Imran dan Alya menghabiskan waktu mereka liburan di sana. Memadu kasih dan menyenangkan hati. Waktu penuh pria itu hanya untuk sang istri yang wajahnya begitu cantik dan muda. Merasa seperti kembali muda juga jiwa pria itu. Semangatnya untuk memiliki keturunan baru pun semakin menggebu. “Aku mencintaimu, Alya.”Gadis itu tak dapat menjawab karena Imran telah menenggelamkan mereka ke dalam lautan cinta. Dunia seperti hanya untuk mereka berdua. Ke mana-mana berdua dan bergandengan. Tak peduli meski jarak usia terlihat jauh. Mereka tetap sama-sama menikmatinya. Hujan sore itu membuat Imran dan Alya enggan keluar kamar hotel. Mereka berdua menikmati secangkir coklat bersama. Berselimut sambil berpelukan menikmati film lucu untuk melunakkan suasana yang sempat membuat keduanya lelah. “Mas,” panggil Alya. “Ya?”“Gimana kabar ibu, ya? Kita belum telpon sejak kemarin.”“Kamu mau telpon?”Saat Alya mengangguk, Imran segera meraih ponselnya di atas nakas dekatnya duduk. Ia melihat ben
"Aku pulang dulu ya, Al. Seneng banget bisa ngasuh Aksa. Dia gemesin banget. Pengen aku cubitin pipinya." Rani tertawa dan tangannya masih enggan melepaskan Aksa sebenarnya. "Mbak bisa ke sini kapan aja. Aku doakan bulan depan langsung isi. Semoga jadi anak yang berbakti." Alya membalas sambil tersenyum. "Aamiin. Makasih banyak, Al. Hem, nanti aku bakal sering-sering ke sini. Duluan, ya." Rani melambai pada Alya yang mengantarnya sampai ke depan gerbang. Wanita yang sudah 10 tahun berumah tangga dan belum dikaruniai seorang anak pun itu bergegas masuk ke dalam mobil yang dibukakan oleh suaminya. Mereka saling melambai pada Alya. Begitu juga sebaliknya. Setelah tak ada kegiatan lagi, Alya kembali masuk ke dalam rumah. Ia mengerjakan tugasnya sebagai istri sekaligus ibu sambung untuk Aksa. Waktu berputar begitu cepat, malam pun tiba. Mobil Imran terdengar masuk ke halaman. Saat itu, malam sudah menunjukkan pukul sembilan. Aksa dan Alya sudah terbaring di ranjang tidur bersama. Kea
30 tahun berlalu, Aksa kini sudah besar. Ia memiliki adik dari ibu sambungnya yaitu Alya. Sama sepertinya, mereka tumbuh bersama. Dua pria dewasa kini tumbuh berbeda profesi. Mereka duduk di meja makan bersama dua orang tuanya. Aksa terlihat begitu tampan mengenakan kemeja biru dilapisi jas hitam. Dengan potongan rambut sisi samping tipis dan bagian depan disisir ke samping. Hidung bangir, bibirnya sedang. Wajahnya yang tampan selalu menjadi idola karyawati di kantor tempatnya bekerja. “Mah, hari ini Aksa pulang agak malam. Ada acara di kantor,” ucap pria matang itu. “Aku juga, Mah. Ada operasi dan jadwalnya malam. Kalau enggak percaya, tanya aja papa,” ujar Zain juga. Dokter muda yang baru saja mengambil jurusan spesialis seperti papanya. “Yang penting kalian jaga diri,” sahut Alya. Ia membantu suaminya mengupas buah pagi itu. “Papa sama Mama selalu nunggu kalian pulang. Udah enggak ada nenek, kalian harus pengertian juga, ya!” Dua putra mereka mengangguk. Namun, tampak sifat ya
“Jangan macam-macam kamu! Karyawan baru, bisa aja saya minta kamu angkat kaki besok.” “Tiap hari juga saya angkat kaki, Pak. Eh ....” Gadis itu meringis saat Aksa semakin geram. Namun, pria itu saat ini tak bisa jalan lebih jauh lagi. Sementara mobilnya ada di dalam parkiran yang lumayan jauh. Jalan satu-satunya hanyalah gadis itu. Kebetulan sekali satpam juga tak ada. “Tolong bantu saya pesankan taksi!” pinta Aksa lagi. “Bapak mau pulang juga? Biar saya anterin.” “Enggak usah. Saya enggak biasa naik motor.” “Bukan naik motor, Pak.” “Terus apa? Jalan kaki? Tau enggak kaki saya begini?” “Ya Allah, galak banget. Su’udzon aja di Bapak. Saya cuman nawarin.” “Cari aja taksi, nanti saya pulang sendiri. Biar orang rumah nanti yang ambil mobil saya.” “Saya bisa, kok, Pak bawa mobil.” Aksa terkejut sampai menoleh. Bibirnya terbuka, mereka berdua sama-sama saling bertatapan. “Serius? Punya SIM kamu?” “Punya, dong, Pak. Cuman mobilnya aja yang enggak punya.” “Ya udah, kalau gitu ban
“Makasih, Tuan, Nyonya. Saya pulang dulu. Makasih, Pak Aksa.” Gadis itu terlihat menunduk sopan saat berpamitan. Mobil yang akan mengantarnya pun sudah siap. “Makasih juga ya, Aruna.” Alya melambai, membalas sikap sopan gadis itu. Setelah Alya masuk ke dalam mobil dan pergi dari sana, Aksa masih terdiam dengan sejuta lamunan. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Saat mamanya hendak masuk, pria itu masih tetap di sana hingga Alya sadar kalau putranya tengah memikirkan sesuatu. “Aksa, ayo masuk!” “Iya, Mah.” Pria tampan itu pun mengikuti mamanya. Sampai di dalam kamarnya sendiri. Ia mulai merebahkan tubuh yang letih. Acara yang seharusnya ia hadiri, akhirnya batal karena insiden sore tadi. Namun, yang ada di dalam benak saat ini bukan itu. Melainkan gadis berlesung pipi tadi. Senyumannya tak dapat ia lupakan. Aksa mulai menatap ponselnya. Ia mencari kontak asistennya. Kemudian setelah itu, Aksa mulai menelpon. “Halo, Bos?” “Minta nomor ponsel Aruna!” “Siap,
“Pindah? Mau pindah ke mana lagi, Pak? Susah nanti saya. Harus bayar ulang. Ini kan udah pertengahan bulan juga. Aduh, Pak. Ampun, jangan buat saya makin susah napas lagi, Pak.” Aksa tertawa dalam hati. “Ibu kamu yang katanya sakit itu sekarang di mana? Kamu udah bawa ke rumah sakit belum?” “Enggak, Pak. Ada temen yang meriksa langsung ke rumah,” jawab Aruna. “Temen? Kamu punya temen dokter?” “Punya.” Aksa tak melanjutkan ucapan lagi. Ia meminta Aruna bergegas menghabiskan makannya. Setelah itu mereka kembali ke kantor lagi. Seharian itu, Aksa tampak sering menengok keberadaan Aruna. Gadis cantik yang tampak sibuk dengan segudang kerjaan itu meminta Aksa agar tidak berdiri mengawasinya setiap kali kerja. “Nanti pulang sama saya!” Aksa berdiri menyandar kusen pintu sebuah ruangan yang sedang Aruna. Aruna menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengelap meja bekas meeting. “Saya bisa naik angkot, Pak.” “Kan saya sudah bilang, kamu pulang sama saya!” “Tapi saya enggak bisa, P
Aksa masuk ke dalam dengan modal yakin saja. Pria itu mencoba menyusuri lorong di depannya. Begitu selangkah hendak membelok pada pertigaan lorong, ia melihat Aruna. Ya, itu benar Aruna. Gadis itu tampak menangis. Saat Aksa hendak menghampiri, tiba-tiba dari dalam ruangan muncul sosok dokter muda. Yang wajahnya memang sangat tampan. Dokter itu mengenakan kacamata. Mirip sekali dengan Zain. "Zain ...," gumam Aksa sendiri. Aruna menangis. Lalu tampak Zain menarik kepala gadis itu dan membenarkannya dalam dekapan. Sempat sesak dada Aksa melihat pemandangan itu. Zain dan Aruna saling kenal. "Aruna ...." Aksa kembali bergumam. Namun, ia tetap mendekati mereka. Pria itu menyapa, "Aruna. Gimana keadaan ibu kamu?"Aruna yang terlihat masih terisak itu pun menoleh. Wajahnya menelisik sosok yang baru saja datang itu. "Pak Aksa."Aruna menunduk lagi. "Mas Aksa?" Zain ikut terkejut. "Mas kenal Aruna?""Kenal. Dia bawahanku." Aksa menjawab. "Ibunya Aruna sudah enggak ada lagi. Kami tim dokt
"Serius kamu mau nikahin dia? Kamu kenal berapa lama dia? Apa dia enggak ada laki lain yang disukai? Maksud Mama, kamu udah tanya dia?" Alya tampak risau dengan keputusan putranya."Aku tinggal izin dari Mama sama Papa aja. Aku yakin dia gadis baik-baik. Dia juga enggak lagi deket sama siapa-siapa," bohong Aksa. Sebenarnya, ia hanya takut kalah start dengan adiknya. Semen hati sudah yakin kalau Aruna memang gadis baik-baik. "Aksa ke kamar dulu, Mah." Pria itu berdiri lalu meninggalkan kedua orang tuanya. Alya menatap suaminya. "Gimana, Mas?" "Gimana lagi, dia juga punya pilihan sendiri. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan. Oh ya, Zain pun juga udah ada calon kan, katanya. Jadi apa sekalian nikahannya?""Ih, Mas gimana sih? Masa barengan? Enggak, ah.""Lah, kenapa? Syukurannya, maksud aku, Sayang.""Enggak, Mas. Jangan, enggak suka aku.""Kenapa enggak suka? Aku khawatir aja ada yang enggak cocok nanti.""Lah." Imran mengerutkan dahinya. Ia menatap sang istri yang mulai per
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat