Dentuman tank menggetarkan udara, sementara ledakan granat mencabik-cabik ketenangan malam yang memerah oleh nyala api. Di tengah kegaduhan itu, suara melengking menerobos, menampar telinga Rendy yang setengah tersadar.“RENDY!”Bahunya terguncang kasar. Jari-jari berlapis debu dan keringat menekan tubuhnya. Di hadapannya, seorang prajurit muda dengan seragam penuh noda darah dan lumpur, menggenggam bayonet erat seperti hidupnya bergantung pada senjata itu."Kapten, akhirnya sadar juga!" seru prajurit itu, matanya membelalak penuh cemas."Clara?" gumam Rendy, pandangannya masih kabur tapi ia dengan jelas mengenali suara yang terus diingatnya sampai sekarang, pikirannya melayang di antara realitas dan kebingungan."Maaf kalau terpaksa memanggil Kapten keras-keras! Kita diserang habis-habisan, dan Kapten tidak merespons!" Clara menegakkan tubuh, suaranya meninggi untuk mengatasi gemuruh medan perang. "Apa Kapten punya strategi bertahan? Kita kehabisan waktu!"Rendy menggeleng pelan, men
Hutan di depan terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya derit dedaunan dan angin dingin yang menyapu ranting. Rendy merasakan punggungnya berkeringat, meski udara menusuk dingin. Langkahnya terhenti ketika ia melihat bayangan samar di kejauhan—sesosok pria tua dengan jubah kelabu, berdiri tak bergerak di bawah pohon besar.“Siapa kau?” Rendy berseru, tangan kanannya meraih pistol kecil di pinggang.Pria itu mengangkat kepalanya perlahan, wajahnya samar oleh bayangan daun. “Kapten Rendy Wang. Kau telah melintasi waktu, tapi bukan kehendakmu yang membawamu ke sini.”Jantung Rendy berdetak keras. “Apa maksudmu? Jelaskan!”Pria tua itu tersenyum tipis, suaranya berat dan penuh misteri. “Masa depanmu dan masa lalu ini terikat. Kau di sini karena ada sesuatu yang harus kau ubah… atau sesuatu yang harus kau lawan agar tidak menghantuimu di masa depan”“Kau siapa sebenarnya?”“Aku adalah penjaga garis waktu ini.” Pria itu melangkah maju, suaranya berubah menjadi desis yang mengerikan. “Sed
Rendy Wang berdiri di tepi sungai kecil yang berkilauan di bawah sinar bulan, mencoba mengatur napasnya. Tubuhnya terasa berat, seolah semua energi terkuras dari pertarungan sebelumnya. Namun, pikirannya tidak pernah berhenti bekerja. Potongan-potongan kenangan mulai bermunculan, meski masih kabur seperti bayangan yang memantul di air."Perang melawan Negeri Cakrawala... kenapa aku tak mengingat apa-apa?" pikirnya. Ia mengepalkan tangan, merasakan denyut tenaga dalam yang sempurna di tubuhnya. Namun, sesuatu terasa kurang. Ia sekarang ini bukanlah kultivator. Ia tak memiliki energi qi yang mematikan seperti yang dimilikinya di masa depan. Ia hanyalah praktisi bela diri yang memiliki tenaga dalam yang cukup kuat.Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Rendy segera meraih bayonetnya, bersiap menghadapi ancaman. Namun, dari balik pepohonan, muncul seorang wanita dengan baju perang penuh tanda kehormatan. Sorot matanya tajam, seperti seorang yang terbiasa memimpin di medan perang.“Rendy
Langit Kota Buitenzorg diselimuti kabut tipis saat Rendy tiba. Jalanan berbatu yang basah oleh sisa hujan malam memantulkan cahaya dari lentera-lentera di sepanjang jalan. Kota itu sibuk seperti biasanya, dengan kerumunan pedagang, penjaga keamanan, dan orang-orang dari berbagai kalangan yang berbaur tanpa peduli satu sama lain. Namun, di balik keramaian itu, Rendy merasa ada sesuatu yang berbeda—sebuah kegelisahan yang merayap perlahan di udara.Dia berdiri di depan sebuah kedai kecil yang berderit setiap kali pintunya terbuka. Di tempat ini, dia berharap bisa mendapatkan informasi awal. Kristin benar, menemukan jejak Assassin War tidak akan mudah, terutama bagi seseorang seperti dirinya yang belum mengenal seluk-beluk dunia bawah tanah.Rendy memasuki kedai dengan langkah hati-hati. Bau alkohol, asap tembakau, dan makanan basi menyerang indra penciumannya. Ruangan itu remang-remang, dengan meja-meja penuh orang-orang yang berbicara dengan suara rendah, seolah setiap percakapan adala
Dia tahu ini bisa jadi jebakan, tetapi ini adalah satu-satunya petunjuk yang dia miliki. Dengan napas dalam, Rendy memutuskan untuk melanjutkan. Langkah kakinya membawa dia semakin dalam ke dunia Assassin War, tanpa tahu apa yang menantinya di ujung jalan.Kabut pagi mulai turun saat Rendy tiba di Jembatan Merah. Tempat itu sepi, hanya suara air yang mengalir di bawahnya. Namun, dia tahu seseorang sedang mengawasinya. Jembatan Merah terletak tidak jauh dari Distrik Hitam yang merupakan wilayah terlarang bagi orang biasa karena udara di sekitar Jembatan Merah diduga beracun bagi orang biasa.Tiba-tiba, bayangan melesat keluar dari kegelapan. Rendy menghindar dengan cepat, tapi sebuah pisau kecil nyaris menyayat bahunya. Seorang pria berpakaian hitam muncul, matanya dingin seperti es."Jadi, kau dikirim untuk menghentikanku," kata pria itu dengan nada mengejek. "Siapa yang memerintahmu, bocah?"Rendy meraih pedangnya, memasang kuda-kuda. "Aku tidak tahu siapa kau, tapi aku tidak akan mu
Dengan cepat, dia melihat seorang pria yang baru saja keluar dari klub, jelas mabuk tetapi berpakaian mahal. Saat pria itu tersandung dan berhenti di gang kecil, Rendy mendekat."Permisi," Rendy memulai, nadanya sopan tapi tegas. "Saya butuh bantuan Anda untuk masuk ke Klub Infinity."Pria itu terkekeh, matanya samar-samar fokus pada Rendy. "Kau pikir mereka akan biarkan orang biasa sepertimu masuk? Infinity hanya untuk mereka yang punya... nama besar."Rendy tidak membuang waktu. Dia mengulurkan selembar uang yang cukup untuk membuat pria itu diam dan menyerahkan kartu aksesnya. "Ini cukup untuk 'meminjam' identitas Anda, bukan?"Pria itu memandang uang itu sebentar sebelum tersenyum lebar. "Kau pintar. Ambil saja, teman."Rendy masuk melalui pintu dengan kepala tegak, berbaur dengan kerumunan elite yang menikmati malam mereka di lantai dansa yang gemerlap. Musik elektronik menggema di seluruh ruangan, dan lampu warna-warni memantul dari dinding kaca. Namun, perhatian Rendy tidak ter
Rendy tiba di Pelabuhan Perang saat bulan tergantung rendah di langit, memantulkan cahayanya di atas air laut yang tenang. Tempat itu penuh dengan aktivitas, meski suasananya berbeda dari hiruk-pikuk kota. Para pekerja bergerak cepat, membongkar peti-peti kargo dengan tulisan yang tidak dikenalnya. Di sudut-sudut gelap pelabuhan, bayangan-bayangan bergerak diam, mengawasi, berbicara dalam bisikan yang hanya dipahami oleh mereka.Dia mengenakan jaket hitam sederhana untuk menyamarkan dirinya. Tangannya masih mengepal amplop yang diperolehnya dari Klub Infinity. Pesan di dalamnya hanya mencantumkan satu lokasi—sebuah dermaga kosong yang jauh dari pusat pelabuhan.Ketika dia mendekati dermaga itu, suasana berubah. Tidak ada suara alat berat, tidak ada pekerja. Hanya deburan ombak dan suara langkah kakinya di atas kayu yang lapuk.Sosok pertama muncul dari bayangan, seorang pria tinggi dengan wajah setengah tertutup masker perak. Pria itu berbicara dengan nada rendah, suaranya penuh otori
Rendy berdiri di tengah hiruk-pikuk Kota Buitenzorg yang tak pernah tidur. Jalanan penuh dengan pedagang kaki lima, kendaraan yang berdesakan, dan musik jalanan yang bercampur dengan suara klakson kendaraan. Namun, pikirannya terus mengulang kata-kata pria bermasker tadi: Zhang Wei dan Lin Yue.“Orangtuaku pendiri Assassin War?” gumam Rendy, setengah tidak percaya. “Aku bermarga Zhang? Lalu darimana aku mendapatkan marga Wang ini? Semua masih menjadi misteri ... aku bahkan tidak ingat sama sekali tentang orangtua angkatku yang membesarkanku, atau aku sama sekali tidak memiliki orangtua asuh?”Pikirannya masih bergejolak saat dia melangkah menuju tempat penginapan sederhana di sudut kota. Matahari telah tenggelam, dan malam perlahan menutupi kota. Namun, suasana tidak menenangkan. Kabut tipis mulai melingkupi jalanan, dan Rendy merasa dia sedang diawasi.Saat dia masuk ke lorong penginapan, seorang pemuda berseragam pelayan menghampirinya. “Tuan Wang, Anda menerima pesan,” katanya samb
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata