Rendy berdiri di hadapan gerbang raksasa yang menjulang megah, memancarkan kilauan emas yang hampir menyilaukan mata. Udara di sekitarnya hangat, seperti diselimuti sinar matahari abadi, sementara aroma harum bunga yang tak dikenal menguar lembut. Di bawah kakinya, awan lembut membentang seperti karpet, seolah siap menampung setiap langkahnya. Pilar-pilar kristal menjulang di segala arah, memantulkan cahaya seperti pelangi kecil. Ini adalah Negeri Langit, tempat yang begitu dekat dengan definisi surga.Namun, ketenangan itu segera berubah. Suara langkah lembut terdengar, diikuti oleh kemunculan sosok-sosok berjubah putih. Mata mereka bersinar biru seperti safir yang menyala, menatap lurus ke arah Rendy dengan tatapan penuh wibawa. Aura mereka memancarkan kekuatan yang tak terbantahkan, membuat udara di sekitarnya terasa berat.“Kembalilah ke duniamu, manusia fana,” ujar salah satu dari mereka. Suaranya bergetar, seperti bunyi lonceng perak yang menggema di udara. Kata-kata itu bukan h
Guardian itu tak memberi mereka waktu untuk bernapas, apalagi bersiap. Dalam satu gerakan yang hampir mustahil terlihat oleh mata biasa, ia melipat sayapnya dan meluncur maju seperti panah yang dilepaskan dari busur. Udara di sekitar mereka mendesing keras, seperti dilalui oleh badai kecil. Rendy hanya memiliki waktu sekejap untuk mengangkat Pedang Kabut Merah, mencoba menahan serangan yang datang secepat kilat.TRANG!Suara benturan menggema, disertai percikan cahaya merah dan biru yang menyilaukan. Tubuh Rendy terdorong beberapa meter ke belakang, sepatu botnya menyeret awan di bawah kakinya hingga membentuk jejak panjang. Getaran dari kekuatan Guardian merambat melalui pedangnya, membuat jemarinya berdenyut nyeri dan hampir kehilangan cengkeraman. Meski begitu, ia tetap berdiri teguh. Mata hitamnya menatap lurus ke arah musuh dengan tekad yang tak tergoyahkan.“Rendy, hati-hati! Aura Guardian ini jauh lebih kuat daripada yang lain,” ucap Naga Merah, suaranya serak namun penuh kewas
Rendy berdiri di atas tebing kristal yang memancarkan sinar keemasan, memandang Negeri Langit yang terhampar di hadapannya. Pilar-pilar kristal menjulang megah, memantulkan cahaya matahari yang seolah menari di udara. Di kejauhan, sungai-sungai bercahaya mengalir lembut di antara awan-awan yang seperti kain sutra, menghadirkan suasana magis yang tak terlukiskan. Burung-burung langit dengan bulu bercahaya beterbangan, menyanyikan melodi lembut yang menyentuh hati.Namun, di balik keindahan itu, hati Rendy terasa berat. Ia memutar tubuhnya, memandang Naga Merah yang berdiri kokoh di samping Jessy dan Renata. Meski Naga Merah tetap gagah, tatapan matanya menunjukkan kelelahan.“Kalian semua harus kembali ke Khatulistiwa,” ucap Rendy dengan nada tegas yang tak terbantahkan.Jessy mengerutkan kening, sorot matanya penuh kebingungan. “Kenapa, Tuan Muda? Kami bisa membantumu di sini.”Rendy menggeleng perlahan, tapi matanya tetap tajam. “Empat Elemental Naga terluka parah. Mereka butuh waktu
Rendy melangkah memasuki wilayah Gunung Kabut Merah, dan seketika udara di sekelilingnya berubah drastis. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang, sementara aroma lembap bercampur bau besi yang samar memenuhi udara. Kabut merah yang pekat menggantung seperti tirai raksasa, membatasi penglihatannya hingga hanya beberapa langkah ke depan. Setiap jejak yang ia tinggalkan di tanah terasa berat, seolah-olah bumi enggan melepaskannya.Tiba-tiba, suara gemerisik mengusik kesunyian. Rendy berhenti, jantungnya berdegup cepat. Tangannya erat menggenggam Pedang Kabut Merah, merasakan energi dingin yang merayap dari gagangnya. Dari balik kabut yang bergelombang, sesosok makhluk perlahan muncul. Seekor burung api raksasa, bulu-bulunya berpendar seperti bara yang bernyala, menguarkan hawa panas yang kontras dengan udara dingin di sekitar. Matanya, sepasang titik merah menyala, mengunci pandangan Rendy dengan kilatan ancaman yang tak terbantahkan.Teriakan melengking menggetarkan udara, membuat gendang
Rendy melangkah dengan hati-hati, napasnya mengembus perlahan di udara yang semakin menusuk tulang. Hembusan angin malam menggigit kulitnya, membawa aroma logam dari darah naga kristal yang masih menempel di pedangnya. Jejak kakinya tertinggal samar di tanah berbatu yang tertutup embun beku saat ia akhirnya melewati gerbang giok merah. Namun, tak ada siapa pun di sana. Keheningan yang mencekam menyelimuti puncak Gunung Kabut Merah, hanya diselingi oleh suara dedaunan yang bergetar diterpa angin.Tiba-tiba, angin berubah liar, berputar dengan kekuatan yang tak wajar. Dari dalam kabut yang tebal, sebuah siluet meluncur seperti anak panah yang dilepaskan dari busur. Rendy merasakan firasat bahaya. Dengan refleks, ia mengangkat Pedang Kabut Darah, matanya memburu gerakan itu dengan saksama.Dari balik kabut, seorang wanita muncul dengan anggun namun mematikan. Jubah merah menyala membalut tubuh rampingnya, berdesir mengikuti gerakannya yang ringan seperti bulu angsa. Wajahnya pucat sepert
Rendy melangkah semakin dalam ke puncak Gunung Kabut Merah. Setiap langkahnya terasa berat bukan karena kelelahan, tetapi karena ketegangan yang mencekik udara di sekelilingnya. Hembusan napasnya membentuk kabut tipis di udara dingin. Suara kerikil yang terinjak di jalan setapak berbatu menggema samar, tertelan dalam keheningan yang menyesakkan. Kabut merah berputar perlahan di sekelilingnya, berbaur dengan aroma tanah basah dan sesuatu yang lebih samar—seperti bau logam yang menyengat. Di tengah kabut yang semakin pekat, sebuah siluet muncul. Di depan altar kuno yang menjulang seperti monumen keabadian, berdiri sesosok pria berjubah hitam dengan sulaman emas berbentuk naga yang tampak seolah hidup di bawah cahaya remang. Patriark Zhu Long. Sorot matanya, tajam seperti kilatan petir di langit malam, menatap Rendy dengan ketenangan seorang dewa yang tak tergoyahkan. Aura yang dipancarkannya begitu menekan, membuat udara seolah bergetar. Rendy menarik napas dalam dan menekan rasa gen
Udara di puncak Gunung Kabut Merah bergetar hebat. Tekanan energi Qi yang terpancar dari tubuh Patriark Zhu Long begitu luar biasa hingga menciptakan pusaran angin yang liar, menghempaskan debu dan batuan ke segala arah. Langit yang semula kelabu kini berpendar merah keemasan, seolah menyaksikan bentrokan dua kekuatan yang tak tertandingi.Rendy berdiri dengan kaki tertanam kuat di tanah yang retak. Napasnya tersengal, tapi tatapannya tetap tajam, penuh tekad. Pakaian yang melekat di tubuhnya berkibar liar, beberapa bagian telah terkoyak oleh badai energi yang berkecamuk. Rasa panas menusuk kulitnya, membuat keringat bercampur dengan darah dari luka-luka kecil yang mulai bermunculan di permukaannya.Tidak ada pilihan lain.Dengan rahang mengatup erat, tangannya meraih Giok Naga Merah yang tergantung di pinggangnya. Jari-jarinya menggenggam erat batu giok itu, merasakan denyut aneh yang bergetar dari dalamnya. Ia tahu risiko dari langkah ini, tetapi keraguan adalah kemewahan yang tak b
Debu dan pecahan batu beterbangan di udara, menciptakan badai serpihan yang berkilauan di bawah cahaya kemerahan senja. Udara terasa panas, sarat dengan sisa energi dahsyat yang masih menggema di antara tebing-tebing Gunung Kabut Merah. Dua sosok itu terhuyung, tubuh mereka terpental ke belakang akibat benturan kekuatan yang luar biasa.Rendy mengatur napasnya yang memburu, dadanya naik turun dengan berat. Lututnya sedikit goyah saat ia menancapkan Pedang Kabut Darah ke tanah, bilahnya bergetar, memantulkan cahaya merah seperti bara yang masih menyala. Tangannya berlumuran darah—entah dari luka sendiri atau dari pertempuran yang baru saja terjadi.Di seberangnya, Patriark Zhu Long berdiri dengan jubah hitam yang terkoyak di beberapa tempat, ujung kainnya berkibar tertiup angin yang mulai mereda. Matanya menyipit, menatap Rendy dengan pandangan tajam yang sulit ditebak. Sejenak, keheningan melingkupi puncak gunung. Hanya ada suara batu-batu kecil yang menggelinding dari tebing, terdoro
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi