Saat pintu ballroom mewah itu terbuka, suasana segera berubah. Beberapa pria berbadan besar dengan setelan hitam yang rapi melangkah masuk lebih dulu, menguasai ruangan dengan kehadiran mereka yang tegas dan mengintimidasi. Mereka adalah bodyguard yang tak diragukan lagi menjadi perisai dari seseorang yang begitu berpengaruh. Mata semua tamu seketika tertuju pada pintu masuk, menahan napas dalam ketegangan yang memuncak.Di belakang mereka, sosok yang dinantikan akhirnya muncul—Katrin Chow. Perempuan itu melangkah dengan anggun, mengenakan gaun hitam yang elegan, bersinar dalam kemewahan yang kontras dengan keheningan mendadak yang menyelimuti ruangan. Aura kuatnya mendominasi, meskipun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kilauan dari permata yang menghiasi gaunnya memantulkan cahaya chandelier di atas, menciptakan sorotan berkilauan yang membuat kehadirannya semakin mencolok.James, yang tadinya sudah mencoba mempertahankan postur tenangnya, merasakan dadanya berdebar. Tidak bisa
Restoran Equator Sunrse sangat indah dipandang di waktu malam. Lampu-lampu warna-warni yang menghiasi seluruh area restoran ini memperlihatkan kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya yang sanggup membayar makanan yang mahal di restoran ini.Keindahan restoran ini tidak sebanding dengan kejadian di dalamnya."Kamu memang tidak tahu diri, Cindy .... Rendy sudah bersusah payah mendapatkan Undangan Emas untukmu tapi Kau abaikan begitu saja. kamu malahan merendahkan diri datang dengan pria lain yang hanya memiliki Undangan merah ke Jamuan Makan Malam Naga Perang! Apa yang Kau harapkan? Bertemu Naga Perang? Bahkan mendekatinya saja kamu tak akan bisa dengan Undangan Merah ini. Hanya Undangan Emas dan Undangan Perak yang berkesempatan langsung bertemu Naga Perang!" Ucapan Katrin bagaikan petir di siang bolong yang menyambar tubuh Cindy. Matanya tajam melirik ke arah James. "Apa benar yang dikatakan oleh Nona Katrin kalau aku sama sekali tidak bisa mendekati Naga Perang den
Rendy Wang pernah mengucurkan dana sebesar 500 milyar untuk membantu kesulitan keuangan perusahaan Huang Corporation melalui Wang Industries saat Cindy yang saat itu baru menjabat CEO perusahaan ditugaskan oleh Vera Huang untuk membereskan kesulitan likuiditas perusahaan keluarga mereka.Rendy saat itu baru menikah dengan Cindy sehingga dia saat itu memerintahkan Katrin memberikan pinjaman lunak untuk Huang Corporation. Setelah itu, ponsel Rendy sudah tak bisa dihubungi lagi sampai tiga tahun kemudian saat Rendy memutuskan kembali ke kehidupan lamanya sebagai Naga Perang.Vera Huang memutuskan mengundurkan diri menjadi CEO Huang Industries setelah merasa tidak mampu untuk mencari pinjaman modal untuk perusahaannya. Kegemarannya bermain judi membuat Vera sering menggunakan uang perusahaan yang ditransfer ke dirinya sendiri.Selain bermain judi di lokasi perjudian elite di salah satu perumahan mewah di Buitenzorg, Vera juga sering bepergian ke Casino Island yang merupakan pulau surga ba
Beberapa saat kemudian, Jenny kembali memasuki Ruang Prioritas dengan senyum profesional yang tak pernah pudar dari wajahnya, ciri khas dari layanan kelas atas Bank Bumi Khatulistiwa. Namun, ada ketegangan yang masih terasa yang membuat suasana yang tak nyaman."Jadi, apakah cek ini bisa dicairkan hari ini?" Vera bertanya, suaranya sedikit meninggi, mengisyaratkan ketidaksabarannya. Pikiran Vera sudah melayang ke bayangan gemerlap Casino Island, tempat mewah di mana ia bisa bersantai sambil bermain di meja judi favoritnya.Namun, jawaban dari Jenny membuyarkan semua impiannya.Jenny, dengan nada tetap ramah namun tegas, menjawab, "Maaf, Bu Vera. Pimpinan kami telah memastikan bahwa hanya Ibu Cindy yang berwenang untuk menarik dana perusahaan. Kami sangat menyarankan agar Ibu Vera menghubungi Ibu Cindy terlebih dahulu untuk mendapatkan persetujuan. Biasanya kami yang akan mengurus konfirmasi, tapi karena Ibu Vera adalah pelanggan prioritas kami, kami ingin memberikan kesempatan bagi Ib
Malam itu, Vera duduk di ruang tamunya yang mewah, lampu-lampu kristal berkilauan di langit-langit apartemen penthouse-nya yang menghadap gemerlap kota Kartanesia. Kota itu tidak pernah tidur—gedung-gedung pencakar langit memantulkan kemegahan urban yang tiada henti. Vera menyesap segelas anggur merahnya dengan perlahan, sambil memutar ponselnya di tangan.Selain memiliki rumah di Buitenzorg, Vera juga memiliki apartemen mewah di Kartanesia yang bisa mempermudah dirinya untuk pulang-pergi ke kantornya yang berada di pusat kota Kartanesia."Aku tidak butuh bantuanmu, Cindy," gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku bisa lakukan ini sendiri."Dengan satu gerakan cepat, Vera menghubungi kontak lama yang sudah lama dia lupakan—seorang kenalan di Qing Development yang tahu betul bagaimana permainan bisnis abu-abu berjalan. Qing Development mungkin bukan perusahaan terkenal, tapi mereka memiliki koneksi yang cukup kuat untuk memuluskan jalannya.Percakapan singkat di telepon itu terasa seperti s
"Ma... mama yakin ngambil duit perusahaan? Bukannya Qing Development yang ngeluarin dana bantuan kita?" Cindy nanya, matanya ngeluarin sinar curiga kayak detektif nyari bukti.Vera langsung panik kayak kucing ngeliat air. Rahasia yang sudah dia simpan rapat-rapat selama ini mau ketahuan. "Si jalang itu? Kenapa dia bisa tau kalau aku yang nyuri duit perusahaan, bahkan kamu aja nggak tau!" batinnya, sambil berusaha nutupin rasa bersalahnya."Nggak mungkin kamu nuduh Mama cuma gara-gara omongan perempuan jalang itu!" Vera ngomong dengan nada meyakinkan, padahal dalem hatinya udah gemeteran."Cewek yang mama bilang jalang itu adalah Katrin Huang, CEO utama Wang Industries yang ngatur semua perusahaan multinasional ini!" Cindy ngomong dengan nada sedih. Dia bingung banget sama situasi ini. Kalau kata Katrin bener, berarti Rendy udah bantu dia selama ini? Tapi nggak mungkin juga, mungkin Katrin cuma mau naikin derajat Rendy di mata mamanya.Cindy lebih milih nggak percaya sama Katrin daripa
"Apa yang dilakukan oleh suamimu di sana, Cin? Belagak kaya padahal kere! Pasti dia disupport oleh perempuan jalang itu!"Vera memendam kekesalan karena Katrin telah membongkar korupsi yang dilakukannya dan hendak menyelidikinya. Bahkan sekarang dia mengajak menantu sampahnya duduk berdampingan ditemani gadis muda yang sangat mempesona dengan lekuk tubuh yang indah.Cindy yang biasanya cuek mulai terbakar api cemburu, apalagi Rendy terlihat bahagia sekali bersenda gurau dengan gadis yang bersamanya.James Chung yang tak tahu malu perlahan mendekati bodyguard yang menjaga sekeliling meja bertaplak emas yang berjumlah 5 meja ini."Pak, kami juga memiliki Undangan Emas ... hanya saja undangan kami tertinggal di rumah! Apa kami boleh masuk?" tanyanya sambil berusaha menyogok para bodyguard ini."Mohon Tuan simpan uang Tuan ini dan menjauh dari Jamuan Makan Malam dengan Undangan Emas ini! Kami tidak segan-segan bertindak kasar apabila Tuan masih nekad untuk masuk!" tegur salah satu bodygua
Kristin Chen melangkah masuk ke aula megah yang dipenuhi cahaya lampu kristal, setiap langkahnya memantulkan kilauan dari gaun pesta berlapis berlian yang ia kenakan. Kilauannya tidak hanya memikat mata, tetapi juga membungkam bisikan-bisikan di sekitarnya. Bahkan Katrin Chow, yang biasanya mendominasi dengan penampilan modis dan elegannya, tampak memudar di samping kemewahan yang dibawa Kristin malam itu. Sentuhan glamor dunia mereka terasa nyata, seperti denyut kota yang sibuk di malam hari, penuh pesona dan kuasa.Kristin bukan sekadar sosok biasa. Ia adalah putri tunggal Setiawan Chen, seorang konglomerat besar yang memiliki kerajaan bisnis di berbagai sektor strategis—minyak, gas, kertas, hingga tembakau. Namanya terukir kuat di dunia korporat, namun bukan itu yang membuat Kristin bersinar. Ia adalah sosok militer yang dihormati, tegas dan tak tergoyahkan, yang menduduki posisi tertinggi di Tentara Khatulistiwa, menggantikan Jenderal Wang alias Naga Perang setelah pengunduran dir
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi