"Sudah cukup," ujar seorang wanita berusia 40-an yang tampak anggun namun penuh kekuatan. Dia mengenakan jubah sederhana, tetapi auranya memancarkan wibawa yang tidak terbantahkan.Tentu saja Rendy sudah mencari informasi tentang Negara Cakrawala sebelum mengunjunginya."Lucinda Reagen," gumam Rendy, mengenali wanita itu sebagai Presiden Negara Cakrawala."Benar, Tuan Muda Rendy," jawab Lucinda, melangkah maju. "Anak itu adalah putriku, dan Organisasi Pengemis adalah bagian dari tugas rahasia kami untuk menjaga keamanan negeri ini.""Pengemis? Kenapa memilih profesi pengemis? Bukankah setahuku intel sering menyamar sebagai pedangang? Kenapa di negeri ini menyamar sebagai pengemis?" tanya Rendy penasaran."Kami tidak menyamar, Tuan Muda Rendy! Semua penduduk ibukota tahu kalau Organisasi Pengemis Metropolis adalah pelindung Kota Metropolis dari gangguan pendatang asing!" jelas Lucinda Reagen.Rendy menatap Lucinda dengan mata menyipit. "Kau juga menyembunyikan identitasmu sebagai kulti
Diskusi mereka terputus oleh kedatangan salah satu anggota organisasi, seorang pria tua dengan janggut putih panjang."Ketua, ada kabar buruk," katanya dengan nada serius. "Kelompok kultivator bayangan dari Negara Khatulistiwa telah memasuki wilayah kita. Mereka mungkin mengincar sesuatu di Balai Lelang Lotus Biru."Rendy langsung memasang ekspresi serius. "Kelompok kultivator bayangan? Apa yang mereka cari?"Lucinda mengangguk. "Giok Naga Merah," jawabnya singkat.Rendy mengepalkan tangannya. "Sepertinya mereka akan menjadi musuh yang harus kita hadapi."Lucinda menatapnya. "Jika kau serius untuk mengambil bagian dalam ini, maka kau harus tahu—Organisasi Pengemis Metropolis tidak akan mundur dari pertempuran ini. Kau siap untuk menghadapi konsekuensinya, Tuan Muda Rendy?"Rendy menghela napas panjang, matanya menyala dengan tekad. "Jika mereka mengincar Giok Naga Merah, maka aku tak punya pilihan lain. Aku akan ikut dalam permainan ini."Dengan demikian, Rendy menemukan dirinya terli
Rendy bersama Selina, Lucinda, dan Lyra memasuki Ruang VIP yang berada di lantai atas Balai Lelang Lotus Biru ini. Beberapa kultivator bayangan yang menyamar turut memasuki Ruang VIP. Ada yang berpakaian jas rapi bagai orang kantoran tapi ada juga yang berpakaian kasual santai. Namun semua itu tidak lepas dari pantauan Rendy yang bisa merasakan aura kultivator."Semoga mereka hanya meengincar Giok Naga Merah saja. Kalau mereka mengincar artefak kuno lainnya, maka akan sulit untuk mendapatkannya," bisik Rendy yang dijawab dengan anggukan kepala Selina.Lelang dimulai dengan artefak biasa, tetapi peserta VIP juga turut antusias menawar barang yang ditawarkan. Karena artefak biasa saja bisa berharga ratusan jutabahkan milyaran kalau dijual ke kolektor yang sesuai."Artefak pertama yaitu Peta Artefak. Peta ini diyakini akan menuntun Anda sekalian ke harta karun tak ternilai yaitu Kitab Kultivasi Maksimum dan Pedang Artefak Suci. Kedua artefak kuno ini diyakini bisa ditemukan dengan Peta
Petugas lelang yang mengenakan jas biru berkilau kembali mengambil alih perhatian. Di tangannya ada sebuah kotak kecil berlapis kaca, dan di dalamnya tergeletak sebuah cincin dengan desain sederhana, tetapi aura misterius memancar darinya."Berikutnya adalah Cincin Dimensi, artefak kuno yang memungkinkan penggunanya membuka portal ke lokasi mana saja yang diinginkan, asalkan memiliki gambaran jelas akan tempat tersebut. Mulai dari melintasi benua hingga menembus batas antar ruang. Cincin ini dibuka dengan harga dasar lima ratus juta. Silakan dimulai dengan kelipatan minimal lima puluh juta!"Ruangan langsung menjadi riuh dengan bisikan. Semua tahu, artefak seperti ini bisa mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Bahkan beberapa kultivator bayangan yang sebelumnya tenang mulai terlihat gelisah."Enam ratus juta!" seru seorang pria berjubah hitam yang duduk di sudut ruangan. Matanya tajam seperti elang, mengintimidasi siapa saja yang menatapnya terlalu lama."Ah, itu Han Feng dari Al
Petugas lelang kembali berdiri di podium. Kali ini, dia membawa sebuah tas kecil berwarna hitam legam dengan desain sederhana, namun memancarkan aura misterius yang membuat semua mata terpaku padanya."Artefak berikutnya adalah Tas Ruang Hampa. Artefak ini memungkinkan Anda menyimpan barang dalam jumlah besar, termasuk barang kultivasi langka, tanpa menambah berat atau mengubah bentuk tas. Harganya dimulai dari satu miliar, dengan kelipatan minimal seratus juta."Riuh bisikan langsung memenuhi ruangan. Semua tahu bahwa tas ini sangat langka dan praktis, cocok untuk perjalanan panjang atau menyembunyikan barang berharga."Ini akan lebih sulit dari tadi," gumam Rendy. "Semua orang di ruangan ini pasti ingin tas itu.""Kau yakin masih ingin menawarnya?" tanya Selina dengan nada cemas."Tidak ada pilihan lain," jawab Rendy tegas.Tiba-tiba suara pertama datang dari seorang pria jangkung berpakaian serba putih, lengkap dengan jubah yang berkibar seperti angin selalu mengikutinya. "Satu set
Setelah serangkaian lelang yang mendebarkan, suara petugas lelang kembali menggema, menandakan dimulainya puncak acara. "Hadirin sekalian, kita kini memasuki sesi lelang artefak kuno. Barang pertama yang ditawarkan adalah Tungku Alkemis Kuno!"Para peserta VIP yang sebelumnya tenang mendadak penuh antusiasme. Tungku itu diletakkan di tengah podium, terlihat megah meski usianya tampak sangat tua. Ukiran rumit berbentuk naga melilit tubuh tungku, sementara aura spiritual samar memancar dari permukaannya."Tungku ini konon berasal dari era Raja Alkemis Pertama dan dapat digunakan untuk membuat pil-pil yang sangat kuat, termasuk Pil Kultivator Tingkat Tinggi yang dapat membantu Anda menerobos batas level kultivasi. Barang ini dibuka dengan harga dasar dua miliar! Kelipatan penawaran minimal dua ratus juta."Rendy menatap tungku itu dengan mata berbinar. "Ini adalah kunci untuk meningkatkan kultivasiku. Jika aku bisa memenangkannya, aku bisa mempercepat latihanku hingga melampaui lawan-law
Setelah sesi lelang Tungku Alkemis yang mendebarkan, petugas lelang kembali ke podium dengan senyum misterius. Di belakangnya, dua asisten membawa sebuah kotak panjang berukir emas, dengan segel spiritual yang memancar terang. Aura tajam terasa menyelimuti seluruh ruangan, membuat beberapa peserta menahan napas."Para hadirin sekalian, barang berikutnya adalah salah satu artefak kuno paling legendaris, Pedang Pembunuh Naga!" suara petugas lelang menggema, membuat ruangan mendadak ramai dengan bisikan.Dia melanjutkan, "Pedang ini konon ditempa oleh pandai besi agung yang menggunakan darah naga sebagai katalisnya. Selain memiliki kekuatan serangan yang dahsyat, pedang ini juga memiliki kemampuan untuk menghancurkan formasi spiritual dan pelindung Qi. Harga awal adalah lima miliar, dengan kelipatan penawaran minimal setengah miliar."Para peserta langsung terlihat antusias. Ini bukan hanya pedang biasa, melainkan simbol kekuatan dan otoritas.Rendy melirik Lucinda, yang diam-diam mengan
Setelah Pedang Pembunuh Naga berhasil dimenangkan, suasana di Balai Lelang Lotus Biru belum juga mereda. Para peserta masih terlihat waspada, dan beberapa bahkan saling memandang dengan penuh perhitungan.Petugas lelang kembali ke podium dengan sebuah kotak kristal kecil di tangannya. Di dalamnya terdapat pil bulat berwarna emas dengan pola seperti akar pohon kuno. Aroma spiritual yang sangat kuat menyebar ke seluruh ruangan, membuat para kultivator langsung terpaku."Barang berikutnya adalah Pil Seribu Tahun, sebuah artefak langka yang hanya dapat dibuat oleh Alkemis Peringkat Suci. Pil ini mampu meningkatkan ranah kultivasi hingga satu tingkat penuh bagi pengguna, asalkan tubuh mereka mampu menahan energi spiritualnya. Harganya dibuka dengan tiga miliar, dengan kelipatan penawaran minimal tiga ratus juta!"Riuh rendah langsung memenuhi ruangan. Pil ini adalah harta karun yang diidamkan setiap kultivator, terutama mereka yang merasa terhambat dalam perjalanan kultivasi.Rendy melirik
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi