Rendy menatap langit yang mulai berubah warna, kini beralih dari biru cerah ke gradasi ungu kehitaman, seolah dunia sekitar ikut berubah mengikuti tantangan yang telah ia lewati. Rasanya, meski kekuatan Kristal Kehidupan Surgawi telah memberinya kemampuan luar biasa, ia masih merasakan berat di hatinya, seolah ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya siap untuk menerima perjalanan ini. Keringat dingin masih menetes di dahinya, meski api yang mengelilinginya telah padam.Pemandu Pertama tetap diam, mengamati Rendy dengan tatapan penuh arti. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi, tetapi matanya yang tajam seolah menilai setiap detik yang berlalu. Ia tahu bahwa tantangan selanjutnya akan lebih menguji lagi.“Tantangan berikutnya akan menguji keberanianmu,” kata Pemandu Pertama akhirnya, suaranya tenang namun penuh bobot. “Bersiaplah, karena perjalananmu menuju puncak tidak akan mudah. Kali ini, kau akan menghadapi elemen yang lebih sulit dipahami. Elemen yang bukan hanya menguji kekua
Rendy berdiri di sebuah dataran tinggi yang dikelilingi langit tak berujung. Awan-awan perak menggumpal di bawah kakinya, membuatnya seolah berada di atas dunia. Kristal Kehidupan Surgawi di tubuhnya berdenyut lembut, memancarkan kehangatan yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Pelatih Pertama telah meninggalkannya di sini, mengatakan bahwa ini adalah ujian terakhir di Falling Sky sebelum ia layak kembali ke Khatulistiwa."Di sini, kau akan menghadapi inti dari dirimu sendiri," suara Pemandu Pertama terngiang dalam ingatannya. "Tidak ada arahan, tidak ada bantuan. Kau hanya bisa mengandalkan dirimu."Saat itu, udara di sekitarnya berubah. Angin dingin berhembus, membekukan tulang dan menciptakan riak-riak kecil di awan di bawahnya. Dari balik kabut tebal, sosok-sosok mulai muncul. Mereka tidak jelas, hanya bayangan buram yang bergerak perlahan. Tetapi semakin mereka mendekat, Rendy dapat merasakan kehadiran mereka yang menghantui.“Siapa kalian?” tanya Rendy, bersiap dalam posisi bertaha
Dentuman tank menggetarkan udara, sementara ledakan granat mencabik-cabik ketenangan malam yang memerah oleh nyala api. Di tengah kegaduhan itu, suara melengking menerobos, menampar telinga Rendy yang setengah tersadar.“RENDY!”Bahunya terguncang kasar. Jari-jari berlapis debu dan keringat menekan tubuhnya. Di hadapannya, seorang prajurit muda dengan seragam penuh noda darah dan lumpur, menggenggam bayonet erat seperti hidupnya bergantung pada senjata itu."Kapten, akhirnya sadar juga!" seru prajurit itu, matanya membelalak penuh cemas."Clara?" gumam Rendy, pandangannya masih kabur tapi ia dengan jelas mengenali suara yang terus diingatnya sampai sekarang, pikirannya melayang di antara realitas dan kebingungan."Maaf kalau terpaksa memanggil Kapten keras-keras! Kita diserang habis-habisan, dan Kapten tidak merespons!" Clara menegakkan tubuh, suaranya meninggi untuk mengatasi gemuruh medan perang. "Apa Kapten punya strategi bertahan? Kita kehabisan waktu!"Rendy menggeleng pelan, men
Hutan di depan terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya derit dedaunan dan angin dingin yang menyapu ranting. Rendy merasakan punggungnya berkeringat, meski udara menusuk dingin. Langkahnya terhenti ketika ia melihat bayangan samar di kejauhan—sesosok pria tua dengan jubah kelabu, berdiri tak bergerak di bawah pohon besar.“Siapa kau?” Rendy berseru, tangan kanannya meraih pistol kecil di pinggang.Pria itu mengangkat kepalanya perlahan, wajahnya samar oleh bayangan daun. “Kapten Rendy Wang. Kau telah melintasi waktu, tapi bukan kehendakmu yang membawamu ke sini.”Jantung Rendy berdetak keras. “Apa maksudmu? Jelaskan!”Pria tua itu tersenyum tipis, suaranya berat dan penuh misteri. “Masa depanmu dan masa lalu ini terikat. Kau di sini karena ada sesuatu yang harus kau ubah… atau sesuatu yang harus kau lawan agar tidak menghantuimu di masa depan”“Kau siapa sebenarnya?”“Aku adalah penjaga garis waktu ini.” Pria itu melangkah maju, suaranya berubah menjadi desis yang mengerikan. “Sed
Rendy Wang berdiri di tepi sungai kecil yang berkilauan di bawah sinar bulan, mencoba mengatur napasnya. Tubuhnya terasa berat, seolah semua energi terkuras dari pertarungan sebelumnya. Namun, pikirannya tidak pernah berhenti bekerja. Potongan-potongan kenangan mulai bermunculan, meski masih kabur seperti bayangan yang memantul di air."Perang melawan Negeri Cakrawala... kenapa aku tak mengingat apa-apa?" pikirnya. Ia mengepalkan tangan, merasakan denyut tenaga dalam yang sempurna di tubuhnya. Namun, sesuatu terasa kurang. Ia sekarang ini bukanlah kultivator. Ia tak memiliki energi qi yang mematikan seperti yang dimilikinya di masa depan. Ia hanyalah praktisi bela diri yang memiliki tenaga dalam yang cukup kuat.Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Rendy segera meraih bayonetnya, bersiap menghadapi ancaman. Namun, dari balik pepohonan, muncul seorang wanita dengan baju perang penuh tanda kehormatan. Sorot matanya tajam, seperti seorang yang terbiasa memimpin di medan perang.“Rendy
Langit Kota Buitenzorg diselimuti kabut tipis saat Rendy tiba. Jalanan berbatu yang basah oleh sisa hujan malam memantulkan cahaya dari lentera-lentera di sepanjang jalan. Kota itu sibuk seperti biasanya, dengan kerumunan pedagang, penjaga keamanan, dan orang-orang dari berbagai kalangan yang berbaur tanpa peduli satu sama lain. Namun, di balik keramaian itu, Rendy merasa ada sesuatu yang berbeda—sebuah kegelisahan yang merayap perlahan di udara.Dia berdiri di depan sebuah kedai kecil yang berderit setiap kali pintunya terbuka. Di tempat ini, dia berharap bisa mendapatkan informasi awal. Kristin benar, menemukan jejak Assassin War tidak akan mudah, terutama bagi seseorang seperti dirinya yang belum mengenal seluk-beluk dunia bawah tanah.Rendy memasuki kedai dengan langkah hati-hati. Bau alkohol, asap tembakau, dan makanan basi menyerang indra penciumannya. Ruangan itu remang-remang, dengan meja-meja penuh orang-orang yang berbicara dengan suara rendah, seolah setiap percakapan adala
Dia tahu ini bisa jadi jebakan, tetapi ini adalah satu-satunya petunjuk yang dia miliki. Dengan napas dalam, Rendy memutuskan untuk melanjutkan. Langkah kakinya membawa dia semakin dalam ke dunia Assassin War, tanpa tahu apa yang menantinya di ujung jalan.Kabut pagi mulai turun saat Rendy tiba di Jembatan Merah. Tempat itu sepi, hanya suara air yang mengalir di bawahnya. Namun, dia tahu seseorang sedang mengawasinya. Jembatan Merah terletak tidak jauh dari Distrik Hitam yang merupakan wilayah terlarang bagi orang biasa karena udara di sekitar Jembatan Merah diduga beracun bagi orang biasa.Tiba-tiba, bayangan melesat keluar dari kegelapan. Rendy menghindar dengan cepat, tapi sebuah pisau kecil nyaris menyayat bahunya. Seorang pria berpakaian hitam muncul, matanya dingin seperti es."Jadi, kau dikirim untuk menghentikanku," kata pria itu dengan nada mengejek. "Siapa yang memerintahmu, bocah?"Rendy meraih pedangnya, memasang kuda-kuda. "Aku tidak tahu siapa kau, tapi aku tidak akan mu
Dengan cepat, dia melihat seorang pria yang baru saja keluar dari klub, jelas mabuk tetapi berpakaian mahal. Saat pria itu tersandung dan berhenti di gang kecil, Rendy mendekat."Permisi," Rendy memulai, nadanya sopan tapi tegas. "Saya butuh bantuan Anda untuk masuk ke Klub Infinity."Pria itu terkekeh, matanya samar-samar fokus pada Rendy. "Kau pikir mereka akan biarkan orang biasa sepertimu masuk? Infinity hanya untuk mereka yang punya... nama besar."Rendy tidak membuang waktu. Dia mengulurkan selembar uang yang cukup untuk membuat pria itu diam dan menyerahkan kartu aksesnya. "Ini cukup untuk 'meminjam' identitas Anda, bukan?"Pria itu memandang uang itu sebentar sebelum tersenyum lebar. "Kau pintar. Ambil saja, teman."Rendy masuk melalui pintu dengan kepala tegak, berbaur dengan kerumunan elite yang menikmati malam mereka di lantai dansa yang gemerlap. Musik elektronik menggema di seluruh ruangan, dan lampu warna-warni memantul dari dinding kaca. Namun, perhatian Rendy tidak ter
Clara menatap tajam ke arah Rendy, matanya menyala dengan amarah yang tak tertahankan. "Jangan kau kira tindakanmu ini akan mengubah kebencianku padamu!" suaranya dingin, nyaris menggigit, tanpa sedikit pun nada terima kasih.Rendy menghela napas panjang, mencoba memahami kekerasan hati Clara. Wajahnya dipenuhi kebingungan, tetapi suaranya tetap tenang. "Aku terus mencarimu, Clara! Buat apa aku membunuhmu? Apa untungnya bagiku?" katanya, menatapnya lekat-lekat, mencari celah di balik tatapan penuh kebencian itu.Clara menyilangkan tangan di dadanya, dagunya sedikit terangkat, menegaskan keangkuhannya. "Aku tidak percaya padamu! Aku datang untuk memperingatimu. Berhenti mencari Kekuatan Tertinggi, atau kami akan menghancurkanmu!" suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena tekad yang membaja.Rendy mengernyit. "Kekuatan Tertinggi? Apakah organisasi itu yang membuatmu membenci aku?" tanyanya, mencoba menelisik lebih dalam.Clara tak menjawab. Dengan santai, ia melangkah ke b
Rendy menatap tubuh wanita yang berdiri di tengah kekacauan Klub Red Lotus. Gaun merahnya berkibar pelan, seolah ikut menari bersama cahaya lampu temaram yang berpendar di langit-langit. Aroma alkohol, asap rokok, dan keringat bercampur menjadi satu dalam udara yang berat. Mata Rendy menyipit, mengamati siluet wanita itu."Kenapa aku merasa mengenalnya?" pikirnya, langkahnya perlahan mendekat."Nona, ada masalah apa sampai kamu mengacau di Klub Red Lotus ini?" tanyanya dengan suara tenang namun penuh kewaspadaan.Plok! Plok! Plok!Tepukan tangan menggema, menggantikan hiruk-pikuk yang sempat mereda. Wanita bergaun merah itu tetap membelakanginya, tubuhnya tegak, aura misterius menguar dari setiap gerakannya."Apa kita perlu memanggil bantuan, Tuan Muda?" suara manager klub terdengar penuh kehati-hatian."Tidak perlu! Aku bisa mengatasinya sendiri!" Rendy menjawab, tetap melangkah maju.Sebuah tawa kecil menggema, renyah namun menusuk."Hihihi ... selamat datang, Jendral Wang!"Suara i
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan di pintu menggema di dalam ruangan, menginterupsi atmosfer hangat yang tercipta antara Rendy dan Jessy. Rendy yang duduk di sofa menoleh dengan malas, sementara Jessy menghela napas panjang, kesal karena momennya terganggu."Siapa?" tanya Jessy, suaranya tajam, penuh ketidaksabaran.Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah pucat seorang pria berseragam hitam. Ia adalah manager klub, tampak gelisah, peluh mulai bercucuran di pelipisnya."Gawat, Chief! Ada sedikit masalah di Klub!" katanya dengan suara bergetar. Matanya sekilas melirik ke arah Rendy, lalu cepat-cepat menunduk saat melihat ekspresi tajam pria yang dikenal sebagai Naga Perang—sosok legendaris di dunia gelap Khatulistiwa.Jessy melipat tangan di dadanya, wajahnya penuh kejengkelan. "Masalah kecil saja tidak bisa kamu tangani! Bagaimana kamu bisa mempertahankan jabatanmu?"Seakan darahnya terkuras, wajah manager itu semakin pucat. Ia menelan ludah, tidak berani menatap Jessy."Apa yang terjad
Dalam keheningan yang hanya diisi suara dengungan komputer, Jessy menatap layar dengan penuh konsentrasi. Cahaya biru dari monitor memantul di wajahnya yang tegang, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang tersembunyi di balik sorot matanya yang tajam. Jari-jarinya menari di atas keyboard, sesekali berhenti untuk meneliti setiap baris kode dengan seksama. Rendy berdiri di belakangnya, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik kencang, matanya tak berkedip menatap layar holografik yang terus berubah di hadapan mereka."Aku menemukannya," bisik Jessy, suaranya bergetar oleh ketegangan yang nyaris tak tertahankan. "Ada lokasi yang tersembunyi dalam sistem mereka... Ini bukan sekadar markas biasa, Ketua. Ini pusat dari segalanya."Rendy mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ada api yang menyala di matanya, kemarahan yang selama ini ia pendam akhirnya menemukan bentuknya. "Di situlah ibuku disekap?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.Jessy menoleh padanya, menatap dalam-dal
