Dia tahu ini bisa jadi jebakan, tetapi ini adalah satu-satunya petunjuk yang dia miliki. Dengan napas dalam, Rendy memutuskan untuk melanjutkan. Langkah kakinya membawa dia semakin dalam ke dunia Assassin War, tanpa tahu apa yang menantinya di ujung jalan.Kabut pagi mulai turun saat Rendy tiba di Jembatan Merah. Tempat itu sepi, hanya suara air yang mengalir di bawahnya. Namun, dia tahu seseorang sedang mengawasinya. Jembatan Merah terletak tidak jauh dari Distrik Hitam yang merupakan wilayah terlarang bagi orang biasa karena udara di sekitar Jembatan Merah diduga beracun bagi orang biasa.Tiba-tiba, bayangan melesat keluar dari kegelapan. Rendy menghindar dengan cepat, tapi sebuah pisau kecil nyaris menyayat bahunya. Seorang pria berpakaian hitam muncul, matanya dingin seperti es."Jadi, kau dikirim untuk menghentikanku," kata pria itu dengan nada mengejek. "Siapa yang memerintahmu, bocah?"Rendy meraih pedangnya, memasang kuda-kuda. "Aku tidak tahu siapa kau, tapi aku tidak akan mu
Dengan cepat, dia melihat seorang pria yang baru saja keluar dari klub, jelas mabuk tetapi berpakaian mahal. Saat pria itu tersandung dan berhenti di gang kecil, Rendy mendekat."Permisi," Rendy memulai, nadanya sopan tapi tegas. "Saya butuh bantuan Anda untuk masuk ke Klub Infinity."Pria itu terkekeh, matanya samar-samar fokus pada Rendy. "Kau pikir mereka akan biarkan orang biasa sepertimu masuk? Infinity hanya untuk mereka yang punya... nama besar."Rendy tidak membuang waktu. Dia mengulurkan selembar uang yang cukup untuk membuat pria itu diam dan menyerahkan kartu aksesnya. "Ini cukup untuk 'meminjam' identitas Anda, bukan?"Pria itu memandang uang itu sebentar sebelum tersenyum lebar. "Kau pintar. Ambil saja, teman."Rendy masuk melalui pintu dengan kepala tegak, berbaur dengan kerumunan elite yang menikmati malam mereka di lantai dansa yang gemerlap. Musik elektronik menggema di seluruh ruangan, dan lampu warna-warni memantul dari dinding kaca. Namun, perhatian Rendy tidak ter
Rendy tiba di Pelabuhan Perang saat bulan tergantung rendah di langit, memantulkan cahayanya di atas air laut yang tenang. Tempat itu penuh dengan aktivitas, meski suasananya berbeda dari hiruk-pikuk kota. Para pekerja bergerak cepat, membongkar peti-peti kargo dengan tulisan yang tidak dikenalnya. Di sudut-sudut gelap pelabuhan, bayangan-bayangan bergerak diam, mengawasi, berbicara dalam bisikan yang hanya dipahami oleh mereka.Dia mengenakan jaket hitam sederhana untuk menyamarkan dirinya. Tangannya masih mengepal amplop yang diperolehnya dari Klub Infinity. Pesan di dalamnya hanya mencantumkan satu lokasi—sebuah dermaga kosong yang jauh dari pusat pelabuhan.Ketika dia mendekati dermaga itu, suasana berubah. Tidak ada suara alat berat, tidak ada pekerja. Hanya deburan ombak dan suara langkah kakinya di atas kayu yang lapuk.Sosok pertama muncul dari bayangan, seorang pria tinggi dengan wajah setengah tertutup masker perak. Pria itu berbicara dengan nada rendah, suaranya penuh otori
Rendy berdiri di tengah hiruk-pikuk Kota Buitenzorg yang tak pernah tidur. Jalanan penuh dengan pedagang kaki lima, kendaraan yang berdesakan, dan musik jalanan yang bercampur dengan suara klakson kendaraan. Namun, pikirannya terus mengulang kata-kata pria bermasker tadi: Zhang Wei dan Lin Yue.“Orangtuaku pendiri Assassin War?” gumam Rendy, setengah tidak percaya. “Aku bermarga Zhang? Lalu darimana aku mendapatkan marga Wang ini? Semua masih menjadi misteri ... aku bahkan tidak ingat sama sekali tentang orangtua angkatku yang membesarkanku, atau aku sama sekali tidak memiliki orangtua asuh?”Pikirannya masih bergejolak saat dia melangkah menuju tempat penginapan sederhana di sudut kota. Matahari telah tenggelam, dan malam perlahan menutupi kota. Namun, suasana tidak menenangkan. Kabut tipis mulai melingkupi jalanan, dan Rendy merasa dia sedang diawasi.Saat dia masuk ke lorong penginapan, seorang pemuda berseragam pelayan menghampirinya. “Tuan Wang, Anda menerima pesan,” katanya samb
Rendy berdiri di depan toko roti kecil dengan papan kayu tua yang menggantung di atas pintu bertuliskan ‘Toko Kue & Roti Lemper Ayam Pak Tua.’ Aroma menggiurkan dari kue ketan bercampur wangi rempah-rempah gurih memenuhi udara, mengingatkan Rendy pada masa lalu. Inilah tempat dia pernah ditolong oleh seorang pria tua misterius ketika hampir kehilangan nyawanya dalam pertempuran brutal dalam organisasi Assassin War.Langkahnya ragu saat ia mendorong pintu kayu itu. Bel di atas pintu berdenting lembut, dan ruangan kecil itu menyambutnya dengan kehangatan. Rak-rak kayu berisi aneka roti dan kue, sementara di sudut meja kayu panjang, seorang pria tua dengan rambut putih duduk sambil membaca buku tebal, cangkir teh mengepul di sampingnya.“Tuan?” suara Rendy memecah keheningan. Ia tidak yakin kalau Pak Tua ini mengenaalinya karena ia terdampar di masa jauh sebelum ia mengenal Jenius Alkemis ini, namun jawaban dari kakek ini cukup mengejutkan dirinya.Pria itu menoleh, wajah keriputnya dihi
Udara dingin menggigit kulit Rendy saat ia mendekati kaki Gunung Kabut Es di Negara Halimun. Pepohonan hijau rimbun perlahan berubah menjadi pemandangan yang suram dan beku. Kabut tebal menyelimuti lereng, seolah menghalangi siapa pun untuk melangkah lebih jauh.“Ini tempatnya,” gumam Rendy, mengenang ucapan Pak Tua. ‘Gunung ini tidak hanya menahan rahasia, tapi juga tantangan yang akan menentukan apakah kau pantas mengetahuinya.’Langkah Rendy berhenti di depan papan kayu tua dengan tulisan yang nyaris tak terbaca: 'Hanya mereka yang berani kehilangan segalanya yang akan menemukan kebenaran.'Dia menghela napas. “Tantangan, ya?”Di antara celah batu yang ditutupi es, Rendy menemukan sebuah lorong sempit yang menuju ke dalam gunung. Lorong itu gelap dan dingin, dindingnya terasa lembap saat ia menyentuhnya. Setiap langkah terasa menggema, membuat suasana semakin mencekam.Tiba-tiba, dari kegelapan terdengar suara gemuruh kecil, seperti sesuatu yang besar sedang bergerak. Rendy merapat
Kabut tebal menggulung sekeliling Rendy, menyelubungi medan pertarungan seperti tirai tak berujung. Di hadapannya, naga penjaga dengan sisik perak berkilauan memandang tajam. Nafasnya menghembuskan hawa dingin yang mampu membekukan udara.Rendy berdiri tegak, tangannya menggenggam pedang, tapi kini ia tahu bahwa senjata itu hanyalah alat pendukung. Pertarungan ini bukan soal kekuatan fisik saja, melainkan tekad, kemampuan, dan pengendalian energi dalam yang telah ia latih hingga ke tingkat Supreme Master.Naga itu meraung, mengguncang tanah di bawah kaki Rendy. Suaranya menggema, menciptakan riak-riak energi yang memecahkan es di sekitar. “Buktikan kau layak, pewaris naga!”Rendy memejamkan mata, menarik napas panjang untuk memusatkan tenaga dalam sempurnanya. Kabut dingin mulai berputar di sekeliling tubuhnya, tertarik oleh energi yang ia pancarkan.Tiba-tiba, tubuhnya melesat maju dengan kecepatan luar biasa, menghilang dalam sekejap dari pandangan naga penjaga. Teknik “Bayangan Pet
Angin dingin Gunung Kabut Es menyambut langkah terakhir Rendy saat ia menuruni lereng curam. Perasaan campur aduk memenuhi pikirannya: kekuatan baru yang ia rasakan, rahasia orang tuanya yang mulai terkuak, dan tantangan besar yang menunggunya di Kota Buitenzorg. Namun, yang paling membakar di dalam dirinya adalah keinginan untuk menghancurkan Assassin War dan The Shadow, dua organisasi yang kini menjadi kunci masa lalunya.Setelah perjalanan panjang melalui hutan dan lembah, Rendy tiba kembali di Kota Buitenzorg, pusat keramaian Negeri Khatulistiwa selain Kartanesia. Kota itu penuh dengan gedung-gedung modern yang berdiri di antara pasar tradisional, gang-gang sempit, dan klub-klub malam yang ramai. Namun, di balik gemerlapnya, ia tahu bahaya selalu mengintai.Langkah pertama Rendy membawanya kembali ke Klub Infinity, tempat pertama ia merasakan keberadaan The Shadow. Kali ini, ia datang dengan persiapan lebih matang. Kekuatan yang ia peroleh dari Gunung Kabut Es membuatnya percaya d
Clara menatap tajam ke arah Rendy, matanya menyala dengan amarah yang tak tertahankan. "Jangan kau kira tindakanmu ini akan mengubah kebencianku padamu!" suaranya dingin, nyaris menggigit, tanpa sedikit pun nada terima kasih.Rendy menghela napas panjang, mencoba memahami kekerasan hati Clara. Wajahnya dipenuhi kebingungan, tetapi suaranya tetap tenang. "Aku terus mencarimu, Clara! Buat apa aku membunuhmu? Apa untungnya bagiku?" katanya, menatapnya lekat-lekat, mencari celah di balik tatapan penuh kebencian itu.Clara menyilangkan tangan di dadanya, dagunya sedikit terangkat, menegaskan keangkuhannya. "Aku tidak percaya padamu! Aku datang untuk memperingatimu. Berhenti mencari Kekuatan Tertinggi, atau kami akan menghancurkanmu!" suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena tekad yang membaja.Rendy mengernyit. "Kekuatan Tertinggi? Apakah organisasi itu yang membuatmu membenci aku?" tanyanya, mencoba menelisik lebih dalam.Clara tak menjawab. Dengan santai, ia melangkah ke b
Rendy menatap tubuh wanita yang berdiri di tengah kekacauan Klub Red Lotus. Gaun merahnya berkibar pelan, seolah ikut menari bersama cahaya lampu temaram yang berpendar di langit-langit. Aroma alkohol, asap rokok, dan keringat bercampur menjadi satu dalam udara yang berat. Mata Rendy menyipit, mengamati siluet wanita itu."Kenapa aku merasa mengenalnya?" pikirnya, langkahnya perlahan mendekat."Nona, ada masalah apa sampai kamu mengacau di Klub Red Lotus ini?" tanyanya dengan suara tenang namun penuh kewaspadaan.Plok! Plok! Plok!Tepukan tangan menggema, menggantikan hiruk-pikuk yang sempat mereda. Wanita bergaun merah itu tetap membelakanginya, tubuhnya tegak, aura misterius menguar dari setiap gerakannya."Apa kita perlu memanggil bantuan, Tuan Muda?" suara manager klub terdengar penuh kehati-hatian."Tidak perlu! Aku bisa mengatasinya sendiri!" Rendy menjawab, tetap melangkah maju.Sebuah tawa kecil menggema, renyah namun menusuk."Hihihi ... selamat datang, Jendral Wang!"Suara i
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan di pintu menggema di dalam ruangan, menginterupsi atmosfer hangat yang tercipta antara Rendy dan Jessy. Rendy yang duduk di sofa menoleh dengan malas, sementara Jessy menghela napas panjang, kesal karena momennya terganggu."Siapa?" tanya Jessy, suaranya tajam, penuh ketidaksabaran.Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah pucat seorang pria berseragam hitam. Ia adalah manager klub, tampak gelisah, peluh mulai bercucuran di pelipisnya."Gawat, Chief! Ada sedikit masalah di Klub!" katanya dengan suara bergetar. Matanya sekilas melirik ke arah Rendy, lalu cepat-cepat menunduk saat melihat ekspresi tajam pria yang dikenal sebagai Naga Perang—sosok legendaris di dunia gelap Khatulistiwa.Jessy melipat tangan di dadanya, wajahnya penuh kejengkelan. "Masalah kecil saja tidak bisa kamu tangani! Bagaimana kamu bisa mempertahankan jabatanmu?"Seakan darahnya terkuras, wajah manager itu semakin pucat. Ia menelan ludah, tidak berani menatap Jessy."Apa yang terjad
Dalam keheningan yang hanya diisi suara dengungan komputer, Jessy menatap layar dengan penuh konsentrasi. Cahaya biru dari monitor memantul di wajahnya yang tegang, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang tersembunyi di balik sorot matanya yang tajam. Jari-jarinya menari di atas keyboard, sesekali berhenti untuk meneliti setiap baris kode dengan seksama. Rendy berdiri di belakangnya, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik kencang, matanya tak berkedip menatap layar holografik yang terus berubah di hadapan mereka."Aku menemukannya," bisik Jessy, suaranya bergetar oleh ketegangan yang nyaris tak tertahankan. "Ada lokasi yang tersembunyi dalam sistem mereka... Ini bukan sekadar markas biasa, Ketua. Ini pusat dari segalanya."Rendy mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ada api yang menyala di matanya, kemarahan yang selama ini ia pendam akhirnya menemukan bentuknya. "Di situlah ibuku disekap?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.Jessy menoleh padanya, menatap dalam-dal
Di balik kerlip lampu dan gemerlap modernitas Red Lotus Club and Resort, Rendy melangkah dengan penuh ketegasan, namun di balik mata dinginnya tersimpan segudang kenangan. Di tengah kekacauan hidupnya—konflik dengan Cindy dan keputusannya untuk mencari kebenaran tentang ibunya—hanya satu hal yang selalu ia rindukan yaitu kehadiran Jessy Liu.Jessy, wanita yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, kini duduk di sebuah ruangan rahasia di balik dinding resort yang mewah. Di sana, di antara deretan monitor dan kode-kode digital yang menari, ia mungkin bisa menyusun petunjuk-petunjuk yang akan membongkar rahasia Kekuatan Tertinggi. Setiap detik tanpa Rendy terasa begitu lama baginya. Rindu yang selama ini tersembunyi di balik ketenangan profesional kini terpancar jelas saat ia melihat pintu terbuka perlahan."Ketua," panggilnya dengan nada lembut penuh harap, suaranya seakan melunakkan segala kegamangan. Saat Rendy melangkah mendekat, hatinya sejenak luluh oleh kehadiran wanita yang ta
Rendy tidak lagi menghiraukan Vera Huang. Wanita itu baginya bukan lagi seorang mertua, melainkan hanya semut yang bisa ia injak kapan saja jika ia mau. Matanya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya dipenuhi kemarahan yang mendidih. Hatinya telah beku. Jika Cindy lebih memilih ibunya, maka ia akan pergi—mereka akan bercerai. Sesederhana itu."Masih ada hal yang lebih penting daripada mengurusi seorang mertua yang tidak berarti!" gumamnya, suara rendahnya nyaris seperti geraman. "Aku harus mencari tahu di mana ibuku yang ditahan oleh Kekuatan Tertinggi."Ia melangkah menuju gudang garasi, membuka pintu dengan sedikit tenaga. Derit engsel yang berkarat memenuhi udara, menyambutnya dengan suasana yang muram. Di dalam, skuter bututnya masih berdiri dengan setia, lapisan debu tipis menyelimutinya. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin tua itu, suara bisingnya langsung menggema di seantero garasi.Baru saja ia hendak memutar gas, suara langkah kaki yang terburu-buru menghentikannya."Ren...!"
Vera menggertakkan giginya, rahangnya mengeras sementara napasnya memburu. Matanya menyala penuh kebencian, seperti bara api yang siap melalap habis apa pun di hadapannya. Dengan suara yang lebih tajam dari pisau belati, ia berdesis, "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi! Huang Corporation tidak akan runtuh hanya karena seorang pria yang dulu kupandang sebelah mata! Kau bukan Naga Perang... Semua ini hanya kebetulan belaka."Rendy tetap berdiri dengan tenang, sikapnya tegap bagai gunung yang tak tergoyahkan oleh badai. Sorot matanya dingin, penuh ketegasan yang tak terbantahkan. "Sudah kubilang, Vera, ini baru permulaan. Kau pikir aku akan berhenti di sini? Tidak. Aku akan memastikan kau merasakan kehancuran yang lebih menyakitkan daripada sekadar kehilangan investasi. Kau telah mempermainkan hidupku, dan sekarang, aku yang akan menentukan nasibmu."Wajahnya yang dulu dikenal lemah lembut kini menampakkan ketegasan yang mengerikan. Rendy bukan lagi pria yang bisa diabaikan begitu saj
Di tengah ruangan yang remang, bayangan senja menari di dinding-dinding mewah, Vera mengeluarkan dengusan penuh ejekan. Matanya yang tajam dan dingin menembus kegelapan, seolah memancarkan bara amarah. Dengan suara yang menyeruak, ia mencaci,"Menolak? Hah! Kamu pikir dirimu siapa? Hanya seorang pecundang yang bahkan tidak mampu membeli dasi layak, berani menantangku!"Rendy, berdiri tegap bagaikan patung besi di tengah badai, menatap balik tanpa setitik ragu. Tatapannya yang tajam dan dingin menantang, seolah berkata bahwa ia telah lelah menjadi korban hinaan. Suaranya rendah namun menggema dengan kepastian, "Aku sudah muak dipandang rendah. Jika aku mengaku sebagai Naga Perang, maka aku memang Naga Perang! Dan jika kau memaksaku menceraikan Cindy demi keuntunganmu sendiri, kau akan merasakan penyesalan yang meendalam!"Rendy sudah habis kesabaran dengan sikap arogan Vera yang selalu menghinanya.Tawa sinis Vera pecah, melayang ke udara seperti asap pahit, "Oh, jadi sekarang kau meng
HA-HA-HA ...!!!Tawa itu meledak di udara, menggetarkan ruangan dengan gaungnya yang menusuk telinga. Vera Huang menepuk-nepuk pahanya, seolah ucapan yang baru didengarnya adalah lelucon paling konyol yang pernah ada."Ha-ha-ha! Astaga, Rendy! Aku tahu kamu ini miskin dan tidak berguna, tapi aku sungguh tidak menyangka kamu juga pintar membual!" katanya dengan nada mengejek, matanya menyipit penuh penghinaan.Rendy mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan penuh amarah. "Aku tidak berbohong! Aku memang Naga Perang yang akan menarik seluruh investasi Wang Industries dari Huang Corporation! Aku sudah muak hidup seperti ini, tanpa kejelasan dan tanpa harga diri!" suaranya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena tekad yang sudah tak bisa dibendung lagi"Mentang-mentang nama margamu sama dengan nama perusahaan Grade A, terus kamu klaim kalau itu perusahaanmu? Hah! Sungguh lucu dan tak masuk akal!" sind