Elena terdiam, ia coba mengingat bagaimana sikap Diego pada Emma yang acuh tak acuh dan terkesan tidak suka, tapi sebaliknya Emma sepertinya sangat peduli pada Diego. Tidak seharusnya Diego bersikap seperti itu hanya karena ….Tiba-tiba Elena mendengar suara Diego terbatuk dan memanggilnya, Elena terperanjat, ia segera menutup buku itu dan bergegas kembali ke tempat tidur. Elena segera mengusap-usap dada suaminya dan membantunya minum."Kamu dari mana, sayang?” tanya Diego setelah tenang kembali.“Aku dari ruang kerja, membaca buku yang harus aku pelajari,” jawab Elena sambil kembali berbaring di samping suaminya. Diego hanya mengangguk. “Kamu memang harus belajar keras, Elena. Tapi tetap harus memperhatikan kesehatanmu.” Diego berkata serius, tatapannya sudah tenang kembali, tadi Elena sempat melihat kepanikan di kedua mata hitam itu.“Iya, Diego. Aku mengerti,” jawab Elena lembut. “Kamu sendiri kenapa? Kamu seperti orang panik, apa kamu mimpi buruk, Diego?” Elena bertanya dengan
“Apa mungkin Elena pergi ke sana!” Raul bergumam, ia ingat saat pertama kali melihat Elena. Saat itu ia mengantar sang nenek berbelanja ke sebuah butik, yang menjual berbagai pakaian dan aksesories.Raul melihat sang nenek bercakap-cakap dengan seorang pelayan toko yang berpenampilan sederhana, terlihat sangat polos dan lugu, namun gadis itu memiliki paras yang cantik dan senyum yang menawan, Raul tidak menampik itu. Namun di mata Raul saat itu biasa saja, tidak ada yang menarik dibandingkan teman-teman wanitanya yang bukan hanya cantik, tapi juga seksi dan berkelas.Raul hanya bersiul santai mendengarkan ocehan neneknya yang terus menerus memuji Elena. Dan yang menyebalkan sang nenek selalu datang ke toko itu, hampir setiap hari, hanya untuk ngobrol dan minta dilayani oleh gadis pelayan itu, dan ia hanya meminta diantar oleh Raul."Aduh, Nek… baru kemaren ke sana, masa tiap hari sih. Ya sudah minta diantar sopir aja ya, atau ditemani Mama, gimana?” ujar Raul membujuk sang nenek“Ngga
“Raul...” Terdengar suara seorang wanita memanggil Raul. Perlahan Raul menoleh, ia menatap wanita yang berdiri sambil tersenyum padanya. Raul tertegun, perlahan bibirya bergetar.“Elena ...” panggil Raul lirih.“Apa?!” teriak wanita itu. “Kamu kenapa, Raul? Elen, Elena dan Elena terus. Apa kamu masih mabuk?!”Raul terkesiap, ia memalingkan wajah dan mengusapnya dengan kasar. Lelaki itu menghela napas. ‘Astaga! ada apa dengan diriku? Kenapa aku selalu kepikiran Elena?’ Raul bergumam dalam hatinya, ia segera berdiri dari sisi tempat tidur.“Lo siento, Beatriz. Aku memang sedikit melamun,” jawab Raul datar. “Kamu sendiri, sedang apa di kamarku?”Beatriz yang semula ketus saat mendengar Raul memanggilnya Elena, kini kembali bersikap manis, ia tersenyum dan perlahan mendekati Raul.“Nggak apa-apa, Raul. Aku hanya sedikit terkejut, karena kamu selalu memanggilku dengan nama yang salah. Aku Beatriz Raul... Beatriz ....”Beatriz menyentuh pundak Raul dan berbisik di telinga lelaki itu sambil
“Bukan, bukan merek pakaian. Tapi saya mencari Elena Torres. Apa dia kembali bekerja di sini?”“Elena Torres?” gumam pelayan itu, “oh, jadi yang Anda maksud seseorang?”“Ya,” sahut Raul sambil mengangguk, “dulu, dia bekerja di sini.”“Dulu? Kapan itu, Tuan?” tanya pelayan itu mengerutkan kening, ia nampak bingung dengan pengunjung yang terlihat aneh itu.“Dulu ... Maksud saya sekitar 3 atau 4 tahun lalu,” jawab Raul.“Oh, itu sudah lama sekali, Tuan. Saya sendiri baru bekerja setahun di sini. Tapi seingat saya tidak ada karyawan yang bernama Elena. Apa mungkin orang yang tuan maksud itu sudah berhenti atau pindah?”Raul menjadi kesal, sepertinya tidak ada gunanya bicara dengan pelayan dungu ini. Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh butik itu, entah mengapa bayangan Elena seperti sedang bermain-main di ingatannya.“Begini saja, saya ingin bertemu dengan manajer kalian, bilang pada manajer kalian kalau Raul Mendez ingin bertemu” ujar Raul datar.“Oh baik, Tuan. Kebetulan Bu man
“Baru sehari jadi nyonya Rodriguez sudah menghambur-hamburkan uang!” terdengar celetukan seseorang diantara kerumunan para pelayan.“Eh, kamu kenapa sinis begitu?” tanya pelayan lainnya.“Bukan sinis, tapi tuan besar kita sedang sakit, apakah pantas kita menerima hadiah dan bersenang-senang?”“Ya sudah, kalau menurut kamu tidak pantas, sini amplopnya buat aku.” Sambil berkata, Bellen merebut amplop yang dipegang Dona. Tentu saja Dona menjadi berang.“Heh pelayan kecil kurang ajar, kembalikan! Itu milikku!” Dona mengejar Bellen yang berlari-lari sambil meledeknya. “Awas kamu ya! Kamu itu pelayan baru, tapi sudah berani membuat gara-gara denganku.”“Loh, kenapa kamu marah? Bukannya tadi kamu bilang tidak pantas menerima hadiah? Jadi ya sini buat aku saja, karena kalau menurut aku sangat pantas dan wajar nyonya memberikan hadiah, sebagai rasa syukur karena pesta pernikahan kemarin berjalan sukses, dan itu tidak lepas dari kerja keras kita semua.”“Sok tahu, kamu anak baru kemaren, tahu
Elena tertegun, apa sebenarnya tujuan wanita ini? Ia mencoba mengingat, Diego sepertinya tidak menyukai sepupunya ini, meskipun kelihatannya kalau Emma sangat peduli pada Diego.Bagaimanapun Elena harus hati-hati, karena ia belum tahu orang seperti apa Emma ini. Dan sebagai istri Diego, sudah pasti Elena harus berdiri di sisi suaminya, namun begitu ia akan berusaha untuk tetap bersikap netral pada Emma.“Ehm, belum terlalu lama sih,” jawab Elena sambil tersenyum, “Memangnya kenapa ya, Emma?”“Tidak apa-apa, hanya aneh saja, belum lama kenal kok mau saja menikah, memangnya kenal berapa lama? 3 bulan, 2 bulan, sebulan, seminggu, atau sehari?”Elena terdiam, namun ia mencoba menentang tatapan Emma yang sedang menyelidikinya, Elena kembali tersenyum, sedikit banyak ia bisa meraba tujuan Emma.“Masalah hitungan waktu, bulan, minggu atau hari, aku rasa itu nggak penting. Yang terpenting kami bisa saling nyaman satu sama lain sehingga bisa saling support.”Elena menjawab diplomatis yang memb
Elena tertegun, hampir saja ia menubruk Mia. Wanita itu pun mengatur napasnya untuk menetralkan kembali perasaannya yang berkecamuk.“Oh, Mia, kebetulan sekali, aku memang ingin bicara denganmu.”“Baik Nyonya, ada yang bisa saya bantu?” tanya Mia masih dalam sikap formalnya.“Apa Diego sudah bangun?”“Sudah, tapi sekarang sedang bersama tuan Mario.”“Aku ingin bicara denganmu, Mia. Ayo, ke kamarku.” Elena segera beranjak ke kamar pribadinya, Mia pun mengikuti.“Ada apa Elena, apa yang dikatakan nyonya Emma?” tanya Mia setelah mereka berada di kamar pribadi Elena.Elena menghela napas, ia menatap Mia dengan penasaran.“Mia, siapa saja yang tahu identitasku, asal usulku?” Elena langsung menanyakan kecurigaannya kalau identitasnya sudah tersebar. Mia tertegun, namun wanita itu menggeleng.“Aku kira hanya tuan dan tuan Mario yang tahu, karena beliau yang memegang data-datamu untuk mencatatkan dokumen pernikahanmu dengan tuan, disamping aku sendiri tentunya, memangnya ada apa, Elena?”“Apa
Elena tertegun, pasti yang dimaksud Diego adalah Emma, tapi bagaimana dia tahu? Bukankah saat Elena keluar tadi Diego sedang tidur? Apa Mario yang melaporkan?“Wanita itu? Maksudmu siapa, Diego?” tanya Elena pura-pura tidak tahu.“Siapa lagi kalau bukan perempuan itu, yang kemaren malam saat pesta berbicara padamu dan pura-pura perhatian padaku.”Diego berkata dengan acuh dan dingin, nampak sekali keengganan lelaki itu untuk membicarakan Emma.“Oh, maksudmu Emma?” sahut Elena, Diego mengangguk.“Tadi ada kesalahpahaman sedikit diantara para pelayan, sehingga timbul kericuhan.”Elena menceritakan apa yang terjadi diantara para pelayan itu, dan bagaimana sikap Emma yang begitu arogan kepada Mia dan para pelayan. Namun, Elena sengaja menahan diri dan tidak menceritakan mengenai pembicaraannya berdua dengan Emma ketika mereka duduk di sofa.Bukan maksud Elena untuk menyembunyikannya dari sang suami, namun, dikarenakan Elena belum tahu kondisi Diego yang sebenarnya, ia khawatir Diego akan s
“Tuan, saya menemukan sesuatu di sini,” ujar Julio sambil menunjukan sebuah camera kepada Raul.“Apa itu, Julio?” tanya Raul sambil memperhatikan sebuah kamera yang dipegang asistennya, “Kamera? Apa itu kamera si pelaku?”“Benar, tuan. Saya berhasil merebut kamera si fotografer, namun dia berhasil kabur karena fokus kami adalah menyelamatkan Anda.”Julio segera menyerahkan kamera itu pada Raul, “Sepertinya mereka biasa mengambil foto-foto tidak senonoh, mungkin untuk diperjual belikan,” imbuhnya.Raul segera memeriksa foto-foto yang tersimpan di kamera itu, yang sebagian besar adalah foto-foto vulgar. Sudah bisa ditebak, fotografer itu adalah spesialisasi pengambil gambar-gambar porno.“Fokus pada scene terakhir, mereka belum banyak mengambil gambar tuan, baru ada beberapa gambar, dan di sana Anda bisa melihat sosok yang tadi Anda tanyakan. Sayangnya… Saya sangat panik melihat kondisi tuan sehingga tidak sempat menggeledah tempat itu. Padahal, perempuan itu bersembunyi di sana.”Julio
“Raul, bangun Raul…” panggil Elena pelan, “jangan membuat aku takut….”Suara Elena begitu lirih, nyaris tak terdengar. Air matanya mengalir tak terbendung, ia menempelkan kepalanya di atas dahi Raul, dan tanpa di sadarinya, air mata itu membasahi wajah Raul.Perlahan, bulu mata lelaki itu bergetar. Ia mendengar jelas isakan lirih di telinganya, dan juga merasakan wajahnya basah. Elena masih belum menyadari jika Raul telah sadar, hingga terdengar suara lelaki itu memanggilnya.“Elena…” panggil Raul dengan suara yang lemah. Elena segera mengangkat wajahnya dan menatap Raul.“Kamu sudah bangun, Raul.” Elena berkata sambil tersenyum.Raul menatap wajah cantik yang basah dengan air mata itu, perlahan ia mengangkat tangannya lalu menghapus sisa-sisa air mata di wajah Elena.“Jangan menangis, sayang. Aku sudah bersumpah tidak akan pernah meninggalkan kamu dan Juan.”“Apa yang sebenarnya terjadi, Raul. Kata Julio kamu dibius.”Raul menghela napas, ia menatap langit-langit kamar, dan berusaha
Dua orang pria memapah Raul yang sudah tidak sadarkan diri ke sebuah kamar, Raul di letakan di atas tempat tidur, seorang wanita sudah menunggu dengan senyum mengembang, di sampingnya berdiri pria lainnya dengan kamera menggantung di lehernya.“Kalian boleh ke luar,” perintah wanita itu. Kedua lelaki yang tadi membawa Raul pun meninggalkan kamar itu.Wanita berpakaian seksi itu mendekati Raul, perlahan ia duduk di sisi tempat tidur, mengusap wajah tampan yang tidak berdaya itu, lalu menciumnya.“Raul, akhirnya kamu jatuh ke pelukanku lagi… Sayang kali ini kamu tidak ingat apa-apa.” Beatriz memeluk tubuh Raul, “Kamu gak tahu Raul, aku sangat merindukanmu.”Perempuan itu terus menciumi Raul, namun sang fotografer menyadarkannya. “Nona, bisa dimulai sekarang?”Beatriz menghela napas, ia mengangguk, lalu mulai melepas jas Raul, kemudian perlahan-lahan membuka kancing kemejanya. Beatriz tertegun, ia menelan ludah melihat dada atletis pria di hadapannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia me
"Klien, baru?" tanya nyonya Victoria menimpali, Raul hanya mengangguk.“Kenapa malam-malam begini?”“Sebenarnya dari tadi sore, aku sudah minta Julio membatalkan pertemuan hari ini, tapi kata Julio ternyata mereka masih menunggu.” Raul menjelaskan sambil memeluk ibunya, “ya sudah mama sekarang tidur, ya. Aku juga mau istirahat.”Raul mencium pipi ibunya, lalu ibu dan anak itu pun masuk ke kamar masing-masing.Keesokan harinya, Raul beraktifitas seperti biasa. Sebelum ke kantor, ia singgah ke kediaman Rodriguez untuk melihat bayi kecilnya dan juga Elena tentunya. Bagi Raul keduanya sangat penting.“Buenos días Raul,” sapa Elena masuk ke ruang bayi, Raul sedang asik bercengkrama dengan Juan.“Buenos días, cariño.” Raul membalas dengan mesra, ia tersenyum manis yang membuat wajah tampannya semakin mempesona.“Ck, bisa gak sih nggak pake embel-embel sayang, lebay sekali.” Elena menggerutu sendiri, namun Raul terkekeh mendengarnya.“Sayang, mama puya-puya tuh…” goda Raul sambil berbicara d
“Oh, lalu apa yang harus saya lakukan, nyonya?” tanya perempuan itu merasa gugup, bagaimanapun dia tahu, Raul Mendez bukanlah pria yang mudah dihadapi. Meskipun dia sangat menginginkan lelaki tampan itu, dan tergila-gila padanya, namun sedapat mungkin dia ingin berlari menjauhinya, karena dia tidak ingin lagi berurusan dengan lelaki yang tak mengenal ampun padanya.“Hmm, kamu harus mendekati tuan Mendez lagi, rayu dia, bila perlu tidur dengannya, buat dia melupakan perempuan kampung itu. Aku akan memberikanmu bayaran yang tinggi.” Emma berkata sambil menghisap rokok dan mengepulkan asapnya.“Tidak, nyonya. Itu sulit dan tidak mungkin. Raul sangat membenci saya, rayuan apapun tidak akan mempan buatnya.”“Bodoh! Kalau cara biasa tidak bisa, pakai cara licik sedikit.” Emma mendengus kesal, kenapa perempuan-perempuan itu bodoh semua, sebelumnya Clara, sekarang Beatriz.“Nyonya, saya pernah memakai cara licik itu dulu, tapi Raul sangat marah, bukan hanya membalas saya dengan perlakuan yang
“Raul Mendez, semua ini gara-gara dia. Aku harus membuat perhitungan dengan lelaki itu!” Suara Emma bergetar menahan amarah, wajahnya merah padam. Ia mencengkram gelas dengan kuat sebelum meneguk isinya.“Lalu apa yang harus kita lakaukan, Emma?” tanya Clara sambil terisak.“Diamlah, Clara! Kenapa kamu terus menangis,” bentak Emma geram.“Kamu tidak akan mengerti, Emma. Karena kamu tidak pernah menjadi seorang ibu, kamu tidak akan pernah tahu bagaimana sedihnya berpisah dengan putranya sendiri.”“Ya, aku memang belum pernah jadi seorang ibu, lalu dengan tangisanmu itu, apa anakmu akan kembali?” sungut Emma kesal. “Pergi saja sana ke Paris, anakmu ada di sana!”“Bagaimana mungkin pergi ke sana? Aku sekarang sedang diburu polisi. Baru sampai bandara atau statsiun kereta saja pasti akan diringkus,” bantah Clara kesal. Ia menjadi menyesal karena mengikuti skenario Emma.“Ya makanya diam, bantu aku berpikir untuk membalas Elena dan Raul.”“Memangnya dengan kamu membalas dendam, masalahny
“Raul, apaan sih?” tanya Elena kesal, “Ya sudah kalau begitu aku akan siapkan hadiah dulu sebagai ucapan terima kasih." Elena hendak beridiri, namun Raul menekan tangannya.“Sayang, mama mau kasih papa hadiah tuh,” ucap Raul sambil menatap Juan.“Mama-mama... Kalau mau kacih papa hadiah, cekalang aja ya mama…” Raul kembali berkata menirukan suara anak kecil.“Hmmh, oke. Hadiah apa?” tanya Elena menimpali.“Hadiah apa dong, sayang?” tanya Raul kepada Juan.“Kiss papa, mama…”“Apa?!” teriak Elena terbelalak.“Hiks, ya sudah nggak dikasih juga gak apa-apa…” Raul menatap Juan dengan wajah sedih, “Sayang, papa sedih….”“Ck, apaan sih? Iya-iya…”“Asiik, sayang. Papa mau siap-siap nerima hadiah dari mama dulu ya,” ujar Raul sambil memejamkan mata.“Huh, ge-er,” gerutu Elena, ia terdiam sejenak sambil menghela napas. Wanita itu mendekatkan wajahnya lalu dengan cepat mencium pipi Raul.“Iih mama, maca kiss nya di pipi…” Raul kembali menirukan suara anak kecil.“Uuh, Raul. Nyebelin!” Elena men
“Itu dia!” teriak salah seorang anak buah Luis yang mengikuti Clara, mereka melihat Clara masuk ke sebuah gang, lalu mengejar. Gang itu cukup panjang, dan ada beberapa belokan, dari kejauhan mereka mendengar suara tangisan anak kecil yang menangis dengan keras.Akhirnya, setelah melewati beberapa kelokan, mereka menemukan Hugo menangis sendirian. Tidak lama berselang, Luis pun tiba, ia sangat marah melihat anaknya diperlakukan seperti itu.“Cepat kejar dan tangkap perempuan gila itu, jangan sampai lolos!” perintah Luis sambil mendekap putranya.“Bagaimana, Luis?” tanya Raul yang tiba tidak lama setelahnya.“Dia meninggalkan anakku sendirian di sini, lalu kabur.” Luis berkata dengan kesal, Raul mengamati lokasi sektitar.“Kalau tidak salah, gang ini menuju ke sebuah jalan raya, jadi biasa digunakan orang-orang sebagai jalan pintas, kalau menggunakan mobil harus berputar untuk sampai di jalan raya depan.”Raul menjelaskan, sedangkan Luis berusaha menenangkan putranya. “Orang-orangku se
“Tutup mulutmu perempuan jalang! Dasar sampah! Tidak tahu malu!” Terdengar teriakan keras dari arah luar yang memotong kata-kata Clara, sehingga wanita itu menggantung kalimatnya. Seketika perhatian semua orang tertuju ke arah pintu di mana sumber suara itu berasal.Tidak lama berselang seorang pria berpostur tinggi masuk dengan langkah panjang, diikuti beberapa lelaki lain yang mengiringinya. Terlihat kemarahan di wajahnya. Tatapannya tajam ke arah Clara yang tercengang, wajah perempuan itu memucat, tubuhnya bergetar ketakutan.“Ka-kamu…” Suara Clara terbata-bata, namun lelaki itu langsung menarik Clara dan menamparnya dengan keras.“Aku tidak masalah kalau kau menjual dirimu, perempuan sampah. Tapi aku tidak akan membiarkan kau menjual putraku!”Luis segera menoleh kepada Elena dan Mario, lalu mengatupkan kedua tangannya.“Saya mohon maaf nyonya dan tuan-tuan semua, saya ingin mengonfirmasi bahwa Hugo adalah putra kandung saya, Luis Gonjalez. Hasil DNA yang ditunjukan perempuan sampa