Hanya saja, tanpa mereka sadari seseorang memperhatikan sikap aneh Raul dan Mario. Diam-diam lelaki itu mengikuti Raul yang masuk ke sebuah ruangan. “Apa Elena dan yang lainnya sudah berangkat, Raul?” tanya Diego dengan suara yang lemah. Ia terbaring di atas tempat tidur dengan kondisi tak berdaya, bahkan untuk bicara pun terasa sulit. Raul hanya mengangguk, ia duduk di samping tempat tidur. “Kita harus segera ke rumah sakit sekarang, Diego. Kamu harus mendapatkan penanganan yang optimal.” Diego tidak menjawab, lelaki itu hanya terdiam. “Ingat Diego, kamu harus kuat, harus berjuang demi Elena dn Juan.” Diego hanya mengangguk lemah. “Mario, tolong siapkan kursi rodanya.” Raul memberi intruksi. “Baik, tuan.” Lelaki itu segera menyiapkan kursi roda Diego ke dekat tempat tidur. Raul segera mengangkat tubuh Diego dan meletakkannya di atas kursi roda. Ketika mereka akan ke luar tiba-tiba seseorang masuk yang mengejutkan Raul dan Mario. “Ada apa di sini? Apa yang sebenarnya terjad
“Bibi, paman. Di mana Diego?” tanya Elena sambil matanya tak lepas ke arah pintu, “apa bibi dan paman tidak lihat Diego, katanya akan langsung ke mari setelah urusannya selesai.” Elena teringat, pagi tadi saat dia bangun tidur, Diego sudah tidak ada di tempat tidur. Elena hanya mendapati secarik kertas di sisinya. ‘Selamat pagi sayang, kamu tidur nyenyak sekali aku tidak tega membangunkan kamu. Maaf ya sayang aku harus pergi pagi-pagi sekali ada urusan mendadak dan sangat mendesak. Nanti kamu langsung ke rumah sakit dengan paman dan bibi serta Vela dan Mia. Setelah selesai, aku langsung menyusul untuk melihat Juan, putra kita. Semangat ya sayang, I love you.’ Elena tertegun, semalam mereka bercinta sangat luar biasa menggebu, setelah itu mereka tidur dan sampai sekarang belum bertemu lagi. “Sabar Elena, mungkin Diego belum selesai urusannya.” Bibi Inez berkata lembut untuk menenangkan Elena, sedangkan paman Zavier membuang muka, lelaki itu segera ke luar ruangan, karena tak kuasa
“Maafkan aku sayang, aku terpaksa melakukan ini, supaya kamu tidak shock melihatku.” Diego bergumam lirih, kemudian ia menatap Raul yang masih berusaha membujuknya. “Diego, pikirkan lagi, Bro. Tubuhmu belum bisa dilepas dari alat-alat medis ini. Kita bisa memberikan alasan pada Elena, atau mungkin kita akan mengatakannya saja yang sebenarnya, pelan-pelan dia pasti akan mengerti.” “Tidak Raul. Aku tidak mau membuat Elena sedih, ini hari bahagianya, aku harus bersamanya.” “Atau, bagaimana kalau kita minta dokter agar bisa membawa Elena dan Juan ke mari? Aku yakin dokter pasti mengizinkan.” “Tidak, Raul. Itu tidak baik, Juan baru saja dilahirkan, tubuhnya masih lemah dan rentan terkena virus atau penyakit. Selain itu, Elena pasti akan syok dan sedih.” Akhirnya Raul pun pasrah, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk membujuk Diego, begitu pun para dokter telah mengultimatum, Diego tidak bisa lama bertahan tanpa alat-alat bantu medis, akibatnya bisa fatal, namun Diego tetap berkera
“Raul… ja-ga E-le-na dan Ju-an….” Diego menatap Raul dengan penuh harap, suara nya berat dan dalam serta terbata-bata. Raul tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia hanya bisa mengangguk sambil menggenggam tangan Diego dengan tangan lainnya. Perasaannya sudah berkata lain, ia sudah dua kali mengalami situasi seperti ini, pada saat ayahnya meninggal dan juga sang nenek. Karenanya Raul tak bisa membujuk lagi. “Iya Diego, aku janji. Aku akan menjaga Elena dan Juan dengan segenap jiwa ragaku, kamu jangan khawatirkan apa pun.” Raul berkata dengan suara bergetar. Hatinya terasa sangat berat. Diego tersenyum, namun detik berikutnya mata lelaki itu terbelalak ke atas, lalu perlahan-lahan menutup, dan kepalanya pun terkulai. Beriring dengan itu, monitor di ruang itu berbunyi, elektrokardiogram menunjukan flat, kembali ke angka nol. “Diego...” Tubuh Raul bergetar, air mata lelaki itu tak terbendung lagi, ia menangis tersedu-sedu. “Selamat jalan saudaraku, beristirahatlah dengan tenang….” Para
Elena tercekat, dia berteriak keras.“Diegoooo!”Elena terlonjak, tubuhnya dibanjiri keringat, ia sangat ketakutan makala melihat suaminya menghilang di depan matanya.Elena terbangun dan langsung duduk, napasnya tersengal-sengal. “Oh, Tuhan. Syukurlah. Aku hanya mimpi…” gumam Elena.Namun kemudian ia teringat, sebelum ia tertidur tadi, Diego ada di sampingnya, memeluk dan menggenggam tangannya.Elena segera melihat ke kiri dan kanan tempat tidurnya, namun dia tidak mendapati siapa-siapa.“Diego… Apa kamu di luar?”Elena hendak turun dari tempat tidurnya ketika bibi Inez masuk bersama nyonya Victoria.“Kamu sudah bangun, sayang?” sapa nyonya Victoria lembut.“Ma, apa mama lihat Diego?” Alih-alih menjawab pertanyaan nyonya Victoria, Elena malah balik bertanya.Nyonya Victoria tidak menjawab, spontan ia menatap bibi Inez.“Bi, apa Diego ada di luar?” cecar Elena. Bibi Inez menggeleng.“Oh, apa dia pergi lagi…” gumam Elena, ia menatapa nyonya Victoria.“Ma, Raul di mana? Dia pasti tahu d
“Tidak, tidak mungkin!” Elena berkali-kali menggelengkan kepalanya. Ia memutar tubuhnya, kembali menatap tubuh yang terbujur di atas ranjang rumah sakit. Perlahan ia melangkah mendekati tubuh Diego. Elena memandang wajah yang damai itu, ia masih tidak percaya, karena wajah suaminya persis seperti saat lelaki itu tertidur. Elena memeluk tubuh Diego, lalu menggoyang-goyangkannya. “Diego, bangun sayang… jangan bikin aku takut….” Elena menepuk-nepuk wajah Diego, menggoyang-goyangkannya. “Diego, bangun sayang, kamu tidak mungkin tega meninggalkanku dan Juan. Hari ini putra kita lahir, ini hari yang kita tunggu-tunggu. Bangun Diego….” Raul dan paman Zavier merasakan hatinya sakit. Perlahan keduanya mendekati Elena yang masih menggoyang-goyangkan tubuh Diego. “Elena, dengarkan paman, sayang. Diego sudah pergi dengan tenang, dia sangat damai dan tersenyum di akhir perjalanannya. Jangan buat dia menjadi sedih.” “Tidak...Tidak mungkin…Diego tidak mungkin tega ninggalin aku, iya kan, say
“Tidak Raul…” Elena menggeleng pelan. “Diego tidak akan pernah tergantikan.” Elena kembali menatap bayinya. Sebulir kristal jatuh ke pipi Juan, bayi itu seperti tahu, ia merengek merespon dan membuka matanya, menatap lurus pada sang bunda. Raul menghela napas dalam, ia menatap Elena yang masih terisak. “Aku mengerti Elena, dan aku tidak akan pernah mengambil atau menggantikan posisi Diego darimu, dan Juan. Namun, aku akan selalu ada untuk kamu dan Juan. Mulai hari ini, kamu dan Juan adalah prioritas hidupku, Itu janjiku, dan kamu bisa memegang janjiku itu.” Elena terdiam, ia hanya memandangi putranya yang kembali tertidur. Mario kembali masuk dan melaporkan kalau jenazah Diego akan segera dimandikan dan dirias. “Elena, aku akan menemanimu jika kamu ingin melihat prosesinya.” Raul berkata sambil mengulurkan tangan, mengambil Juan dari pelukan Elena. Wanita itu mengangguk, ia menyerahkan bayinya pada Raul. Raul kembali meletakkan Juan ke keranjang bayi, lalu menyiapkan kursi roda un
“Nyonya, nyonya, lihat! Berita penting!” seru seorang wanita, seolah mendaptakan harta karun, ia bergegas menemui wanita lain, yang sedang asik menyesap minumannya. “Ah, kamu ini seperti bocah yang baru dapat mainan. Berita apa memangnya? Paling gosip recehan para influenzer dan selebritis.” Wanita itu terkekeh sambil menikmati vodka di gelasnya. “Buat saya dan sebagian orang mungkin ini tidak penting, nyonya. Tapi saya yakin Anda sangat menunggu-nunggu kabar ini,” balas Beatriz tak mau kalah, ia terkekeh sambil mengedipkan matanya. “Berita apa memang yang kutunggu-tunggu, gosip-gosip receh itu tidak cukup menarik perhatianku.” “Ini bukan gosip nyonya, tapi berita penting, bukan hanya di media sosial tapi juga di media-media lainnya.” Emma tertegun, wanita itu menatap Beatriz dengan penasaran. “Ck, cepat katakan Beatriz, jangan bertele-tele.” “Turut berduka cita, atas wafatnya seorang miliarder ternama Diego Eduardo Rodriguez, kemarin siang. Jenazah di semayamkan di kediaman Ro
“Apa? Ke kantor polisi? Tapi ada pak?”“Nanti akan kami jelaskan di kantor, kami menunggu kedatangan Anda segera, nyonya.”Raul terbangun mendengar suara percakapan Elena dengan polisi.“Ada apa, sayang?” tanya Raul pelan dengan suara yang serak.“Polisi meminta untuk datang, tapi tidak menjelaskan masalah apa,” jawab Elena dengan suara rendah.Raul mengangguk seraya mengelus tangan Elena lembut, “kita akan segera ke sana.”“Baiklah, pak. Kami akan segera ke sana,” ucap Elena kembali berbicara di telepon.“Siap nyonya, terima kasih atas kerjasamanya.”Setelah panggilan berakhir Elena menghela napas, ada kekhawatiran di wajahnya.“Kira-kira ada masalah apa ya, Raul?”“Entahlah, sayang. Nanti kita akan tahu setelah di kantor polisi. Kamu tenang saja, aku akan menemanimu. Sekarang kamu bersiap-siap dulu, aku akan menghubungi Mario dan tim pengacara agar mereka datang terlebih dahulu ke kantor polisi.”Raul berkata lembut sambil membelai rambut Elena, wanita itu mengangguk. Raul menghadia
“Tuan muda…” Raul dan Elena menghentikan langkah mereka, keduanya saling menatap lalu membalikan tubuh mereka.Seorang lelaki paruh baya berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Raul dan Elena. Wajah lelaki itu ditumbuhi janggut dan jambang lebat, ia mengenakan mantel hitam dan penutup kepala rajut serta syal abu-abu membelit lehernya. Tatapan lelaki itu lurus pada Raul dengan tatapan penuh tanya.“Ah, paman. Senang bertemu denganmu kembali,” sambut Raul sambil tersenyum, ia menyalami pria itu dengan ramah.“Saya juga senang bisa melihat tuan muda lagi, dan…” Pria itu terdiam sejenak, ia melihat pada Elena, seulas senyum menghiasi wajahnya, “sepertinya, tuan telah menemukan apa yang Anda cari.”“Haha, itu benar paman,” sahut Raul bahagia dan bangga, “Oya, ini Elena, cintaku yang selama ini aku cari.” Raul mengenalkan Elena pada lelaki itu, “Sayang, ini paman penjaga makam, beliau tinggal di sekitar sini. Dulu disaat masa-masa suram dan kehancuran hatiku, paman ini yang menemaniku dan mem
“Mia, ada apa?” tanya Elena bingung melihat perubahan ekspresi Mia yang seperti ketakutan. Begitu pun Raul dan Mario serta Chavela dan Miguel, mereka semua yang ada di tempat itu kebingungan.“Mia, apa yang membuatmu terlihat cemas dan ketakutan begini? Kamu sekarang sudah aman bersama kami,” ujar Raul yang ditimpali dengan anggukan yang lain.“Tuan, nyonya… Bagaimana dengan Emma? Sa-saya khawatir dia akan kembali melakukan hal-hal yang buruk.” Mia mengungkapkan kekhawatirannya dengan suara terbata-bata. Masih segar dalam ingatannya bagaimana Emma melakukan berbagai manipulasi. Sewaktu Diego masih hidup saja Emma sangat berani, apalagi sekarang. Dan semua itu sudah terbukti, bahkan ia sendiri sudah menjadi korban kekejaman Emma.“Kamu tenang saja, Mia. Dalam insiden terakhir, orang-orang kita berhasil melumpuhkan orang-orangnya Emma. Tidak lama kemudian polisi pun datang membekuk mereka.”Kali ini Mario angkat bicara, karena dia ada dikejadian terakhir dalam baku hantam dengan orang-o
Keesokan harinya Elena membuka mata dan mendapati dirinya masih dalam pelukan hangat Raul. Lelaki itu memeluknya erat seolah takut kehilangan lagi. Elena tersenyum, ditatapnya pria tampan di sampingnya yang tertidur nyenyak itu. Perlahan Elena mengangkat tangan Raul, namun tangan kekar itu tidak bergerak, malah memeluknya semakin erat.Elena hanya menghela napas panjang. “Raul…” Lelaki itu hanya menggeliat sebentar, namun tidak melepaskan tangannya dari pinggang Elena.“Raul… Sudah pagi, aku lapar…” gumam Elena pelan.“Selamat pagi, sayang,” sahut Raul sambil tersenyum, ia membuka matanya, lalu mencium kening Elena lembut. “Ya sudah kamu mandi dulu, aku akan siapkan sarapan kita.”“Apa? Kamu mau menyiapkan sarapan?” tanya Elena heran.“Loh memangnya kenapa?”“Sudahlah Raul, tunjukan saja dapurnya di mana biar aku siapkan sarapannya.”“Tidak-tidak, sayang. Kamu adalah ratuku, maka kewajibanku untuk melayanimu. Kamu bersih-bersih diri dulu, di lemari itu ada pakaianmu, aku pikir masih f
“Elena? Ada apa?” tanya Raul cemas.“Raul, Mia… tolong selamatkan Mia, Emma sudah menyiksanya, dia bahkan nyaris membunuh Mia jika aku tidak mau menandatangani berkas-berkas itu.”Elena menjadi sangat syock, tubuhnya bergetar ketakutan, air matanya tidak terbendung lagi, seketika dia teringat kembali bagaimana kejamnya orang-orang itu menyiksa Mia.Raul segera merengkuh Elena ke pelukannya, ia berusaha menenangkan wanita itu.“Tenang Elena, semua baik-baik saja. Mia sudah berada di tempat yang aman,” ucap Raul sambil mengelus punggung Elena.“Maksudmu? Mia?”“Ketika kami tiba di tempat itu, kami menemukan Mia tergeletak tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka, tidak jauh dari tempat kamu disekap. Aku memerintahkan Miguel dan beberapa orang untuk membawa Mia ke rumah sakit.”“Migu? Berarti Vela…?”“Ya Elena, sebenarnya Vela juga ikut dalam misi penyelamatan dirimu, tapi aku meminta Vela untuk menunggu di mobil.”“Oh, aku harus menemui adikku, dia pasti cemas…” Elena hendak bangun, na
Perlahan Elena membuka matanya, lalu berkedip-kedip sambil memperhatikan sekeliling. Ia menyadari dirinya terbaring di atas sebuah tempat tidur di dalam sebuah kamar yang nyaman. Elena mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya, terakhir yang ingat ketika ia akan menandatangani berkas yang disodorkan Emma, tiba-tiba datang serangan dari sekelompok orang bertopeng, mereka menyerang Emma dan orang-orangnya, lalu salah satu dari mereka menangkap tubuh Elena yang dilemparkan oleh orangnya Emma, kemudian membawanya pergi, setelah itu Elena tidak ingat apa-apa lagi.“Siapa sebenarnya mereka? Dan, di mana aku sekarang?” gumam Elena, ia mencoba bangun namun tubuhnya terasa lemas. Elena ingat, sejak pagi perutnya belum terisi apa pun. Tanpa sengaja Elea menoleh ke samping tempatnya terbaring, sebuah meja penuh dengan makanan dan minuman. Elena menelan ludah, seketika rasa lapar menyergapnya. Ingin rasanya ia menyantap makanan-makanan itu agar tubuhnya mempunyai energi. Tapi tidak, Elena
“Tidak…! Hentikan!!” Elena berteriak histeris, ia tak tahan melihat Mia disiksa seperti itu. Tubuh Elena bergetar ketakutan. “Hentikan Emma, lepaskan Mia, dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Urusanmu adalah denganku.”“Hmm, bagus. Sekarang cepat tanda tangani berkas-berkas itu, atau kau akan melihat perempuan tua itu mati.”“Baiklah Emma, aku akan turuti keinginanmu, tapi lepaskan Mia, biarkan dia pergi.” Elena mencoba mengajukan persyaratan.“Apa?” Emma bertanya sambil mendekati Elena, “kamu mau mencoba mengelabuiku hah? Setelah dilepas perempuan tua itu akan mencari bantuan, itu kan rencanamu, kamu pikir aku bodoh!”“Tidak, Emma. Aku sungguh-sungguh akan memenuhi keinginanmu, aku akan menandatangani berkas-berkas ini. Aku hanya tidak ingin ada korban dalam masalah ini.” Elena berkata dengan kesungguhan pada kata-katanya, perlahan ia melihat pada Mia yang sudah tidak berdaya.“Lihatlah, Mia sudah terluka dan tidak berdaya begitu, dia tidak akan bisa berbuat apa-apa, mau car
“Apa maksudmu, Emma? Dan apa yang kamu inginkan?” Elena bertanya dengan tenang, meskipun dia sudah bisa meraba apa yang diinginkan Emma.Demi melihat ketenangan sikap Elena, Emma menjadi gusar, ia mendekati Elena lalu dengan geram menarik rambut wanita itu hingga Elena merasa kesakitan, ia memejamkan mata dan mengigit bibirnya menahan rasa sakit. Namun ia tidak berteriak, sebisa mungkin ia menahannya dan berusaha untuk tenang.“Jangan pura-pura lugu, aku tahu meskipun kamu perempuan kampung tapi kalau soal harta kamu tidak bodoh. Itu sebabnya kamu mau menikahi lelaki lumpuh yang sudah mau mati, sehingga bisa menguasai seluruh harta Rodriguez.” Emma berkata berang.“Bukan begitu, Emma. Sedikitpun aku tidak ada keinginan menguasai harta Rodriguez.” Elena berkata pelan, ia terdiam sesaat lalu menatap Emma dengan kesungguhan di matanya. “Begini saja Emma, aku akan memberikan bagianku padamu. Aku hanya akan mendampingi putraku hingga dewasa, setelah itu aku akan mengelola milik keluargaku
Malam terus merangkak hingga kegelapan menyelimuti sekeliling, hanya lampu-lampu jalan dan juga lampu-lampu dari celah jendela setiap bangunan yang menjadi pemandangan malam itu. Raul dan rombongannya mengambil jalan pintas sehingga tidak melalui jalan utama kota. Untungnya, Raul dulu aktif melakukan kegiatan outdoor, sehingga dia hapal setiap sudut wilayah kota itu.Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, mereka pun tiba di daerah yang di tuju. Raul menghentikan mobilnya diikuti mobil-mobil lain di belakangnya. Raul segera turun, begitu pun Mario dan Miguel. Mereka mengamati sekeliling tempat itu.Miguel kembali melihat map di ponselnya, dan memang titiknya sangat tepat. “Di arah sana lokasinya, tuan.” Migu menunjuk arah sesuai petunjuk peta. Raul dan Mario mengamati arah yang ditunjuk Miguel.“Yah benar, di sana ada bangunan yang terpisah dengan bangunan lainnya, tempatnya terpencil, kalau tidak salah dulu dipakai sebagai istal untuk menyimpan kuda, tapi sepertinya sud