Rendy baru saja melangkah keluar menuju halaman parkir Resort Red Lotus ketika angin mendadak berubah dingin, membawa serta aura pembunuhan yang tajam. Puluhan jarum perak melesat ke arahnya dengan kecepatan luar biasa, menyasar titik-titik vital di tubuhnya.“Hebat... tapi terlalu lambat,” gumam Rendy.Dengan kecepatan yang hampir tak terlihat, ia menggerakkan Pedang Kabut Darah, menciptakan pusaran angin yang menyapu semua jarum perak itu ke tanah. Namun, sebelum ia sempat menarik napas lega, tiga pria bersenjata pedang melesat keluar dari bayangan, menyerangnya dari tiga arah berbeda.Rendy melompat mundur, menghindari serangan pertama, lalu memutar tubuh untuk menangkis dua serangan lainnya. Percikan energi spiritual memancar ketika pedangnya bertabrakan dengan milik mereka.“Siapa kalian? Apa ini?” teriak Rendy dengan nada frustrasi.Salah satu dari mereka, seorang pria paruh baya dengan janggut putih tetapi wajah yang tampak muda, melangkah maju. Ia mengenakan jubah hitam berbor
Malam di Buitenzorg terasa lengang, namun Rendy tetap tak bisa menghilangkan rasa was-was. Rendy memutuskan untuk pulang ke Paradise Hill karena Resort Red Lotus sudah tidak aman lagi.Jacinda juga memutuskan untuk pulang ke Kota Chindo karena khawatir kehadirannya hanya akan menyulitkan Rendy di tengah banyaknya ancaman terhadap Naga Perang ini. Jacinda juga bermaksud untuk minta bantuan keluarga besarnya melindungi Rendy Wang.Setelah memastikan tak ada orang yang mengawasinya dari bayangan atau sudut jalan, ia meraih ponsel dari saku jaket lusuhnya. Jemarinya sedikit gemetar saat menekan nama Katrin Chow di daftar kontak. Deretan nada sambung terasa begitu lama hingga akhirnya suara Katrin yang khas—tenang tapi dingin—terdengar dari seberang.“Ada apa, Rendy?” tanyanya tanpa basa-basi.Rendy menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu usai pertemuan dengan orang-orang misterius tadi. “Katrin, aku butuh penjelasan,” katanya dengan nada yang leb
Rendy memasukkan ponselnya kembali ke saku sambil terus memikirkan kata-kata Katrin. Udara malam yang dingin tiba-tiba terasa menyesakkan, seolah membawa firasat buruk. Suara gemerisik dedaunan di sekitar membuatnya langsung waspada. Ia tahu, sejak pertarungan terakhir dengan kultivator Sekte Pedang Dewa, tidak ada lagi yang benar-benar aman.Langkahnya menuju skuter tua yang diparkir di pinggir jalan terhenti. Sepasang mata terasa mengawasinya dari kegelapan. Rendy berpura-pura tenang, tapi tubuhnya siaga. Jemarinya sedikit bergerak ke samping, meraba gagang Pedang Kabut Darah yang tersembunyi di balik jaketnya.Tiba-tiba, sebuah suara tajam menghantam udara. Suara pedang memotong angin. Rendy refleks melompat ke samping, tubuhnya berputar di udara sebelum mendarat dengan mantap. Sebuah bilah perak menghantam tanah di tempat ia berdiri sebelumnya, menciptakan kawah kecil yang mengeluarkan asap panas.“Rendy Wang,” suara dingin seorang pria menggema dari balik bayangan. Perlahan, soso
Rendy melangkah maju, mata tajamnya memindai setiap gerakan musuh. Tubuhnya dikelilingi aura merah pekat dari Pedang Kabut Darah yang tampak hidup, mengeluarkan suara mendengung pelan seolah ikut haus akan darah. Angin malam yang tadinya sejuk kini membawa hawa kematian.“Serang dia!” teriak pria berjubah hitam, melambaikan tangannya. Dalam sekejap, kelima anggota Sekte Pedang Dewa melesat ke arah Rendy dengan serangan gabungan. Pedang, cambuk, dan tombak spiritual mereka berkilauan, menciptakan kilatan cahaya yang membutakan.Rendy berdiri tegap, menunggu momen yang tepat. Ketika jarak musuh tinggal beberapa meter, ia menghentakkan kakinya ke tanah. Gelombang energi merah melesat, menciptakan retakan besar di jalan yang langsung menghentikan beberapa musuh di tempat. Namun, dua lainnya berhasil menerobos dan menyerangnya bersamaan.Dengan gerakan seperti bayangan, Rendy berputar menghindari pedang pertama dan langsung menangkis tombak kedua. Tubuhnya berbalik dengan lincah, memanfaat
Rendy berdiri di tengah reruntuhan jalan yang berlumuran debu dan sisa ledakan energi. Nafasnya terengah-engah, sementara aura merah Pedang Kabut Darah mulai meredup, kembali ke wujudnya yang lebih tenang. Angin malam membawa aroma logam dan tanah hangus, mengingatkan pada pertempuran yang baru saja terjadi.Namun, sebelum ia sempat mengatur napas, suara langkah kaki terdengar. Sepasang bayangan muncul dari ujung jalan. Mereka bergerak mendekat dengan kecepatan santai, aura mereka memancarkan tekanan luar biasa.“Seperti yang kuduga, mereka gagal.” Suara dingin seorang pria paruh baya bergema. Rambut putihnya terikat rapi, dan sorot matanya tajam seperti pedang. Ia mengenakan jubah biru gelap dengan lambang pedang bersilang di dada—simbol Sekte Pedang Dewa. Di sampingnya berdiri seorang wanita berambut panjang keemasan, wajahnya memancarkan keanggunan, namun mata hijaunya penuh kebencian.Rendy langsung mengangkat Pedang Kabut Darah, mengarahkan ujungnya ke arah mereka. “Siapa kalian?
Langit gelap memancarkan aura mencekam saat Pedang Surgawi yang dibentuk Xian Wu menggantung di udara, gemuruh petir menggelegar seakan merobek angkasa. Aura biru dari pedang raksasa itu memancarkan tekanan luar biasa, membuat tanah di sekitar Rendy retak dan bergemuruh.Rendy berdiri tegap di tengah pusaran energi merah yang dihasilkan Pedang Kabut Darah, rambutnya berkibar liar. Matanya bersinar merah, seolah menantang kekuatan yang akan menghancurkannya.“Jadi ini kekuatan Sekte Pedang Dewa? Tidak terlalu mengesankan,” ujar Rendy dengan nada mengejek, meskipun ia merasakan tekanan luar biasa yang mengguncang tubuhnya.Xian Wu tertawa kecil, suara tawanya dingin dan penuh ejekan. “Sombong sekali untuk seseorang yang akan segera mati. Bersiaplah menerima kehancuran!” Ia melambaikan tangannya, dan Pedang Surgawi mulai melesat turun dengan kecepatan mengerikan, memotong udara seperti kilat.Rendy menjejakkan kaki ke tanah, tubuhnya bergerak secepat kilat ke samping, menghindari hantama
Ledakan energi besar yang terjadi di tengah bentrokan dua pedang legendaris, Pedang Kabut Darah dan Pedang Surgawi, memekakkan telinga dan menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan pepohonan, batu-batu besar, dan tanah di sekitarnya. Suara gemuruh ledakan itu menggema jauh ke lembah, membuat burung-burung beterbangan dan binatang-binatang liar melarikan diri dalam ketakutan.Rendy terhempas ke tanah, tubuhnya membentur keras tapi ia segera berdiri, darah mengalir dari pelipis dan luka-luka di tubuhnya. Namun, matanya yang bersinar merah tetap menunjukkan tekad baja.“Aku tidak akan kalah!” serunya, menggenggam Pedang Kabut Darah dengan kedua tangannya. Aura merah pekat menyelimutinya lagi, kali ini membentuk bayangan naga merah yang melingkar di tubuhnya, bersiap melancarkan serangan balasan.Di sisi lain, Xian Wu berdiri di atas batu besar yang melayang di udara, tampak tak tergoyahkan meskipun ia pun mengeluarkan banyak tenaga untuk menyerang. Pedang Surgawinya kembali terbentu
Raungan naga merah yang melesat dari Pedang Kabut Darah mengguncang langit, membuat awan kelabu di atas medan pertarungan terbelah. Suara gemuruh naga seolah menggetarkan tulang setiap orang yang mendengarnya. Bayangan besar naga merah itu mengincar Xian Wu dan Moira dengan kecepatan luar biasa, membawa gelombang energi destruktif yang menghancurkan tanah di bawahnya.Xian Wu mengerutkan kening, tubuhnya melayang ke udara. Dengan cepat ia menciptakan formasi rune talisman berupa energi berbentuk lingkaran raksasa, memancarkan cahaya biru menyilaukan. “Pedang Surgawi, formasi perisai suci!” serunya. Cahaya biru berkumpul menjadi dinding energi yang tampak tak tergoyahkan.Moira tidak tinggal diam. Dengan satu lompatan ke belakang, ia mengangkat kedua tangannya, mengaktifkan pedang emasnya. “Formasi Seribu Cahaya!” teriaknya, memanggil ribuan bilah pedang kecil yang berkilauan, membentuk pola spiral di sekelilingnya. Energi dari formasi itu memusat, mengarah ke naga merah yang meluncur
Rendy masih terpaku di tempatnya, matanya tak lepas dari sosok Clara yang perlahan menghilang di balik kabut malam. Langkah gadis itu terdengar samar, seolah setiap jejaknya membawa pergi sesuatu yang berharga dari hati Rendy. Napasnya tertahan, dadanya terasa sesak. Ia mengepalkan tangan, berusaha meredam emosi yang bergolak dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia menghela napas dan merogoh saku jasnya. Ponselnya dingin di genggaman, tetapi pikirannya lebih dingin lagi. Tanpa ragu, ia menekan sebuah nomor yang sudah lama tersimpan, menunggu panggilan tersambung.“Halo, apa ini masih nomor Kristin?” suaranya terdengar tegas, meskipun ada sedikit ketegangan di baliknya.Di seberang sana, terdengar suara wanita yang sudah lama tak ia dengar.[Jendral Wang, ada keperluan apa meneleponku? Apa ada misi baru lagi untuk Elemental Naga?]Rendy menatap lurus ke depan, sorot matanya tajam. “Bisa kita ketemu besok di Red Lotus? Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”Se
Clara menatap tajam ke arah Rendy, matanya menyala dengan amarah yang tak tertahankan. "Jangan kau kira tindakanmu ini akan mengubah kebencianku padamu!" suaranya dingin, nyaris menggigit, tanpa sedikit pun nada terima kasih.Rendy menghela napas panjang, mencoba memahami kekerasan hati Clara. Wajahnya dipenuhi kebingungan, tetapi suaranya tetap tenang. "Aku terus mencarimu, Clara! Buat apa aku membunuhmu? Apa untungnya bagiku?" katanya, menatapnya lekat-lekat, mencari celah di balik tatapan penuh kebencian itu.Clara menyilangkan tangan di dadanya, dagunya sedikit terangkat, menegaskan keangkuhannya. "Aku tidak percaya padamu! Aku datang untuk memperingatimu. Berhenti mencari Kekuatan Tertinggi, atau kami akan menghancurkanmu!" suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena tekad yang membaja.Rendy mengernyit. "Kekuatan Tertinggi? Apakah organisasi itu yang membuatmu membenci aku?" tanyanya, mencoba menelisik lebih dalam.Clara tak menjawab. Dengan santai, ia melangkah ke b
Rendy menatap tubuh wanita yang berdiri di tengah kekacauan Klub Red Lotus. Gaun merahnya berkibar pelan, seolah ikut menari bersama cahaya lampu temaram yang berpendar di langit-langit. Aroma alkohol, asap rokok, dan keringat bercampur menjadi satu dalam udara yang berat. Mata Rendy menyipit, mengamati siluet wanita itu."Kenapa aku merasa mengenalnya?" pikirnya, langkahnya perlahan mendekat."Nona, ada masalah apa sampai kamu mengacau di Klub Red Lotus ini?" tanyanya dengan suara tenang namun penuh kewaspadaan.Plok! Plok! Plok!Tepukan tangan menggema, menggantikan hiruk-pikuk yang sempat mereda. Wanita bergaun merah itu tetap membelakanginya, tubuhnya tegak, aura misterius menguar dari setiap gerakannya."Apa kita perlu memanggil bantuan, Tuan Muda?" suara manager klub terdengar penuh kehati-hatian."Tidak perlu! Aku bisa mengatasinya sendiri!" Rendy menjawab, tetap melangkah maju.Sebuah tawa kecil menggema, renyah namun menusuk."Hihihi ... selamat datang, Jendral Wang!"Suara i
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan di pintu menggema di dalam ruangan, menginterupsi atmosfer hangat yang tercipta antara Rendy dan Jessy. Rendy yang duduk di sofa menoleh dengan malas, sementara Jessy menghela napas panjang, kesal karena momennya terganggu."Siapa?" tanya Jessy, suaranya tajam, penuh ketidaksabaran.Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah pucat seorang pria berseragam hitam. Ia adalah manager klub, tampak gelisah, peluh mulai bercucuran di pelipisnya."Gawat, Chief! Ada sedikit masalah di Klub!" katanya dengan suara bergetar. Matanya sekilas melirik ke arah Rendy, lalu cepat-cepat menunduk saat melihat ekspresi tajam pria yang dikenal sebagai Naga Perang—sosok legendaris di dunia gelap Khatulistiwa.Jessy melipat tangan di dadanya, wajahnya penuh kejengkelan. "Masalah kecil saja tidak bisa kamu tangani! Bagaimana kamu bisa mempertahankan jabatanmu?"Seakan darahnya terkuras, wajah manager itu semakin pucat. Ia menelan ludah, tidak berani menatap Jessy."Apa yang terjad
Dalam keheningan yang hanya diisi suara dengungan komputer, Jessy menatap layar dengan penuh konsentrasi. Cahaya biru dari monitor memantul di wajahnya yang tegang, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang tersembunyi di balik sorot matanya yang tajam. Jari-jarinya menari di atas keyboard, sesekali berhenti untuk meneliti setiap baris kode dengan seksama. Rendy berdiri di belakangnya, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik kencang, matanya tak berkedip menatap layar holografik yang terus berubah di hadapan mereka."Aku menemukannya," bisik Jessy, suaranya bergetar oleh ketegangan yang nyaris tak tertahankan. "Ada lokasi yang tersembunyi dalam sistem mereka... Ini bukan sekadar markas biasa, Ketua. Ini pusat dari segalanya."Rendy mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ada api yang menyala di matanya, kemarahan yang selama ini ia pendam akhirnya menemukan bentuknya. "Di situlah ibuku disekap?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.Jessy menoleh padanya, menatap dalam-dal
Di balik kerlip lampu dan gemerlap modernitas Red Lotus Club and Resort, Rendy melangkah dengan penuh ketegasan, namun di balik mata dinginnya tersimpan segudang kenangan. Di tengah kekacauan hidupnya—konflik dengan Cindy dan keputusannya untuk mencari kebenaran tentang ibunya—hanya satu hal yang selalu ia rindukan yaitu kehadiran Jessy Liu.Jessy, wanita yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, kini duduk di sebuah ruangan rahasia di balik dinding resort yang mewah. Di sana, di antara deretan monitor dan kode-kode digital yang menari, ia mungkin bisa menyusun petunjuk-petunjuk yang akan membongkar rahasia Kekuatan Tertinggi. Setiap detik tanpa Rendy terasa begitu lama baginya. Rindu yang selama ini tersembunyi di balik ketenangan profesional kini terpancar jelas saat ia melihat pintu terbuka perlahan."Ketua," panggilnya dengan nada lembut penuh harap, suaranya seakan melunakkan segala kegamangan. Saat Rendy melangkah mendekat, hatinya sejenak luluh oleh kehadiran wanita yang ta
Rendy tidak lagi menghiraukan Vera Huang. Wanita itu baginya bukan lagi seorang mertua, melainkan hanya semut yang bisa ia injak kapan saja jika ia mau. Matanya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya dipenuhi kemarahan yang mendidih. Hatinya telah beku. Jika Cindy lebih memilih ibunya, maka ia akan pergi—mereka akan bercerai. Sesederhana itu."Masih ada hal yang lebih penting daripada mengurusi seorang mertua yang tidak berarti!" gumamnya, suara rendahnya nyaris seperti geraman. "Aku harus mencari tahu di mana ibuku yang ditahan oleh Kekuatan Tertinggi."Ia melangkah menuju gudang garasi, membuka pintu dengan sedikit tenaga. Derit engsel yang berkarat memenuhi udara, menyambutnya dengan suasana yang muram. Di dalam, skuter bututnya masih berdiri dengan setia, lapisan debu tipis menyelimutinya. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin tua itu, suara bisingnya langsung menggema di seantero garasi.Baru saja ia hendak memutar gas, suara langkah kaki yang terburu-buru menghentikannya."Ren...!"
Vera menggertakkan giginya, rahangnya mengeras sementara napasnya memburu. Matanya menyala penuh kebencian, seperti bara api yang siap melalap habis apa pun di hadapannya. Dengan suara yang lebih tajam dari pisau belati, ia berdesis, "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi! Huang Corporation tidak akan runtuh hanya karena seorang pria yang dulu kupandang sebelah mata! Kau bukan Naga Perang... Semua ini hanya kebetulan belaka."Rendy tetap berdiri dengan tenang, sikapnya tegap bagai gunung yang tak tergoyahkan oleh badai. Sorot matanya dingin, penuh ketegasan yang tak terbantahkan. "Sudah kubilang, Vera, ini baru permulaan. Kau pikir aku akan berhenti di sini? Tidak. Aku akan memastikan kau merasakan kehancuran yang lebih menyakitkan daripada sekadar kehilangan investasi. Kau telah mempermainkan hidupku, dan sekarang, aku yang akan menentukan nasibmu."Wajahnya yang dulu dikenal lemah lembut kini menampakkan ketegasan yang mengerikan. Rendy bukan lagi pria yang bisa diabaikan begitu saj
Di tengah ruangan yang remang, bayangan senja menari di dinding-dinding mewah, Vera mengeluarkan dengusan penuh ejekan. Matanya yang tajam dan dingin menembus kegelapan, seolah memancarkan bara amarah. Dengan suara yang menyeruak, ia mencaci,"Menolak? Hah! Kamu pikir dirimu siapa? Hanya seorang pecundang yang bahkan tidak mampu membeli dasi layak, berani menantangku!"Rendy, berdiri tegap bagaikan patung besi di tengah badai, menatap balik tanpa setitik ragu. Tatapannya yang tajam dan dingin menantang, seolah berkata bahwa ia telah lelah menjadi korban hinaan. Suaranya rendah namun menggema dengan kepastian, "Aku sudah muak dipandang rendah. Jika aku mengaku sebagai Naga Perang, maka aku memang Naga Perang! Dan jika kau memaksaku menceraikan Cindy demi keuntunganmu sendiri, kau akan merasakan penyesalan yang meendalam!"Rendy sudah habis kesabaran dengan sikap arogan Vera yang selalu menghinanya.Tawa sinis Vera pecah, melayang ke udara seperti asap pahit, "Oh, jadi sekarang kau meng