Sosok itu terus menginjak Elma dengan kekuatan penuh, membuat wanita tua yang sedang terikat itu hanya bisa menahan rasa sakit yang menyiksa, namun tak mampu untuk melawan.
"Tuan Harley, jika dia mati, rencana Anda akan gagal," tegur Face dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba menenangkan bosnya itu agar tidak membunuh Elma.Namun Harley tak bergeming, masih menginjak bahu Elma dengan brutal, hingga akhirnya bahu wanita itu patah. Teriakan tertahan yang menyayat hati terdengar dari mulut Elma.Setelah puas menyiksa wanita malang itu, Harley akhirnya mengangkat kakinya dari bahu Elma yang terkapar dilantai, menahan rasa sakit di bahunya. Dia menatap sinis wanita tua itu, seakan ingin membuatnya merasakan kehancuran, sebelum akhirnya meninggalkannya begitu saja dengan wajah yang penuh amarah.Face menghela napas lega. Dia menatap Elma dengan simpati, lantas berusaha merawat luka Elma dengan cekatan.Namun, Elma menepis tangan Face yang henVincen dan Solomon segera menuju lokasi yang telah diberitahukan oleh tim pelacak keluarga Clark. Di dalam mobil, suasana tegang begitu terasa. Karena Vincen tampak sangat serius dan fokus, harus menyelamatkan sang nenek yang disekap oleh pria misterius yang telah melukai kakeknya. Emosinya memuncak seperti gunung berapi yang hendak meletus."Tambah kecepatan mobilnya!" perintah Vincen dengan nada tegas dan penuh kekhawatiran.Sopir hanya bisa mengangguk patuh, menginjak pedal gas semakin dalam, memacu mesin mobil untuk berlari lebih cepat. Bunyi mesin mengaum, mencerminkan keganasan situasi yang dihadapi.Solomon yang duduk di kursi belakang bersama Vincen merasakan kecemasan yang memancar dari tubuh murid sekaligus tuan mudanya itu. Ia mencoba memberikan dukungan, dengan menepuk bahu Vincen dan berkata. "Tenang, kita pasti bisa menyelamatkannya."Vincen hanya mengangguk pelan, walau dalam hatinya benar-benar khawatir akan keselamatan s
Sebastian merasa putus asa, tidak mungkin baginya untuk menghindar dari serangan cepat dan mematikan Harley. Angin berdesir tajam saat Harley mengerahkan kekuatan penuh dalam pukulannya, dengan seringai menyeramkan di wajahnya."Sudah tidak ada harapan lagi bagimu!" teriak Harley, sambil mengejek Sebastian yang tampak ketakutan dan pasrah. Di sekejap, pukulan kuat itu dilancarkan menuju Sebastian yang hanya bisa menunggu nasibnya.SwutDuar!Tiba-tiba Harley terhempas jauh ke belakang, terperanjat oleh kekuatan yang melawannya. Pukulannya hanya mengenai sisi samping Sebastian, dan melesat cepat menghantam dinding dibelakangnya menimbulkan retakan besar pada dinding tersebut, dengan bentuk siluet kepalan tangan besar.Sebastian terengah-engah, kakinya gemetaran dan ambruk di lantai. Ia menodongak dengan mata berkaca-kaca, melihat sosok yang menyelamatkan nyawanya. "Master Solomon, Tuan Muda Vincen," gumam Sebastian dengan suara bergetar, tak mampu menyembunyikan kelegaan yang menyelim
Melihat Face tiba-tiba muncul untuk membantunya, perasaan Harley amat jauh dari kata bahagia. Tanpa ragu, dia langsung mencengkeram leher Face dengan kekuatan penuh, membuat pria yang selalu setia di sisinya itu kesulitan bernapas.Vincen, Solomon, dan Sebastian terperanjat melihat pria bertopeng yang mereka kira membantu Harley malah dicekik olehnya. Mereka tidak mengerti mengapa Harley begitu marah padanya."T-tuan maafkan saya..." Suara Face terdengar tercekat, hampir tidak terdengar, akibat kesulitan bernapas yang dialaminya."Bukankah sudah aku bilang, kau urus saja wanita tua itu, tidak perlu ikut campur di sini?!" bentak Harley dengan nada ketus.Face berusaha menjawab, namun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Sudah semakin sulit baginya untuk bernapas. Tatapan matanya terlihat memelas, seolah memohon belas kasihan dari Harley agar melepaskannya.Dengan kasar, Harley melemparkan Face ke samping. Pria yang mengenakan topeng itu terbatuk-batuk keras sambil memegangi leher
Solomon mengabaikan teguran Vincen yang penuh kekhawatiran. Ia tetap fokus mengumpulkan energi spiritualnya dengan maksimal. Terlihat sinar mistis yang berkumpul di telapak tangannya, seolah menyatakan kegigihan dan keteguhan hatinya. Di sisi lain, Vincen berusaha keras menahan serangan demi serangan siluet pukulan energi spiritual raksasa yang menerjangnya. Namun, dalam kondisi seperti itu, ia hanya bisa melihat ke arah Solomon dengan tatapan nanar dan tak berdaya. "Master, jangan lakukan ini!" teriak Vincen, wajahnya penuh kecemasan dan marah. Ia khawatir akan keselamatan sang guru. Namun, Solomon yang sudah mengumpulkan seluruh energi spiritualnya tersenyum enigmatis. Tanpa ragu, ia melompat ke udara dan melakukan serangan terkuatnya ke arah Haey. "Tinju penghancur!" seru Solomon dengan suara menggelegar, melesatkan pukulan gelombang angin sangat besar. Siluet gelombang angin yang seperti ombak besar tercipta, memukul semua pukulan energi spiritual Harley hingga hancur be
Vincen mengangkat kedua tangannya, telapaknya terbuka lebar sambil matanya terpejam fokus. Aura merah pekat mulai terkumpul, berputar dan mengalir ke kedua telapak tangannya.Sebuah desis pelan terdengar saat energi itu semakin menguat. Dengan tekad yang membara, dia membuka mata, memandang tajam ke arah Harley yang masih berusaha menstabilkan diri."Berakhir sudah!" seru Vincen dengan suara lantang. Dengan gerakan yang cepat dan tegas, dia menghempaskan kedua tangannya ke depan. Sebuah gelombang angin berwarna merah, berbentuk naga raksasa, melesat keluar dengan dahsyat. Suara angin itu mendesing keras, menggetarkan udara di sekitar.Harley yang belum sepenuhnya pulih, hanya bisa membelalak melihat gelombang energi yang menyerangnya. Dia mencoba mengangkat tangannya untuk bertahan, tapi terlambat. Booom!Gelombang naga merah itu menghantamnya dengan kekuatan penuh, mendorongnya beberapa meter ke belakang sebelum terjatuh ke ta
Keesokan harinya, sinar matahari pagi menyusup lembut melalui jendela kaca besar di ruang VIP rumah sakit, menaburkan cahaya hangat ke ruangan itu. Vincen, yang telah menghabiskan malam tanpa tidur sambil menjaga, akhirnya terlelap di sofa panjang yang ada. Tubuhnya terkulai tidak berdaya, kepala terdorong ke samping, sementara napasnya beraturan dan tenang, menandakan bahwa dia tengah berada dalam tidur yang sangat dibutuhkannya.Pintu ruangan itu perlahan terbuka, menyebabkan sedikit suara yang cukup untuk membuat Lotar dan Elma, yang sedang duduk di ranjang mereka, mengalihkan pandangan. Veronica, dengan semangat membawa kotak sarapan yang wangi, segera masuk. "Selamat pagi, Kakek, Nenek, aku membawa sarapan...." ucapnya ceria.Lotar dan Elma segera mengangkat tangan mereka, membuat gerakan untuk menyuruh Veronica diam. "Ssst...." bisik mereka hampir bersamaan, mata mereka penuh kelembutan sambil menunjuk ke arah Vincen yang masih terlelap.
Sebelum Veronica sempat menyelesaikan kata-katanya, wanita yang duduk lemah di atas kursi roda itu menyahut dengan senyuman tipis di bibirnya. "Ya, benar. Aku adalah mantan istri Vincen."Veronica mengangguk mengerti, lalu menoleh ke arah Vincen yang tampak serius. Pria itu masih terus menatap wajah mantan istrinya dengan tatapan yang sulit diterka.Di kursi roda, Lidia tersenyum dengan wajah pucat yang menampakkan kelelahan, namun ada kebahagiaan yang terpancar dari matanya. Setelah sekian lama berpisah, akhirnya ia bisa bertemu dengan Vincen lagi."Apa kau hanya berpura-pura agar bisa mendapatkan perhatianku, Lidia?" tanya Vincen dengan nada dingin, menembus kesenyapan tempat tersebut."Vin...." Veronica segera mengusap lengan Vincen, merasa prianya sudah terlalu keras terhadap Lidia.Lidia menatap mereka berdua, lalu berkata dengan nada lembut, "Tidak apa, Nona Shancez. Aku memang tidak pantas mendapatkan maaf dari Vincen, atas segala
Vincen tampak duduk termenung di depan ruang perawatan kakek dan neneknya, menyandarkan tubuhnya yang letih pada dinding. Matanya mendongak, menatap langit-langit sambil meresapi kesalahannya.Perasaan bersalah mulai merayapi hati Vincen. Bukan karena masih ada cinta untuk Lidia di hatinya, tetapi karena dia baru mengetahui bahwa penyakit Lidia sudah ada sejak setahun lalu, saat mereka masih hidup bersama."Kenapa aku tidak mengetahuinya?" bisik Vincen dalam hati, menahan rasa bersalah yang mendalam.Tiba-tiba, suara seseorang memecahkan keheningan, membuat Vincen tersentak kaget. "Tuan Clark," sapa orang itu dengan lembut.Vincen segera berdiri tegap dan menatap sosok pria di hadapannya dengan seksama. Dia belum pernah melihat pria ini sebelumnya."Apakah kita pernah berjumpa?" tanya Vincen dengan sopan.Pria itu tersenyum hangat, kemudian memperkenalkan diri. "Saya Aleron Shancez, ayah Veronica," ucapnya dengan nada ramah.Ketika mendengar nama tersebut, Vincen langsung terkejut dan