Markus terdiam, tatapan matanya yang sayu tertuju pada tubuh anaknya yang tak berdaya dengan darah membasahi seluruh tubuhnya. Perintah Vincen terlalu berat dan dia sadar tidak bisa melakukannya.
Anak yang selama ini dia banggakan, kini terkapar tak sadarkan diri akibat ulahnya sendiri. Markus melepaskan cekalan tangannya dari kaki Vincen dengan wajah tak berdaya."Kenapa? Bukankah kau sudah terbiasa menyuruh orang untuk membunuh?" ujar Vincen dengan nada dingin. Wajahnya yang biasanya lembut, kini terlihat garang menatap Markus."Vin...." Veronica mencoba menenangkan Vincen, tangannya mencekal lengan pria itu erat. Dia tahu Vincen sudah hampir kehilangan kendali atas emosinya, dan itu bisa berakibat fatal bagi semua orang di sekitar mereka.Markus mencoba menelan ludah, serasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Dia sadar betul bahwa semua ini adalah salahnya, namun dia merasa tak sanggup untuk menyelesaikan masalah ini dengan tangannyMata Veronica terbelalak saat bibir Vincen menyentuh bibirnya secara tiba-tiba. Pemuda itu mengecupnya dengan lembut. Tubuh Veronica seketika membeku, jantungnya berdebar kencang. Dia hanya mampu menatap pria itu dengan mata terbuka lebar.Vincen akhirnya melepaskan kecupannya. Senyum mengembang di wajahnya, matanya menatap Veronica dengan penuh kelembutan. "Aku akan mencobanya, Veronica," ucapnya dengan suara lembut, kemudian menggerakkan tangannya untuk menyisipkan rambut Veronica yang terurai ke sela telinga.Veronica, yang masih terkejut, tersentak sadar. "M-maksud kamu?" tanyanya dengan suara gemetar.Vincen mengangguk pelan. "Bukankah itu yang kamu mau, menjalin hubungan denganku? Aku akan melakukannya," jawab Vincen, menatap Veronica dengan serius dan penuh tekad.Dalam keheningan ruangan itu, Veronica mencoba menahan rasa gembira yang memenuhi dadanya.Dihadapannya, Vincen tersenyum tipis dengan pandangan yang lembut. Rasa bingung dan bahagia bercampur dalam hati Veronica. "
Vincen mengajak jalan Veronica ke pusat hiburan kota Aranka. Karena weekend, tempat tersebut cukup ramai. Mereka mencoba beberapa permainan layaknya sepasang kekasih yang tengah berbahagia. Wajah Veronica berseri-seri, tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Vincen, yang sebelumnya masih terluka karena mantan istrinya, kini tampak ikut bahagia bersama Veronica. "Vin, aku beli minuman dulu, haus," ucap Veronica tiba-tiba. "Biar aku saja, kamu tunggu di sini," pinta Vincen sambil tersenyum. Veronica mengangguk sambil tersenyum simpul, merasa diperlakukan istimewa oleh Vincen. Ia duduk di sebuah kursi, menunggu Vincen yang sedang mengantre di gerai minuman. Sementara itu, Vincen memilih minuman kesukaan mereka berdua dan membayarnya. Setelah beberapa saat, Vincen kembali dengan membawa dua gelas minuman. Veronica langsung tersenyum lebar, mengekspos gigi putihnya yang rapi. "Terima kasih, Vin," ucapnya sambil menerima minuman dari Vincen. "Tidak masalah," balas Vincen, jug
Mantan manajer Vincen menatap tak percaya saat melihat Black Card yang dipegang Vincen. Wajahnya pucat pasi dan matanya terbelalak. Sementara itu, Veronica langsung merangkul lengan Vincen dengan penuh kemenangan. "Beginilah seharusnya lelaki," puji Veronica sambil mengejek pria yang sebelumnya merendahkan Vincen. Mantan manajer tersebut terlihat gelagapan, "Tidak, tidak mungkin, itu pasti bukan Black Card milikmu, bukan?" ujarnya dengan nada penuh penyangkalan. Vincen hanya tersenyum tipis dan santai, mendekat ke mantan manajernya dengan langkah pasti. "Berhentilah berbicara omong kosong, atau kau ingin istri-mu tahu tentang informasi yang seharusnya tidak dia ketahui?" ancam Vincen sambil menatap mantan manajernya dengan tatapan dingin. Keringat dingin mulai mengucur di wajah mantan manajer tersebut, dia tersentak mundur ketakutan. Dia tak menyangka Vincen kini telah berubah menjadi sosok yang begitu berbeda dan berpengar
Setelah sampai di apartemenn, Vincen melangkah keluar dari mobil. "Terima kasih untuk hari ini, Vin," ucap Veronica lembut dari dalam mobil, matanya bersinar penuh kebahagiaan.Vincen menghadap Veronica dan tersenyum hangat, kedua matanya menatap penuh kelembutan. "Seharusnya aku yang berterima kasih. Hati-hati di jalan," ujar Vincen dengan suara yang penuh keikhlasan, tak ada sedikit pun rasa penyesalan telah menghabiskan waktunya untuk menemani Veronica. Veronica mengangguk pelan, cahaya harapan muncul di matanya yang bersinar. Dia lalu menoleh kepada sopirnya dan berkata. "Kita langsung pulang saja." Sopir mengangguk mobil pun bergerak perlahan, meninggalkan Vincen di depan apartemennya. Vincen menghela napas panjang, merasakan lelah yang mulai merayap di tubuhnya. Dia mempercepat langkahnya menuju apartemennya, berharap bisa segera beristirahat setelah seharian menghabiskan waktu bersama Veronica. Namun, begitu sampai di depan pintu apartemennya, Vincen terkejut melihat Solom
Sementara itu, Jessica baru saja tiba di rumahnya dengan langkah gembira dan hati berbunga-bunga. Dari pintu masuk, ia terdengar bersenandung dengan riang. John dan Helena, orang tua Jessica, yang sedang duduk santai di ruang tamu, menoleh ke arah putri satu-satunya itu, terkejut dengan semangat yang tak biasa darinya."Anak Ibu sepertinya bahagia sekali," tegur Helena dengan senyum lebar, merasakan kebahagiaan yang memancar dari wajah sang anak.Mendengar suara ibunya, Jessica menoleh dan menghampiri kedua orang tuanya. Wajahnya yang berseri-seri membuat orang tua Jessica semakin penasaran dengan apa yang membuat anak mereka begitu gembira. Jessica duduk di samping ibunya, menatap wajah kedua orang tuanya dengan mata berbinar."Ayah, Ibu, akhirnya aku berhasil mendapatkan nomor telepon penyelamat ku!" ungkap Jessica dengan semangat, hampir tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Wajah John dan Helena saling beradu pandang, me
Keesokan paginya, Vincen baru saja akan berangkat bekerja ketika ponselnya berdering. Dia melihat nomor asing di layar dan mengerutkan keningnya, penasaran siapa yang menelepon. Dengan ragu, Vincen mengangkat panggilan tersebut. "Halo....""Datanglah ke alamat yang aku berikan, jika ingin melihat sesuatu yang menarik tentang keluargamu," ujar suara di seberang sana dengan nada menggoda. Vincen yang mengetahui bahwa ini pasti berkaitan dengan konflik keluarga dan pebisnis yang mengincar kekuasaan kakeknya. Dia tahu harus segera bertindak untuk menghentikan mereka. "Mengapa aku harus percaya padamu?" tanya Vincen dengan berani tatapannya tampak sangat tajam. "Percaya atau tidak, terserah kamu. Tapi aku yakin, kamu tidak ingin melewatkan kesempatan ini," sahut suara tersebut sebelum menutup panggilan. Vincen merenung sejenak, mempertimbangkan apa yang harus dia lakukan. Namun, dia tahu bahwa jika dia tidak menghadapi mereka, konflik ini akan terus berlanjut dan membahayakan kelua
Seva Clarkson dan ayahnya berdiri dengan angkuh di samping Baron, memandangi Vincen dengan tatapan yang menilai. Seva tersenyum sinis saat melihat Vincen. Sedangkan ayahnya, seorang pria paruh baya berwibawa, hanya menatap diam-diam."Hoooh, kebetulan yang sangat bagus, ternyata kau cucu Pak tua Clark?" Seva menyeringai ke arah Vincen, merasa senang atas penemuan barunya. "Setidaknya kini aku tahu, tidak perlu ragu untuk melangkah ke depan."Noel, yang berdiri di samping Vincen, memandang Seva dan ayahnya dengan amarah yang membara.Ekspresi wajahnya menunjukkan betapa marahnya dia, namun sebelum ia sempat mengeluarkan kata-kata, Vincen memotong ucapannya."Sepertinya kamu tidak mengerti dengan peringatanku kemarin, Seva Clarkson?" ujar Vincen dengan tenang, namun suaranya tegas dan penuh otoritas. Matanya menatap Seva dan ayahnya dengan tajam, menunjukkan bahwa ia tidak takut pada mereka berdua. Seva terkekeh, langkahnya semakin percaya diri menatap Vincen. Ekspresi wajahnya beruba
Dalam sekejap, tubuh Noel terhempas dengan keras, menabrak dinding akibat pukulan dahsyat Baron. Rasa sakit yang begitu hebat mendera seluruh tubuhnya, terutama di bagian punggung dan dada yang terasa seperti dihancurkan. Noel meringis kesakitan, tangannya menggapai wajahnya untuk menghapus darah yang keluar dari sudut bibirnya. "Lihatlah, kau masih seperti dulu, Noel. Sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku," ucap Baron dengan tatapan sinis yang menusuk. Senyum jahatnya membuat Noel semakin membakar amarah dan keinginan untuk membuktikan bahwa dia bisa mengalahkan Baron. Noel menggertakkan giginya, menahan rasa sakit dan amarah yang memuncak. Dia menatap tajam Baron dengan mata yang berkobar, menunjukkan tekad yang tidak bisa dihancurkan oleh siapapun. Dengan perlahan, Noel menghentakkan tangan besinya ke tanah, mengumpulkan kekuatan yang tersisa dalam tubuhnya untuk bangkit berdiri kembali. "Hoooh, kau masih bisa berdiri ternyata," ejek Baron dengan na