Lidia memperhatikan setiap gerak Vincen yang kini berdiri didepannya , bersama Veronica yang tampak begitu anggun dalam balutan pakaian santai berwarna merah. Mata Lidia terasa panas, jantungnya berdegup kencang seiring dengan dia melihat senyum kecil yang terukir dibibir Vincen, tanda bahwa dia tengah bahagia. Tangannya yang berada di bawah meja mengepal kuat, kuku-kukunya hampir menelusuk telapak tangannya sendiri.Dari sudut matanya, Lidia melihat Veronica menyandarkan kepalanya ke bahu Vincen, gestur mesra yang dulunya sering ia lakukan dengan pria itu. Detik itu juga, sebuah rasa sakit yang mendalam menghujam hatinya. Namun, dia berusaha keras untuk mempertahankan wajah tanpa ekspresi, memaksa senyum tipis di bibirnya saat salah satu temannya menyenggolnya pelan."Kamu baik-baik saja?" tanya temannya berbisik dengan nada khawatir.Lidia mengangguk pelan, "Aku baik, terima kasih. Hanya sedikit lelah saja," balasnya berbisik sambil berusaha me
Vincen menatap sekeliling kafe yang mulai sepi. Matanya berpindah dari satu meja ke meja lain, mencari sosok yang sudah tidak ada lagi di sana. "Kenapa? Apa kau mencari wanita itu?" tanya Veronica merdu namun ada getar kecil yang tidak bisa disembunyikan.Vincen menghela napas pelan, matanya bertemu dengan Veronica yang tampak cemas. Dengan senyuman yang dipaksakan, ia meraih tangan Veronica. "Tidak, ayo pulang," jawabnya, berusaha menenangkan. Senyumnya mencoba menyembunyikan kegelisahan yang bergejolak dalam dada.Veronica, merasakan genggaman tangan Vincen, membalas dengan senyuman. Wajahnya berusaha menunjukkan kepercayaan, meski di hati kecilnya berkecamuk rasa tidak senang. Dia bergelayut manja pada Vincen, tanda bahwa ia masih ingin mendapatkan perhatian lebih dari pria itu. Meskipun di dalam hatinya, ia tahu bahwa Lidia adalah bagian dari masa lalu Vincen yang mungkin belum sepenuhnya pria itu lupakan, dia memilih untuk tidak i
Veronica yang mendengar perintah mendadak Vincen pada Noel, tentu penasaran apa yang sebenarnya terjadi."Vin, apa yang terjadi?" tegurnya dengan nada penuh kekhawatiran, membuat Vincen yang sedikit melamun itu tersentak kaget dan menoleh ke arahnya.Vincen berusaha tersenyum pada Veronica, menenangkan gadis itu. "Tidak ada apa-apa, kamu tenang saja," jawabnya seolah tak ingin mengkhawatirkan Veronica.Namun, Veronica menatap curiga Vincen, tampak jelas kalau pria yang dicintainya itu sedang menyembunyikan sesuatu. "Apa kau menganggapku hanya pengganggu?" tanyanya pelan, hatinya seakan teriris, sembari membuang wajahnya.Vincen mengerutkan keningnya, terkejut dengan pertanyaan Veronica. "Apa maksudmu, Veronica?" tanyanya dengan ekspresi bingung, seolah tak mengerti apa yang tengah dikhawatirkan gadis itu."Lupakan saja, aku memang tak pernah ada di dalam hatimu," ucap Veronica lirih, sambil menatap Vincen dengan senyum getir yang menghias
Setelah mengantar Veronica pulang, Vincen terlihat berjalan masuk kedalam rumah Pak tua Clark yang sekarang sudah menjadi rumahnya juga."Kau sudah pulang, Vincenzo!" seru Pak tua Clark, "kemarilah, kita bicara sebentar," panggil pria tua itu yang sedang bersama Sebastian.Vincen menurut, menghampiri pria tua itu dan berjalan bersama ke ruang keluarga. "Kakek Lotar dan Nenek Elma kemana?" tanyanya sambil menyapu pandangannya ke berbagai arah.Langkah Vincen terhenti sejenak saat memasuki ruang keluarga. Cahaya lampu kristal yang tergantung di atas membuat ruangan itu tampak lebih megah. Pak tua Clark, yang sudah berdiri di depan perapian, menoleh dan tersenyum."Lotar dan Elma katanya ada urusan, mereka baru akan kembali besok pagi," jelas Pak tua Clark sambil mengelus janggut putihnya yang rimbun. Dia kemudian menunjuk ke sofa. "Duduklah, kita perlu membahas beberapa hal penting."Vincen mengangguk, duduk di samping kursi Pak tua Clark y
Ke esokan harinya, ketika Vincen hendak berangkat ke kantor, Lotar dan Elma yang baru saja pulang menahan langkah Vincen di depan rumah dengan ekspresi cemas yang menyelimuti wajah mereka."Kakek, Nenek, ada kalian sudah pulang?" tanya Vincen saat melihat kedua sosok yang berharga baginya itu ada didepannya."Vincenzo, kita harus bergegas, jika tidak akan terjadi sesuatu yang besar," ujar Elma dengan suara penuh kekhawatiran.Kening Vincen berkerut seiring rasa penasarannya yang terus menggelora. "Ada apa, Nenek? Ada yang terjadi?" tanyanya mencoba untuk menggali informasi lebih jauh."Pecahan Giok darah yang selama ini dijaga oleh nenekmu, telah dicuri oleh seseorang yang tak dikenal," ungkap Lotar dengan nada berat sebelum sang istri sempat menjawab.Vincen sontak tercengang, belum sempat ia memproses informasi yang diterimanya. Ternyata Neneknya juga memiliki benda yang terdapat energi supernatural luar biasa didalamnya itu.D
Vincen akhirnya tiba di Central Clark Capital dengan, terlihat dia melangkah keluar dari mobilnya saat Noel, pengawal setianya membukakan pintu dengan hormat."Paman Noel, tolong panggilkan Tuan John ke ruanganku," perintah Vincen dengan nada lembut namun tegas, menunjukkan kewibawaannya sebagai pemimpin baru.Noel mengangguk dan menjawab dengan patuh. "Baik, Tuan Muda."Saat Vincen memasuki gedung perusahaan, tampak semua karyawan yang melihatnya sedikit membungkukkan badan saat berpapasan dengannya. Mereka memberikan penghormatan pada pemimpin baru mereka yang sudah mulai mengurus segala sesuatu di Central Clark Capital.Vincen tersenyum hangat pada mereka sambil mengeluarkan ponselnya dan mulai menghubungi seseorang di seberang telepon, wajahnya tampak sangat serius saat dia masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke ruangannya.Sesampainya di ruangannya, Vincen disambut oleh sang asisten yang telah menunggu di sana, sedang memegang b
John menatap Vincen dengan tatapan tajam, penuh emosi yang tidak terbaca. Tiba-tiba, dia meledakkan tawa keras yang bergema di seluruh ruangan. "Hahahaha...." Vincen mengerutkan kening, jelas terkejut dengan reaksi John yang sama sekali tidak sesuai dengan ekspektasinya. Ia mengira John akan mengakui perbuatannya dan meminta maaf, namun nyatanya pria itu malah tertawa seperti orang gila. Tawa John perlahan mulai reda, dan suasana hatinya yang tadinya panas, kembali menemukan ketenangan. Dengan tatapan tajam, ia menatap Vincen yang tampak semakin geram. "Jikapun saya mengakui semuanya, apa gunanya untuk Anda? Karena semua dewan direksi sudah berpihak pada saya, tuan muda Vincenzo," ujar John sambil menyeringai sinis. "Apa maksudmu, John Sanders?" tanya Vincen dengan nada dingin yang menyiratkan kemarahan yang tertahan. "Anda benar, tuan muda. Perusahaan-perusahaan ini memang hanyalah untuk menguras keuangan Central Clark Capital. Namun, apa yang Anda lakukan sekarang, meski ko
Sementara itu ditempat Vincen, dia mengepalkan tangannya erat-erat, seolah mencoba menahan rasa sakit yang merasuk dalam hatinya.Terlihat Sebastian dan Noel saling pandang dengan mata yang berkaca-kaca, berdiri di sampingnya yang siap mendukung. Ruang tunggu UGD dipenuhi perasaan cemas, menunggu kabar Pak tua Clark yang terkena serangan jantung mendadak.Saat dokter berjalan keluar dari ruang UGD dengan wajah serius, Vincen seperti tersadar dari lamunan pahit. Ia bergegas mendekati dengan langkah yang gontai namun terburu-buru, "Bagaimana keadaan kakekku, dok?" suaranya bergetar, mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.Dokter itu memandang Vincen sejenak, matanya penuh empati sebelum akhirnya menghela napas berat. "Jika telat sedikit saja nyawa tuan besar dalam bahaya, tapi sekarang kondisi beliau sudah stabil, meski harus melakukan perawatan lebih lanjut." Kata-kata dokter bagaikan oasis di tengah padang pasir, memberikan sedikit kel