"Aku akan pergi dari rumah ini, tapi biarkan bibi untuk tetap tinggal disini." Gerald mendengus mendengar ucapan Ana. "Apa dengan kau pergi dari rumah ini bisa menyelesaikan masalahnya?" ujar Gerald dengan sinis."Tapi dengan mengusir bibi dari rumah ini juga tidak akan menyelesaikan masalahnya bukan?" Ana memutar balik ucapan Gerald. Tentu saja ia tidak akan diam saja saat Gerald melakukan hal sesukanya."Lebih baik aku pergi dari rumah ini, kita butuh waktu untuk intropeksi diri kita masing-masing." Ana memilih melangkahkan kakinya pergi meninggalkan area dapur."Jika selangkah saja kau pergi dari rumah ini, aku akan mematahkan kakimu!" ancam Gerald yang terdengar tidak main-main.Ana meneguk ludahnya dengan susah payah. Sepertinya Gerald yang dulu telah kembali. Ana selalu dibuat bertanya-tanya, sebenarnya manusia seperti apa Gerald itu? Dulu Ana selalu takut dengan Gerald karena laki-laki
"Dasar anak tidak tahu diuntung!" PlakSatu tamparan mendarat mulus di pipi kiri Arabella. Terlihat bekas merah berbentuk tangan di pipinya. Seakan belum puas, Peter kembali ingin melayangkan tamparan ke Arabella tetapi dengan cepat dihentikan oleh Rachel."Berhenti sudah cukup." ujar Rachel di sela isak tangisnya."Kau lihat! Anak ini memang tidak pernah bisa diandalkan. Lihat apa yang anak ini lakukan, ini semua karena kau terlalu memanjakannya!" ujar Peter sambil menunjukkan jarinya ke arah Arabella."Dia juga anakmu!" "Cih, kalian berdua memang tidak ada bedanya." Peter menatap dua perempuan itu dengan tatapan muak.Seakan penyesalan menghinggapi dirinya. Kenapa dulu ia meninggalkan keluarga kecilnya yang bahagia hanya demi perempuan murahan seperti Rachel. Sejak awal ia bertemu dengan perempuan itu, ia sudah punya firasat jika Rachel bukanlah perempuan baik-baik. Tapi entah
"Kau sedang apa?"Gerald mendongakkan kepalanya menatap Ana yang sepertinya terbangun karena gerakannya. Wajah perempuan itu terlihat terkejut tetapi hanya diam tidak melawan. Tangan Gerald masih diam bertengger di atas dada Ana tanpa ingin menyingkir dari sana. Gerald juga tidak menjauhkan wajahnya dari Ana. Mereka saling bisa merasakan hembusan nafas mereka masing-masing. "Kamu sedang apa?" Ana kembali bersuara. Bukannya menjawab, Gerald malah semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Ana. Bibirnya menempel tepat di bibir ranum Ana. Bibir Ana bagaikan candu untuk Gerald. Beberapa hari tidak menyentuh Ana membuat Gerald mau tidak mau harus menahan hasratnya. Karena pertengkaran mereka membuat Gerald tidak bisa dengan leluasa untuk menyentuh Ana. Apalagi kamar mereka saat ini terpisah. Gerald mulai menggerakkan bibirnya. Tangannya merayap ke tengkuk leher Ana. Ditekannya pelan agar ciuman mereka lebih mendalam. Tangan Ger
"Aku yang akan memimpin." ujar Ana.Ana menaiki tubuh Gerald dan duduk di atas paha laki-laki itu. Ana tersenyum kecil melihat reaksi Gerald yang terlihat terkejut melihat sikap agresifnya. Entah setan dari mana, Ana bisa-bisanya bertindak seperti ini. Mungkin ia akan menyesalinya nanti, atau mungkin ia tidak akan pernah menyesali perbuatannya kali ini. Ana meneguk ludahnya dengan susah payah saat melihat milik Gerald yang kembali berdiri tegak di bawahnya. Dengan tangan bergetar Ana mencoba memberanikan diri menyentuh milik Gerald. Mungkin saja tangannya tidak akan muat untuk mencakup semua milik suaminya itu. "Tidak perlu memaksakannya, kau bisa berada di bawah dan biar aku yang pegang kendali." saat Gerald ingin merubah posisi mereka, tangan Ana langsung kembali mendorong tubuhnya hingga kembali terlentang. "Aku ingin mencobanya." ujar Ana dengan suara sedikit tidak yakin.Ini pertama kalinya bagi Ana m
Ana melangkahkan kakinya mendekati dua orang yang sedang terkejut itu. Sambil memamerkan senyumnya, Ana mengambil tempat duduk di antara keduanya, jadilah ia duduk di tengah dua orang berbeda jenis itu. Ana memberikan senyum manisnya kepada Jane."Silahkan diminum." ujar Ana sambil menunjuk minuman Jane yang masih utuh. "Ah iya." Jane menyesap teh hijau di depannya.Suasana seketika menjadi sangat tegang. Tidak ada yang mengeluarkan suara. Gerald sibuk memainkan ponselnya. Sedangkan Jane terlihat sibuk membolak-balik kertas dokumen yang sebenarnya Ana tahu jika perempuan itu hanya berpura-pura menyibukkan dirinya."Emmm aku tidak mengganggu kalian bukan?" tanya Ana mengurai keheningan di antara mereka."Mau kemana?" tanya Ana saat melihat Gerald beranjak berdiri dari tempat duduknya. Laki-laki itu tidak menjawab dan melenggang pergi begitu saja.Mata Ana melirik ke arah Jane yang sepertinya sed
"Hari ini akan menjadi hari terakhirmu, dan aku berjanji jika tidak akan ada cela sedikitpun untuk kau menyelamatkan diri."Arabella membelalakan matanya melihat layar ponsel yang Gerald lemparkan ke arahnya. Sebuah foto yang sengaja ia ambil secara diam-diam saat Gerald sedang bersama dengan Jessi di sebuah kamar. Bagaimana Gerald bisa tahu jika dia yang mengirimkan foto itu kepada Ana? Padahal Arabella sudah berusaha agar identitasnya tidak ketahuan kalau ia yang mengirim foto tersebut.Gerald kembali membawa Arabella ke rumah kosong. Sepanjang perjalanan Arabella tidak melawan dan hanya duduk diam. "Seret dia masuk." perintah Gerald kepada dua laki-laki berbadan besar.Dua laki-laki bertubuh besar itu membawa Arabella masuk. Badan Arabella diikat di sebuah kursi seperti sebelumnya. Ia kembali duduk di ruangan yang sama saat Gerald akan membakarnya hidup-hidup. Mata Arabella bergerak kesana kemari, ia mulai merasa ketak
Gerald mendongakkan kepalanya dan ia menemukan Ana yang sedang berdiri di ruang kerjanya. Gerald menghembuskan nafasnya, tadi ia berpikir jika mungkin Jane yang kembali ke ruangannya tapi ternyata bukan. Gerald melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya."Kenapa kemari, jika ada sesuatu kau bisa meneleponku tidak perlu repot-repot datang kemari." ujar Gerald.Ana mengerucutkan bibirnya kesal. Gerald berkata seolah laki-laki itu tidak suka ia datang ke kantornya. Ana melangkah mendekat ke arah meja kerja Gerald dengan kotak bekal di tangannya. Diletakkannya kotak bekal itu dihadapan Gerald.Gerald menaikkan satu alisnya menatap kotak bekal di hadapannya. Gerald tahu apa isi di dalam kotak bekal itu. Ia hanya tidak habis pikir kenapa Ana membawanya kemari. Padahal perempuan itu tahu jika ia bisa sarapan di kantor.Tok tok "Masuk." Saat memasuki ruangan Gerald, Jack dibuat terkejut dengan k
"Sir, jet anda telah siap." Mendengar itu Gerald langsung naik ke dalam jet pribadinya. Ia membeli jet ini dengan jerih payah dan banyak waktu yang ia habiskan. Gerald membeli jet bukan untuk terlihat kaya meski ia memang kaya. Ia membeli jet pribadi karena ia harus sering bolak-balik ke luar negeri dengan jam tak menentu. Ia tidak bisa menunggu jadwal penerbangan umum, itu akan membuat waktunya terbuang dan membuang uangnya. Bahkan dalam waktu satu menit ia bisa menghasilkan lima ratus dollar saat ia tertidur. Apalagi saat ia benar-benar bekerja? Pasti dia akan menghasilkan dua sampai lima kali lipat dalam satu menit.Biasanya Gerald menghabiskan waktu perjalanannya untuk beristirahat karena saat kakinya sudah menapaki tanah maka akan sulit untuk mencari waktu istirahat baginya. Tapi dalam perjalanan ini ia tidak bisa untuk beristirahat dengan tenang. Yang pertama karena ada masalah besar yang harus ia pikirkan mengenai kebakaran kebun anggur miliknya yang pastinya membuatnya rugi j
"Sayang." Gerald menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Ana. Sesekali ia menghisap atau menggigit gemas leher Ana. Ana memutar bola matanya jengah. Sudah kelima kalinya Gerald hanya memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa. Ana menjauhkan tubuhnya dari jangkauan suaminya itu."Aku lagi dandan, jangan ganggu ah." kesal Ana karena sedari tadi Gerald terus menempel padanya dan tidak mau melepaskan pelukannya."Habisnya kamu wangi." ujar Gerald sambil terus menciumi leher Ana."Kamu aja yang bau karena belum mandi." ejek Ana."Kamu mau kemana sih pagi-pagi gini udah cantik aja." Gerald menatap dari pantulan cermin dengan pandangan tidak suka."Mau ke sekolahannya Aron ambil rapot." "Eve ikut?" Ana menggelengkan kepalanya. "Kamu hari ini liburkan, tolong jagain Eve ya." Gerald mencabikkan bibirnya dengan kesal. "Kenapa nggak diajak aja, masa aku harus nemen
Waktu berlalu dengan begitu cepat sampai sulit untuk menyadarinya. Hari demi hari terus berganti, bulan demi bulan terus berganti, hingga tahun demi tahun terus berganti. Sudah hampir tujuh tahun usia pernikahan Ana dan Gerald tanpa terasa. Tidak banyak yang berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja Gerald yang dulu telah berubah menjadi seorang Gerald yang lebih baik lagi. Hari-harinya dipenuhi oleh Ana yang selalu ada di sampingnya."Emmmh faster…" Ana terengah-engah dalam kegiatan panas mereka. "Jangan keluar dulu, tunggu aku." ujar Gerald sambil terus memompa tubuhnya."Aahhh akuhhh su daahh tidakkhh tahan." Ana memejamkan matanya menahan sesuatu yang ingin keluar dari bawah sana."Bersamahhh ahhhhkhhhkh." Gerald mengerang saat milik Ana Benar-benar menjepitnya dengan sangat erat.Cupp"Ahhh I love you." Gerald membaringkan badannya ke samping badan Ana dan menarik selimut untuk menut
"Arabella?" Rachel langsung berlari menghampiri Gerald begitu mendengar nama putrinya disebut oleh laki-laki itu."Dimana putriku? Katakan dimana putriku?" Rachel terlihat tak sabaran mendengar keberadaan putrinya itu. "Katakan dimana putriku!" Rachel berteriak seperti orang kesetanan karena tidak mendapat respon dari Gerald atas pertanyaannya."Arabella telah tiada." Ana menatap ke arah Gerald dengan pandangan tidak percaya. Ia tidak percaya jika laki-laki itu akan mengatakannya langsung tanpa berpikir panjang. Rachel tertawa keras mendengarnya. Sedangkan Peter terduduk di atas lantai karena terlalu terkejut."Tidak mungkin, putriku masih hidup hahahaha dia masih hidup. Kau berbohong!" Rachel mendorong tubuh Gerald hingga tubuh Gerald mundur beberapa langkah."Putriku masih hiduppp." Rachel berjalan kesana kemari dengan senyum dibibirnya."Kau tidak apa-apa?" Ana menanyakan kead
Ana menggeliat dalam tidurnya. Matanya masih ingin terpejam meski cahaya matahari berusaha menerobos kamarnya untuk mengganggu tidur nyenyaknya. Semalam ia baru tertidur pukul tiga pagi hingga akhirnya hari ini membuatnya ia bangun kesiangan. Untungnya hari ini hari minggu jadi Ana bisa bermalas-malasan di tempat tidurnya. Ana menepuk-nepuk samping tempat tidurnya. Ia tersenyum mengingat makan malam romantisnya dengan Gerald. Mereka sangat menikmatinya semalam. Mereka memakan steak, kemudian dilanjut berdansa di bawah sinar bulan, dan kemudian mereka melanjutkan kegiatan malam mereka dikamar.Wajah Ana memerah seperti tomat kala mengingat bagaimana ia menjadi sangat agresif semalam. Tidak, sepertinya sejak ia hamil ia menjadi lebih agresif ketika mereka melakukannya. Ana selalu ingin memimpin dan Gerald dengan senang hati memberikan kendali kepadanya."Morning honey." Cupp"Morning." "Kau masih ingin tidur?
Ana bergerak mendekat ke arah Gerald. Dipeluknya laki-laki itu dengan tulus. Ia tahu Gerald sebenarnya orang yang baik. Hanya saja karena hatinya tertutup oleh dendam membuatnya jadi seperti ini. Setiap orang memiliki kesempatan dalam merubah hidupnya menjadi lebih baik, dan Ana yakin Gerald akan menjadi orang yang lebih baik setelah ia menyadari semua kesalahannya. "Aku ingin menjadi seorang ayah yang dibanggakan oleh anakku dimasa depan, bukannya dibenci oleh anakku." gumam Gerald sambil terisak di pelukan Ana. Tangan Ana mengusap punggung Gerald untuk menenangkan suaminya itu. Ini bukan pertama kalinya bagi Ana melihat Gerald yang menangis. Tapi setiap Ana melihat Gerald menangis, ia seperti melihat sisi lain yang selama ini Gerald coba sembunyikan. Selama ini Gerald selalu terlihat galak, dingin, dan tegas, tapi sebenarnya Gerald memiliki sisi yang lembut juga."Terimakasih sudah mengatakan semuanya." ujar Ana sambil tersenyum. Ia menghargai keberanian Gerald yang mau berkata ju
Setelah makan malam Ana langsung pergi ke kamar. Ia langsung mengambil buku novel yang beberapa hari ini ia baca. Malam ini rencananya ia akan menamatkan novelnya itu. Hanya kurang empat bab maka satu buku novel berhasil ia tamatkan selama satu minggu. Ana tetap terfokus pada buku di tangannya ketika Gerald masuk kedalam kamar. Perempuan itu enggan melirik meski sebentar saja. Ana memang selalu begitu jika sudah asyik membaca, maka dunianya akan terfokus pada satu titik.Gerald berpura-pura mencari sesuatu di dekat Ana untuk menarik perhatian perempuan itu. Tapi sayangnya Ana tidak tertarik dengan apa yang Gerald lakukan. Gerald mendengus melihat Ana yang sibuk dengan buku novelnya. Gerald mengintip apa yang membuat Ana sampai begitu mengabaikannya. Gerald melihat buku novel yang Ana baca, tidak ada yang menarik hanya berisi tulisan yang berupa paragraf saja. Gerald menaiki tempat tidur dengan pelan. Ia dengan sengaja merebahkan kepalanya ke atas paha Ana. Dan benar yang ia lakukan l
Gerald berjalan menghampiri Ana. Satu tangannya langsung melingkar posessive di pinggang Ana. Dengan sengaja ia memanas-manasi Jane yang sedang menatap ke arah ia dan Ana. Gerald memang berniat mengusir Jane dari ruangannya. Jika perempuan itu tidak bisa diusir secara halus, maka Gerald akan menggunakan caranya sendiri untuk mengusir perempuan itu."Kau bisa pergi sekarang, atau perlu aku panggilkan satpam kesini?" ujar Gerald kepada Jane."Gak bisa Ge, ada yang mau aku bicarakan sama kamu." balas Jane yang tetap kekeh dengan pendiriannya."Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ini terakhir kalinya kita bertemu dan terakhir kalinya saya melihat wajah kamu." ujar Gerald datar.Jane tercengang mendengar penuturan Gerald. "Maksud kamu apa?" "Kerjasama kita sudah selesai dan saya sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan kerjasama kita." jelas Gerald.Jane benar-benar terkejut mendengar keputusan Gerald yang tiba-tiba. Benar-benar sebuah kesialan untuknya, ia baru saja ingin memulai mend
"Nggak mungkin!" Jane menatap foto di depannya dengan pandangan tidak percaya. Selama dua hari ini ia menyuruh seorang mata-mata untuk mencari keberadaan Arabella. Dan alangkah terkejutnya saat mengetahui apa yang terjadi pada perempuan itu. Ia mendapati berita jika Arabella telah tiada. Dan orang yang telah membunuh Arabella adalah Gerald kakak tirinya sendiri. Wajah Jane berubah menjadi pucat, ia memikirkan bagaimana jika Gerald mengetahui kalau selama ini ia juga ikut terlibat membantu Arabella untuk menghancurkan hubungannya dengan Ana. Apa Gerald juga akan membunuhnya dan membakarnya seperti dia membunuh Arabella? Jika Gerald dengan mudahnya bisa membunuh adik tirinya sendiri yang memiliki ikatan darah dengannya, tentu saja Gerald akan dengan mudah membunuhnya bukan?Jane berjalan mondar-mandir memikirkan cara agar dirinya tidak ketahuan kalau ia juga terlibat. Ia menjentikkan jarinya, sebuah ide terlintas di kepalanya. Jika ia berhasil membuat Gerald kembali jatuh cinta padanya
"Bagaimana dok keadaan istri saya?" tanya Gerald dengan wajah ingin tahu."Bisa beritahu saya keluhan apa saja yang bu Ana rasakan?" tanya dokter perempuan itu.Benar, Gerald memang sengaja mencari dokter perempuan untuk memeriksa Ana. Padahal yang seharusnya saat ini bekerja adalah dokter laki-laki. Gerald keras kepala dan akhirnya ia menawarkan untuk membayar lima kali lipat dengan syarat jika dokter yang memeriksa Ana harus berjenis kelamin perempuan."Mual, pusing, lemas, tapi mual saya hanya air saja dok." keluh Ana.Dokter itu tersenyum penuh arti. "Untuk memastikan keadaan ibu Ana, saya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan dokter Hana." dokter tersebut menulis sesuatu di atas kertas yang entah berisi apa Ana sendiri sulit membacanya."Dokter Hana? Apa saya ada penyakit dalam dok? Apa saya akan di operasi?" tanya Ana dengan perasaan takut jika dirinya harus sampai di operasi.Gerald mengusap tangan Ana mencoba menenangkan perempuan itu. Ia juga jadi khawat