Di ruang rapat yang remang dengan suasana serius, tatapan Rendy masih tak lepas dari proyeksi Giok Naga Merah. Cahaya merah menyala dari batu giok itu seolah menembus layar, memancarkan aura Qi yang begitu kuat hingga udara di sekitar terasa lebih berat.Rasa panas yang menyengat dirasakan oleh Rendy padahal mereka berada di dalam ruangan bersuhu dingin dengan AC yang menyala 24 jam.Selina juga menyadari perubahan suhu ruangan secara tiba-tiba saat gambar Giok Naga Merah muncul di layar proyektor. Langsung gadis ini mematikan proyektor dan menyalakan lampu ruangan kembali. "Menarik," gumam Rendy, suaranya nyaris tak terdengar. Namun Selina, yang berdiri di sisinya, menangkap perubahan di wajahnya—campuran rasa ingin tahu dan kehati-hatian. "Tuan Muda," Selina berkata, mencoba memecah kesunyian. "Giok Naga Merah memang terkenal dengan kekuatannya yang destruktif. Banyak yang mencoba memilikinya, tapi hampir semuanya gagal mengendalikannya. Legenda bahkan menyebutkan giok ini pernah
Rendy berdiri di balkon ruang VIP gedung Dragon Construction, menikmati hembusan angin malam yang membawa aroma hujan. Matanya menatap jauh ke arah horizon kota metropolitan yang berkilauan seperti lautan bintang. Di belakangnya, suara langkah lembut terdengar, dan ia tahu siapa yang datang. "Felicia," katanya tanpa menoleh."Bagaimana kamu bisa muncul di dunia nyata? Bukankah tempatmu hanya di dalam Lembah Roh Kultivator?" tanya Rendy yang merasa heran dengan kemunculan salah satu roh kultivator kuat dari Nisan Pedang Spiritual.Felicia Shang, wanita berambut hitam panjang dengan sorot mata setajam pedang, berjalan mendekat. Gaun panjangnya berkibar tertiup angin. Meski wajahnya terlihat tenang, ada kekhawatiran yang sulit disembunyikan dalam tatapannya."Aku bisa kemana saja sesuai keinginanku, Rendy. ... aku mendengar tentang rencanamu untuk menghadiri lelang di Lotus Biru," katanya pelan, namun penuh penekanan. "Dan juga tentang ketertarikanmu pada Giok Naga Merah." Rendy hanya
Langit sore berwarna jingga keemasan, memeluk bangunan megah Resort Matahari Senja yang berdiri anggun di tepi pantai berpasir putih. Angin laut membawa aroma garam dan bunga tropis, menyatu dengan gemerisik dedaunan kebun tropis yang mengelilingi tempat itu. Bangunan utama resort memadukan gaya modern minimalis dengan elemen tradisional: kayu ukir, dinding kaca yang memantulkan panorama, dan lampu gantung rotan yang menambah suasana hangat.Rendy melangkah keluar dari mobil mewah yang diatur Selina. Udara sore yang sejuk menyambutnya, bersama seorang butler berseragam rapi yang membungkuk sopan."Selamat datang di Resort Matahari Senja, Tuan Rendy," sapanya, menyodorkan segelas jus markisa segar dengan sentuhan daun mint.Rendy mengambil gelas itu, mencicipi sedikit. Kesegaran jus langsung meluncur di tenggorokannya, membangkitkan kembali semangat yang terkuras. Ia hanya mengangguk singkat, lalu mengikuti langkah butler menuju vila pribadinya.Vila itu terletak di sudut paling terpen
Hari dimulai dengan kelembutan khas Resort Matahari Senja. Sinar matahari pagi menerobos tirai tipis jendela vila, menciptakan pola-pola cahaya hangat di dinding marmer. Aroma kopi segar dan roti panggang perlahan memenuhi udara, membangunkan Rendy dengan lembut.Ia membuka pintu kaca besar yang menghadap ke laut dan melangkah ke balkon vila. Pemandangan laut biru yang membentang tanpa batas menyambutnya, diiringi suara ombak kecil yang pecah di pantai dan kicauan burung camar.Di dek vila, butler telah menyiapkan sarapan yang indah. Meja dihiasi taplak linen putih bersih, lengkap dengan vas kecil berisi bunga tropis segar. Menu sarapan terdiri dari croissant renyah, telur Benediktus dengan saus hollandaise, buah-buahan tropis yang disusun artistik, dan jus jeruk dingin."Tuan Rendy, apakah semuanya sesuai dengan selera Anda?" tanya butler dengan sopan, menuangkan kopi hitam ke dalam cangkir porselen.Rendy mengangguk, mengambil croissant sambil memandang laut. "Semua ini sempurna. Te
Setelah meninggalkan kenyamanan Resort Matahari Senja, Rendy memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati Kota Metropolis, ibu kota Negara Cakrawala. Kota ini adalah perwujudan harmoni antara tradisi dan modernitas. Gedung pencakar langit berdiri megah, terbuat dari kaca yang memantulkan sinar matahari seperti kristal raksasa, sementara jalanan dihiasi dengan lampion tradisional berwarna merah yang menggantung di antara pepohonan hijau.Beberapa pohon palem yang diselingi pohon Trembesi menghiasi jalan raya ibukota Negara Cakrawala ini.Di sepanjang trotoar yang bersih dan lebar, berbagai kafe dan restoran berjajar, menyajikan aroma masakan lokal yang menggoda. Di sudut-sudut jalan, seniman jalanan memamerkan keahlian mereka—melukis, bermain alat musik tradisional, hingga pertunjukan akrobat yang memukau.Jalanan sangat bersih menunjukkan betapa oedulinya warga negara Cakrawala akan kebersihan kota dan negaranya.Rendy melangkah santai, menikmati pemandangan dan hiruk-pikuk kota. Namun,
"Sudah cukup," ujar seorang wanita berusia 40-an yang tampak anggun namun penuh kekuatan. Dia mengenakan jubah sederhana, tetapi auranya memancarkan wibawa yang tidak terbantahkan.Tentu saja Rendy sudah mencari informasi tentang Negara Cakrawala sebelum mengunjunginya."Lucinda Reagen," gumam Rendy, mengenali wanita itu sebagai Presiden Negara Cakrawala."Benar, Tuan Muda Rendy," jawab Lucinda, melangkah maju. "Anak itu adalah putriku, dan Organisasi Pengemis adalah bagian dari tugas rahasia kami untuk menjaga keamanan negeri ini.""Pengemis? Kenapa memilih profesi pengemis? Bukankah setahuku intel sering menyamar sebagai pedangang? Kenapa di negeri ini menyamar sebagai pengemis?" tanya Rendy penasaran."Kami tidak menyamar, Tuan Muda Rendy! Semua penduduk ibukota tahu kalau Organisasi Pengemis Metropolis adalah pelindung Kota Metropolis dari gangguan pendatang asing!" jelas Lucinda Reagen.Rendy menatap Lucinda dengan mata menyipit. "Kau juga menyembunyikan identitasmu sebagai kulti
Diskusi mereka terputus oleh kedatangan salah satu anggota organisasi, seorang pria tua dengan janggut putih panjang."Ketua, ada kabar buruk," katanya dengan nada serius. "Kelompok kultivator bayangan dari Negara Khatulistiwa telah memasuki wilayah kita. Mereka mungkin mengincar sesuatu di Balai Lelang Lotus Biru."Rendy langsung memasang ekspresi serius. "Kelompok kultivator bayangan? Apa yang mereka cari?"Lucinda mengangguk. "Giok Naga Merah," jawabnya singkat.Rendy mengepalkan tangannya. "Sepertinya mereka akan menjadi musuh yang harus kita hadapi."Lucinda menatapnya. "Jika kau serius untuk mengambil bagian dalam ini, maka kau harus tahu—Organisasi Pengemis Metropolis tidak akan mundur dari pertempuran ini. Kau siap untuk menghadapi konsekuensinya, Tuan Muda Rendy?"Rendy menghela napas panjang, matanya menyala dengan tekad. "Jika mereka mengincar Giok Naga Merah, maka aku tak punya pilihan lain. Aku akan ikut dalam permainan ini."Dengan demikian, Rendy menemukan dirinya terli
Rendy bersama Selina, Lucinda, dan Lyra memasuki Ruang VIP yang berada di lantai atas Balai Lelang Lotus Biru ini. Beberapa kultivator bayangan yang menyamar turut memasuki Ruang VIP. Ada yang berpakaian jas rapi bagai orang kantoran tapi ada juga yang berpakaian kasual santai. Namun semua itu tidak lepas dari pantauan Rendy yang bisa merasakan aura kultivator."Semoga mereka hanya meengincar Giok Naga Merah saja. Kalau mereka mengincar artefak kuno lainnya, maka akan sulit untuk mendapatkannya," bisik Rendy yang dijawab dengan anggukan kepala Selina.Lelang dimulai dengan artefak biasa, tetapi peserta VIP juga turut antusias menawar barang yang ditawarkan. Karena artefak biasa saja bisa berharga ratusan jutabahkan milyaran kalau dijual ke kolektor yang sesuai."Artefak pertama yaitu Peta Artefak. Peta ini diyakini akan menuntun Anda sekalian ke harta karun tak ternilai yaitu Kitab Kultivasi Maksimum dan Pedang Artefak Suci. Kedua artefak kuno ini diyakini bisa ditemukan dengan Peta
Alih-alih melepaskan semburan api besar seperti yang biasa ia lakukan, Rendy memejamkan mata. Napasnya tertarik dalam-dalam, dada naik dan turun seirama dengan denyut nadi yang semakin membara. Di dalam pikirannya, nyala api bukan lagi letusan liar yang menghanguskan segalanya, melainkan bara yang mengendap tenang, meresap ke dalam otot-ototnya, menjalar ke tulang dan mengisi setiap pori-pori kulitnya dengan panas yang tak tertahankan. Saat kelopak matanya terbuka kembali, pandangannya jernih dan tajam. Udara di sekelilingnya bergetar, tidak lagi karena kobaran api, tetapi karena gelombang panas yang keluar dari tubuhnya sendiri. Tanah di bawah kakinya menghangat, udara di sekitarnya beriak seperti fatamorgana di atas gurun pasir. Rendy merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah kekuatan yang lebih terkendali, lebih dalam, dan lebih dahsyat dari sebelumnya. Tanpa ragu, ia menerjang ke depan. Gerakannya nyaris tak terlihat, seperti bayangan yang melesat dalam sekejap. Kecepatan itu bukan
Rendy melangkah mantap ke dalam pusaran badai es yang berputar liar di belakangnya. Setiap pijakan kakinya menghasilkan bunyi berderak, merambat ke seluruh permukaan es yang retak seperti suara tulang yang patah. Angin dingin menampar wajahnya dengan kasar, membekukan tiap tarikan napas yang keluar dari bibirnya. Butiran salju yang tajam seperti pecahan kaca menari di udara, menyayat kulitnya hingga perih. Namun, di balik semua itu, tekadnya tetap membara.Di hadapannya, Formasi Kutub Es Ketiga berdiri menjulang, dinding-dindingnya yang runcing seolah hendak menusuk langit kelam. Bayangannya yang megah dan menyeramkan menebarkan aura dingin yang membuat dada Rendy terasa sesak. Setiap langkah yang ia ambil semakin menegaskan keberadaannya di tempat terlarang ini. Suara samar bergema di udara, entah dari mana asalnya, seolah ada sesuatu yang mengamati setiap gerak-geriknya dengan mata tak terlihat.Saat ujung kakinya melewati batas wilayah beku itu, tanah di bawahnya mendadak memancark
Rendy menarik napas dalam-dalam, udara dingin menusuk paru-parunya, sementara matanya yang tajam menyapu badai salju yang mengamuk di sekelilingnya. Setiap butir salju yang beterbangan seakan menceritakan ancaman, namun tekadnya tak tergoyahkan. Setelah berhasil menaklukkan prajurit es pertama yang menyerang dengan keberanian setara badai itu, ia melangkah ke dalam kegelapan beku Formasi Kutub Es Tujuh Langkah. Angin mengaum lebih liar, menyembunyikan jebakan mematikan di balik tirai putih yang terus berputar.Saat langkah pertamanya menuju formasi kedua, tanah di bawahnya tiba-tiba bergetar hebat, mengirimkan getaran menakutkan ke seluruh tubuhnya. Tanah itu runtuh, menciptakan celah besar seakan ingin menelannya hidup-hidup. Dengan refleks instan, Rendy melompat ke samping, namun matanya menangkap gerakan kilat ... dinding es raksasa melesat dari bawah dan atas, berusaha menjepitnya dalam pelukan maut."Sial!" teriak Rendy, suara yang tertiup angin seolah menyatu dengan rintihan bad
Angin menderu tanpa ampun, menerjang wajah Rendy dengan suhu yang menusuk, seakan ribuan jarum es menyusup ke dalam kulitnya. Di sekelilingnya, salju menari liar, berputar-putar membentuk pusaran putih yang seakan ingin menelan segala sesuatu yang berada di lintasan badai. Di tengah kekacauan itu, dua sosok prajurit es meluncur bak bayangan, melangkah tanpa jejak di atas permukaan salju yang telah membeku kaku.Rendy, yang tengah berlari menyusuri medan yang terselimuti badai, tiba-tiba mengayunkan tubuhnya ke samping. Tepat di saat itulah, sebuah pedang es berkilauan meluncur mendekat, hampir saja menyapu bahunya dengan kecepatan yang mematikan. Udara di sekitar pedang itu bergetar, menampakkan efek membekukan yang menyeramkan pada setiap hal yang disentuhnya."Dekat sekali!" seru Rendy dengan nada terkejut, namun ia tak sempat mengeluh. Dalam satu gerakan refleks, ia memutar badannya dan melayangkan tendangan ke arah bayang-bayang prajurit itu. Namun, tendangannya hanya menyentuh ke
Di balik tirai salju tebal yang menutupi setiap sudut Pegunungan Es Abadi, dunia terlihat seperti lukisan sunyi yang menyimpan keindahan dan kematian sekaligus. Namun, Rendy, dengan tatapan waspada dan langkah yang terukur, tahu bahwa di balik pesona dingin itu tersimpan jebakan mematikan yang dirancang oleh Keluarga Besar Bai. Setiap langkah yang diambilnya terasa bagai melangkah di atas kristal pecah; dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang, diiringi oleh ketidakpastian medan yang licin dan berbahaya. Angin kencang menyusup lewat celah-celah antara puncak gunung, mendesis seperti bisikan kematian. Butiran es kecil yang tersapu angin menghantam wajahnya, meninggalkan rasa perih yang membakar, sementara jubah hitamnya menari liar di tengah pusaran salju, kontras dengan hamparan putih yang tak berujung. Rendy menatap sekeliling dengan mata tajam, menyusuri setiap bayangan dan jejak samar yang tertutup salju. Tiba-tiba, ia berhenti. Di bawah langkahnya, ada sebuah bekas jejak yang
Rendy melangkah mantap ke utara, angin dingin menerpa wajahnya, membawa serta butiran salju yang berkilauan di bawah cahaya rembulan. Hembusan napasnya mengepul, seiring dengan tekad yang semakin menguat di dalam dadanya. Ia harus menemui Keluarga Besar Bai secara langsung. Tiga kultivator Bai yang ia biarkan hidup telah menyampaikan pesannya, tetapi ia ragu pesan itu cukup kuat untuk menghentikan mereka."Aku harus memastikan mereka tidak menggangguku saat berhadapan dengan Zhang Wen," gumamnya, kedua matanya menatap lurus ke depan, penuh determinasi.Dalam perjalanannya, Rendy menyadari satu hal: ia telah melewatkan kesempatan menanyakan keberadaan ayahnya kepada Keluarga Xie dan Zhao. Pertarungan sengit dengan mereka telah menyita seluruh perhatiannya, dan kini, hanya Keluarga Besar Bai yang mungkin memiliki jawaban.Pegunungan Es Abadi membentang di hadapannya, rumah bagi Keluarga Besar Bai. Sebuah perkampungan luas tersembunyi di balik lapisan pertahanan berlapis, dengan formasi
Rendy Wang berdiri tegak di antara puing-puing kediaman keluarga Zhao. Angin malam berdesir, membawa aroma debu dan darah yang masih hangat. Kedua pedangnya—Pedang Kabut Darah dan Pedang Penakluk Iblis—berkilauan tajam di bawah cahaya bulan. Di hadapannya, Zhao Tiangxin menatap tajam, jubah patriarknya berkibar ditiup energi qi yang bergetar di sekelilingnya."Naga Perang!" suara Zhao Tiangxin bergema seperti guntur. "Aku akan menunjukkan padamu mengapa aku disebut sebagai Patriark Zhao!"Tangannya terangkat tinggi, telapak tangannya bersinar emas. Dengan satu gerakan sigil tangan, ia menarik energi langit dan bumi. "Formasi Penghancur Langit!"Awan di atas mereka bergolak, berputar membentuk pusaran yang menyedot kekuatan dari sekelilingnya. Udara bergetar, dan dalam sekejap, ratusan tombak qi berwarna emas terbentuk di langit, melayang dengan ujungnya mengarah lurus ke tubuh Rendy.Rendy mengangkat satu alis. "Begitu? Kau pikir formasi ini bisa menghentikanku?"Dengan satu hentakan
Dengan kecepatan yang tak terbayangkan, Rendy melesat ke depan seperti kilatan petir yang menyambar langit. Pedang Penakluk Iblis di tangannya bergetar, memancarkan cahaya merah menyala yang menebarkan hawa kematian di sekelilingnya. Dalam satu tebasan, gelombang energi memancar deras, menggetarkan udara dan menciptakan pusaran angin yang menghantam para praktisi keluarga Zhao dengan kekuatan dahsyat."Kalian yang mencari kematian kalian sendiri! Aku telah memberi kalian kesempatan untuk hidup! Kini, kesempatan itu telah hilang!" teriak Rendy yang bergerak dengan sangat cepat sehingga tidak kelihatan oleh mata biasa.Wuuusssh!Clash!Jeritan kesakitan menggema saat beberapa dari mereka terpental ke belakang, menghantam dinding dengan keras hingga retakan besar terbentuk di sekitarnya. Sementara itu, yang lain bahkan tak sempat menghindar—hanya ada kilatan merah yang membelah tubuh mereka, meninggalkan sisa-sisa tubuh yang jatuh dengan suara berdebum ke tanah."Apa ini? Dasar iblis! Ti
Malam itu, kediaman Keluarga Besar Zhao dipenuhi ketegangan yang merayap di setiap sudut benteng megah mereka. Cahaya lentera berkelap-kelip, memantulkan bayangan tajam dari para kultivator dan praktisi bela diri yang berjaga. Mata mereka tajam, napas tertahan, tangan menggenggam erat senjata seolah bersiap menghadapi bahaya yang sewaktu-waktu bisa menerjang.Di tengah ruang utama yang dipenuhi aroma dupa, seorang pria tua duduk di singgasananya dengan tenang. Rambut dan janggut putihnya tergerai panjang, namun tubuhnya yang bercahaya menunjukkan bahwa usia bukanlah batasan bagi kekuatannya. Zhao Tiangxin, pemimpin Keluarga Besar Zhao, menatap tajam ke arah seorang pengintai yang baru saja kembali dari misi penyelidikan."Siapa yang cukup kejam menghancurkan Keluarga Besar Xie?" Suaranya berat, penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan.Kultivator pengintai itu menelan ludah sebelum menjawab, tubuhnya sedikit gemetar. "Lapor, Tuan Besar! Pembunuh Patriark Xie adalah seorang pemuda yang