Rainsword berada di dunia yang asing baginya. Tempat ini memiliki kualitas udara yang sangat buruk. Dia berjalan di jalan setapak berbatu dan tanah hitam yang terasa dingin dengan kaki tanpa alas.
“Tempat apa ini?” batin Rainsword memperhatikan setiap sudut tempat asing yang ada di hadapannya. Dia terus berjalan hingga menemukan sebuah puri tua dengan tanaman ivy yang merambat di dinding luarnya. Perlahan dia masuk ke dalam puri tersebut, tidak ada cahaya yang bisa membuat matanya melihat jelas ke dalam puri. Namun, saat kakinya melangkah masuk melewati daun pintu puri, semua penerangan menyala secara serempak sehingga tempat itu menjadi begitu terang.Rainsword memasuki puri yang belum pernah dilihatnya. Dia terus berjalan hingga masuk ke dalam aula di mana seseorang duduk di sebuah kursi besar layaknya singgasana. Sosok yang duduk di kursi tersebut terlihat sangat familiar.“Yuan,” gumam Rainsword.Mendengar namanya disebut, pemuda berambut hitam kelam itu membukaSiapa yang menyangka selama ini dia sangat dekat dengan bangsa kristal, bahkan dalam dirinya mengalir darah bangsa tersebut."Ibunda," lirih Rainsword memperhatikan penampilan Permaisuri Erina yang tidak pernah dia sadari sebelumnya."Ya, aku seorang penjaga. Pilar-pilar ini dipindahkan karena tidak mungkin bagiku sebagai penjaga meninggalkan tempat ku. Dengan persetujuan Yang Mulia, pada akhirnya istana timur ditutup untuk umum. Hingga tersebar rumor hanya wanita saja yang boleh memasuki wilayah ini." Wanita dengan mata biru sapphire itu menatap Rainsword dengan tatapan sendu."Ibunda, aku…." Rainsword tidak bisa meneruskan kata-katanya, dia teringat banyak hal dan sejak dulu menyangkal keberadaan semua makhluk fantasi lalu kini dia adalah salah satunya. Rasanya sungguh aneh."Kekuatanmu bangkit, Tuan Agni sudah mengirimkan laporannya padaku," sambung Permaisuri Sawatari, dia terlihat tenang dengan perubahan itu."Ibunda," lirih Rainsword."Hal itu wajar, Rain. Yang Mulia juga pasti m
Rainsword dan Yuasa sudah kembali ke istana timur. Mereka menunggu Permaisuri Erina mempersiapkan pemberangkatan mereka kembali ke akademi."Kakak tidak tinggal lebih lama?" Yuan menarik tangan kakaknya dan merajuk. "Tidak bisa Yuan, kami harus kembali," balas Rainsword. Melihat wajah kecewa yang tergambar jelas di wajah adiknya membuat Rainsword tidak tega. Sama seperti hari itu saat pertama kali meninggalkan Yuan, Rainsword sangat berat melepaskan adiknya ini."Hei, tunjukkan Marina," ucap Rainsword yang membuat adik manisnya itu tersenyum."Kakak sungguh ingin melihat Marina? Kakak mau melihat undine milikku?" Yuan terlihat bersemangat saat kakaknya mengakui keberadaan mereka.Satu anggukan cukup membuat Yuan senang dan segera bersiap melakukan pemanggilan.Yuan berdiri menjauh dari Yuasa dan Rainsword, dia seperti mengucapkan sesuatu dan mengangkat tangannya hingga sebuah lingkaran sihir muncul di depannya.Sebuah lingkaran sihir berwarna biru l
Recca berjalan dengan kesal. Mereka bertiga pulang paling akhir dari kelas botani karena kegagalan kedua pangeran yang tidak bisa membedakan tanaman yang seharusnya dimasukkan untuk bahan ramuan."Pokoknya aku tidak mau gagal gara-gara kalian," gerutu Recca.Rainsword berjalan santai menanggapi Recca yang sudah merah padam karena kesal."Tenang saja, kami akan berusaha," jawab Rainsword."Aku tidak mengerti memangnya apa yang salah jahe dengan ginseng terlihat sama bagiku," sambung Yuasa yang benar-benar polos tidak bisa membedakan tanaman herbal."Benar, mereka cerewet sekali serai dan alang-alang juga terlihat mirip," imbuh Rainsword yang sama parahnya dengan Yuasa dalam mengidentifikasi tanaman herbal.Recca menatap kedua temannya satu persatu lalu menghela napas panjang berusaha menenangkan diri supaya tidak meledak kemarahannya. "Sabar, Recca, sabar," batin Recca.Mereka berdua adalah pangeran yang harus dijaga keselamatannya dan dia juga harus bersikap sopan. Meskipun jika hany
Rainsword masuk ke dalam rumah pengungsian. Dia mengira akan berdesakan dengan pengungsi lain, tetapi kenyataanya dia mendapatkan satu rumah utuh dan hanya ada mereka berenam di rumah itu. Masih merasa canggung dengan teman pengungsinya, Rainsword mulai tidak nyaman duduk di ruang tamu."Lebih baik Pangeran Rainsword beristirahat, mari saya antarkan ke kamar Anda." Pria kekar yang belum dikenal Rainsword memecah kesunyian dan menawarkan diri mengantarkan Rainsword ke kamarnya. Tanpa menjawab dengan kata-kata, Rainsword langsung mengangguk dan berdiri mengikuti pria tersebut."Pangeran jangan takut, kami disini hanya akan membantu Anda memanggil makhluk penjaga atau spirit khusus yang mengikuti Pangeran. Seperti semua penjaga, mereka memiliki spirit khusus. Tuan Agni misalnya dia memiliki Phoenix," ucap pria yang mengantarkan Rainsword sampai kamarnya."Jadi makhluk apa yang ku miliki?" tanya Rainsword penasaran."Maaf, saya juga tidak tahu, dia berada dalam diri Pangeran," jawab pria
Rainsword kembali mendapatkan mimpi buruk yang lebih buruk, mimpi yang menjadi kenyataan. Bukan hanya mengejar tapi ular berkepala sembilan ini benar-benar menyerangnya. Kepala-kepala ular itu terbuka dan air di sekitarnya mulai berbuih kemudian terjangan air yang keras menyeret Rainsword hingga beberapa meter.“Bagaimana ini?!” Takut, cemas, dan bingung, keadaan Rainsword saat ini tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Dia berusaha menahan serangan dengan memanipulasi air untuk membuat pelindung. Namun, kekuatan airnya tidak cukup kuat sehingga dia terpental dan menabrak batu karang. “Apa hanya seperti itu kemampuanmu!” Suara makhluk di depannya bergema dalam benak Rainsword.Rainsword berusaha bangkit kembali, dia merasa harus ke permukaan untuk mengambil oksigen. Namun, ternyata dia merasakan sesuatu yang berbeda, dia bisa bernapas dalam air. “Bagaimana mungkin?!” Rainsword meraba bagian kepala dan lehernya, mencari sesuatu yang menyerupai insang. Kenapa dirinya bisa baik-baik saj
Rainsword mundur beberapa langkah, dia kebingungan. Menyerang dengan elemen air ternyata tidak berhasil melumpuhkan musuhnya yang merupakan elemen air juga.“Andai saja aku punya pedang,” pikir Rainsword. Dia teringat dengan pedang peraknya yang ada di kamar, sedikit ada rasa sesal di hatinya kenapa tidak membawa pedang itu bersamanya. Akan tetapi dia berpikir lagi, percuma juga dibawa karena saat latihan di aula dia juga tidak membawa apapun.Rainsword menarik air yang ada di lautan lalu memadatkannya, membentuk menjadi sebuah pedang es. “Semoga saja ini cukup tajam,” gumamnya mencoba pedangnya. Dia melompat dan menyerang sang ular.“Bwahahaha!” tawa sang ular menggema. Dia hanya merasa seperti ditusuk dengan lidi. Pedang Rainsword tidak cukup tajam menggores sisik tebal ular berkepala sembilan itu.Salah satu kepala ular tersebut menyerang dengan mengeluarkan cairan dari dalam mulutnya dan baju yang terkena cairan itu terkoyak, Rainsword juga merasakan panas pada kulitnya.“Apa ini
Rainsword terbangun lalu meraba tubuhnya, melihat apakah masih utuh atau tidak. Dia kemudian memijit pelipis kepalanya yang terasa pusing.“Apa semua itu mimpi? Mimpi yang benar-benar nyata.”Seketika mata Rainsword terbelalak melihat sebuah simbol ular berkepala sembilan di punggung tangannya.“Apa ini?!”Dia menggosok gambar itu tapi tidak juga hilang. “Apa ini semacam tato, siapa yang usil mengerjaiku,” pikir Rainsword.Pemuda berambut keperakan pendek itu bangun dan menuju ke kamar mandi guna menghapus coretan di tangannya. Saat gambar ular berkepala sembilan itu terkena air bukan semakin menghilang justru bersinar. Warna yang awalnya hitam berubah menjadi biru laut.
Kembali ke Kerajaan Cahaya, Raja Yuichi merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhnya. Telapak tangan yang menghitam semakin menjalar hingga mencapai lengannya. Tiba-tiba dia terjatuh saat berjalan mendekati meja kerjanya. "Yang Mulia!" seru seorang pengawal yang melihat Raja Yuichi terjatuh di dekat meja kerjanya. Pengawal itu membawa sang raja beristirahat di sebuah kursi panjang yang ada di ruangan itu. "Saya panggilkan tabib," ucap pengawal yang terlihat cemas melihat rajanya sakit. Tanpa kata, Raja Yuichi hanya mengangguk saja. Dia menyandarkan kepalanya pada lengan kursi panjang dan meluruskan kedua kakinya. "Blood moon, kegelapan dalam diriku mulai bangkit," batin Raja Yuichi. Dia hanya tersenyum kecut menyadari kenyataan yang jauh dari keinginannya. "Yang Mulia!" Suara nyaring yang sangat merdu terdengar. Meskipun tidak melihat, sang raja tersenyum. "Aku baik-baik saja, sepertinya hanya terlalu lelah," balas Raja Yuichi perlahan melihat wajah cantik yang saat ini melihat