Malam itu, setelah Pietro meninggalkan kota, suasana di markas keluarga Ombra terasa lebih tenang, meski ketegangan masih tersisa. Luca tahu bahwa masa-masa sulit belum berakhir. Kota ini penuh dengan pengkhianatan dan tipu muslihat, dan keluarga Ombra harus selalu siap menghadapi apa pun yang datang.
Namun, di tengah kekacauan, sebuah kesempatan baru muncul—sebuah peluang yang bisa memperkuat posisi mereka dan membawa keluarga ini ke tingkat yang lebih tinggi.### **Informasi dari Timur**Pagi-pagi buta, seorang kurir datang membawa pesan rahasia dari seorang kontak lama keluarga Ombra yang tinggal di Timur Eropa. Kontak itu bernama Ivan, seorang mantan tentara bayaran yang kini menjalankan jaringan perdagangan yang sah namun masih memiliki koneksi dengan dunia bawah tanah.“Luca,” kata Enzo sambil menyerahkan pesan itu. “Ivan ingin bertemu. Dia bilang ada peluang besar yang bisa memperkuat pengaruh kita.”Luca membaca pesan teMalam itu, udara dingin menyelimuti kota. Cahaya remang-remang dari lampu jalan berpendar samar, memberikan kesan mencekam yang terasa hingga ke tulang. Luca berdiri di depan jendela ruang kerjanya, memandangi kota yang selama ini menjadi medan perangnya. Segala sesuatu yang telah mereka bangun kini dipertaruhkan. Di belakangnya, Marco dan Enzo sibuk merampungkan persiapan untuk operasi besar yang akan mereka lakukan malam ini. Mereka telah mengidentifikasi markas kelompok yang menyerang gudang keluarga Ombra—sebuah bangunan tua di pinggiran kota yang sudah lama ditinggalkan. “Luca,” panggil Marco, memecah keheningan. “Semua sudah siap. Orang-orang kita sudah berada di posisi masing-masing.” Luca mengangguk perlahan. “Bagus. Ini saatnya kita tunjukkan siapa yang berkuasa di kota ini.” ### **Persiapan Terakhir** Sebelum berangkat, Luca mengumpulkan semua orang di halaman markas. Sekitar dua puluh orang berdiri dengan penuh disipl
Langit kota menyelimuti malam dengan tabir kelam, hanya diterangi cahaya bulan yang samar. Di markas besar keluarga Ombra, suasana terasa tenang, tetapi ketegangan tetap menggantung di udara. Setelah pengkhianatan Ivan terungkap dan proyek pelabuhan berhasil diamankan, Luca tahu bahwa ini bukanlah akhir. Ini adalah awal dari babak baru—babak di mana keluarga Ombra akan menjadi lebih kuat dari sebelumnya. ### **Penyusunan Strategi Baru** Di ruang pertemuan yang megah namun fungsional, Luca duduk di ujung meja panjang. Marco, Enzo, dan Vittorio duduk di sisi lain, menunggu perintah. Beberapa anggota kunci lainnya hadir, semua fokus pada Luca yang tengah memandangi peta besar di dinding. “Kita telah mengambil langkah besar dengan mengamankan proyek pelabuhan,” kata Luca, suaranya tenang tetapi tegas. “Namun, ini hanya permulaan. Kita perlu memastikan bahwa kontrol kita tidak tergoyahkan.” Marco mengangguk. “Aku setuju. Proyek ini terlalu besa
Pagi itu, matahari menyelinap perlahan di antara gedung-gedung tinggi kota. Suara burung-burung yang berkicau seolah membawa harapan baru, tetapi bagi Luca Ombra, harapan tidak pernah datang tanpa usaha. Dia tahu bahwa meskipun Dante sudah ditaklukkan, ancaman baru selalu mengintai. Di ruang kerja yang dipenuhi aroma kopi, Luca duduk memandangi dokumen-dokumen di mejanya. Ada laporan keuangan proyek pelabuhan, daftar pengiriman barang, serta informasi terbaru dari Enzo mengenai pergerakan kelompok lain yang masih mencoba menggoyahkan posisi keluarga Ombra. Marco masuk, membawa selembar kertas dengan ekspresi serius. “Ini baru saja datang. Dante berbicara.” Luca mengambil kertas itu dan membaca dengan seksama. Kata-kata Dante tertulis dengan jelas: **“Kalian pikir aku satu-satunya? Kegelapan yang sebenarnya belum datang.”** Luca meletakkan kertas itu di meja dan menatap Marco. “Apa maksudnya?” Marco menggeleng. “Kami belum tahu.
Kegelapan malam kembali menyelimuti kota, namun bagi Luca Ombra, kegelapan adalah sahabat. Di balik tembok tebal markas keluarga Ombra, persiapan terus berlangsung. Luca tahu bahwa untuk mengalahkan Rafael dan *La Sombra*, mereka harus berpikir seperti bayangan itu sendiri—bergerak tanpa suara dan menyerang tanpa peringatan. Di ruang bawah tanah markas, Luca berdiri di depan peta besar yang dipenuhi tanda-tanda merah. Setiap titik menandakan lokasi penting yang mungkin menjadi tempat persembunyian Rafael. Enzo dan Marco berdiri di sampingnya, mata mereka fokus pada detail kecil yang bisa memberikan petunjuk. “Dia berpindah-pindah terlalu cepat,” kata Enzo, frustrasi. “Setiap kali kita hampir menemukannya, dia sudah menghilang.” “Dia tahu kita mengejarnya,” balas Marco. “Dan itu membuatnya waspada.” Luca menghela napas panjang. “Kita butuh cara lain untuk menjebaknya. Sesuatu yang tidak dia duga.” ### **Perangkap yang Tak Terduga
Kota kembali tenang, tetapi keheningan ini adalah ilusi. Luca Ombra tahu bahwa badai berikutnya sedang menyusun kekuatan di kejauhan. Di ruang utama markas keluarga, dia duduk bersama Marco, Enzo, dan Vittorio, membahas langkah berikutnya. Meski Rafael kini berada di balik jeruji, *La Sombra* masih hidup. Luka kecil di tubuh organisasi mereka tidak cukup untuk membuatnya lumpuh. “Informasi terbaru dari dalam penjara menunjukkan bahwa Rafael masih mengendalikan operasinya,” kata Enzo sambil meletakkan map di meja. “Dia memiliki kontak di luar, dan mereka bergerak cepat.” Luca mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kayu besar itu. “Kita perlu tahu siapa saja jaringan dalamannya. Tidak ada gunanya menangkap kepala jika tubuhnya masih bergerak.” “Dan ada satu hal lagi,” tambah Marco dengan nada khawatir. “Aku mendengar desas-desus tentang seseorang yang akan mengambil alih posisi Rafael di lapangan. Mereka menyebutnya sebagai ‘Bayangan Kedua’.” “B
Pertemuan dengan Bayangan Kedua meninggalkan kesan mendalam bagi Luca Ombra. Wanita itu bukan hanya penerus Rafael, tetapi ancaman yang jauh lebih kompleks. Ia memiliki ketenangan yang berbahaya dan rencana besar yang belum terungkap sepenuhnya. Luca tahu bahwa permainan ini telah berubah. Jika sebelumnya mereka bermain melawan *La Sombra*, sekarang mereka melawan seorang dalang yang cerdas dan tanpa ampun. Di ruang konferensi markas keluarga, Luca mengumpulkan semua orang. Peta kota terhampar di meja besar, penuh dengan tanda lokasi strategis yang mungkin digunakan oleh Bayangan Kedua. “Kita tahu dia mengambil alih kendali setelah Rafael ditangkap,” kata Luca sambil menunjuk beberapa titik. “Namun, dia tidak hanya memanfaatkan jaringan yang sudah ada. Dia menciptakan sesuatu yang lebih besar.” Marco mengangguk, melipat tangannya di dada. “Aku mendapat informasi bahwa mereka mulai merekrut orang-orang baru, terutama dari luar kota. Itu membuat mereka
Luca Ombra berdiri diam di dalam gudang tua, mengamati pria yang baru saja muncul dari kegelapan. Sosok kurus itu mengenakan mantel panjang, dengan wajah tirus dan sorot mata yang penuh kehati-hatian. "Aku tahu siapa Bayangan Kedua sebenarnya," kata pria itu tanpa basa-basi. Suaranya terdengar tegas, tetapi ada ketegangan di balik kata-katanya. Luca tidak menunjukkan emosi, tetapi pikirannya berputar cepat. Informasi seperti ini berharga, tetapi berpotensi berbahaya jika datang dari sumber yang tidak dikenal. "Kenapa aku harus percaya padamu?" tanya Luca, suaranya datar tetapi mengandung ancaman. Pria itu tersenyum kecil. "Karena aku tidak punya pilihan lain. Kalau aku melarikan diri, dia akan membunuhku. Tapi kalau aku membantumu menghentikannya, setidaknya aku punya kesempatan untuk bertahan hidup." "Nama?" desak Luca, matanya tajam seperti belati. "Amadeo," jawab pria itu. "Aku adalah salah satu penghubung utama Ra
Malam setelah misi di pelabuhan, markas keluarga Ombra dipenuhi dengan ketegangan. Meski berhasil memutus salah satu jalur distribusi utama Isabella Costanza, ancaman dari Bayangan Kedua belum sepenuhnya hilang. Luca duduk di ruang rapat utama, mengamati peta besar yang dipenuhi penanda merah—lokasi jaringan Isabella yang masih harus dihancurkan. Marco memasuki ruangan dengan langkah cepat, membawa berkas yang baru saja tiba dari salah satu informan mereka. "Ada sesuatu yang menarik," katanya sambil menyerahkan dokumen itu ke Luca. Luca membuka berkas tersebut. Di dalamnya terdapat laporan tentang seorang pria bernama Mateo Ruiz, seorang mantan kepala logistik kartel Amerika Selatan yang kini tinggal di sebuah vila mewah di pinggir kota. Menurut laporan, Mateo adalah penghubung utama Isabella untuk mengamankan jalur perdagangan internasionalnya. “Kalau ini benar, kita punya peluang besar untuk menyerang Isabella di titik paling lemah,” kata Marco.
Berlin menjadi saksi bisu ketegangan yang tak terlihat di balik gemerlapnya lampu-lampu kota. Setelah berhasil menyusup ke markas Bayangan Kedua, Luca, Elena, dan Marco tahu mereka tidak bisa berlama-lama di kota ini. Informasi yang mereka bawa terlalu penting untuk disimpan terlalu lama tanpa tindakan. Namun, pergerakan mereka kini diikuti, dan waktu untuk bersembunyi sudah hampir habis. Di apartemen kecil yang mereka sewa, Elena memimpin analisis mendalam terhadap data yang mereka curi. Peta digital, pesan-pesan terenkripsi, dan dokumen keuangan menjadi bahan utama mereka. Semua bukti itu menunjukkan bahwa Bayangan Kedua sedang mempersiapkan sebuah operasi besar, yang disebut “Proyek Valhalla.” “Elena, apa sebenarnya proyek ini?” tanya Marco, duduk di sofa dengan pistol di pangkuannya. Elena mengerutkan kening sambil mengetik cepat di laptopnya. “Proyek Valhalla tampaknya adalah serangkaian serangan terkoordinasi di berbagai negara. Mereka menarget
Hening malam Berlin hanya sesekali terganggu oleh deru mobil yang melintasi jalan-jalan sempitnya. Kota itu menyimpan sejuta rahasia, dan malam ini, Luca, Elena, dan Marco berada di tengah-tengahnya, menyamar sebagai turis yang tampak biasa. Mereka tiba di Berlin dengan tujuan yang jelas: menemukan titik koordinat terakhir yang ditandai pada peta yang mereka curi dari markas Bayangan Kedua di Budapest. "Tempat ini jauh lebih sibuk dibandingkan hutan tempat kita bersembunyi," kata Marco, berjalan di trotoar sambil memegang tasnya dengan erat. "Dan aku tidak suka itu." "Kita hanya perlu menyatu dengan keramaian," jawab Elena. "Tidak ada yang akan mencurigai kita kalau kita terlihat seperti orang lokal." Luca mengangguk setuju. "Kita fokus pada misi. Gedung yang kita cari ada di distrik Mitte, sebuah kawasan perkantoran yang cukup sibuk. Kita akan bergerak tengah malam, saat keamanan paling lemah." Mereka berjalan menuju s
Suara kendaraan yang mendekat membuat suasana di pondok semakin tegang. Marco berdiri di ambang pintu, mencoba mengintip dari celah kecil. Di kejauhan, lampu sorot kendaraan terlihat menembus kegelapan hutan. “Mereka sudah sampai,” bisik Marco. Elena segera mengambil posisi di samping jendela, senjata di tangan. Luca memeriksa Krylov yang tetap terikat di kursinya, wajahnya masih dengan senyuman mengejek. “Apakah kau memberitahu mereka lokasimu?” tanya Luca dingin. Krylov mengangkat bahu. “Mungkin saja. Kau tahu, Bayangan Kedua punya cara mereka sendiri.” “Bungkam dia,” kata Elena tajam. Luca memutuskan untuk menyumpal mulut Krylov dengan kain, memastikan dia tidak bisa berteriak atau memberi isyarat apa pun. “Marco, berapa banyak?” tanya Luca sambil memeriksa senjatanya. “Dua mobil, setidaknya delapan orang,” jawab Marco sambil melangkah mundur dari pintu.
Hening malam Berlin hanya sesekali terganggu oleh deru mobil yang melintasi jalan-jalan sempitnya. Kota itu menyimpan sejuta rahasia, dan malam ini, Luca, Elena, dan Marco berada di tengah-tengahnya, menyamar sebagai turis yang tampak biasa. Mereka tiba di Berlin dengan tujuan yang jelas: menemukan titik koordinat terakhir yang ditandai pada peta yang mereka curi dari markas Bayangan Kedua di Budapest. "Tempat ini jauh lebih sibuk dibandingkan hutan tempat kita bersembunyi," kata Marco, berjalan di trotoar sambil memegang tasnya dengan erat. "Dan aku tidak suka itu." "Kita hanya perlu menyatu dengan keramaian," jawab Elena. "Tidak ada yang akan mencurigai kita kalau kita terlihat seperti orang lokal." Luca mengangguk setuju. "Kita fokus pada misi. Gedung yang kita cari ada di distrik Mitte, sebuah kawasan perkantoran yang cukup sibuk. Kita akan bergerak tengah malam, saat keamanan paling lemah." Mereka berjalan menuju sebuah hostel sederha
Setelah perjalanan panjang, Luca, Elena, dan Marco akhirnya tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan, tempat perlindungan yang sebelumnya mereka gunakan sebagai markas darurat. Pondok itu sederhana, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan jendela kecil yang hampir tidak memberikan cahaya. Namun, di dalamnya terdapat persediaan yang cukup untuk bertahan beberapa hari. Krylov, yang tangannya masih terikat, diseret masuk oleh Marco. Pria itu tetap tersenyum seperti biasanya, meskipun keadaannya sekarang jauh dari menyenangkan. “Tempat ini cukup terpencil. Kita aman untuk sementara,” kata Marco sambil mengunci pintu belakang. “Kita harus bergerak cepat,” ujar Elena sambil memeriksa senjatanya. “Bayangan Kedua tidak akan menyerah sampai mereka mendapatkan Krylov kembali.” Luca mengangguk setuju. “Kita harus memanfaatkan waktu ini untuk menggali informasi sebanyak mungkin darinya.” ### **Interogasi Dimulai** Krylov didu
Kendaraan melaju kencang melewati jalan-jalan sepi di luar Praha. Di dalamnya, suasana penuh ketegangan. Luca duduk di kursi depan, tangannya erat menggenggam setir. Di belakang, Elena dan Marco duduk berjaga dengan senjata di tangan, sementara Krylov yang terborgol tersenyum sinis, seolah tidak gentar sedikit pun meski dia sudah menjadi tawanan mereka. “Kita ke mana sekarang?” tanya Elena, memecah keheningan. “Markas sementara di luar kota,” jawab Luca sambil tetap fokus pada jalan. “Kita tidak bisa menuju pangkalan utama. Mereka mungkin sudah memantau semua jalur ke sana.” Marco menatap Krylov dengan tajam. “Pria ini pasti punya lebih banyak trik. Jangan sampai kita lengah.” Krylov tertawa kecil. “Ah, kalian terlalu berlebihan. Aku hanya seorang pria tua yang kalah dalam pertarungan, bukan?” “Kalah?” Elena mendekatkan wajahnya ke Krylov. “Jangan terlalu percaya diri. Kita sudah menghancurkan sebagian besar jaringanmu. Kau buka
Ketegangan semakin memuncak ketika Luca, Elena, dan Marco tiba di Praha. Kota yang biasanya dikenal karena keindahan arsitektur dan romantisme sungainya kini menjadi medan pertempuran terakhir mereka. Informasi dari Volkov membawa mereka ke sebuah bangunan tua di jantung kota, yang disinyalir sebagai tempat Krylov bersembunyi. "Kita tidak punya banyak waktu," ujar Luca sambil memeriksa senjata di tangannya. "Kalau informasi Volkov benar, Krylov sedang mempersiapkan sesuatu yang besar di sini." Elena menatap layar ponselnya yang menampilkan denah bangunan itu. "Bangunan ini memiliki banyak jalan keluar. Kita harus berhati-hati." Marco, yang sedang memeriksa peralatan mereka, menambahkan, "Aku yakin dia sudah menyiapkan pasukan untuk melindungi dirinya. Kita harus siap untuk kemungkinan terburuk." Luca mengangguk. "Kita selesaikan ini malam ini. Krylov harus dihentikan." ### **Masuk ke Sarang Krylov** Malam itu, mereka
Pagi itu, salju masih turun dengan lebat, menyelimuti pegunungan dengan lapisan putih tebal. Luca, Elena, dan Marco duduk di dalam sebuah pondok kecil yang tersembunyi di antara pepohonan. Pondok itu menjadi tempat perlindungan sementara mereka setelah pelarian semalam yang nyaris merenggut nyawa mereka. Di atas meja kayu yang sederhana, tablet yang berhasil mereka curi dari vila Krylov menjadi pusat perhatian. Data di dalamnya adalah kunci untuk menghancurkan organisasi Bayangan Kedua, tetapi informasinya terlalu banyak untuk dipecahkan dalam semalam. "Kita harus memecahkan ini sekarang," kata Luca sambil menatap layar tablet. "Kalau tidak, mereka akan selangkah lebih maju dari kita." Elena, yang duduk di seberang meja dengan secangkir kopi di tangannya, mengangguk. "Aku setuju, tapi ada terlalu banyak lokasi di sini. Bagaimana kita tahu di mana Krylov sebenarnya berada?" Marco, yang sedang memeriksa senjata mereka, menambahkan, "Kita tid
Angin dingin menerpa wajah Luca saat ia berdiri di atas puncak bukit, mengamati vila megah yang tersembunyi di antara pegunungan Swiss. Dari kejauhan, vila itu terlihat seperti istana kecil dengan dinding putih bersih yang bersinar di bawah cahaya bulan. Namun, Luca tahu bahwa di balik keindahannya tersembunyi ancaman yang mematikan. "Penjagaan ketat," gumam Marco di sebelahnya, matanya memperhatikan setiap gerakan di sekitar vila melalui teropong. "Ada patroli setiap lima menit, dan aku bisa melihat kamera di hampir setiap sudut." "Ini seperti benteng," tambah Elena, yang berdiri sedikit di belakang mereka. Dia memeluk tubuhnya untuk melawan dingin, meskipun fokusnya tetap pada rencana mereka. Luca mengangguk. "Krylov tidak akan membuat ini mudah. Tapi kita sudah sampai sejauh ini, dan kita tidak akan mundur." Elena menghela napas panjang. "Rencana kita?" "Kita harus menyusup ke dalam vila tanpa terdeteksi," jawab Luca. "Jika k