapnya.

“Oh, iya, iya, yang tadi siang, ya? Maaf kalau Mas kelupaan.” Dia terkekeh sendiri lalu membetulkan duduknya. Aku sudah bersiap mendengarkan penuturannya.

“Jadi, gini, Dek ….”

Akhirnya, dia mulai bercerita juga. Aku sudah siap untuk mendengarkan dengan seksama.

“Uang yang Mas pakai beli perabotan itu uang tabungan, Mas. Terus yang dipakai buat bayar utang Ibunya Adek ke Bu Ambar juga, uang tabungan Mas.” Dia bicara, terus menjeda. Aku masih bersiap mendengarkan.

Mas Reza bangun. Lalu menggeliatkan badan. Aku menatapnya, masih sambil menunggu lanjutan ceritanya.

“Sudah malam, Dek. Tidur dulu.” Dia bicara sambil beranjak pindah ke karpet. Seketika aku terbengong, jadi, cuma ini yang dia jelaskan?

“Mas, kok malah tidur?” tanyaku spontan. Seketika dia mendongakkan wajah dan menautkan alisnya padaku.

“Ahmmm … memangnya Adek sudah siap?” tanyanya dengan sepasang mata itu menatapku lekat
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Jenah Alydrus
cerita bagus
goodnovel comment avatar
Isabella
seneng ceritanya ringan tapi bagus
goodnovel comment avatar
Harsa Amerta Nawasena
Bagus banget ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 9

    Pagi-pagi sekali, aku dan Mas Reza sudah berangkat. Rupanya dia mengajakku ke pasar induk. Pantas saja tadi sampai pinjam helm dulu. Perjalanan cukup jauh, jadi kami tiba di sana pas matahari sudah menghangat. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil memarkirkan sepeda motor supra X jadul di pelataran parkir. “Mas mau beli apa, si? Jauh-jauh ke sini?” tanyaku lagi.“Mumpung Adek masih cuti. Kita jalan-jalan.” Dia tersenyum sambil menunduk. Tanpa kusangka, dia meraih jemariku lalu digenggamnya. Aku masih melongo ketika dia menarik lenganku dan bergerak menuju ke dalam pasar.Jalan-jalan katanya. Ya ampuuun? Apa dia kira pasar tempat jalan-jalan? Namun, aku tak enak kalau membantah. Aku ikut saja. Hingga dia berhenti di sebuah toko yang cukup besar. “Silakan gamisnya kakak! Ada yang model terbaru kakak! Ini bahan import, modelnya bagus-bagus, bahannya adem-adem!” Seorang penjaga toko sibuk menggiringku dan Mas Reza ke arah koleksi gamis-gamisnya. “Adek pilih, ya! Nanti mau ada pertemuan di kelua

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 10

    “Loh, loh, loh? Bukannya tadi cuma beli satu set baju, ya? Kok kenapa Mas Reza bawa tentengan sebanyak itu?” “Maafin lama ya, Dek. Packingnya lama tadi.” Mas Reza meletakkan tiga kantong belanjaan yang sepertinya penuh semua.“Mas, itu bawa apaan? Banyak banget?” tanyaku sebelum duduk diboncengannya. “Ini, itu, Dek. Baju.” Dia menjawab singkat. Lalu segera naik ke atas sepeda motor setelah barang-barang bawaannya dia tata. “Baju?” tanyaku masih bingung. “Iya.” Dia menjawab singkat. Lalu segera melajukan sepeda motornya. Tiba di rumah, Mas Reza menurunkan barang-barang yang dibawa. Tampak Bi Mae yang sedang menyapu teras rumahnya melongokkan kepala. “Habis dari mana, Rin?!” Suaranya kencang terdengar lantang.“Pasar, Bi!” Aku menjawab sambil turun. “Wah mborong lagi, Mas?” Tanpa kuharapkan, Bi Mae sudah muncul dan ikut-ikutan membantu menurunkan barang belanjaan dari motor butut Mas Reza. “Iya, Bi. Cuma beli baju-baju buat Dek Arin. Pas nikah nggak sempet bikin seserahan lengka

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 11

    “Ya Allah, kenapa suami kamu bisa punya uang sebanyak itu, Rin?” tanya Ibu menatap heran. “Katanya dia sudah nabung dari usia dua puluh tahunan, Bu.”Aku mengedik dan menjawab seperti yang Mas Reza bicarakan kemarin. Hanya saja, besok adalah kesempatanku untuk mencari tahu, seperti apa sebetulnya kehidupan Mas Reza di gunung sana? Huh, gimana kalau dia ternyata bandar narkoba, kan katanya tanaman ganja itu harganya mahal-mahal, ya? Atau dia pesugihan, kan kalau orang-orang di pegunungan itu biasanya masih kental sama hal-hal mistis. Ya Allah, kenapa aku jadi takut gini, ya? Gimana kalau salah satu tebakanku benar? Soalnya kalau memang dia orang kaya, kenapa harus jadi bujang lapuk segala? Empat puluh tahun gak nikah-nikah karena gak ada yang mau, katanya. “Ya Allah, Rin. Alhamdulilah … Bapak gak salah pilihkan suami buat kamu. Reza sayang banget sama kamu.” “Iya. Bu. Cuma Arin sendiri sebetulnya masih takut … Mas Reza itu sebenernya kerjaannya apa. Kok bisa belanja was wis wus saja

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 12

    “Ke kebun? Lama, Mas? Aku boleh ikut?” tanyaku sambil menatap penuh harap. “Hmmm … Mas takut Adek gak nyaman. Kebunnya di lereng gunung rungkingnya, Dek. Jalannya masih jelek. Di sana banyaknya cowok-cowok semua, nggak apa?” tanyanya tampak ingin memastikan. “Gak apa, Mas.” Aku lekas bangun sebelum Ibu Mertua atau kakak iparku melarang. Bisa mati kutu aku di sini. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil bergegas menuju sepeda motor. Aku mengangguk, lekas berpamitan pada Mbak Rena dan Ibu. Setelah itu, lekas duduk diboncengan Mas Reza. Sepeda motor butut supra X jadul itu melaju pelan. Semilir angin pegunungan terasa menyapu wajah. Aku tak memakai helm. Mas Reza bilang tak ada polisi di sana. Iya lah, di gunung mana ada polisi. Berkendara sekitar dua puluh menitan dengan medan turun naik, akhirnya Mas Reza tiba di sebuah area datar. Sebuah kaki gunung di balik bukit. Akses mobil sudah bisa, hanya saja jalannya memang masih berbatu. Tadi hanya beraspal sampai area wisatanya saja. Tampak hamp

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 13

    Sore harinya, Mas Reza dan Bapak Mertua pergi. Mereka cuma bilang ada urusan. Namun, aku yakin pasti mereka akan lihat tanah yang akan dijual itu. Karena mereka pergi boncengan, terpaksa … aku gak ikut. Rencananya malam ini, kami akan menginap. Jadinya, bakda ashar, aku sibuk membantu Ibu Mertua memasak. Gak banyak yang dimasak. Hanya menghangatkan semur daging dan masakan lainnya yang pagi tadi dimasak. Ibu Mertua masak banyak, jadi sorenya gak masak lagi. Mbak Rena juga duduk manis di dapur sambil membantu mengupas bawang. Kebetulan Ibu Mertua baru beli tadi pagi dari pasar, belum sempat dibuang kulit luarnya. Kami hanya mengobrol ringan saja. Rupanya, keluarga Mas Reza menyenangkan. Meskipun secara ekonomi, Mbak Rena lebih kaya, tapi dia gak sombong. Padahal aku sudah takut, dia seperti ipar-ipar jahat di novel-novel kbm. Julid, nyebelin dan suka ngihena, eh ternyata enggak. “Waktu nikahan itu, kami minta maaf, alakadarnya banget, Neng. Tiba-tiba saja, Bapak sibuk ngajak buru-b

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 14

    Puk! Puk! Puk!“Dek sadar, Dek! Dek!”“Astaghfirulloh!” Aku tiba-tiba merasa benda dingin menempel di pipiku. "Astaghfirullah!" Rupanya tangan Mas Reza. Dia menepuk-nepuk pipiku dengan tangannya yang dingin. Eh, aku kenapa? Kesadaranku seperti baru kembali. Tadi aku kelewat kaget. Pikiranku lari entah ke mana dan rasanya mendadak aku tak mendengar apapun selain melihat bayangan uang yang beterbangan. Ya ampuun, sekatro ini aku. “Adek gak usah shock gitu, dipanggil sampe gak nyahut, Mas gak bakal suruh Adek jadi tukang kebun, kok.” Mas Reza malah terkekeh santai. Dia mengacak pucuk kepalaku sekilas. “Yang urus kebun Reza sudah banyak, kok, Rin. Kamu gak usah cemas,” timpal Bapak Mertua. Sepertinya dia pun berpikiran sama.Lalu, obrolan pun mengalir lagi di antara mereka. Hanya aku saja yang masih sibuk menghitung-hitung, seberapa kira-kira tabungan Mas Reza selama dua puluh tahun ini. Duh, payahnya aku?*** Kunjungan singkat dari rumah Ibu Mertua, cukup memberikan kesan mendalam

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 15

    Aku tak habis pikir. Pak RT bisa-bisanya percaya pada aduan Mas Sandi dan Bibiku yang menyebalkan itu.“Pak RT kenapa harus nuduh suami saya?” tanyaku geram. “Karena kami menemukan ini di tempat kejadian!” Suara yang kukenal tederngar. Mas Sandi sudah berdiri sambil menenteng plastik warna hitam. “Apa itu, Mas?”tanyaku sambil menatap tentengan yang Mas Sandi bawa. “Ini bukti telak kalau Mas Reza memang pelakunya!” tutur Mas Sandi sambil membalikkan plastik keresek hitam yang dia bawa dan terjatuhlah isi di dalamnya. Lalu terjatuh sebuah sarung. Aku menatap pada sarung yang tergeletak itu. Lalu mendongak dan menatap suamiku.“Itu ‘kan sarung Mas Reza ….”Aku menautkan alis pada sarung dengan warna sudah pudar itu. “Iya, dan ini ditemukan di tempat babi itu menghilang.” Mas Sandi bicara sambil menyipitkan mata. “Gimana, Mas Reza? Apa ada penjelasan? Jujur, semalam ini warga pada meminta saya langsung menggrebek ke sini. Cuma, ya, kan malem-malem, gak enak ribut-ribut.” Pak RT menat

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 16

    “Mas ngomong apa, si? Rumah siapa yang dua lantai?” tanyaku menatap lekat. “Nggak, Dek. Anu itu, kalau misal nanti Mas ada rejeki, terus beli rumahnya dua lantai. Adek mau ‘kan nempatinnya?” tanyanya lagi. “Aduh, Arin, Reza! Bibi pulang dulu, ya! Males banget dengerin halu kalian! Nanti Bibi undang pas acara syukuran rumahnya si Mia. Sembuhin dulu tuh, halunya suami kamu, Rin!” Bi Icah masih tertawa-tawa, seolah perkataan Mas Reza itu penuh kelucuan. Dia pun melenggang pergi dan membawa brosur-brosur gambar rumah yang tadi dia bawa ke sini. Aku baru hendak bicara lagi pada Mas Reza, ketika tiba-tiba Bi Icah menghentikkan langkahnya. Dia memutar tubuh, lalu berjalan mendekat dan menepuk bahu Mas Reza. “Eh, Reza. Kalau kuli bangunan di rumah bekas Pak Lurah itu sudah selesai, boleh nanti kerja bantu-bantu bangun renova rumah Si Mia. Bibi nanti bilangin Sandi, biar sisain satu jatah kuli buat kamu. Kasihan, si Arin. Senggaknya kamu bisa bantuin nyari nafkah juga. Masa iya istri kerja

Bab terbaru

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 51-End

    Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 50

    Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 49

    “Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 48

    Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 47

    Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 46

    “Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 45

    Bab 45 – POV RezaPerempuan yang kunikahi beberapa bulan lalu itu, bernama Dek Arin. Gadis yang dulu katanya sempat dijuluki perawan tua. Dia lambat nikah karena gak bisa move on dari mantannya. Sandi, itu yang kutahu. Pernikahan kami tanpa cinta. Namun, dari pandangan pertama aku sudah menyukai Dek Arin. Wajahnya oval dengan kulit kuning langsat, bibir merah muda terlihat mungil dan agak berisi, hidungnya tak terlalu mancung, tapi membuatnya terlihat seimbang dengan komposisi wajahnya. Satu hal yang membuatku betah memandang Dek Arin lama-lama, iris cokelat terang Dek Arin membuat sepasang mata itu terlihat indah. Iris cokelat itu seperti berbicara, meski dia tak mengatakan apa-apa. Jika Dek Arin tersenyum terbentuk lesung pipi di sebelah kiri yang membuat penampilannya semakin cantik saja. Dek Arin itu, intinya cantik, manis dan aku suka. Aku nggak sanggup memandang iris cokelat terang itu lama-lama. Jujur, aku takut tak bisa mengendalikan diri. Biasanya aku lekas-lekas menunduk

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 44

    Aku sudah berada di klinik. Mas Reza membawaku dengan susah payah keluar dari lereng gunung menuju pemukiman. Kini, aku sudah terbaring sambil menyeka air mataku berulang. Pernyataan yang dokter sampaikan membuatku merasa seperti kapas terkna air. Lemas lunglai tak bertenaga. “Pak Reza yang sabar, ya! Bu Arin mengalami keguguran. Kita coba pakai infus dulu ya untuk mengeluarkan sisa-sisa janinnya. Kalau belum bersih, terpaksa harus dikuret,” tutur dokter tadi setelah melakukan pemeriksaan. Mas Reza pun sama, sejak tadi lebih banyak diam. Kami sama-sama merasa terhenyak dengan kenyataan. Gara-gara keegoisanku, kini … aku kehilangan calon janin yang padahal sedang kutunnggu. Sesekali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Terasa sesak, benar-benar sesak kenyataan yang kuhadapi sekarang. Ibu Mertua datang ketika kami masih saling diam. Dia menatap kami bergantian. Namun, tak ada komentar apapun. Mas Reza hanya melirik ketika Ibunya menghampiriku dan terlihat cemas.

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 43

    Ini sudah memasuki hari ketiga Mas Reza gak pulang. Aku sebetulnya ingin menghubungi Ibu Mertuaku atau Mbak Rena. Hanya saja, aku takut mereka akan curiga kalau kami ada masalah. Selama tiga hari ini juga, Ibu selalu ke sini menemaniku menjaga toko. “Bu, kok Mas Reza gak pulang-pulang, ya? Apa Arin susul saja?” “Hmmm, coba telepon dulu.” “Gak aktif, Bu.” “Ibu Mertuamu?” Aku tertegun. Malu dan canggung sebetulnya. “Gak enak, Bu! Hmmm … apa Mbak Rena saja, ya?” gumamku seolah bicara pada diri sendiri. “Ya sudah, Mbak Rena saja coba.” Akhirnya aku memutuskan. Lekas kutelepon, tetapi ternyata Mbak Rena sedang menginap di rumah mertuanya. Sudah satu minggu, orang tuanya Kang Hilman sakit, katanya.“Kalau Ibu ada di rumah, Mbak?” “Ibu ada. Kalau mau main, datang saja. Biasanya juga gitu.” “Iya, Mbak.” Aku pun menutup panggilan. Sepertinya, Mbak Rena tak tahu kalau Mas Reza menginjak hari ketiga ini tak pulang. Akhirnya, mau tak mau aku menelpon nomor Ibu Mertua. Hanya saja, bisa

DMCA.com Protection Status