Benar saja, sampai sore belum ada tanda-tanda kepulangan Nisa, mana Al dan El rewel. Dikit-dikit minta minum dikit-dikit minta makan, sekarang ngga tahu minta apa karena semua nangis kejer."Mas, bagaimana si ini? Mereka nangis Mulu!" Protes Syasya sambil mendengus."Ngga tahu nih! Kamu perempuan kan harusnya lebih tahu," jawabku. Aku aja jarang melihat mereka begini, biasanya kalau libur aku lebih suka menghabiskan waktu bermain game."Coba telfon ibunya, Mas. Kita ini pengantin baru. Bukannya kelonan malah di suruh jaga anak. Padahal Mas sudah bolos kerja hari ini. Aku sudah senang kita bisa main kuda-kudaan lagi!"Benar yang di katakan Syasya. Harusnya kan begitu. Hari ini aku sebenarnya harus masuk kerja tapi membolos karena tadi bangun kesiangan juga masih tak enak dengan kejadian semalam."Hallo, Nis! Kamu di mana?" tanyaku saat telfon Nisa di angkat."Iya, Mas. Aku sedang belanja nih. Masih banyak yang harus kubeli." Dari sebrang sana Nisa menjawab."Tapi ini Al dan El nangis!"
"Bagaimana bisa? Coba kamu ingat-ingat, Mas. Sini dompetnya biar aku cari. Siapa tahu terselip saat kemarin kita membayar sesuatu." Syasya mengoceh, aku pusing dibuatnya. Pikiran stres. Bagaimana bisa? Seingatku aku kemarin menaruh ditempat biasa dan belum aku keluarkan kecuali ....Ya! Malam tadi aku mengeluarkan dompet dan menaruhnya di meja. Apa mungkin terjatuh?"Bagaimana, Mas? Mau selesaikan pembayarannya?" Kali ini kasir berkata, mungkin karena dibelakang sudah banyak yang mengantri.Bagaimana ini?"Gini aja, Mba. Saya ATM-nya ketinggalan, bisa tidak kalau sistem tranfer. Kebetulan saya ada M-banking-nya." Sedikit Mbak kasir berfikir."Kalau menurut prosedur si ngga bisa, Mas. Harus di gesek disini sebagai tanda bukti juga.""Pliss deh, Mba!" Aku memohon dan memasang wajah memelas."Bagaimana ya? Paling bisanya Mas tranfer ke saya lalu membayar dengan menggesek ATM saya. Tapi ....""Ya sudah gitu saja ngga papa, Mbak. Nanti aku lebihin." Aku sedikit senang karena punya harapan
PoV Nisa."Baik! Nanti kita ketemu di kantor ya, Bu!" Aku menutup sambungan telfon dari Bu Maria--Direktur utama-- di perusahaan Mas Arman.Setelah mendapat kata talak semalam dari Mas Arman. Itu artinya mulai hari ini aku mandiri, setelah apa yang di sampaikan Bu Maria waktu itu, membuat aku untuk menerima tawarannya, sekaligus biar Mas Arman tahu kalau aku bisa lebih hebat dari dia."Laki-laki hebat memang butuh seorang wanita tapi wanita hebat tak butuh laki-laki." Kata itu yang terngiang di pikiranku sejak aku dekat dengan Bu Maria. Dia juga lah yang membuat drama seolah Pak Denis memperjuangkan ku. Nyatanya semua hanya sandiwara. Mana mau seorang Direksi mau menikahi mantan istri bawahannya?Kali ini aku membawa anak-anak, Bu Maria, wanita berusia 45 tahun itu tak mempunyai anak, hingga sangat suka dengan Al dan El. Bahkan dia ingin Al dan El di titipkan dirumahnya saat aku bekerja. Dia menyiapkan baby sitter khusus untuk kedua anakku.Aku memasuki ruangan Bu Maria, dia telihat
Sehari ini aku dibuat dongkol. Udah kena malu karena mau bunuh diri tapi gagal. Kupikir dengan memancing seperti itu, Nisa yang hatinya lembut akan tergugah dan mau menerimaku lagi. Nyatanya? Duh! Mana semua karyawan jadi berbisik ngehibahin aku lagi.Pulang kerumah, bukan di sambut kopi seperti biasa yang Nisa lakukan, Eh ... Syasya malah ngomongin uang ... Uang dan uang lagi! Memang sii, kalau biasanya Nisa menyambut dengan masih bau dapur kali ini Syasya dengan wangi mengoda. Aroma parfum menguat, tapi nyatanya tak mau di sentuh saat aku tak mengeluarkan uang."Mas? Kenapa diam saja pada Mbak Nisa! Diakan sudah menghabiskan uang tabunganmu, Mas!" sanggah Syasya begitu aku masuk. Kupikir dia akan menghidangkan aku secangkir kopi."Pokoknya Mas harus minta ganti rugi! Blas ... Bla ... Bla ...." Aku pusing dan tak lagi mendengarkan ocehan nya. Mungkin aku mengiyakan saja. Siapa tahu setelah itu dia diam."I-iya iya, Sayang." ucapku lembut sambil langsung meraih pinggangnya. Ia beronta
"Hai jangan sembarangan menuduh!" Nisa menepis tangan Syasya dengan kasar.Bakal jadi perang dunia ketiga ini kalau dibiarkan."Siapa lagi! Ini pasti kamu iri dengan kecantikanku makanya berbuat main dukun. Awas saja! Nanti aku cari dukun dan kembalikan semua ini kepengirimnya!"Nisa hanya tersenyum miring, seolah tengah mengejek Syasya yang berfikir terlalu premitif. Tak mengerti dengan pola pikir Syasya. Bagaimana dia yang modern tapi masih berfikir dan percaya tentang dukun? "Sudah, sudah, Sya! Ayo kita bawa kedokter saja. Biar segera di tangani." Aku melangkah keluar diikuti oleh Nisa yang kembali ke kamarnya. Mau kemana dia? Pikirku melihat dia yang sudah berpenampilan rapi tapi belum mengenakan hijab.Syasya membonceng dengan menutup semua wajahnya menggunakan kerudung yang tidak di pakai secara benar. Mungkin dia malu! Aku yang membawa motor akhirnya sedikit kesusahan karena posisi Syasya yang duduk miring dan tak berpegangan."Yang benar, Sya!" teriakku dari depan karena Syas
Aku langsung menyambangi mereka bertiga, terlihat raut kaget pada ketiganya."Eh, Mas. Udah pu-lang!" Syasya tergagap."Siapa dia, Sya?" tanyaku pada Syasya dengan pandangan menatap pada dua laki-laki berwajah sangar."Sini, Mas! Aku mau ngomong!" Syasya menarik tanganku masuk kedalam. Aku tak bisa berontak. Rasa penasaran ku kian membuncah."Mas! Itu kedua laki-laki tadi mencari Mbak Nisa. Katanya dia mau menagih hutang." Aku menautkan alis. Apa benar? Setahuku dan seingatku selama hidup bersama Nisa tak pernah ada orang ataupun tetangga yang kesini menagih?"Katanya hutangnya gede. Sudah dua bulan ngga di cicil. Makanya dia kesini untuk menagih. Aku bilang aja Mbak Nisa sudah pindah.""Benarkah, kalau gitu biar aku temui saja!" Apa benar Nisa memiliki hutang? Untuk apa?"Tu-tunggu, Mas. Aku tak mau kamu bicara jujur tentang Mbak Nisa!" Syasya menarik tanganku. Namun, aku tepis dan keluar untuk menemuinya.Aku celingukan. Dua laki-laki tadi tak ada didepan rumah. Aku benar-benar maki
Langkah panjangku langsung menuju sasaran. Mereka sejenak menghentikan aktifitasnya merebut motor Nisa."Siapa kamu dan apa urusanmu dengan motor ini!" Laki-laki bertato itu seketika menghardik."Kalian tak tahu siapa wanita ini! Dia itu istri ku, urusanmu dengannya juga urusanku!" Aku tak kalah garang."Hhaaha ... Terserah kamu yang penting aku dapatkan motor ini secepatnya." Mereka masih memaksa.Aku memandang Nisa, wajah dia sudah terlihat ketakutan."Siapa mereka?" tanyaku.Dia mengeleng, "aku ngga kenal, Mas. Mungkin dia perampok!" "Hei! Jangan bilang kami perampok. Kami hanya menjalankan tugas untuk menagih hutang!"Kali ini aku kembali menatap Nisa, "kamu punya hutang?"Dia kembali mengeleng, "mungkin mereka salah orang.""Mana kami salah! Jelas-jelas motor ini yang keluar dari rumah Santi!""Tunggu-tunggu, kalau tidak salah kemarin kan yang datang kerumahku kan?"Mereka saling pandang dan mengingat ingat."Oh, benar. Kamu lelaki yang tiba-tiba datang dan langsung di tarik mas
Belum sempat untuk memukul dia berteriak dan jatuh pingsan."Syasya!" Sontak aku langsung melepaskan tongkat golf begitu saja. Kutepuk-tepuk pipinya. Dia masih saja menutup matanya. Duh! Bagaimana ini?Kucari minyak angin, tak kutemukan. Biasanya ada di atas kulkas. Nyatanya hilang bersama kulkasnya. Kemana lagi ini aku mencari sesuatu yang bisa kujadikan alat untuk membangunkan Syasya yang pingsan.Ah, aku punya ide! Aku mengeluarkan dompet, kebetulan hari ini abis gajian dan tadi sempat ke ATM untuk mengambil tunai. Kutaruh lembaran merah satu lembar di kening. Masih belum sadar. Dua tiga hingga lima.Plok! Dia langsung menangkap uang yang di keningnya.Alhamdulilah! Akhirnya sadar juga. Syasya terlihat tersenyum penuh gembira."Kamu kenapa di gudang dan kenapa barang-barang di rumah ini hilang?" Cecarku langsung pada Syasya tanpa jeda."Anu, Mas. Tadi aku cari matras buat alas tidur. Soalnya kasur serta dipannya di bawa rentenir yang menagih hutang Mbak Nisa!"Apa? Kali ini aku yan
5 Bulan kemudian.Acara resepsi pernikahanku di gelar di sebuah gedung bertingkat. Aku bangga, sekaligus bahagia dapat menambatkan hati kembali pada sosok keren dan setia seperti Mas Denis."Gimana pengantinnya? Apa sudah siap! Sebentar lagi akan nikah akan di lakukan." Seorang wanita yang kutahu karyawan kepercayaan Mas Denis memberitahu.Aku makin deg-degan di buatnya. Walau ini hal yang kedua kali aku lalui tapi nyatanya tak menyurutkan rasa nervous yang kualami."Sudah siap, Mbak?"Aku memandangi diri pada cermin. Riasan yang natural namun elegant, bahkan aku sampai tak mengenali diriku. Sungguh MUA yang profesional."Makasih ya, Mbak," ucapku tulus.Dua orang telah menungguku untuk menuju ruang akad nikah. Satu menggandengku dan satunya lagi memegangi bajuku yang terjuntai kelantai beberapa meter.Sungguh aku merasa bak Cinderella yang sedang menunggu singgasana. Derap langkah kaki berpacu dengan jantung yang makin tak menentu."Ya Allah, berikan hambamu ini kekuatan untuk tak s
PoV Nisa.Aku fokus pada tangan Pak Denis. Botol itu? Bukankah itu botol obatku. Ya Allah! Kali ini aku kecolongan. Aku lalai dan berakibat orang lain tahu bahwa aku mengkonsumsi obat penenang. Memang sekarang itu aku mudah sekali lupa, bahkan kadang juga linglung. Apa ini efek samping dari obat itu!Saat aku hentikan mereka yang akan berkelahi, kepalaku sudah mulai berdenyut. Sakit sekali. Jangan sampai aku kambuh, aku tak ingin semua ini terbongkar. Aku kuat, aku tegar!Kusupport diriku, namun tekanan batin makin menjadi. Terus menuju kepala, makin pusing. Rasa ingin berontak dan puncaknya benar. Aku berteriak bak orang gila. Pasti mereka kaget, karena tahu bahwa aku sebenarnya gila. Ya aku yakin setelah ini pasti aku di masukan ke RSJ.Kepala serasa di putar-putar. Makin pusing tak karuan. Melihat Pak Denis dan Mas Arman sudah tak jelas hingga semuanya gelap, pekat. Apakah aku meninggal?Tut ... Tut ... Tut ... Aku membuka mata, namun kepalaku terasa berat. Kulihat sekeliling tapi
Allah!Beberapa kali aku menyebut asma Allah, sungguh hati ini perih melihat kenyataan ini. Apa aku sangat kejam? "Ya Allah! Hukumlah aku! Jangan hukum Nisa, semua masalah berawal dariku!" Aku terduduk lemas di lantai rumah sakit. Tak peduli jika ada orang yang memperhatikanku dalam.Pak Denis mendekat. Ia memegang kerahku. Aku pasrah saja. Memang aku pantas jika harus di pukul sekalipun."Apa ini yang kamu mau dari Nisa? Apa ini yang kamu inginkan, hah! Lihatlah, dia itu ibu dari anak-anakmu! Tak sedikitlah kamu iba?!" Pak Denis melepaskanmu hingga aku terjengkang kebelakang.Dia seperti sangat geram, bahkan tak kalah frustasinya. Dari itu aku sadar jika Pak Denis mencintai Nisa.Aku masih merundungi nasib di depan ruang ICCU. Nisa belum sadarkan diri. Kata dokter ada pembekuan otak akibat terlalu sering mengkonsumsi obat penenang dengan dosis tinggi. "Nisa sadarlah, aku janji akan melakukan apapun asal kamu sembuh. Aku ingin melihat kamu kembali bersama anak-anak. Aku akan pergi m
PoV Denis."Denis, kapan kamu nikah?" tanya Om Beni saat tengah kumpul keluarga."Nanti, Om. Belum ada yang cocok!" jawabku jengah, karena selalu hal itu yang di tanyakan saat bertemu. Seperti ngga ada pertanyaan lain saja!"Sampai kapan, Den! Usia kamu sudah tak muda lagi loh!" sambung Om Beni. Malas sekali meladeninya, ini yang membuat aku malas saat berkumpul dengan keluarga. Papa hanya diam, hanya dia orang yang tak pernah menuntut ku tentang pernikahan. Sedangkan Mama! ia sebenarnya lebih cerewet dari Om Beni."Den, Mama kenalin sama anak temen mama ya, Mama kenalin sama si A, Mama kenalin sama si B!" Sampai pusing aku dengarnya. Sekali dua kali aku ikuti kemauan mama.Sesi perkenalan lancar, sesi pendekatan? Rata-rata gagal total karena mereka menganggap aku aneh, mencintai mahluk berbulu. Kucing!Kadang ada yang juga masih mau menerima tapi aku tahu dia hanya pura-pura. Aku yakin orang tuanya memaksa untuk tetap bersabar sampai menikah denganku. Aku dengar saat mereka tengah m
"I-itu hanya masalah kecil saja, Man. Tak perlu di ungkit lagi!" jawab Ibu makin membuat penasaran. Apa mereka punya hubungan atau mereka mantan kekasih."Bu, menceritakan masa lalu pada anaknya itu ngga salah. Anggap saja sejarah!" Aku masih coba membujuk.Ibu mengeleng kepala dan melanjutkan menyiram tanaman."Kamu itu! Udahlah, sana pergi makan!" Ibu mencoba mengalihkan perhatianku. Aku tak peduli, aku harus tahu masa lalu mereka."Jangan-jangan Ibu dan Bapak Nisa pernah ...." Aku tak melanjutkan kata-kataku, tapi dua jariku kusatukan menandakan bahwa mereka pernah berdekatan."Apa maksud kamu? Kamu pikir Ibu sama Mertuamu itu pernah pacaran begitu?" Aku mengangguk.Ibu menonyol kepalaku, "kamu itu pikirannya negatif Mulu!"Aku terkekeh, "abis Ibu tak mau cerita!""Baik, biar ibu ceritakan. Tadinya ibu sudah berusaha memaafkan karena melihat besarnya cintamu pada Nisa. Tapi, karena kamu memaksa ....""Udah ayo cerita, Bu! Jangan kepanjangan ceramahnya!" Kupotong ucapan Ibu yang bel
PoV NisaAku harus mencari pengganti Ningsih, dia bilang kemarin sempat cek pakai testpack di kamar mandiku dan terlihat dua garis walau agak buram. Saat aku mencarinya, ketika dia menyuruhku untuk mamastikan. Nyatanya sudah tak ada.Beruntung dia, setelah lama mengidamkan anak dalam pernikahannya akhirnya ia dapatkan juga. Penuh syukur.Namun, tetap berimbas padaku, aku harus mencari baby sitter baru untuk anakku. Karena Ningsih ingin benar-benar bed rest.Kesal dengan semua ulah Mas Arman! Dia itu makin menyebalkan. Beruntung aku punya teman macam Pak Denis, kita itu satu alur. Sama-sama pecinta kucing."Kamu suka kucing dari dulu, kenapa tak memelihara?" tanya Pak Denis waktu kami tengah bermain dengan ratusan ekor kucing yang super gembul.Aku menggaruk kepala, seketika ada kutu hinggap."Anu, Pak! Suamiku tak suka, bahkan dia jijik katanya." Kukatakan saja sejujurnya. "Benarkah?" Pak Denis terlihat tak yakin, sesaat sepertinya ia tengah berfikir."Bagaimana kalau kamu bawa aja b
"Ti-ti-tidakkkk! Aku tak mungkin bisa! Ti-ti-tidakkkk, Nisa!"Brughh!Aku terperanjat kaget saat meja kerjaku di gedor. Aku yang tengah bermimpi indah kembali dengan Nisa menjadi bubar.Sorot mata Bu Maria yang notaben-nya sueeper galak di tambah tak suka dengan sikapku menunjukan ekstensinya."Mau kerja apa mau tidur! Ngigau lagi, mau saya pecat?!"Duh kan keluar semua tanduknya, ibu gembrot yang memang tidak mempunyai anak. Mungkin karena judes jadi anakpun enggan singgah! Eh, ngga boleh suuzon."Maaf, Bu. Saya ketiduran karena semalam begadang. Mohon maaf, ngga akan saya ulangi." Aku memohon walau semua kulakukan karena terpaksa. Terpaksa karena masih butuh pekerjaan ini dan juga ingin dekat dengan Nisa."Bu!" Panggil seseorang yang sudah sangat aku hafal suaranya. Siapa lagi kalau bukan istriku Nisa."Iya sebentar. Saya ingin kasih peringatan pada karyawan satu ini! Dia itu suka molor di jam kantor!"Nah dia mau memperpanjang. Gaya banget, jabatan kita cuma beda satu level, sok-so
"Masya Allah, Astaghfirullah, Nisa ... Ini apa-apaan?!" Teriakku di depan pintu. Bergidik ngeri saat mahluk berbulu mendekat kearahku dan mengendus kakiku dan ini bukan cuma satu!Ngeong!Ngeong!Suara khasnya membuat aku pusing, terlebih mereka mendekat kearahku dan bermain di kakiku. Seolah aku orang tua mereka."Nisa! Singkirkan mereka dariku!" Kembali aku teriak karena si pemilik nama belum juga menunjukan batang hidungnya.Terlihat Nisa mendekat, dia juga tengah mengendong satu kucing gemuk."Apa si, Mas? Teriak-teriak begitu!" dia menjawab tanpa dosa dan mulai berjalan menjauh."Nisa! Jangan kurang ajar! Bukankah aku sudah melarang kamu membawa binatang menjijikan ini? Kenapa justru kamu bawa pasukannya? Kamu mau jadi pembangkang!" Seruku tak terkendali. Aku benar-benar geram akan ulahnya."Memangnya sekarang kamu siapa, Mas? Melarang aku membawa mahluk terimut yang Allah ciptakan," ucapnya sambil mencium kucingnya. Aku bergidik ngeri.Ihhh!"Tapi aku kan masih tinggal di sini d
Syasya masih memegangi perutnya dengan kedua tangan. Aku mengambil motor dengan tergesa, membuat kakiku menabrak motor lain. Ngilu! Tapi aku juga khawatir dengan kondisi Syasya. Bagaimana kalau dia sampai pendarahan dan meninggal? Apa itu artinya aku melakukan pembunuhan?"Ayo, Sya, buruan!" Ajakku menghentikan motor tepat di depannya."Aduh! Mas ini udah di ubun-ubun aku ketoilet dulu ya!" Syasya hampir saja melangkah pergi ketika aku langsung mencekalnya."Kenapa ketoilet lagi, nanti kamu justru kehabisan tenaga. Ayo! Kita langsung ke klinik biar di tangani!"Segera Syasya tak dapat menghindar karena tangannya aku pegangi dengan erat. Segera membawa menuju jok belakang motor. Kulajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aku merasakan pegangan erat Syasya. Bahkan sesekali ia meremas pingangku, mungkin dia merasakan sakit yang teramat. Maafkan aku, Sya! Runtukku dalam hati.Perjalanan yang aku tempuh memakan waktu setengah jam. Membuat terasa begitu lama. Terlebih Syasya yang terus merau