17 tahun kemudian.
..."Ya! Kalahkan dia, King! Bunuh bocah itu!""Bunuh!""Bunuh!"Sorak-sorai terdengar bergemuruh. Memekakkan gendang telinga meski mungkin tidak satupun peduli. Lalu, di tengah-tengah arena pertarungan para budak, tatapan setajam elang milik pemuda berusia 17 tahun tak sekalipun goyah menghunus lawan yang jauh lebih besar darinya. Bahkan jika nyaris semua pendukung bersorak bukan untuknya, hal itu sama sekali tidak menyurutkan tekadnya."Menyerahlah, Nak!"Pria berbadan besar tersebut jelas tidak terlihat bersimpati. Sebaliknya, perkataannya justru terdengar mengejek. Toh, sekalipun pemuda itu mengangkat tangan untuk menyerah di pertandingan pertamanya, pertarungan akan tetap berlangsung. Sebagai budak di pasar gelap Kerajaan Ernes, mereka dituntut untuk bertarung di usia 17 tahun. Mereka telah dilatih sejak dini hanya untuk hari ini."Aku tidak akan terprovokasi," sahut si Pemuda. Kilat dingin di balik tatapannya menghunus lurus ke arah lawan.Meski saling melempar kata yang jelas bukan sapaan ramah, kaki keduanya melangkah perlahan mengitari arena. Bahkan enggan memutus pandangan barang sedetikpun. Saling membuang tatapan tajam seolah mereka telah menyerang."Huh! Kau berlagak akan mengalahkanku. Sombong sekali!" ejek King.Pemuda itu menyeringai dingin. "Memang sudah seharusnya seperti itu. Gelar King yang kau gunakan akan aku tumbangkan."Tersulut, pria besar itu bergegas maju lebih cepat, nyaris bersamaan ketika bell pertandingan digaungkan ke seluruh penjuru arena pasar gelap. Tangan besar dan sekeras baja miliknya dengan cepat menghantam jeruji besi dinding pembatas, tepat di mana pemuda itu berada. Detik yang sama, bunyi patahan besi seketika menggema riuh di tengah kemeriahan penonton yang tidak beradab."Yay!!! Kalahkan dia, King!"Sorakan kembali terdengar."Bunuh bocah sombong itu! Dia terlalu berani memilihmu sebagai lawan di pertandingan pertamanya."Berhasil menghindar dengan baik, pemuda gagah itu memulai ancang-ancang hendak memberi serangan balasan. Dari arah belakang dia melompat sangat tinggi lantas mendarat tepat di kedua pundak King. Otot bisepnya mengeras dan menegang tatkala tangannya dengan kilat membekap mulut lalu mencengkram rahang kokoh milik lawan, hendak memelintir, tetapi gagal!"Argh! Kau masih terlalu lemah, Bocah!" raung King.BRAKK!!Hantam keras kembali terdengar. Tangan besar King berhasil meraih tubuh si Pemuda, mencengkeramnya kuat lantas melemparnya umpama benda mati. Namun, pemuda itu mampu mendarat dengan baik. Arena yang dibiarkan becek oleh tanah dan air membuat tubuh mereka kotor tak ubahnya hewan peternakan bermandikan lumpur. Hanya saja, itu bukan penghalang."Satu-satunya cara untuk bisa keluar dari perbudakan adalah mengalahkan orang-orang sepertimu!" Pemuda itu meludah tanpa rasa takut. Membuang sisa darah di mulut lantaran pipinya sempat membentur dinding besi."Huh! Bermimpi saja!" hardik King.Sekali lagi, ayunan tangan sekeras baja itu menghantam tepat di sebelah si Pemuda, menciptakan lubang besar berasap kendati arena tengah basah. Tetapi, tidak ada yang mengira betapa lihainya pemuda itu menghindar dari serangan mematikan.Si Pemuda menyeringai seolah mengejek. "Giliranku," katanya.Mencari celah lalu mendapati kesempatan, pemuda itu berlari sangat cepat memutari arena. Memaksa lawan mengeram marah lantaran tak mampu membaca gerakannya. Sebuah kepalan tinju dari arah yang tidak disangka-sangka telah melayang begitu kuat lantas menghantam rahang milik King. Sempat oleng, tetapi sebagai petarung senior yang nyaris lepas dari perbudakan, King tidak akan ditumbangkan semudah itu.Kuda-kuda yang sempat goyah berhasil diseimbangkan kembali.Rahang mengeras, sementara bibirnya bergetar marah, King berkata, "Akan aku akhiri ini dengan cepat. Kau membuatku marah, Bocah!""Argh!" Jeritan mendadak terdengar.Pemuda itu jelas tidak berkutik ketika King balik menyerang dengan kecepatan penuh. Dalam hitungan detik tangan kokohnya berhasil meraup batang leher si Pemuda. Mencengkeramnya kuat-kuat. Mengangkat tinggi tubuh tersebut hingga melayang beberapa meter di udara.King menyeringai. "Lihat dirimu, Nak. Kau mungkin cukup cepat dan aku terkesan dengan hal itu mengingat ini pertarungan pertamamu." Seringainya makin melebar. "Tetapi sayang sekali, kau akan mati sekara—ARGH!!"Cekikan kuat itu mendadak terlepas. Tidak pernah ada yang menduga bahwa si Pemuda akan menggunakan kakinya yang telah mati rasa untuk menyerang bagian perut King. Dia lalu mundur beberapa langkah hanya untuk terbatuk keras sembari meraup oksigen lebih banyak. Terlambat sedikit saja dan dia benar-benar akan mati."SIALAN! Setelah aku membunuhmu, aku akan mendatangi keluargamu! Akan aku lenyapkan kalian semua!"BRAK!!Untuk kesekian kalinya pemuda itu berhasil menghindar. Hanya saja, sorot matanya mendadak berbeda. Ancaman yang King lontarkan jelas telah membuat darahnya memanas. Dia tidak akan pernah membiarkan ayahnya mati, terlebih di tangan pria menjijikan semacam King."Kau pikir aku akan membiarkannya?" Sorot dingin si Pemuda menusuk jauh ke arah King.Lalu, di detik yang sama jemarinya mengepal terlalu kuat hingga merobek kulit tangannya sendiri. Sepasang maniknya yang gelap mendadak bersinar kemerahan di tengah remang cahaya arena pertarungan. Kejanggalan tidak hanya berhenti di sana, tiba-tiba angin bertiup hingga penonton yang semula berisik kini terdiam. Mereka mendongak memasang raut kebingungan.Toh, bagaimana mungkin tempat pengap seperti ini diterpa tiupan angin cukup kencang? Jelas, hal semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya."Apa yang terjadi?""Dari mana datangnya angin ini?"Terkaan demi terkaan terdengar dari atas lantai penonton. Mereka kembali riuh tetapi kali ini berpusat pada kejanggalan yang terjadi di arena pertarungan. Mereka lantas tercengang ketika sebuah kilatan aneh bergerak terlalu cepat hingga mata telanjang sulit mengikuti—bergerak lurus ke arah King yang masih terdiam kebingungan di dalam arena.Dan ... BRAK!!Tubuh King yang besar terpental menabrak dinding pembatas arena. Berikutnya, terbanting ke arah sebaliknya seolah-olah tubuh pria itu adalah bola yang sedang memantul. Lantai penonton mendadak diam membisu, terlalu tercengang menyaksikan kejadian yang tengah berlangsung di bawah sana.Kilatan disertai pantulan itu baru berhenti ketika dinding pembatas benar-benar ambruk.Lalu, teriakan salah seorang penonton menggema usai mendapati tubuh petarung andalan mereka nyaris hancur, tergeletak tepat di pinggir arena. Kepala King pecah dengan patahan tulang menonjol keluar di beberapa bagian."Aaa!!""Apa yang terjadi?""Apakah bocah itu yang melakukannya? Tetapi, bagaimana mungkin?"Sementara di sisi lain, pada sudut tergelap di lantai penonton yang tengah riuh, seseorang menyeringai di balik tudung jubahnya.Bibirnya berbisik, "Belum saatnya kau menonjol," ujarnya, terdengar misterius.Detik yang sama, jemarinya melempar jarum berukuran kecil tepat ke arah arena. Bergerak lurus menuju leher pemuda yang sedang bersimpuh di tengah arena, sembari menatap kebingungan kedua telapak tangannya yang melepuh.Pekikan penonton sekali lagi terdengar tatkala menyaksikan pemuda itu ikut tumbang."Sepertinya ada pengganggu di pertarungan ini. Tidak mungkin bocah itu yang mengalahkan King," riuh para penonton."Kau yakin dia tidak mati?" "Bisakah kau tenang sedikit? Aku hanya membuatnya pingsan, tidak lebih." Ruangan berukuran kecil ini benar-benar tidak mampu meredam gema suara pertengkaran dua orang di sudut pintu masuk. Terlalu keras hingga mungkin dapat membangunkan orang mati sekalipun. "Siapa kalian?" Benar saja, sosok lain di dalam ruangan telah terbangun. Suasana mendadak hening. Gadis bertubuh mungil tetapi bersuara lantang bergegas menoleh, nyaris bersamaan dengan pria tinggi kekar ditambah poin plus wajah rupawan yang eksotis. Tatapan mereka bertemu, tetapi detik berikutnya, gadis itu bergerak cepat menyembunyikan diri di balik punggung pria di sebelahnya. "Oh, Ash, tolong sembunyikan aku. Dia benar-benar menakutkan." Pria tampan bernama Ash, memutar bola mata, teramat jengkel tetapi di satu sisi tidak dapat melakukan apapun pada gadis itu. "Tenanglah, jika dia menggigit, aku hanya harus membunuhnya," balasnya, acuh tak acuh."Kau gila!" Gadis itu berteriak protes."SIAPA
Hari sudah mulai gelap ketika Yuu tiba di depan gerbang permukiman para budak. Pemuda itu jelas siap untuk menerima segala bentuk hukuman lantaran telah berani meninggalkan area tersebut tanpa izin. Hanya saja, Yuu terkejut ketika penjaga memberitahu bahwa dia dan ayahnya telah ditebus. Dalam artian, seseorang telah membeli mereka. Langkah Yuu bergerak lebih cepat. Satu-satunya tujuannya hanyalah rumah dan berharap dapat menemukan ayahnya di sana. Lalu ketika kepanikan melanda pemuda itu, berpikir ayahnya telah dibawa pergi oleh si Pembeli, namun ketegangan yang semula menerpanya mendadak terurai. Yuu mendapati seorang pria paruh baya tengah mengumpulkan kayu bakar di samping rumah dan tersenyum ke arahnya.Pria itu melangkah mendekati Yuu. Tanpa sadar menjatuhkan potongan-potongan kayu bakar di tangan, tatkala tubuhnya bergerak cepat merengkuh puteranya. "Oh, Yuu, aku pikir kau tidak akan kembali setelah pertandingan ini." Pria itu menangis keras. "Syukurlah, kau selamat." Yuu ters
DUAR!!Sesaat setelah ledakan terjadi, asap mengepul ke udara bersamaan dengan puing-puing tanah disertai serpihan bangunan. Berhamburan tak tentu arah kemudian terhempas jatuh di sekitar titik ledakan. Hanya saja, tidak ada aroma daging terbakar atau bahkan tubuh hangus milik Yuu. Menyadari hal itu, pria misterius yang masih berdiri tegak tidak jauh dari posisi di mana dia hendak mengeksekusi mati Yuu, kontan mendengkus keras. "Kau selalu saja menjadi pengganggu, Ash!" ujarnya rendah, tetapi terdengar tajam. Dia kemudian berbalik hanya untuk menemukan sosok Ash di belakang tubuhnya. Tidak ada Yuu di sana. "Di mana dia?" tanyanya, kesal.Ash tersenyum remeh. "Wah, apa sekarang kau beralih membunuh seorang bocah, Drake?" celetuk Ash, mengejek."Kau tahu betul apa yang aku incar, pengkhianat!" Suaranya naik satu oktaf.Ash justru tertawa. "Pengkhianat?" ulangnya. Tatapan Ash balik menajam. "Kalianlah pengkhianatnya, sialan!" Tidak pikir panjang, Ash maju lebih dulu, menerjang dengan ke
"Yuu, sejak awal kau bukanlah Puteraku. Kau adalah Pangeran Kerajaan Eros yang sah seperti yang dikatakan oleh mereka berdua. Dan aku, Ervan, diperintahkan langsung oleh Raja Ryuu untuk menyelamatkanmu." Yuu tercengang ketika menyaksikan Ervan mendadak berlutut di hadapannya. "Yang Mulia, sepertinya, memang sudah saatnya Anda kembali ke tempat asal Anda," ujarnya formal, terdengar asing di telinga Yuu.Sementara kini, duduk di kamar dengan wajah pias, Yuu masih tidak habis pikir ketika kalimat itu terngiang kembali di kepalanya. Bagai terkena serangan kejut yang lebih mengejutkan ketimbang berhadapan dengan sosok pembunuh seperti Drake, pikirnya. Tidak ada dugaan sedikitpun bahwa pria yang selama ini dia anggap ayah, bukanlah benar apa yang dia harapkan.Rasanya, ini lebih menakutkan. Meremas rambut dengan kuat, Yuu mengerang dengan wajah kesal."Kau terlihat sangat frustasi." Yuu menghela napas, sesaat setelah mendengar suara Ash yang nyatanya telah berdiri sembari bersandar di kuse
Ameera menatap sendu ke luar jendela kamar yang terbuka, sementara di sana penampakan tak elok terpampang nyata. Sisa-sisa pertarungan sengit antara Drake dan Ash telah meninggalkan kerusakan yang cukup mengesankan. Bahkan jika hanya puing-puing yang terlihat, tetapi tampaknya itu tidak membuat Ameera berpaling barang sejenak. Pandangannya lurus menghunus ke arah depan tanpa peduli jika di atas tempat tidur, ada Ash yang tengah terbaring miring menghadap ke arahnya dalam raut bosan. Ini sudah 1 jam berlalu dan Ameera seolah belum terbangun dari lamunan panjang yang tak berujung. Bangkit dari pembaringannya, Ash kemudian berjalan mendekat ke arah Ameera. Dia berkata, "Hei, apa kau akan terus diam seperti ini? Kau tidak lupa, kan? Sejak satu jam yang lalu Yuu dan Ervan sudah meninggalkan tempat ini. Bukankah seharusnya kita mengejarnya?" Ketika Ash pikir Ameera mungkin tidak akan mendengarkan, sebaliknya dia cukup terkejut begitu mendengar ada respon yang berasal dari manusia mirip ma
Singgasana raja Kerajaan Eros tampak suram. Aura pekat yang membawa ketidaknyamanan benar-benar telah melingkupi seisi aula istana. Kesan temaram yang menambah kelam seolah ingin membangunkan kejahatan terbesar yang telah lama tertidur.Sementara itu, satu sosok agung yang telah menduduki takhta kerajaan dan membawanya dalam kegelapan yang nyata, tengah menopang dagu didampingi sorot datar dari atas kursi kebesarannya.Lalu, beberapa meter di bawah singgasana raja, bersimpuh lah sosok lain dalam kekhawatiran. Ada getaran di tubuhnya tak kala menyadari kemarahan tuannya telah menanti lantaran tugas yang dibebankan kepadanya sama sekali tidak dapat dijalankan dengan baik. Menunduk sembari memelankan suara untuk menarik perhatian pria berkuasa di atas sana, dia berkata, "Kali ini Hamba akan memastikan Anak itu terbunuh, Yang Mulia!"Hanya saja, satu decakan keras yang berhasil lolos dari belah bibir sang raja telah membuat hati pria itu menggigil seolah dia baru saja diterjang hawa dingi
"Kemungkinan besar kita baru akan tiba di pintu gerbang perbatasan Ernes dan Erdamus besok pagi, Ayah." Yuu mendongak menatap langit yang nyaris gelap. Pepohonan besar dan lebat seolah menghalangi binar cahaya lolos menembus tanah hutan yang lembab. Hari bahkan masih sore, tetapi keadaan sekitar seolah menunjukkan malam telah tiba. "Mungkin ada baiknya kita membuat kemah," Yuu menambahkan.Ervan ikut mengamati sekitar kemudian mengangguk. "Kurasa kamu benar, Yuu.""Kalau begitu, biar aku yang mencari kayu bakar. Ayah bisa beristirahat dan serahkan pekerjaan ini padaku." Selebihnya Ervan hanya mengangguk dan membiarkan Yuu melakukan apapun. Pria baya itu duduk tepat di bawah pohon berbatang besar dengan daun rimbun. Menyandarkan punggung mengingat rasa lelah seolah telah merajam tulang punggung beserta tungkainya lantaran telah berjalan sejauh ini. Sembari mengamati Yuu, mendadak teringat ketika dia seusianya. Ervan pun harus bertahan hidup di hutan belantara sembari membawa sang pange
(Beberapa jam sebelum Yuu terbangun.)"Kupikir kau akan membiarkan Yuu menderita hingga dia sendiri yang memohon pertolongan?" Ash bertanya pada Ameera, ketika dia teringat perkataan gadis itu sebelum memutuskan menyusul.Bagi Ash, tidak butuh usaha dan waktu yang lama mengejar ketertinggalan, bahkan jika kedua orang itu sudah setengah perjalanan menuju perbatasan Ernes dan Erdamus.Tidak jauh dari tempat di mana Yuu dan Ervan tidur dengan api padam, Ash bersama Ameera justru bersembunyi di balik batang pohon besar sembari mengamati keduanya. Tepatnya, Ameera yang menyeret Ash melakukan petak umpat ini. Ameera tidak menoleh ke arah Ash saat dia menjawab dengan ketus, "Aku berubah pikiran," katanya, yang seketika mendapati kekehan Ash. "Jangan bersuara, atau Yuu akan tahu kita sudah berada di sini. Kamu tahu dia sangat pemarah," imbuhnya."Jika aku menjadi kau, aku tidak akan membuang waktu."Kali ini Ameera menoleh sembari melempar pelototan. "Kita tunggu sedikit lebih lama. Aku punya
"Uhuk!!"Ameera terbatuk keras. Sangat keras hingga dadanya ikut terasa remuk. Dia meringis tatkala mencoba bangkit, sementara kesadarannya memulih usai mendapati dirinya berada di tempat yang teramat asing. Keningnya mengerut mendapati alas tidur jerami berbau apek. Dinding tanah yang lembab, bahkan beberapa di antaranya dihinggapi bulir air juga serangga berukuran kecil. Gadis Itu segera terperanjat. Bergerak mundur hingga punggungnya menempel di dinding dan memperkecil batas teritorialnya. Napasnya masih terlihat naik turun, dan karenanya, rasa sesak di dada kian menyiksa. Buru-buru dia mengusapnya, kemudian menyadari bahwa pakaian yang dia kenakan masih sama dengan kemarin. Bahkan lebih buruk. Robek di segala sisi ditambah bercak darah mengering membuat kesan horor untuk Ameera."Apa yang—akh!" Gadis itu mengerang, bergegas menyentuh sudut bibirnya yang berdenyut karena rasa perih di sana. Hingga sekelebat ingatan buruk menyeruak masuk ke dalam kepalanya. Memperjelas sebab meng
"Memangnya apa yang ingin kau katakan? Wajahmu sampai seserius itu," celetuk Ash. Langkahnya terlihat ringan, mencoba mengimbangi Yuu yang berjalan pelan di sampingnya.Tetapi, langkah Yuu yang berhenti membuat Ash mengalihkan perhatiannya. "Ada apa?" tanya Ash. Yuu menoleh dengan raut horor. "Ash ... Ameera dalam bahaya," ujarnya dengan suara parau, nyaris tercekat. Telunjuk pemuda itu mengarah ke arah pintu kamar mereka yang telah rusak poranda. Detik yang sama Ash menatap hal serupa. Yuu bahkan bisa melihat perubahan raut wajah pria itu. Perpaduan pias dan syok. Tanpa bisa dicegah, Ash telah berlari dengan langkah kilat menunju kamar. "Oh, tidak! Ameera!" teriaknya, disusul Yuu di belakang. Dada Yuu naik turun. Rasa masam di tenggorokan membuat perasaannya kian memburuk. Penampakan seisi kamar yang rusak dan ketiadaan Ameera, jelas telah memberitahu mereka bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi di tempat ini.Dengan perasaan takut, Yuu melirik Ash yang tengah berjongkok. Jemari
"Mereka sudah gila!" Ameera meringis. Tidak jauh dari tempat persembunyiannya, dia menyaksikan Ash dan Yuu tengah mempermainkan dua orang preman pasar. Dua orang yang telah mereka incar sebelumnya. Bahkan jika tubuh kedua preman sedikit lebih besar, tetapi Ameera jauh lebih prihatin kepada mereka. "Berikan semua uang yang kalian miliki!" Ash memberi satu pukulan. Tepat menghantam rahang, memaksa gigi si preman terlepas bersamaan teriakan pilu. Sementara di sebelahnya, kondisi preman lainnya tidak berbeda jauh di tangan Yuu. "Kalian merampas uang dari pedagang lemah. Kembalikan semua itu," peringat Yuu. Maniknya menghunus tajam, memberi ancaman tak main-main. Merasa tidak ada jalan, sementara lawan cukup tangguh, kedua preman saling melempar lirikan. Seolah memberi isyarat satu sama lain, bahwa menyerah adalah pilihan yang tepat. Bersamaan dengan itu, dua kantong berukuran cukup besar ditarik keluar dari dalam saku salah seorang preman. Melemparkannya serampangan hingga nyaris meny
Pagi-pagi sekali Yuu telah terjaga. Dia bahkan bisa melihat pemandangan langka; Ash tertidur dengan mulut terbuka, sementara Ameera tengkurap bak buaya. Ini jelas bukan suasana pagi yang Yuu harapkan setelah kemarin malam matanya sulit terpejam. Menghela napas, ingatan Yuu mulai kembali memutar perkataan Ameera. Mencari empat potongan sayap naga kuno yang bahkan tidak pernah lagi terdengar keberadaannya setelah sekian abad, tentu bukan hal yang mudah. Sementara Yuu mengaitkan semua hal yang telah dia lalui, nyatanya, kehidupannya berubah banyak hanya dalam waktu singkat. Membuat Yuu merasa aneh. Hanya saja, semua telah terjadi dan dia harus bertahan. Tidak! Dia harus bertambah kuat!Yuu mengamati Ash yang terlihat tenang dalam tidur, lantas kemudian mendengkus dengan sebal. "Sialan! Bedebah ini bahkan bisa tidur lelap, sementara aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata." "Oh, Yuu, kau sudah bangun?" Yuu seketika terperanjat, sama sekali tidak menduga bahwa Ameera akan terbangun.
"Apa itu monster baru buatan Ayahku?" "Kemungkinan besar, itu benar. Tetapi, di satu sisi aku merasa ragu." Ash mengernyit. Memikirkan kembali pertarungan yang dia lakukan sore tadi. Terasa janggal dan terlalu banyak celah. Yuu yang mendengar refleks menjauh dari api unggun, bergerak mendekati Ash dan Ameera. "Apa maksudmu?" "Jika dibandingkan dengan semua pemburu yang diperintahkan oleh Fredrick dan Aint, kali ini yang terlemah. Aku jadi skeptis ini kiriman dari mereka." Yuu dan Ameera mendadak menelan ludah. Paling lemah katanya? Yang benar saja?"Kau yakin? Padahal aku sudah berusaha semampuku. Mereka bahkan tidak mati saat aku melubangi perutnya." Yuu terlihat kesal. Merasa terhina saat Ash dengan enteng berkata monster itu lemah sementara dia harus berjuang mengalahkan salah satunya. Ash terkekeh mengejek. "Jika begitu, maka kau yang lemah. Begitu saja kau kalang kabut." Yuu berdecak, tetapi tidak mampu membantah. Selama beberapa bulan terakhir kemampuannya memang menumpul
Melarikan diri. Tidak ada yang lebih penting dari itu setelah melihat pria berkepala kerbau menyeringai, seolah dia baru saja mendapati makan malamnya. Berjalan cepat menghampiri ketiga orang di depan dengan hembusan kasar dari lubang hidungnya. Menerjang mereka dengan langkah berat yang seakan membawa penghakiman. Ameera mengeratkan remasan tangannya. Dia genggam lengan Yuu dan Ash di saat yang sama, membawa rasa takutnya dengan napas tertahan. Semakin dekat sosok dengan kepala kerbau, semakin berkeringat pula keningnya. Sementara Ash, bergegas maju menghadang dengan raut kaku. Benih waspada mendadak mengakar di benaknya. Belum pernah ada yang memburunya dengan makhluk yang satu ini.Ash mendorong Ameera pelan, sembari memberi peringatan ke arah Yuu. "Bawa Ameera menjauh! Aku akan menyusul!" Ameera menjerit, tatkala tombak runcing di tangan musuh terangkat nyaris melubangi kepala Ash. "Tidak!" Hendak berlari ke arah pria itu tetapi Yuu menariknya mundur. Cukup kasar. "Gadis bodoh!
"Sial! Ameera tolong aku, dia sekarat!"Teriakan Ash berhasil membangunkan Ameera dari lamunan. Sejak awal dia hanya bersembunyi sembari mengamati jalannya pertarungan di balik batang pohon. Dia tentu tidak berpikir bahwa Ash dan Yuu dapat membuat Aint mundur, dan karenanya reaksi pertama yang gadis itu tunjukkan hanya terdiam beku seolah baru saja mendapati hal mengejutkan sepanjang hidupnya.Menyadari bahwa masalah tidak akan selesai hanya dengan perginya Aint, Ameera bergegas menghampiri Ash. Masalah yang sekarang jauh lebih besar, pikirnya.Hanya saja, sepasang manik gadis itu kontan melebar saat menemukan Ash tengah membanting tubuh Yuu ke tanah berulang kali. Sangat kasar bahkan terkesan ingin membunuh pemuda itu. "Keparat bodoh! Apa yang kau lakukan?!" maki Ameera, menarik jubah yang dikenakan Ash guna menjauhkannya dari Yuu yang tidak sadarkan diri."Aku hanya mencoba membangunkannya," ucapnya, hendak membela diri ketika menjumpai pelototan gadis itu. Kendati demikian, tangan
SAAT SEKARANG .......Menyeringai, Aint menatap Yuu dan Ash bergiliran. Bibirnya yang kemerahan pun berkedut memunculkan garis senyum penuh ejekan. Aint berkata, "Jadi, siapa di antara kalian yang akan maju terlebih dahulu?" Dia menggeleng sejenak, masih mengejek. "Oh, apa mungkin kalian ingin menyerang bersamaan? Apapun itu, silahkan saja," ujarnya.Sementara itu, kepalan tangan Yuu menguat seiring berakhirnya pancingan Aint. Hanya saja, Ash yang kini berpindah di sebelahnya mencoba memberi isyarat untuk tenang. Ash menggeleng sembari menatap Yuu lekat seolah mereka dapat berkomunikasi dengan itu. Sampai kemudian, Ash berteriak sangat keras. "SEKARANG!" Seraya melempar serangan kilat hingga memaksa Aint mengambil langkah mundur meski pendek, tetapi itu cukup mengecoh. Meraih kesempatan, Yuu di sisi lain menerjang dari arah belakang usai menarik langkah memutar. Menyusun rencana dan mengaktifkan gelombang panas yang dihasilkan tubuhnya lantas meluncurkannya tepat ke arah Aint.
"A-ayah?"Rasa-rasanya, Yuu tengah bermimpi buruk sekarang. Mimpi menakutkan yang selalu ingin dia hindari bagaimanapun caranya. Hanya saja, ketika melihat tubuh kaku Ervan jatuh mengenaskan tidak jauh darinya, seolah cukup menyadarkannya bahwa ini bukan ilusi. "Apa yang kau lakukan pada Ayahku?" Yuu berbisik. Suaranya bergetar sementara tubuhnya merosot turun ke tanah. Air mukanya benar-benar terlihat pias. Perpaduan sempurna antara syok dan tak habis pikir. Aint yang melihat keguncangan pemuda itu justru tidak bereaksi seperti yang selalu dia lakukan. Raut wajahnya datar sampai ketika dia bangkit dari posisi duduknya. Lalu dengan kemampuannya, dia memindahkan tubuh kaku Ervan tepat di hadapan Yuu. Pemuda itu lantas melebarkan mata penuh kesedihan. "Bawalah dia dan berhenti terlihat menyedihkan. Lawan aku, Bocah Naga!" ujarnya, tak ada simpati. Napas Yuu berhembus lebih cepat. Keringat dingin membasahi nyaris semua wajah dan lehernya. Bibirnya bergetar saat berkata, "Dia bahkan ti