“Aku Pemandu Pertama,” jawab pria itu singkat. “Di Falling Sky, kau akan dipandu oleh penjaga. Aku adalah yang pertama, dan tugasku adalah membawamu memahami dasar dari apa yang akan kau hadapi.”Rendy mengangguk, merasa kecil di hadapan pria ini. Namun, ia tidak boleh terlihat ragu. Ia merapatkan genggamannya pada Kristal Kehidupan Surgawi di saku pakaiannya, merasakan denyut energinya yang menenangkan.“Baik. Apa yang harus kulakukan?” tanyanya mantap.Pria tua itu tersenyum tipis, lalu melangkah maju. Dengan satu gerakan tangannya, udara di sekitar mereka berubah. Kabut yang sebelumnya melayang kini menggumpal, membentuk sosok-sosok bayangan yang perlahan bergerak mengelilingi Rendy.“Musuhmu bukan hanya yang kau lihat, tapi juga yang kau rasakan,” kata Pemandu Pertama. “Cobalah bertahan.”Bayangan itu mendekat, dan Rendy bisa merasakan energi dingin merayap di kulitnya. Satu sosok melompat, mencakar ke arah lehernya. Refleks, ia berguling dan menghindar, tetapi yang lain datang me
Rendy menghapus keringat yang menetes di dahinya, tubuhnya terasa seperti habis dihantam badai. Namun, ada sesuatu yang berbeda—energi dari Kristal Kehidupan Surgawi kini terasa lebih menyatu dengan dirinya, seperti aliran sungai yang mengalir tanpa hambatan. Pemandu Pertama menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh arti.“Ujian berikutnya tidak hanya tentang kekuatan,” ujar Pemandu Pertama, suaranya rendah namun menggema. “Falling Sky adalah tempat di mana jiwa dan pikiranmu diuji hingga batas. Kau sudah merasakan elemen udara, tetapi sekarang kau akan menghadapi elemen yang paling berbahaya bagi manusia.”Sebelum Rendy sempat bertanya, tanah di bawahnya bergetar. Retakan kecil muncul, memancarkan cahaya merah menyala yang menyilaukan. Suhu di sekitarnya naik dengan cepat, membuat udara terasa berat dan sulit dihirup. Dalam sekejap, api menjalar dari retakan itu, membentuk lingkaran besar yang mengelilingi Rendy.“Api?” gumam Rendy, merasakan panas menyengat yang hampir membakar kul
Rendy menatap langit yang mulai berubah warna, kini beralih dari biru cerah ke gradasi ungu kehitaman, seolah dunia sekitar ikut berubah mengikuti tantangan yang telah ia lewati. Rasanya, meski kekuatan Kristal Kehidupan Surgawi telah memberinya kemampuan luar biasa, ia masih merasakan berat di hatinya, seolah ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya siap untuk menerima perjalanan ini. Keringat dingin masih menetes di dahinya, meski api yang mengelilinginya telah padam.Pemandu Pertama tetap diam, mengamati Rendy dengan tatapan penuh arti. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi, tetapi matanya yang tajam seolah menilai setiap detik yang berlalu. Ia tahu bahwa tantangan selanjutnya akan lebih menguji lagi.“Tantangan berikutnya akan menguji keberanianmu,” kata Pemandu Pertama akhirnya, suaranya tenang namun penuh bobot. “Bersiaplah, karena perjalananmu menuju puncak tidak akan mudah. Kali ini, kau akan menghadapi elemen yang lebih sulit dipahami. Elemen yang bukan hanya menguji kekua
Rendy berdiri di sebuah dataran tinggi yang dikelilingi langit tak berujung. Awan-awan perak menggumpal di bawah kakinya, membuatnya seolah berada di atas dunia. Kristal Kehidupan Surgawi di tubuhnya berdenyut lembut, memancarkan kehangatan yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Pelatih Pertama telah meninggalkannya di sini, mengatakan bahwa ini adalah ujian terakhir di Falling Sky sebelum ia layak kembali ke Khatulistiwa."Di sini, kau akan menghadapi inti dari dirimu sendiri," suara Pemandu Pertama terngiang dalam ingatannya. "Tidak ada arahan, tidak ada bantuan. Kau hanya bisa mengandalkan dirimu."Saat itu, udara di sekitarnya berubah. Angin dingin berhembus, membekukan tulang dan menciptakan riak-riak kecil di awan di bawahnya. Dari balik kabut tebal, sosok-sosok mulai muncul. Mereka tidak jelas, hanya bayangan buram yang bergerak perlahan. Tetapi semakin mereka mendekat, Rendy dapat merasakan kehadiran mereka yang menghantui.“Siapa kalian?” tanya Rendy, bersiap dalam posisi bertaha
Dentuman tank menggetarkan udara, sementara ledakan granat mencabik-cabik ketenangan malam yang memerah oleh nyala api. Di tengah kegaduhan itu, suara melengking menerobos, menampar telinga Rendy yang setengah tersadar.“RENDY!”Bahunya terguncang kasar. Jari-jari berlapis debu dan keringat menekan tubuhnya. Di hadapannya, seorang prajurit muda dengan seragam penuh noda darah dan lumpur, menggenggam bayonet erat seperti hidupnya bergantung pada senjata itu."Kapten, akhirnya sadar juga!" seru prajurit itu, matanya membelalak penuh cemas."Clara?" gumam Rendy, pandangannya masih kabur tapi ia dengan jelas mengenali suara yang terus diingatnya sampai sekarang, pikirannya melayang di antara realitas dan kebingungan."Maaf kalau terpaksa memanggil Kapten keras-keras! Kita diserang habis-habisan, dan Kapten tidak merespons!" Clara menegakkan tubuh, suaranya meninggi untuk mengatasi gemuruh medan perang. "Apa Kapten punya strategi bertahan? Kita kehabisan waktu!"Rendy menggeleng pelan, men
Hutan di depan terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya derit dedaunan dan angin dingin yang menyapu ranting. Rendy merasakan punggungnya berkeringat, meski udara menusuk dingin. Langkahnya terhenti ketika ia melihat bayangan samar di kejauhan—sesosok pria tua dengan jubah kelabu, berdiri tak bergerak di bawah pohon besar.“Siapa kau?” Rendy berseru, tangan kanannya meraih pistol kecil di pinggang.Pria itu mengangkat kepalanya perlahan, wajahnya samar oleh bayangan daun. “Kapten Rendy Wang. Kau telah melintasi waktu, tapi bukan kehendakmu yang membawamu ke sini.”Jantung Rendy berdetak keras. “Apa maksudmu? Jelaskan!”Pria tua itu tersenyum tipis, suaranya berat dan penuh misteri. “Masa depanmu dan masa lalu ini terikat. Kau di sini karena ada sesuatu yang harus kau ubah… atau sesuatu yang harus kau lawan agar tidak menghantuimu di masa depan”“Kau siapa sebenarnya?”“Aku adalah penjaga garis waktu ini.” Pria itu melangkah maju, suaranya berubah menjadi desis yang mengerikan. “Sed
Rendy Wang berdiri di tepi sungai kecil yang berkilauan di bawah sinar bulan, mencoba mengatur napasnya. Tubuhnya terasa berat, seolah semua energi terkuras dari pertarungan sebelumnya. Namun, pikirannya tidak pernah berhenti bekerja. Potongan-potongan kenangan mulai bermunculan, meski masih kabur seperti bayangan yang memantul di air."Perang melawan Negeri Cakrawala... kenapa aku tak mengingat apa-apa?" pikirnya. Ia mengepalkan tangan, merasakan denyut tenaga dalam yang sempurna di tubuhnya. Namun, sesuatu terasa kurang. Ia sekarang ini bukanlah kultivator. Ia tak memiliki energi qi yang mematikan seperti yang dimilikinya di masa depan. Ia hanyalah praktisi bela diri yang memiliki tenaga dalam yang cukup kuat.Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Rendy segera meraih bayonetnya, bersiap menghadapi ancaman. Namun, dari balik pepohonan, muncul seorang wanita dengan baju perang penuh tanda kehormatan. Sorot matanya tajam, seperti seorang yang terbiasa memimpin di medan perang.“Rendy
Langit Kota Buitenzorg diselimuti kabut tipis saat Rendy tiba. Jalanan berbatu yang basah oleh sisa hujan malam memantulkan cahaya dari lentera-lentera di sepanjang jalan. Kota itu sibuk seperti biasanya, dengan kerumunan pedagang, penjaga keamanan, dan orang-orang dari berbagai kalangan yang berbaur tanpa peduli satu sama lain. Namun, di balik keramaian itu, Rendy merasa ada sesuatu yang berbeda—sebuah kegelisahan yang merayap perlahan di udara.Dia berdiri di depan sebuah kedai kecil yang berderit setiap kali pintunya terbuka. Di tempat ini, dia berharap bisa mendapatkan informasi awal. Kristin benar, menemukan jejak Assassin War tidak akan mudah, terutama bagi seseorang seperti dirinya yang belum mengenal seluk-beluk dunia bawah tanah.Rendy memasuki kedai dengan langkah hati-hati. Bau alkohol, asap tembakau, dan makanan basi menyerang indra penciumannya. Ruangan itu remang-remang, dengan meja-meja penuh orang-orang yang berbicara dengan suara rendah, seolah setiap percakapan adala
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi