Suasana ramai di luar sana, terdengar riuh dan orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dengan tugas mereka masing-masing, tak ada yang tahu sedang apa Alya di dalam ruangan rias. Hanya ditemani satu perias yang sejak tadi lelah melapisi pipi putih gadis itu karena selalu luntur oleh air mata. Wajah menatap pada cermin besar di hadapannya, bukannya bahagia, ia malah merasa sedih. Alya sudah merusaha menghalau air mata yang selalu menguras kesabaran. Yang ada hanyalah rasa bersalah. Sekarang ia tak bisa apa-apa lagi. "Mbak, jangan sedih, dong! Nanti enggak selesai-selesai ini make up-nya. Saya juga udah beberapakali membenahi, tapi Mbaknya masih menangis aja. Gimana mau siap kita, Mbak?" keluh salah seorang perias. Ia sudah lelah kemudian menyudahinya. Perias pengantin tadi memutuskan untuk keluar dari kamar rumah Alya. Gadis itu tak menanggapinya dengan serius. Ia hanya terus mengusap make up yang luntur itu. Hingga pada akhirnya, Santi masuk karena aduan dari sang perias.
"Selamat ya, buat kalian berdua. Aku ikut bahagia," ucap Ahmad ketika pria itu menepuk pundak Imran selepas akad. "Aku udah hutang budi sama kamu, Mad. Kita belum kenal betul, tapi kamu udah kasih aku kepercayaan buat jagain Alya." Imran masih tak percaya hal ini terjadi. "Udahlah, santai aja. Oh ya, nih, anakmu! Aku mau ke toilet dulu. Dari tadi dia ngucek hidungnya terus. Kayaknya ngantuk, deh," balas Ahmad lagi. Lantas Imran pun menggendong Aksa lagi. "Makasih banget, ya, Mad. Udah bantuin jaga Aksa juga. Jadi enggak enak aku." Imran tertawa. "Halah, enakin aja. Dah, ah, aku ke toilet dulu." Ahmad pun segera beranjak dari tempatnya berdiri tadi. Saat Imran menoleh ke belakang, ia melihat Alya sedang memeluk ibunya. Sepertinya mereka terlibat pembicaraan yang sangat serius. Sampai air mata kembali tak dapat dibendung. Kemudian dagang pernah tua Ahmad ikut menenangkan. Meninggalkan tamu undangan yang tengah menikmati acara makan-makan. Entah apa yang sedang mereka bicarakan saa
Sampai di rumah sakit, Imran meminta Alya dan ibunya tetap di dalam mobil. Sementara dirinya membawa Mega ke dalam bersama perawat yang membawa brankar. Mereka membawa Mega ke ruangan periksa. Setelah Imran sendiri yang memeriksa keadaan wanita itu, ternyata Mega hanya pingsan biasa. Tekanan darah dan keadaan fisik Mega baik-baik saja. "Sus, tolong saya titip dia. Kalau ada apa-apa, telpon saya, ya!" pinta Imran pada wanita yang membantunya memeriksa di dalam ruangan itu. Sang suster yang tengah mencatat identitas dan keamanan wanita itu pun lantas menjawab, "Baik, Dok. Dua jam lagi saya kabarin.""Oke. Saya pulang dulu." Imran lekas keluar dari ruangan itu setelah memasang selang infus di tangan Mega. Imran menghampiri mobilnya lagi. Kemudian ia berkata, "Mega enggak apa-apa, hanya pingsan biasa.""Terus, siapa nanti yang ngurus dia, Im?" tanya Halimah. "Nanti suster jaga yang bakal ngabarin. Kalau udah sadar, Imran akan menemuinya." Lelaki itu menatap Halimah dari kaca spion dal
"Apa Pak Imran mau tidur di kamar itu juga? Jika benar, itu tandanya mereka berdua rujuk. Lantas, kenapa Pak Imran selalu bilang enggak mau rujuk sama wanita itu?" gumam Alya sendiri. Ia merasa khawatir. Ia takut menjadi penghalang di antara mereka nanti. Gadis itu sadar, ia bukan saingan yang tepat. Lagi pula, ia juga tidak mau saingan. Tak mau punya musuh dan juga sadar diri. Saat tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Alya segera menoleh karena tak dapat menahan diri. "Pak Imran ...." Alya berdiri. "Duduk saja!" kata Imran lalu berjalan mendekat. Setelah duduk di sebelah Alya, seraya menatap putranya yang terlelap itu, Imran menghela napas. Ia beralih pada Alya yang tampak gugup, tak mau bicara lebih dulu. "Alya.""Iya, Pak.""Aku mau minta maaf."Alya mendongak. Ia rasa tak ada yang perlu dimaafkan karena tak ada yang salah. "Maaf?""Iya. Aku sudah membawa mantan istriku ke sini tanpa bicara dulu sama kamu dan ibu. Soalnya dia minta pulang ta
"Ya Allah, mau di bawa ke mana sih, itu Dek Aksa. Kenapa Bu Mega malah lari?" gumam Aliya sendiri. Ia melihat Mega malah masuk ke dalam taksi yang kebetulan lewat di depan kompleks. "Buk!" teriak Alya. "Tunggu! Mau ke mana?" Alya mengejar sampai terengah-engah. Namun, Aksa dan Mega sudah masuk ke dalam taksi. Hilang sudah mereka dari pandangan mata. Alya yang gugup itu pun segera menekan kontak pada ponsel di tangannya. Ia menghubungi Imran. Saat bersamaan, Alya melihat tukang ojek. Ia pun kembali mematikan ponselnya dan menyetop tukang ojek tadi. "Pak, kejar mobil taksi di depan itu, ya!" "Oke, Mbak." Tukang ojek kembali menarik gas setelah Alya naik di belakangnya. Mereka mulai mengejar taksi yang ada di depan. Tepat saat berhenti di bawah lampu merah, Alya turun lalu mengetuk pintu taksi yang ditumpangi oleh Mega. "Buk, bukain!""Buk, mau ke mana?""Bukain, Buk! Dek Aska mau dibawa ke mana?" Alya masih menggedor pintu takdir tersebut dan tak peduli dengan sang sopir yang ten
“Kamu pernah suka sama seseorang?” tanya Imran di tengah keasyikan bersama Alya malam itu. Ia tak mengalihkan tatapan sedetik pun dari gadis itu. “Belum, Mas. Saya ... juga tidak pernah terikat hubungan serius dengan seseorang.” Alya terlihat malu. “Aku beruntung bisa menikahimu. Terima kasih, ya, sudah mau menerimaku. Padahal aku seorang duda. Idamanmu pasti pria-pria lajang yang tampan dan gagah seperti CEO di luar sana,” goda Imran lagi. “Enggak juga, Mas. Kenapa Mas bisa tanya seperti itu? Memangnya apa saya terlihat seperti itu? Enggak apa-apa duda mah." Alya terlihat malu-malu. “Kali aja gitu. Lagian kamu cantik, penyayang, dan juga bisa cari siapa pun yang lebih tampan dariku.”“Mas mau menguji saya atau gimana? Punya suami dokter saja seperti mimpi. Masih enggak percaya aja. Padahal dulu ngiranya dapat orang biasa. Eh, malah dapat yang luar biasa."“Ya sudah, kalau begitu. Aku mau tanya satu hal. Apa kamu sudah siap?” Setelah sekian malam berada dalam satu kamar, akhirnya
Imran membuka pintu kamar, ia melihat Alya sedang menerima telepon dari seseorang. Pria itu lantas kembali mendekat, memangkas jarak kemudian menangkupkan tangannya melingkar pada pinggang Alya. Meski terkejut, gadis itu menoleh sambil tersenyum. Telunjuknya berada pada bibirnya. Alya masih menjawab setiap ucapan seseorang di seberang sana. Merasa diabaikan, Imran beralih pada Aksa yang tengah bermain sendirian. Ia memberi putranya mainan yang ada di dekatnya. “Oke, Mbak. Wa’alaykumsalam warahmatullahi wa barokatuh.” Alya mematikan panggilan. Ia segera menatap suaminya yang kini tengah menunggu penjelasan. “Mas, barusan ....”“Siapa yang nelpon, Sayang?” Imran langsung menyahut. Ia tak mau kalah. Alya tertawa sebentar. “Mbak Diandra. Beliau bilang besok mau liburan sama suaminya. Kita enggak bisa silaturahmi ke sana,” terang Alya. “Oh. Ya udah, enggak apa-apa. Lagian juga kita bakal liburan juga.”“Loh, ke mana? Kok, mendadak? Eh, tapi Mas bukannya barusan berangkat ke rumah sak
Imran dan Alya menghabiskan waktu mereka liburan di sana. Memadu kasih dan menyenangkan hati. Waktu penuh pria itu hanya untuk sang istri yang wajahnya begitu cantik dan muda. Merasa seperti kembali muda juga jiwa pria itu. Semangatnya untuk memiliki keturunan baru pun semakin menggebu. “Aku mencintaimu, Alya.”Gadis itu tak dapat menjawab karena Imran telah menenggelamkan mereka ke dalam lautan cinta. Dunia seperti hanya untuk mereka berdua. Ke mana-mana berdua dan bergandengan. Tak peduli meski jarak usia terlihat jauh. Mereka tetap sama-sama menikmatinya. Hujan sore itu membuat Imran dan Alya enggan keluar kamar hotel. Mereka berdua menikmati secangkir coklat bersama. Berselimut sambil berpelukan menikmati film lucu untuk melunakkan suasana yang sempat membuat keduanya lelah. “Mas,” panggil Alya. “Ya?”“Gimana kabar ibu, ya? Kita belum telpon sejak kemarin.”“Kamu mau telpon?”Saat Alya mengangguk, Imran segera meraih ponselnya di atas nakas dekatnya duduk. Ia melihat ben
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat