Setelah sesi lelang Tungku Alkemis yang mendebarkan, petugas lelang kembali ke podium dengan senyum misterius. Di belakangnya, dua asisten membawa sebuah kotak panjang berukir emas, dengan segel spiritual yang memancar terang. Aura tajam terasa menyelimuti seluruh ruangan, membuat beberapa peserta menahan napas."Para hadirin sekalian, barang berikutnya adalah salah satu artefak kuno paling legendaris, Pedang Pembunuh Naga!" suara petugas lelang menggema, membuat ruangan mendadak ramai dengan bisikan.Dia melanjutkan, "Pedang ini konon ditempa oleh pandai besi agung yang menggunakan darah naga sebagai katalisnya. Selain memiliki kekuatan serangan yang dahsyat, pedang ini juga memiliki kemampuan untuk menghancurkan formasi spiritual dan pelindung Qi. Harga awal adalah lima miliar, dengan kelipatan penawaran minimal setengah miliar."Para peserta langsung terlihat antusias. Ini bukan hanya pedang biasa, melainkan simbol kekuatan dan otoritas.Rendy melirik Lucinda, yang diam-diam mengan
Setelah Pedang Pembunuh Naga berhasil dimenangkan, suasana di Balai Lelang Lotus Biru belum juga mereda. Para peserta masih terlihat waspada, dan beberapa bahkan saling memandang dengan penuh perhitungan.Petugas lelang kembali ke podium dengan sebuah kotak kristal kecil di tangannya. Di dalamnya terdapat pil bulat berwarna emas dengan pola seperti akar pohon kuno. Aroma spiritual yang sangat kuat menyebar ke seluruh ruangan, membuat para kultivator langsung terpaku."Barang berikutnya adalah Pil Seribu Tahun, sebuah artefak langka yang hanya dapat dibuat oleh Alkemis Peringkat Suci. Pil ini mampu meningkatkan ranah kultivasi hingga satu tingkat penuh bagi pengguna, asalkan tubuh mereka mampu menahan energi spiritualnya. Harganya dibuka dengan tiga miliar, dengan kelipatan penawaran minimal tiga ratus juta!"Riuh rendah langsung memenuhi ruangan. Pil ini adalah harta karun yang diidamkan setiap kultivator, terutama mereka yang merasa terhambat dalam perjalanan kultivasi.Rendy melirik
Setelah Pil Seribu Tahun berhasil dimenangkan, suasana di Balai Lelang Lotus Biru menjadi semakin tegang. Semua orang tahu bahwa puncak acara sudah tiba. Giok Naga Merah akan segera dilelang, dan seluruh peserta yang hadir, baik bangsawan, kultivator, maupun kolektor, bersiap untuk perang penawaran besar-besaran.Petugas lelang berjalan dengan langkah penuh percaya diri. Di tangannya, sebuah kotak kayu hitam berukir naga yang terbuat dari kayu langka. Ketika dia membukanya, cahaya merah menyala langsung memenuhi ruangan, memancarkan aura yang megah sekaligus menekan."Para hadirin sekalian, ini adalah puncak acara kita malam ini! Giok Naga Merah, artefak legendaris yang dipercaya memiliki energi spiritual yang sangat besar. Artefak ini tidak hanya mampu memperkuat Qi pengguna, tetapi juga memiliki kekuatan misterius untuk memanipulasi formasi dan membuka portal dimensi tersembunyi. Harganya dibuka dengan lima puluh miliar, dengan kelipatan minimal lima miliar!"Ruangan mendadak hening
Saat tangan Rendy mendekati Giok Naga Merah, sebuah dorongan energi yang dahsyat tiba-tiba meledak dari batu itu, memaksa semua orang di ruangan mundur. Aura merahnya mengamuk, menciptakan angin badai kecil di dalam balai lelang. “Rendy! Jangan ceroboh!” teriak Lucinda sambil membentangkan tangannya, menciptakan penghalang Qi yang melindungi dirinya dan Lyra. Rendy menggertakkan giginya, berusaha melawan tekanan yang seolah mencoba menundukkannya. Matanya menatap tajam ke arah Giok itu, lalu ia berteriak, “Aku tidak akan kalah darimu!” Dia mulai memusatkan Qi-nya, menciptakan medan energi yang melawan aura Giok. Benturan energi antara keduanya membuat lantai bergetar, sementara tamu lain yang masih di dalam balai lari tunggang langgang. Namun, di tengah kekacauan itu, salah satu kultivator bayangan melihat peluang. Dengan kecepatan luar biasa, ia melompat ke podium, mencoba merebut Giok Naga Merah dari Rendy. “Jangan berani-berani!” bentak Lyra sambil melontarkan serangan ki
