Jessy melangkah dengan anggun dan penuh keyakinan menuju Hotel Sirkuit, tempat di mana Naga Perang beristirahat. Lokasinya berdekatan dengan sirkuit balapan yang gemerlap, dipenuhi para elit kota dengan supercar mereka yang berkilau di bawah sinar lampu neon. Kehangatan malam itu menggema dengan suara mesin dan tawa orang-orang kaya, namun Jessy terfokus pada satu misi: mengatur pertemuan antara Naga Perang dan Selina.Namun, begitu ia membuka pintu kamar hotel yang megah, semua keyakinan di dadanya runtuh. Rendy, yang selama ini selalu bekerja selaras dengannya, tiba-tiba menolak keras usul Jessy untuk bertemu dengan Selina. Matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Sudah kubilang, aku tidak kenal dengan gadis bernama Selina itu,” katanya, suaranya serak namun tegas, penuh kekuasaan yang selama ini menggetarkan lawan dan kawan. “Apa kau berani mengatur pertemuanku tanpa izinku? Apa kau lupa siapa aku?” Rendy, si Naga Perang, mengarahkan tatapan dinginnya padanya, membuat Jess
"Huff! Cindy dalam bahaya... Kalau sampai Khan tahu bahwa Cindy adalah istriku, nyawanya bisa terancam setiap saat," gumam Naga Perang dalam hati, pikirannya bergelut dengan rasa cemas. "Aku harus menceraikannya sebelum Khan tiba di Khatulistiwa, tapi bagaimana caranya?"Di balik pintu, Jessy, yang sejak tadi berusaha menguping pembicaraan Naga Perang dan Selina, semakin kebingungan dengan apa yang ia dengar. Pikiran Jessy penuh dengan spekulasi. Hubungan antara Naga Perang, Selina, dan sekarang Khan, terasa semakin rumit di benaknya."Masuklah!" seru Naga Perang tiba-tiba, suaranya tajam memecah kebingungan Jessy. "Kau sudah terlalu lama berdiri di luar pintu... Ada hal yang perlu kutanyakan!"Jessy terkejut, wajahnya memerah karena ketahuan menguping. Dengan langkah ragu dan malu, ia melangkah masuk ke kamar penthouse yang megah itu, matanya tak berani menatap langsung Naga Perang."Ada apa Ketua memanggilku ke sini?" tanyanya, berusaha menyembunyikan kegugupan dalam suaranya.Naga
Jessy membuka pintu penthouse dengan langkah cepat, hanya untuk mendapati sosok Selina yang menunggunya di luar, menyandarkan diri pada dinding dengan sikap santai yang penuh percaya diri. Tatapan Jessy langsung mengeras, kemarahannya terselubung di balik wajah dingin.“Apa yang dikatakan Naga Perang?” suara Selina terdengar lembut namun menusuk.Jessy menyipitkan matanya, tatapan matanya penuh ketidakpercayaan. “Apa urusanmu? Ada hal yang pantas kau tanyakan, dan ada yang tidak. Kau paham, Selina?” Nada suaranya tajam, dipenuhi rasa sakit yang jelas meski terbungkus oleh sikap dingin. Sejak mengetahui bahwa Selina membohonginya, Jessy merasa semua kepercayaan yang pernah ia berikan telah musnah.Selina hanya tersenyum, seolah tak terpengaruh. “Kenapa kau marah? Seharusnya kau sudah tahu kalau ceritaku hanyalah karangan saja. Kau kan selalu ada bersama Naga Perang, jadi jelas kau tak tertipu. Marah padaku, bukan solusi.”Kata-kata itu seperti minyak yang disiram ke atas api. Jessy men
Cindy Huang berdiri di depan Menara Naga Perang, jantungnya berdebar tak karuan. Gedung megah itu menjulang tinggi di hadapannya, dengan kaca-kaca berkilauan memantulkan langit kota yang abu-abu. Aura kekuasaan terpancar dari setiap sudutnya, menelan keberaniannya seiring ia menimbang langkah masuk ke dalam. Bayangan kata-kata Katrin masih berputar di kepalanya—250 miliar rupiah untuk Huang Corporation, dan semua itu berkat pengaruh Rendy.Rendy... Suaminya yang lembut dan sederhana, lebih cocok berada di balik meja, bukan bersilat lidah dengan sosok sekelas Naga Perang. Bagaimana mungkin Rendy bisa berurusan dengan figur berkuasa seperti itu? Pikirannya melayang ke Katrin, teman lama Rendy. Apakah melalui Katrin? Lebih masuk akal jika Katrin yang bertindak sebagai perantara. Tapi... kenapa Katrin mau membantunya? Apakah ada permainan licik di balik senyum manis itu, balas dendam karena sikap kasar Cindy saat pertemuan mereka terakhir?"Aku bersikap kasar padanya... Tapi, dia tetap men
Cindy melangkah pelan di bawah naungan pohon-pohon rindang di Taman Khatulistiwa, sebuah oasis hijau di tengah gemerlap kota Kartanesia. Gedung-gedung pencakar langit yang biasanya mengelilinginya kini terasa jauh, seolah taman ini menciptakan ruang yang berbeda, menenangkannya untuk sesaat dari hiruk-pikuk kehidupan yang penuh tekanan. Ia duduk di bangku taman panjang, meresapi aroma dedaunan basah dan mendengar desir angin yang berhembus lembut, tapi kegelisahan masih mencengkeram hatinya.Tangan Cindy mencengkeram ponsel dengan kuat, matanya kosong menatap layar. Pikiran tentang Rendy terus menghantui. "Kemana dia? Mengapa dia belum pulang? Apa benar dia pergi bersama Jessy tadi malam?" gumamnya dalam hati. Kabar tentang Rendy yang mengendarai helikopter Super Puma, seperti yang dikatakan oleh James, membuat semuanya semakin tidak masuk akal. Cindy tahu Rendy punya kemampuan luar biasa—mampu menyetir mobil mewah seperti MBenz C-Class dengan keanggunan yang tidak lazim—tapi ini teras
Resepsionis segera memimpin Cindy kembali, melewati koridor yang dipenuhi lukisan-lukisan seni modern dan patung-patung futuristik, tanda-tanda kekayaan dan kekuasaan yang tak terbantahkan. Setiap sudut ruangan diisi dengan keheningan yang begitu mahal, seolah waktu di dalam menara itu bergerak dengan aturan tersendiri, terpisah dari dunia luar.Sesampainya di lantai atas, pintu ruang kantor Katrin Chow terbuka dengan elegan, dan Cindy bisa melihat Katrin sudah berdiri di balik meja besar berlapis kaca, senyumnya ramah namun tajam, penuh kendali."Selamat datang, Cindy," kata Katrin dengan nada tenang. "Maaf atas kesalahpahaman tadi."Cindy hanya menatap Katrin, mencoba menelaah niat di balik mata tajam wanita itu. Mungkinkah Katrin benar-benar tulus? Atau ini semua hanya permainan di tangan kekuatan besar yang Cindy belum pahami sepenuhnya?“Tak apa,” balas Cindy akhirnya, meski hatinya masih dipenuhi kecurigaan. "Kita punya banyak hal untuk dibicarakan."Katrin mempersilakan Cindy d
Rendy berdiri di tepi Nirvana Hills, angin sejuk berhembus pelan, menggoyangkan pepohonan yang mengelilingi resor mewah itu. Di kejauhan, kota bersinar di bawah langit senja, namun pikirannya penuh dengan bayang-bayang Khan, musuh lama yang bisa muncul kapan saja. Rubikon miliknya terparkir tak jauh, siap membawanya kembali ke Kota Buitenzorg, tempat segala urusan penting menanti.Jessy berdiri di depannya, wajahnya menunjukkan kecemasan yang sulit disembunyikan. "Apa aku harus mendampingi Ketua ke Buitenzorg?" tanyanya dengan nada khawatir, matanya tak lepas dari Rendy yang bersiap pergi."Tidak perlu," jawab Rendy dingin, tangannya menyentuh permukaan mobil. "Kamu fokus pada Selina. Selidiki apa saja yang dia tahu tentang Khan."Jessy tampak ragu sejenak. "Bagaimana jika aku menemukan sesuatu tentang masa lalu Ketua dengan Selina?" tanyanya, mencoba meraba seberapa jauh Rendy masih terikat dengan masa lalu.Rendy mendesah pelan, memandang jauh ke cakrawala yang mulai memerah. "Aku s
"Aku tidak akan meninggalkan Khatulistiwa!" tegas Cindy. Matanya menatap Rendy tajam, menuntut jawaban tentang siapa The Killer sebenarnya dan apa hubungannya dengan masa lalu Rendy.Rendy menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Situasi di Khatulistiwa sangat berbahaya, Cin! Percayalah padaku. Aku janji akan menjelaskan semuanya setelah kamu aman, setelah kamu kembali ke sini."Namun, Cindy tidak bergeming. “Aku tahu kamu sedang berusaha melindungiku, Ren. Tapi aku tidak akan lari begitu saja.”Rendy frustrasi. "The Killer tidak akan pernah berhenti, Cin! Kalau kamu tetap di sini, dia akan mencarimu. Kamu harus pergi!"Dalam hati, Rendy menyesal tidak menghentikan The Killer dulu. "Sial... seharusnya aku habisi dia ketika ada kesempatan. Apakah hilangnya Clara ada hubungannya dengan dirinya?" batinnya bergejolak.Cindy menggeleng tegas. "Aku akan tetap di Khatulistiwa. Kalau aku pergi, mama akan menghabiskan pinjaman dari Wang Industries. Kau tahu sendiri, mama tidak bisa mengen