Sheila membawa Rendy menuju ruangan pribadinya yang tenang dan dipenuhi dengan aura es yang memancar dari setiap sudut. Sebuah meja kecil dengan lilin biru yang menyala lembut menghiasi tengah ruangan, menciptakan suasana yang intim namun penuh dengan energi spiritual.“Sheila, kau yakin tentang ini?” Rendy bertanya, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa Sheila adalah satu-satunya yang dapat membantunya menguasai Qi Naga Es yang baru saja terbangun dalam tubuhnya.Sheila mengangguk pelan, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Rendy, Qi Naga Es dalam tubuhmu adalah bagian dari dirimu, tetapi tanpa bimbinganku, kau tidak akan bisa memanfaatkan kekuatannya sepenuhnya. Kultivasi ganda ini tidak hanya akan meningkatkan kekuatanmu, tetapi juga akan menghidupkan kembali energi yang pernah kita miliki bersama.”Rendy menghela napas panjang, menatap Sheila yang kini berdiri di hadapannya. Dia bisa merasakan kehangatan tubuhnya berinteraksi dengan dingin es dari Sheila, menciptakan harmoni yang sul
Rendy menatap Sheila dengan mata yang menyiratkan tekad bulat, suaranya tegas tetapi terbungkus emosi yang tertahan. "Sheila, siapa sebenarnya Jacinda Chandra?" tanyanya lagi, kali ini dengan tekanan yang tak bisa diabaikan.Sheila menghela napas, dinginnya ruangan seolah mencerminkan suasana hatinya yang penuh keraguan. "Rendy, ini semua demi kebaikanmu," katanya, nadanya berubah menjadi lebih tajam. "Jacinda adalah masa lalumu yang seharusnya kau lupakan! Lebih baik tidak usah membahasnya lagi demi kebaikanmu sendiri!"Namun, rasa penasaran Rendy seperti api yang tak padam. "Kalau dia mengenalku, kenapa dia berpura-pura tidak mengenalku saat berada di Restoran Bandar Javali?" tanyanya, matanya tajam menusuk Sheila.Sheila mengangkat dagunya, sorot matanya dingin seperti es yang tajam menusuk. "Karena dia adalah Elemental Naga Kelima yang dipecat oleh Katrin," jawabnya, suara dinginnya menusuk hingga ke tulang. "Jacinda menguasai Elemental Tanah, elemen terkuat dari semuanya. Tapi ke
Jacinda membuka pintu mobil Bhugatti Sport berwarna hitam mengkilap dengan gerakan anggun, namun tidak sempat duduk di kursi pengemudi. "Aku yang mengemudi," ujar Rendy dengan nada tegas. Jacinda hanya tersenyum tipis, menyerahkan kunci dengan patuh, seolah menikmati dominasi pria di sampingnya."Silahkan, Tuan Muda!" ucapnya sambil tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi berkilau bagaikan mutiara.Mesin mobil meraung ketika Rendy menginjak pedal gas, memacu kendaraan itu menuju Kota Chindo. Jalan raya malam itu basah setelah hujan, aroma tanah bercampur aspal menyusup melalui celah jendela. Jacinda duduk di sebelahnya, sesekali melirik Rendy, bibirnya sedikit melengkung, tatapannya dipenuhi teka-teki.Apartemen Jacinda berdiri megah di salah satu gedung tertinggi di pusat Kota Chindo, sebuah menara kaca yang memancarkan kemewahan dari setiap sudutnya. Pintu masuk apartemen menyambut dengan karpet merah dan kilauan lampu kristal yang memantulkan cahaya lembut. S
Rendy duduk di sofa apartemen Jacinda, masih merasakan aliran energi Qi yang kuat di dalam tubuhnya. Pemandangan malam Kota Chindo yang gemerlap tampak melalui dinding kaca, tetapi pikirannya tidak teralihkan. Pandangannya tertuju pada Jacinda yang sedang menuangkan segelas anggur, gerak-geriknya tetap tenang meskipun atmosfer di antara mereka terasa tegang.“Jacinda,” suara Rendy akhirnya memecah keheningan, nadanya dalam dan tegas. “Aku tahu ada lebih dari sekadar kultivasi yang terjadi malam ini. Aku ingin tahu kebenarannya. Siapa kau sebenarnya, dan apa tujuanmu?”Jacinda berbalik, membawa dua gelas anggur, lalu duduk di samping Rendy. Ia menatap pria itu dengan senyuman samar yang tidak menghapus kecurigaan Rendy. “Kau sudah mendapatkan Qi Elemental Tanah dariku, bukankah itu yang kau inginkan?” jawabnya dengan nada menggoda, mencoba mengalihkan perhatian Rendy.Namun, Rendy tidak terpengaruh. Ia mendekatkan wajahnya ke Jacinda, tatapan matanya tajam dan menusuk. “Jangan mencoba