Setelah aura Giok Naga Merah mereda dan keadaan balai lelang kembali stabil, Rendy mendekati meja pembayaran yang terletak di sudut ruangan. Pegawai balai lelang, seorang pria paruh baya dengan pakaian rapi dan ekspresi profesional, menyambutnya dengan senyuman formal.Walaupun terjadi kehancuran yang cukup besar di Balai Lelang Lotus Biru, pihak penyelenggara tidak meminta ganti rugi atas kerusakan balai lelang karena sudah diasuransikan.“Selamat atas kemenangan Anda dalam lelang, Tuan Rendy,” katanya sambil menyerahkan dokumen yang harus ditandatangani. “Apakah Anda ingin membayar menggunakan transfer bank atau metode lainnya?”“Transfer bank,” jawab Rendy sambil menandatangani dokumen tersebut. Ia mengirimkan pembayaran untuk Giok Naga Merah dan Tungku Alkemis Kuno tanpa ragu. Setelah selesai, petugas itu mengangguk dan memberikan tanda terima.“Barang Anda akan dibawa sendiri atau diantar?” tanyanya."Giok Naga Merah akan aku bawa sendiri. Untuk Tungku Alkemis Kuno, segera antar
Malam di Resort Matahari Senja berlanjut dengan tenang, atau setidaknya demikian tampaknya. Rendy tengah duduk di ruang tamu vila pribadinya, mempelajari aura yang terpancar dari Tungku Alkemis Kuno. Sementara itu, Giok Naga Merah disegel rapat dalam kotak pelindung yang diletakkan di sudut ruangan. Selina duduk di kursi dekat jendela, matanya tajam mengamati lingkungan sekitar meski terlihat santai. Cincin Dimensi dan Pedang Pembunuh Naga sudah disimpan Rendy di dalam Tas Ruang Hampa. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres,” ujar Selina tiba-tiba, menghentikan keheningan. Rendy mengangkat pandangannya. “Apa maksudmu?” “Sejak kita meninggalkan balai lelang, aku bisa merasakan energi aneh yang terus mengintai. Sepertinya seseorang tidak senang dengan kemenanganmu.” Sebelum Rendy sempat menjawab, aura kuat tiba-tiba menyelimuti seluruh vila. Angin kencang menerpa, menggetarkan kaca jendela. Selina segera berdiri, siaga, sementara Rendy memasang ekspresi dingin yang penuh kewaspad
Markas Serikat Mata Iblis, sebuah bangunan megah namun gelap di tengah distrik bawah tanah Kota Metropolis, berdiri seperti benteng misterius. Cahaya remang dari lentera-lentera merah menyinari pintu masuknya yang dijaga oleh beberapa kultivator bertampang garang. Namun, malam itu, penjagaan mereka terbukti tak berarti. Dengan satu dorongan tangan, Rendy menghancurkan pintu kayu besar yang menjadi penghalang utama. Suara gemuruh pintu yang hancur menarik perhatian seluruh penghuni markas. Para penjaga langsung mengepungnya, tapi Rendy hanya menatap mereka dengan tatapan tajam. “Aku di sini untuk Viktor,” ucapnya dingin. “Siapa pun yang menghalangi akan bernasib sama seperti pintu itu.” Para penjaga ragu sejenak, tapi pemimpin mereka menghunuskan pedangnya. “Bunuh dia!” Dengan cepat, pertarungan pecah. Rendy mengaktifkan kekuatan Pedang Pembunuh Naga, membuat para penjaga tidak berkutik. Angin tajam menyapu ruangan, menjatuhkan beberapa penjaga. Lantai bergetar di bawah pengaruh ke
Malam di Resort Matahari Senja terasa lebih tenang daripada hari sebelumnya, tetapi Rendy tahu ini hanya sementara. Setelah mendengar nama Duke Alastair dari Viktor, ia sadar bahwa ancaman yang sebenarnya telah mendekat.Di dalam Resort Matahari Senja Rendy duduk bersama Selina dan Lucinda, yang telah ia undang untuk membahas rencana mereka. Sebuah peta besar terhampar di meja di depan mereka, menunjukkan lokasi Khatulistiwa, wilayah kekuasaan Duke Alastair.“Duke Alastair bukan hanya seorang kultivator kuat,” kata Lucinda, menyentuh salah satu bagian peta. “Dia juga seorang politisi licik dengan banyak koneksi. Jika dia benar-benar mengincar Giok Naga Merah, kita harus berhati-hati. Ini bukan hanya tentang kekuatan, tapi juga strategi.”“Dia sudah menunjukkan bahwa dia tidak segan-segan menggunakan cara kotor,” tambah Selina sambil melipat tangannya. “Menyerang Tuan Muda dengan kultivator bayaran adalah bukti nyatanya.”Rendy mengangguk, tatapannya tajam. “Aku tidak peduli dengan ke
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi