Terima kasih sudah membaca dan mengikuti novel ini... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3
Seperti hari sebelumnya, Anna bisa merasakan tatapan seluruh siswa dan siswi yang langsung menoleh padanya dimulai sejak kemunculannya di koridor lantai satu gedung sekolah sampai kini telah tiba di lantai tiga. Bedanya, jika kemarin mereka hanya memperhatikan penampilannya —perubahan dalam gaya menata rambut—, kini mereka terlihat seperti menjauhi dirinya. Jika kemarin mereka menatap sambil berbisik-bisik dan menatap jijik, kali ini mereka langsung pergi sedikit menjauh —seperti memberikan jalan— dan langsung menutup mulut ketika ia lewat tepat di depan mereka. Tentu saja Anna merasakan keanehan itu namun ia tidak memedulikannya. Ia justru senang saat melihat kerumunan siswa-siswi yang tadinya berdiri dan mengobrol di sepanjang koridor memperlebar jalan untuknya hingga ia tidak perlu berjalan berkelok-kelok seperti kemarin untuk bisa melewati mereka. ‘Rasanya seperti seorang aktris besar yang mendapat pengawalan,’ batin Anna dan tanpa sadar ia pun tersenyum. Walau tidak terlalu pe
“Kak Anna…” Remaja itu langsung menyapa Anna begitu muncul di ruang klub musik sebelum duduk di tempat yang berjarak satu bangku dari tempat Anna duduk. Ia memang biasa duduk di sana sama seperti Anna yang biasa duduk di tempatnya sekarang. Anna memalingkan wajah dan tersenyum pada pria yang diingatnya sebagai ketua OSIS itu sebelum mengalihkan perhatiannya lagi pada anggota klub yang sedang berlatih. “Kakak baik-baik saja?” Menebak pertanyaan itu mengarah ke mana, spontan membuat Anna tertawa. “Aku baik-baik saja. Bisakah kita menyimak mereka saja?” ucap Anna sebelum akhirnya berpaling dan berkata kembali, “Aku agak bosan mendapat pertanyaan itu dari teman sebangku ku seharian ini,” Anna menjelaskan setelah merasa sedikit menyesal pada apa yang ia katakan sebelumnya. “Oh… maaf…” Sahut William dengan wajah tersipu sebelum meluruskan posisi duduknya lagi untuk memperhatikan latihan para anggota klub musik. Melihat ekspresi William —yang sepertinya masih ingin berbicara padanya— A
Anna mendengus sembari menyunggingkan sebuah senyuman setelah mendengar pertanyaan Dustin yang sudah bisa ditebaknya bahkan sebelum siswa itu mengucapkannya. Ekspresi wajah Dustin membuatnya geli. ‘Anak SMA memang lucu,’ begitu pikirnya. “Daripada membahas hal itu lagi, bagaimana kalau membahas klub musikmu ini saja? Kau ketuanya, kan?” Bukannya mendapatkan jawaban dan malah mendapat pertanyaan balik, Dustin sampai mengerjapkan matanya berulang kali. Pertanyaan itu memang terdengar sama, tapi ditanyakan oleh orang yang berbeda. Setidaknya itulah yang Dustin rasakan. Jika beberapa detik lalu yang bertanya hanyalah seorang siswi beasiswa yang dulunya dikenal sebagai gadis Sadako dan diremehkan hampir semua pelajar di SMA ini, kali ini Dustin memandangnya dengan cara berbeda. ‘Dia si penghancur para perundung itu,’ batin Dustin. Punggung tangan kiri Anna yang dihiasi banyak plester dan tampak membengkak itu sudah menjadi bukti baginya untuk memercayai gosip yang beredar —padahal itu a
“Kak, Sherly tahu latihan itu mungkin tidak akan berhasil. Tapi bukannya tidak sopan kalau Sherly pulang sebelum kami menyelesaikan latihan?” protes Sherly saat mereka sudah berada di luar gedung khusus klub sekolah. “Belajarlah untuk menghargai dirimu sendiri. Kau tidak perlu merasa sungkan pada orang-orang yang sudah menyita waktu berhargamu,” sahut Anna tegas sambil menatap lurus pada wajah Sherly yang berjalan di sampingnya. Sesuai dugaan Anna, Sherly langsung tertunduk dan tidak berani membantah kata-katanya. Melihat reaksi Sherly yang sudah dapat ditebak, membuat Anna menghela napas panjang. ‘Benar-benar lebih payah dari kakaknya. Kebiasaan ini harus diubah,’ pikirnya. “Kalau tidak sependapat dan menganggap pendapatmu benar, kau boleh melakukan protes dan berdebat. Jangan menyerah seperti ini,” ucap Anna pelan dengan nada selembut mungkin. Saat tidak mendapat tanggapan, Anna mengusap-usap lembut belakang kepala Sherly yang langsung membuat remaja itu menoleh padanya. Sambil
Elvin tersenyum di balik maskernya saat mendapat tatapan ‘kau lagi’ dari Anna, begitu gadis itu tiba di dekatnya. “Benar-benar penguntit,” sindir Anna tanpa memedulikan kedua polisi itu mendengar apa yang diucapkannya atau tidak. “Bagaimana mungkin penguntit datang bersama polisi?” sangkal Elvin dengan nada ceria. Anna mengalihkan pandangannya pada kedua polisi muda yang terlihat kikuk, menatap bergantian antara dirinya dan Elvin. “Mereka ingin mendengar kesaksian dari kalian berdua atas apa yang terjadi di rumah keluarga Briel kemarin malam,” Elvin langsung menjelaskan kenapa ia datang bersama mereka, sekaligus ingin menghindari kemarahan yang tersirat jelas dari sorot matanya. Berbeda dengan Sherly yang langsung menyapa kedua polisi itu dengan santun setelah tahu tujuan kedatangan mereka, Anna hanya mendengus tak berminat. “Kalau begitu cepat saja. Kami mau pergi ke rumah sakit,” Anna berpaling pada mereka. “Kebetulan sekali. Ayo kita pergi bersama-sama sementara melakukan waw
Elvin ingin menyempatkan diri mengunjungi Jessica sebelum kembali ke ruangan Rosana Briel. Karena itu ia memilih lift berbeda dari yang tadi ia gunakan. Sementara berada dalam lift, Elvin mengingat kembali apa yang Anna ceritakan tentang masa lalu ayahnya, yang terdengar sangat nyata tanpa adanya kebohongan yang dikarang-karang. Mengingat bagaimana ekspresi Sherly yang tampak sedih sementara Anna bercerita, keyakinannya pada keaslian cerita itu pun semakin menguat, padahal ia hampir mengira jika ada sebuah keajaiban yang sedang terjadi pada diri Anna dan Jessica. Elvin menebak, ada kemungkinan jiwa Anna dan Jessica telah tertukar saat mereka pingsan setelah mengalami kecelakaan. Baik sifat, cara bicara, dan pilihan kata-kata Anna dalam berbicara yang sangat mirip dengan Jessica membuat Elvin meyakini apa yang dipikirkannya itu. Belum lagi terlalu kebetulan sekali melihat Anna menguasai beladiri, padahal setahunya —dari penyelidikan asisten pribadinya— ‘Anna’ tidak pernah berlatih be
Terlalu fokus pada kata-kata Rudolf Wright yang masih terngiang dalam benaknya, Elvin agak kaget setelah menyadari kehadiran Anna dan Sherly di dekatnya. Namun ia segera mengatur emosinya dan dapat bersikap normal kembali hanya selang beberapa detik kemudian. “Ingin menjenguk adikku?” tebak Elvin setelah melihat Anna menunjuk pintu ruangan Jessica pada Sherly. Anna menoleh dan memicingkan mata padanya, sebenarnya agak tidak suka tiap kali mendengar kata ‘adik’ yang merujuk pada dirinya yang belakangan selalu Elvin ucapkan. Tapi —karena sedang berada dalam tubuh ‘Anna’— ia selalu berusaha mengabaikan rasa tidak suka itu sama seperti yang dilakukannya sekarang. “Ya,” sahut Anna sambil mengangguk ringan. “Adikku ingin menjenguk Nona Wright. Boleh, kan?” Elvin menatap keduanya bergantian sebelum akhirnya mengangguk dan meminta pengawal pribadi Jessica membukakan pintu bagi mereka. Dengan ditemani Elvin, Anna dan Sherly akhirnya masuk ke dalam ruangan. Sherly melirik pada Anna dan Elv
“Tidak masalah,” sahut Elvin. Nada bicaranya agak tegas, selaras dengan sorot matanya yang sedang memerhatikan keadaan di sekitar mereka seperti hendak mengawasi sesuatu saat mereka melintasi jalan penghubung antar dua gedung yang sedang dilalui banyak orang —para keluarga pasien dan para perawat. “Kudengar tadi kau ribut-ribut dengan Paman itu. Apa karena itu kau memperketat penjagaan di sana?” Pertanyaan itu membuat Elvin menoleh padanya sebentar, sebelum kembali memerhatikan para pejalan kaki yang hendak melintasi mereka dari arah berlawanan. “Anggap saja begitu,” sahutnya setelah diam agak lama, seperti sedang mempertimbangkan jawaban yang ingin diberikan. ‘Sepertinya posisinya benar-benar sedang terancam oleh Paman Rudolf. Ah… biarlah. Kondisiku juga sedang tidak menguntungkan.’ Rosana Briel yang sudah bangun saat mereka tiba di ruang rawat inapnya, langsung menangis saat melihat kedua putrinya datang. Hanya dengan tangisan dan kata maaf yang berulang kali diucapkannya, Anna