Malam di Kota Chindo semakin larut, namun suasana di apartemen Jacinda masih menyimpan ketegangan. Di luar, angin dingin menderu, membawa aroma hujan yang tertahan di udara. Rendy berdiri di dekat jendela besar, memandangi gemerlap lampu kota, matanya menyipit seperti sedang mencoba membaca sesuatu di kejauhan. Perasaannya gelisah, dan firasat buruk itu akhirnya terbukti.“Jacinda,” katanya dengan suara rendah namun tajam. “Kau merasakan itu?”Jacinda, yang tengah merapikan meja di ruang tamu, berhenti sejenak. Matanya menyipit, fokus pada energi asing yang mendekat dengan cepat. “Aura ini... mereka datang,” bisiknya. “The Cultivator.”Langit di atas apartemen mendadak berubah. Kilatan petir berwarna biru keunguan menerangi kegelapan malam, diikuti oleh suara gemuruh yang memecah keheningan. Beberapa bayangan melesat turun dari langit, meluncur seperti meteor ke arah apartemen.“Cih, hanya ranah Foundation Establishment,” ujar Rendy sambil menyeringai kecil. “Mereka benar-benar mereme
Angin dingin malam itu terasa semakin menusuk, seolah alam pun turut mengintimidasi suasana. Rendy dan Jacinda berdiri di balkon apartemen yang kini berantakan, bekas pertarungan tadi masih tersisa dalam bentuk es yang mencair perlahan. Namun, perhatian mereka teralihkan ketika langit di atas mereka mulai memancarkan cahaya merah gelap, seolah mata raksasa sedang menatap langsung ke arah mereka.“Itu tanda kedatangannya,” bisik Jacinda, suaranya bergetar. “Wang Feng Shian... dia ada di sini.”Rendy mengepalkan tangannya, energi Naga Es dalam tubuhnya mulai bergolak. “Akhirnya dia datang. Aku sudah bosan menghadapi pion-pion tak berguna ini.”Di kejauhan, sebuah bayangan besar perlahan turun dari langit. Wang Feng Shian, mantan Patriark Sekte Pedang Awan Langit, muncul dengan jubah merah panjang yang berkibar tertiup angin. Rambut putihnya yang panjang tampak bersinar di bawah sinar bulan, wajahnya yang penuh wibawa namun dingin menatap lurus ke arah Rendy.“Aku mendengar Naga Perang t
"Aku tidak ingin menghancurkan kota ini lebih parah lagi! Kita lanjutkan saja pertarungan di tempat lain!" kata Rendy sambil berkelabat dengan cepat menjauhi Kota Chindo.Tujuannya adalah gunung besar yang berwarna kehijauan tapi menyimpan bara api yang besar menyelimuti gunung aktif yang belum pernah memuntahkan lahar sama sekali."Kekuatan Wang Feng Shian terlalu besar dan bisa mengancam nyawa penduduk Kota Chindo. Ini adalah jalan terbaik," batinnya sambil terus mempercepat langkahnya menuju Gunung Jade Inferno.Rendy Wang, yang dikenal sebagai Naga Perang, berdiri tegap di atas puncak Gunung Jade Inferno. Udara di sekitarnya terasa tegang, penuh dengan energi Qi yang bergetar dari dua sosok kuat di tengah medan pertarungan. Di hadapannya, Wang Feng Shian, pimpinan The Cultivator, memandang dengan tatapan tajam, tubuhnya memancarkan aura yang menakutkan."Rendy Wang," kata Wang Feng Shian, suaranya rendah namun menggema, "kau mungkin dianggap legenda, tapi aku adalah hukum di dunia
Wang Feng Shian berdiri tegak di atas puing-puing medan pertempuran, tubuhnya memancarkan aura kekuatan yang mendominasi. Sebuah senyum dingin menghiasi wajahnya saat ia mulai menggerakkan kedua tangannya, menciptakan pola segel yang kompleks di udara. Qi hitam dan emas bercampur membentuk pusaran energi yang sangat pekat."Inilah akhir darimu, Rendy Wang. Jurus ini telah membawa banyak musuhku ke kehancuran," ucap Wang Feng Shian, suaranya penuh kepastian. Dia mengaktifkan Jurus Tangan Kosmik Nirwana, teknik kultivasi dari ranah Earth Immortal yang dikenal sebagai jurus penghancur jiwa.Langit berubah menjadi gelap, dan dari awan hitam itu muncul tangan raksasa bercahaya hitam keemasan, bergerak dengan kecepatan luar biasa menuju tubuh Rendy.Rendy, yang masih dalam keadaan lemah setelah pertarungan sebelumnya, tidak mampu menghindar. Tangan Kosmik Nirwana menghantam tubuhnya dengan keras, membuat Rendy terlempar jauh hingga tubuhnya menghantam tanah dan menciptakan kawah besar. Napa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi