Belum sempat gadis itu menjawab, Imran merasakan getaran ponsel di dalam sakunya. Ia pun segera meraih lalu melihat siapa yang tengah menelpon. Tanpa menunggu lagi, pria itu lantas berdiri. Ia berjalan ke dalam lagi.Alya kembali mengajak anak asuhannya itu bermain lagi. Ia membuat Aksa tertawa hingga lelah dan akhirnya tertidur di pangkuan Alya. Gadis berjilbab putih itu mengangkat Aksa kecil untuk digendong dan dibawa masuk. Setelah menidurkan Aksa di atas ranjang goyang, Alya duduk sejenak di dekat sana. Menatap wajah tampan yang begitu lucu itu. Ia teringat dengan adiknya yang meninggal beberapa tahun silam. Kini hanya tinggal sang ibu yang mengisi waktu luang dengan berjualan makanan matang. Ia rindu dengan Santi. "Ibu pasti sekarang lagi sibuk," gumamnya sendiri. Ia tak sadar kalau di ambang pintu sosok Imran tengah menatap ke arahnya. Ketika hendak berdiri untuk keluar kamar, tiba-tiba Alya terlonjak karena kaget melihat Imran di sana. Pria bertubuh atletis itu berkata, "Dia
Saat gadis itu ditanya, ia tak dapat menjawab. Ia bingung dan tiba-tiba tenggorokan serasa tercekat. Namun, ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk membalas meskipun hanya satu kata. "Sss--saya ....""Aku tanya sama kamu sekali lagi, kamu siapanya Mas Imran?" Wanita bersuara ketus itu mendekat sejengkal demi sejengkal. Ditambah lagi dengan sorot matanya yang begitu tajam. "Mm--maaf, Buk. Saya hanya bantuin Pak Imran ngangkut barang. Eh, maksud saya mengemas untuk dibawa pindah." Alya sama sekali tak mendongak. Ia tak berani menatap wanita berambut panjang itu. "Sejak kapan kamu kerja sama Mas Imran? Sudah lama? Berarti kamu udah tau semua tentang dia? Atau jangan-jangan kamu ... selingkuhannya? Iya!" Suara Mega semakin meninggi. Ia mematikan nyali gadis itu saat itu juga. "Bukan, Buk. Saya berani sumpah. Saya enggak tau apa-apa. Saya baru sehari kerja mengasuh anaknya." Alya kembali menjawab. Sakit rasanya dibentak dan dituduh keji seperti itu. "Jangan bohong kamu! Lagian mana mungk
Malam itu, Imran terbangun. Saking lelahnya, ia selepas pulang langsung tidur. Sebelumnya mandi dan menyegarkan diri. Rasa kantuk pun menyerang dengan tiba-tiba. Ketika matanya terbuka lebar, ia melihat jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia juga lupa belum makan, sekarang merasa perut ingin diisi.Namun, pria tampan itu tahu, jika makan malam-malam tidak baik untuk kesehatannya. Saat teringat putranya, ia juga teringat dengan Alya. Ia berhutang jasa pada gadis itu. Imran pun segera menurunkan kakinya dari atas ranjang. Kemudian setelah itu, ia mencari krim oles untuk luka. Begitu mendapatkan benda itu di laci kamarnya, Imran pun lekas keluar dan melangkah ke kamar putranya. Di sana memang kamar Alya juga sekarang. Sampai di depan pintu, pria itu mengetuk tiga kali. Akan tetapi, tak ada satu pun sahutan dari dalam. Karena keadaan rumah juga sudah sepi, Imran kira Alya pun sudah tidur. Saat ia sudah pasrah dan memutuskan untuk kembali, samar-samar telinganya mendengar suara
Imran yang masih duduk sambil memegangi kotak makan di tangan pun tersedak seketika. Adiknya datang sambil meledek. Begitu pun Zayyan yang muncul dari belakang tubuh istrinya sambil menggendong Alifa yang mau berjemur. "Alya, aku titip Masku, ya! Soalnya dia harus diasuh juga. Maklumin aja kalau sering oleng orangnya," ucap Diandra dengan sengaja. Dia tertawa gemas. Seketika Imran ikut tertawa. Entah mengapa rasanya malu sekali saat Diandra menyindir. Selama ini ia selalu bersikap dewasa dan menjaga image. Namun, di depan Alya barusan, rasanya seperti berbanding terbalik. Pagi ini ia dibuat salah tingkah oleh mereka. "Dia, jangan gitu dong! Kasian Alya," imbuh Imran. "Ciee. Yang belain. Oke deh, semoga perjalanannya lancar." Dia berjalan ke samping rumah sambil membawa dua gelas jus buah. "Duluan ya, Mas." Zayyan masih saja tertawa lalu mengikuti istrinya yang sudah lebih dulu. Imran menggeleng kepalanya menyadari adik dan iparnya sedang menggodanya. Ia beralih pada Alya yang te
"Selamat ya, Al. Sebentar lagi kamu akan menikah." Imran duduk di pinggir taman sambil menatap pemandangan taman kota yang begitu indah. Napasnya terdengar begitu berat. Entah mengapa kalimat itu lolos begitu saja dari lisannya yang semu merah itu. "Maaf ya, Pak. Kalau ucapan ibu ada yang salah. Saya jadi enggak enak sendiri. Ibu banyak bicara kayaknya." Gadis yang memangku Aksa itu menjawab. Ia duduk satu bangku dengan pria duda itu. "Enggak apa-apa. Lagian yang penting ibu kamu senang. Kamu harus berbakti dengan beliau. Em, ngomong-ngomong, siapa laki-laki yang mau melamar kamu? Kalian udah lama dekat?" "Enggak sih, Pak. Cuman dulu kami remaja masjid. Jadi saya juga cukup tau tentang dia. Begitu sebaliknya. Hubungan keluarga kami juga baik.""Oh, jadi udah tau seluk beluk keluarga masing-masing, ya. Oke deh, semoga kamu bahagia dengan dia. Aku selalu doakan."Beberapa menit Alya terdiam. Gadis itu menatap ke depan, raut wajahnya seperti memikirkan sesuatu. Namun, sejauh ini tak m
"Alya, aku minta maaf atas ucapan ibu tadi. Aku jadi enggak enak." Imran mengantar Alya sampai di depan pintu kamarnya dan Aksa. Sengaja memang Aksa sering bangun saat malam. Dan hanya Alya, yang bisa menjaganya. "Enggak apa-apa, Pak. Sebenarnya ibu juga mewakili perasaan saya." Alya menghela napas panjang."Soal kamu enggak cocok sama cowok itu? Si siapa namanya?" "Mas Ahmad.""Nah, itu. Kamu serius enggak mau nikah sama dia?""Bukan enggak mau, Pak. Saya cuman enggak mau ibu saya kecewa kalau saya nolak. Saya belum bisa bahagiain beliau.""Aku bisa bantu kalau itu. Mau enggak aku bantu? Sama-sama untung nanti." Imran tersenyum lebar. Pria tampan itu membuat Alya salah tingkah. "Maksud Bapak gimana?""Bilang aja kamu mau nikah sama saya. Nanti kamu bakal selamat dari perjodohan itu. Dan ibu saya pun pasti senang. Kamu tau sendiri kan beliau tadi kayak apa. Beliau pengen kamu jadi mantunya," terang Imran dengan gamblang. "Apa?" Alya menelan ludahnya langsung. Ia menatap ke bawah s
Alya dan Halimah menatap keberangkatan Imran ke rumah sakit. Setelah lelaki itu pulang nanti, mereka sepakat akan ke rumah Santi untuk membicarakan semuanya. Halimah memutar badannya, menatap Alya yang masih termangu sambil menggendong Aksa. "Alya, ayo kita masuk lagi!" ajak Halimah. "Iya, Buk." Alya mengulas senyuman setelah sadar. Lalu mereka pun kembali ke dalam. Ada banyak hal yang kini memenuhi ruang kepala Alya. Apakah ia bisa membina rumah tangga dengan Imran nanti? Pikirannya mulai dipenuhi dengan hak-hak dan kewajiban keduanya setelah menikah nanti. Padahal, sebenarnya Alya rasa ia belum cukup mampu untuk hal sensitif yang bakal ia lewati. Ia pikir menikah dengan Imran hanya sekadar mengasuh Aksa. Sementara itu, setelah sampai di rumah sakit, Imran berjalan melewati lorong menuju ruangannya dengan hati berbunga-bunga. Ia teringat denga pembicaraan tadi pagi. Begitu panjang masalah rumah tangga yang sudah lama ia pendam sendiri. Dan kini, ia akan memulainya dari awal lagi.
"Alya, maafkan Ibu juga. Ibu tapi sudah bilang sama mereka kalau kamu akan menikah dengan Ahmad. Sepulang dia dari Kairo nanti. Dia akan menikahimu. Dan memang sudah setuju juga. Bagaimana jika mereka marah nanti? Semua tetangga akan menggunjing kita. Semua orang akan menghina ibu karena tidak bisa mendidik anaknya. Kamu mau melihat ibu menangis sepanjang malam? Menanggung malu sepanjang usia? Lagian juga kamu harus tau diri. Kita dari keluarga biasa, sudah benar kamu sama Kairo." Santi beralih pada Imran dan Halimah. "Maaf, Buk, Pak. Anak saya akan menikah dengan Ahmad. Jadi tolong, untuk tidak mengusik dia lagi. Saya mohon maaf sekali. Silakan bicarakan dengan Alya saja."Santi tak tahan dengan sesak dalam dadanya. Akhirnya ia berdiri lalu meninggalkan ruang tamu itu. Ia pergi ke kamar lalu mengunci pintunya. Alya terlihat sedih melihat sikap ibunya. Haruskah ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai?"Maafkan ibu, Pak, Bu Halimah. Maaf sekali lagi." Alya sudah mengusap wajahnya
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat