Jack melonggarkan kerah dasinya. Ia harus ekstra sabar menghadapi pria didepannya ini. Sudah satu jam ia menanyai pria di depannya ini tapi belum juga mendapat jawaban dari pertanyaannya.
"Katakan siapa perempuan itu?" Jack terus mengintimidasi pria paruh baya di depannya ini."Saya benar-benar tidak mengenalnya pak." ujar pria paruh baya itu dengan wajah yang sudah lelah."Aku tanya sekali lagi, siapa perempuan itu?""Seribu kali pun bapak bertanya kepada saya, jawaban saya tetap sama. Saya tidak mengenal perempuan itu." pria paruh baya itu keukeuh menjawab jika ia tidak mengenal perempuan yang ada di foto itu."Apa perlu aku memanggil semua cleaning service di kantor ini?" tantang Jack."Jika benar perempuan ini adalah cleaning service disini, maka bukan hanya dia yang akan mendapat hukuman tetapi juga kau akan mendapat hukuman." ancam Jack yang mampu membuat wajah pria paruh baya itu menjadi semSeharian kemarin Gerald mengajak Ana berjalan-jalan di perkotaan di Italia. Dia bahkan memanjakan Ana dengan semua fasilitas mewah. Naik mobil mewah, naik boat pribadi, makan malam mewah. Sekarang Ana sedang menebak-nebak kemewahan apalagi yang akan Gerald tunjukan kepadanya. "Kau sudah rapi sepagi ini?" tanya Gerald sambil memandang Ana dari atas tempat tidur.Berbeda dengan Ana yang sudah berpakaian rapi untuk memulai perjalanan liburannya, Gerald malah masih bergelung di balik selimutnya. "Kita akan pergi kemana hari ini?" tanya Ana sambil memasangkan anting-anting di telinganya. "Aku sedang malas keluar, lebih baik hari ini kita di kamar saja." Gerald kembali menenggelamkan wajahnya dalam bantal.Ana mendelikkan matanya ingin protes tapi langsung ia urungkan. "Lagian tujuan kita datang kesini bukan untuk berjalan-jalan." gumam Gerald yang teredam dengan bantal. Gerald kembali m
Tak terasa ini hari ke enam Ana dan Gerald berada di Italia. Dan hampir seminggu mereka habiskan waktu berdua selama hampir dua puluh empat jam. Karena ini hari terakhir mereka di Italia karena besok mereka harus kembali ke Indonesia. Gerald memutuskan untuk mengajak Ana ke kebun anggur miliknya yang ada di Italia. "Kebun anggur ini adalah milikku." sombong Gerald sambil menunjuk kebun anggur dengan luas berhektar-hektar di depannya.Ana memandang kebun anggur di depannya dengan takjub. Ini pertama kalinya ia melihat kebun anggur sebesar ini. Kira-kira berapa banyak anggur yang dihasilkan saat musim panen? atau berapa banyak pekerja yang merawat kebun anggur sebesar ini. Itulah beberapa pertanyaan yang ada di pikiran Ana saat ini."Benvenuto signore." (selamat datang tuan) ujar seorang laki-laki paruh baya dengan memakai pakaian ala petani Eropa."Mostraci al sito di produzione." (tunjukkan kami tempat produksinya) ujar Gerald
Gerald dan Ana sampai di Indonesia keesokan harinya. Perjalanan selama hampir enam belas jam akhirnya berakhir. Dari bandara mereka langsung menuju ke rumah. Yang awalnya hanya membawa dua koper saat berangkat ke Italia, kini mereka membawa empat koper dari Italia. Memang dua koper tambahan banyak diisi dengan barang milik Ana. Bukan karena Ana yang sangat suka belanja, tapi lebih tepatnya Gerald yang banyak membelikan barang dan berbagai cemilan untuk Ana. Seingat Ana ia hanya membeli dua pakaian dan dua kantung cemilan dan sisanya Gerald yang membeli."Selamat datang ke rumah tuan, non." bi Asri menyambut kedatangan Gerald dan Ana dengan gembira."Mari tuan, non bibi sudah siapkan makanan spesial untuk tuan dan non Ana." bi Asri menuntun jalan menuju meja makan yang sudah penuh dengan berbagai hidangan lezat.Mata Ana berbinar, ia sangat merindukan makanan Indonesia selama di Italia. Air liurnya bahkan hampir keluar melihat daging ren
Ana meletakkan remot tv di tangannya. Ia berjalan ke arah jendela mengintip keadaan luar rumah. Sepi dan hening.Itulah yang Ana lihat, hanya terlihat beberapa penjaga yang sedang berjaga di depan rumah. Ini sudah kelima kalinya Ana mengintip luar rumah melalui jendela. Sedari tadi ia menunggu Gerald pulang dari kantor. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam tapi mobil Gerald tak kunjung juga terlihat memasuki pekarangan rumah."Kemana pria itu sebenarnya, kenapa jam segini belum juga pulang?" gumam Ana.Ana membaringkan badannya di sofa depan tv. Ia menyibukkan dirinya menonton televisi sambil menunggu Gerald pulang. Lama-kelamaan Ana merasa jika kelopak matanya semakin berat untuk terbuka. Akhirnya tanpa sadar ia tertidur dengan keadaan tv yang masih menyala.Ana terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. Ia tahu betul jika itu adalah Gerald. Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Itu artinya Ana ketiduran selama dua jam setengah.
"Sudah kau temukan dimana keberadaan Arabella Jack?" tanya Gerald sambil memandang Jack dengan tatapan seriusnya."Sudah sir." Gerald tersenyum senang mendengar balasan Jack. "Saat ini dia berada di sebuah perkampungan kumuh. Dia tinggal sendiri disana. Sepertinya ayah anda tidak mengetahui perbuatan adik tiri anda sir." "Antarkan aku ke rumahnya." perintah Gerald."Baik sir." Jack segera pergi untuk menyiapkan mobil.Perkampungan kumuh yang Jack maksud terletak tidak jauh dari gedung kantornya. Gerald baru mengetahui jika disekitar kantornya ada pemukiman kumuh seperti ini. Gerald menatap miris pemandangan diluar mobil. Banyak kantong plastik sampah yang dibiarkan di pinggir-pinggir jalan atau dibuang sembarangan. Sangat berbeda sekali dengan lingkungan perkantorannya yang selalu terawat dan tidak ada satupun bungkus sampah yang tergeletak di halaman kantor.Gerald tidak bisa m
Gerald terlihat sedang duduk santai di teras rumah mewahnya setelah menyelesaikan lari paginya. Sambil ditemani secangkir teh hijau buatan bi Asri. "Apa kau menemukan kejanggalan akhir-akhir ini?" tanya Gerald kepada Kevin yang duduk di sampingnya."Setelah kejadian hari itu kami belum menemukan kejanggalan tuan." jelas Kevin. "Hmm, jika ada sesuatu yang janggal beritahu aku lebih dulu sebelum Ana tahu." perintah Gerald."Baik tuan." ***"Hey bangun!" Jane memukul pantat Arabella dengan keras. "Nggh, aku masih mengantuk." gumam Arabella yang masih tidak bergerak dari tempatnya."Dasar pemalas! Cepat bangun dan bereskan semua ini." perintah Jane sambil menunjuk kamar yang terlihat sangat berantakan."Paling tidak bersihkan apartemenku, aku sudah memberimu tumpangan disini!" gerutu Jane sambil melangkah keluar kamar.Arabella bangun dari berba
Pagi ini di kantor Gerald sudah kedatangan tamu. Dia memang memiliki janji untuk bertemu dengan Jane, tapi itu tidak sepagi ini. Kemarin mereka sepakat untuk bertemu setelah makan siang untuk membicarakan proyek mereka. Tapi Gerald tidak menyangka jika Jane akan datang ke kantornya sepagi ini. Bukan hanya datang sendirian, perempuan itu juga mengajak adiknya yang bernama Sesil. "Kau bisa menunggu diluar sebentar? Aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebentar." ujar Gerald menatap malas ke arah Jane.Walaupun Gerald selalu menatapnya dengan wajah datar, tetapi Jane tidak pernah sedetikpun melunturkan senyum manis dari bibirnya. Ya, ia harus lebih sabar untuk mendapatkan hati Gerald kembali."Tidak masalah kamu bisa selesaikan pekerjaanmu, aku akan menunggu disana dengan tenang." Jane menunjuk sofa panjang yang ada di ruangan itu.Gerald terlihat menghembuskan nafasnya. Percuma ia memaksa perempuan itu untuk keluar karena pa
Ana menatap pintu kayu besar di depannya. Sudah sejak dua hari ini saat Gerald dirumah dia sering menghabiskan waktunya di ruang kerjanya. Entah sebanyak apa pekerjaan yang sudah dilakukannya di dalam sana. Seperti sekarang, setelah pulang dari kantor laki-laki itu langsung menuju ke ruang kerjanya tanpa mengganti pakaiannya. "Tidak biasanya dia sesibuk ini." gumam Ana sambil menatap lekat-lekat ke arah pintu di depannya.Ia sudah berdiri disini lumayan lama. Mungkin sudah sepuluh menit Ana berdiri didepan ruang kerja Gerald. Ia berusaha untuk mengintip di dalamnya tapi tidak ada satupun celah yang ia temukan. Ana pernah berpura-pura mengantarkan kopi untuk Gerald ke ruangannya, tapi apa yang terjadi selanjutnya? Gerald mengusirnya dan menyuruhnya untuk tidak mengganggunya saat bekerja. Ana berdecak kesal mengingat kejadian kemarin.Ana merasakan jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Gerald. Sepertinya Gerald menyembunyikan sesuatu
"Sayang." Gerald menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Ana. Sesekali ia menghisap atau menggigit gemas leher Ana. Ana memutar bola matanya jengah. Sudah kelima kalinya Gerald hanya memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa. Ana menjauhkan tubuhnya dari jangkauan suaminya itu."Aku lagi dandan, jangan ganggu ah." kesal Ana karena sedari tadi Gerald terus menempel padanya dan tidak mau melepaskan pelukannya."Habisnya kamu wangi." ujar Gerald sambil terus menciumi leher Ana."Kamu aja yang bau karena belum mandi." ejek Ana."Kamu mau kemana sih pagi-pagi gini udah cantik aja." Gerald menatap dari pantulan cermin dengan pandangan tidak suka."Mau ke sekolahannya Aron ambil rapot." "Eve ikut?" Ana menggelengkan kepalanya. "Kamu hari ini liburkan, tolong jagain Eve ya." Gerald mencabikkan bibirnya dengan kesal. "Kenapa nggak diajak aja, masa aku harus nemen
Waktu berlalu dengan begitu cepat sampai sulit untuk menyadarinya. Hari demi hari terus berganti, bulan demi bulan terus berganti, hingga tahun demi tahun terus berganti. Sudah hampir tujuh tahun usia pernikahan Ana dan Gerald tanpa terasa. Tidak banyak yang berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja Gerald yang dulu telah berubah menjadi seorang Gerald yang lebih baik lagi. Hari-harinya dipenuhi oleh Ana yang selalu ada di sampingnya."Emmmh faster…" Ana terengah-engah dalam kegiatan panas mereka. "Jangan keluar dulu, tunggu aku." ujar Gerald sambil terus memompa tubuhnya."Aahhh akuhhh su daahh tidakkhh tahan." Ana memejamkan matanya menahan sesuatu yang ingin keluar dari bawah sana."Bersamahhh ahhhhkhhhkh." Gerald mengerang saat milik Ana Benar-benar menjepitnya dengan sangat erat.Cupp"Ahhh I love you." Gerald membaringkan badannya ke samping badan Ana dan menarik selimut untuk menut
"Arabella?" Rachel langsung berlari menghampiri Gerald begitu mendengar nama putrinya disebut oleh laki-laki itu."Dimana putriku? Katakan dimana putriku?" Rachel terlihat tak sabaran mendengar keberadaan putrinya itu. "Katakan dimana putriku!" Rachel berteriak seperti orang kesetanan karena tidak mendapat respon dari Gerald atas pertanyaannya."Arabella telah tiada." Ana menatap ke arah Gerald dengan pandangan tidak percaya. Ia tidak percaya jika laki-laki itu akan mengatakannya langsung tanpa berpikir panjang. Rachel tertawa keras mendengarnya. Sedangkan Peter terduduk di atas lantai karena terlalu terkejut."Tidak mungkin, putriku masih hidup hahahaha dia masih hidup. Kau berbohong!" Rachel mendorong tubuh Gerald hingga tubuh Gerald mundur beberapa langkah."Putriku masih hiduppp." Rachel berjalan kesana kemari dengan senyum dibibirnya."Kau tidak apa-apa?" Ana menanyakan kead
Ana menggeliat dalam tidurnya. Matanya masih ingin terpejam meski cahaya matahari berusaha menerobos kamarnya untuk mengganggu tidur nyenyaknya. Semalam ia baru tertidur pukul tiga pagi hingga akhirnya hari ini membuatnya ia bangun kesiangan. Untungnya hari ini hari minggu jadi Ana bisa bermalas-malasan di tempat tidurnya. Ana menepuk-nepuk samping tempat tidurnya. Ia tersenyum mengingat makan malam romantisnya dengan Gerald. Mereka sangat menikmatinya semalam. Mereka memakan steak, kemudian dilanjut berdansa di bawah sinar bulan, dan kemudian mereka melanjutkan kegiatan malam mereka dikamar.Wajah Ana memerah seperti tomat kala mengingat bagaimana ia menjadi sangat agresif semalam. Tidak, sepertinya sejak ia hamil ia menjadi lebih agresif ketika mereka melakukannya. Ana selalu ingin memimpin dan Gerald dengan senang hati memberikan kendali kepadanya."Morning honey." Cupp"Morning." "Kau masih ingin tidur?
Ana bergerak mendekat ke arah Gerald. Dipeluknya laki-laki itu dengan tulus. Ia tahu Gerald sebenarnya orang yang baik. Hanya saja karena hatinya tertutup oleh dendam membuatnya jadi seperti ini. Setiap orang memiliki kesempatan dalam merubah hidupnya menjadi lebih baik, dan Ana yakin Gerald akan menjadi orang yang lebih baik setelah ia menyadari semua kesalahannya. "Aku ingin menjadi seorang ayah yang dibanggakan oleh anakku dimasa depan, bukannya dibenci oleh anakku." gumam Gerald sambil terisak di pelukan Ana. Tangan Ana mengusap punggung Gerald untuk menenangkan suaminya itu. Ini bukan pertama kalinya bagi Ana melihat Gerald yang menangis. Tapi setiap Ana melihat Gerald menangis, ia seperti melihat sisi lain yang selama ini Gerald coba sembunyikan. Selama ini Gerald selalu terlihat galak, dingin, dan tegas, tapi sebenarnya Gerald memiliki sisi yang lembut juga."Terimakasih sudah mengatakan semuanya." ujar Ana sambil tersenyum. Ia menghargai keberanian Gerald yang mau berkata ju
Setelah makan malam Ana langsung pergi ke kamar. Ia langsung mengambil buku novel yang beberapa hari ini ia baca. Malam ini rencananya ia akan menamatkan novelnya itu. Hanya kurang empat bab maka satu buku novel berhasil ia tamatkan selama satu minggu. Ana tetap terfokus pada buku di tangannya ketika Gerald masuk kedalam kamar. Perempuan itu enggan melirik meski sebentar saja. Ana memang selalu begitu jika sudah asyik membaca, maka dunianya akan terfokus pada satu titik.Gerald berpura-pura mencari sesuatu di dekat Ana untuk menarik perhatian perempuan itu. Tapi sayangnya Ana tidak tertarik dengan apa yang Gerald lakukan. Gerald mendengus melihat Ana yang sibuk dengan buku novelnya. Gerald mengintip apa yang membuat Ana sampai begitu mengabaikannya. Gerald melihat buku novel yang Ana baca, tidak ada yang menarik hanya berisi tulisan yang berupa paragraf saja. Gerald menaiki tempat tidur dengan pelan. Ia dengan sengaja merebahkan kepalanya ke atas paha Ana. Dan benar yang ia lakukan l
Gerald berjalan menghampiri Ana. Satu tangannya langsung melingkar posessive di pinggang Ana. Dengan sengaja ia memanas-manasi Jane yang sedang menatap ke arah ia dan Ana. Gerald memang berniat mengusir Jane dari ruangannya. Jika perempuan itu tidak bisa diusir secara halus, maka Gerald akan menggunakan caranya sendiri untuk mengusir perempuan itu."Kau bisa pergi sekarang, atau perlu aku panggilkan satpam kesini?" ujar Gerald kepada Jane."Gak bisa Ge, ada yang mau aku bicarakan sama kamu." balas Jane yang tetap kekeh dengan pendiriannya."Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ini terakhir kalinya kita bertemu dan terakhir kalinya saya melihat wajah kamu." ujar Gerald datar.Jane tercengang mendengar penuturan Gerald. "Maksud kamu apa?" "Kerjasama kita sudah selesai dan saya sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan kerjasama kita." jelas Gerald.Jane benar-benar terkejut mendengar keputusan Gerald yang tiba-tiba. Benar-benar sebuah kesialan untuknya, ia baru saja ingin memulai mend
"Nggak mungkin!" Jane menatap foto di depannya dengan pandangan tidak percaya. Selama dua hari ini ia menyuruh seorang mata-mata untuk mencari keberadaan Arabella. Dan alangkah terkejutnya saat mengetahui apa yang terjadi pada perempuan itu. Ia mendapati berita jika Arabella telah tiada. Dan orang yang telah membunuh Arabella adalah Gerald kakak tirinya sendiri. Wajah Jane berubah menjadi pucat, ia memikirkan bagaimana jika Gerald mengetahui kalau selama ini ia juga ikut terlibat membantu Arabella untuk menghancurkan hubungannya dengan Ana. Apa Gerald juga akan membunuhnya dan membakarnya seperti dia membunuh Arabella? Jika Gerald dengan mudahnya bisa membunuh adik tirinya sendiri yang memiliki ikatan darah dengannya, tentu saja Gerald akan dengan mudah membunuhnya bukan?Jane berjalan mondar-mandir memikirkan cara agar dirinya tidak ketahuan kalau ia juga terlibat. Ia menjentikkan jarinya, sebuah ide terlintas di kepalanya. Jika ia berhasil membuat Gerald kembali jatuh cinta padanya
"Bagaimana dok keadaan istri saya?" tanya Gerald dengan wajah ingin tahu."Bisa beritahu saya keluhan apa saja yang bu Ana rasakan?" tanya dokter perempuan itu.Benar, Gerald memang sengaja mencari dokter perempuan untuk memeriksa Ana. Padahal yang seharusnya saat ini bekerja adalah dokter laki-laki. Gerald keras kepala dan akhirnya ia menawarkan untuk membayar lima kali lipat dengan syarat jika dokter yang memeriksa Ana harus berjenis kelamin perempuan."Mual, pusing, lemas, tapi mual saya hanya air saja dok." keluh Ana.Dokter itu tersenyum penuh arti. "Untuk memastikan keadaan ibu Ana, saya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan dokter Hana." dokter tersebut menulis sesuatu di atas kertas yang entah berisi apa Ana sendiri sulit membacanya."Dokter Hana? Apa saya ada penyakit dalam dok? Apa saya akan di operasi?" tanya Ana dengan perasaan takut jika dirinya harus sampai di operasi.Gerald mengusap tangan Ana mencoba menenangkan perempuan itu. Ia juga jadi khawat