Di balik kerlip lampu dan gemerlap modernitas Red Lotus Club and Resort, Rendy melangkah dengan penuh ketegasan, namun di balik mata dinginnya tersimpan segudang kenangan. Di tengah kekacauan hidupnya—konflik dengan Cindy dan keputusannya untuk mencari kebenaran tentang ibunya—hanya satu hal yang selalu ia rindukan yaitu kehadiran Jessy Liu.Jessy, wanita yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, kini duduk di sebuah ruangan rahasia di balik dinding resort yang mewah. Di sana, di antara deretan monitor dan kode-kode digital yang menari, ia mungkin bisa menyusun petunjuk-petunjuk yang akan membongkar rahasia Kekuatan Tertinggi. Setiap detik tanpa Rendy terasa begitu lama baginya. Rindu yang selama ini tersembunyi di balik ketenangan profesional kini terpancar jelas saat ia melihat pintu terbuka perlahan."Ketua," panggilnya dengan nada lembut penuh harap, suaranya seakan melunakkan segala kegamangan. Saat Rendy melangkah mendekat, hatinya sejenak luluh oleh kehadiran wanita yang ta
Rendy tidak lagi menghiraukan Vera Huang. Wanita itu baginya bukan lagi seorang mertua, melainkan hanya semut yang bisa ia injak kapan saja jika ia mau. Matanya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya dipenuhi kemarahan yang mendidih. Hatinya telah beku. Jika Cindy lebih memilih ibunya, maka ia akan pergi—mereka akan bercerai. Sesederhana itu."Masih ada hal yang lebih penting daripada mengurusi seorang mertua yang tidak berarti!" gumamnya, suara rendahnya nyaris seperti geraman. "Aku harus mencari tahu di mana ibuku yang ditahan oleh Kekuatan Tertinggi."Ia melangkah menuju gudang garasi, membuka pintu dengan sedikit tenaga. Derit engsel yang berkarat memenuhi udara, menyambutnya dengan suasana yang muram. Di dalam, skuter bututnya masih berdiri dengan setia, lapisan debu tipis menyelimutinya. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin tua itu, suara bisingnya langsung menggema di seantero garasi.Baru saja ia hendak memutar gas, suara langkah kaki yang terburu-buru menghentikannya."Ren...!"
Vera menggertakkan giginya, rahangnya mengeras sementara napasnya memburu. Matanya menyala penuh kebencian, seperti bara api yang siap melalap habis apa pun di hadapannya. Dengan suara yang lebih tajam dari pisau belati, ia berdesis, "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi! Huang Corporation tidak akan runtuh hanya karena seorang pria yang dulu kupandang sebelah mata! Kau bukan Naga Perang... Semua ini hanya kebetulan belaka."Rendy tetap berdiri dengan tenang, sikapnya tegap bagai gunung yang tak tergoyahkan oleh badai. Sorot matanya dingin, penuh ketegasan yang tak terbantahkan. "Sudah kubilang, Vera, ini baru permulaan. Kau pikir aku akan berhenti di sini? Tidak. Aku akan memastikan kau merasakan kehancuran yang lebih menyakitkan daripada sekadar kehilangan investasi. Kau telah mempermainkan hidupku, dan sekarang, aku yang akan menentukan nasibmu."Wajahnya yang dulu dikenal lemah lembut kini menampakkan ketegasan yang mengerikan. Rendy bukan lagi pria yang bisa diabaikan begitu saj
Di tengah ruangan yang remang, bayangan senja menari di dinding-dinding mewah, Vera mengeluarkan dengusan penuh ejekan. Matanya yang tajam dan dingin menembus kegelapan, seolah memancarkan bara amarah. Dengan suara yang menyeruak, ia mencaci,"Menolak? Hah! Kamu pikir dirimu siapa? Hanya seorang pecundang yang bahkan tidak mampu membeli dasi layak, berani menantangku!"Rendy, berdiri tegap bagaikan patung besi di tengah badai, menatap balik tanpa setitik ragu. Tatapannya yang tajam dan dingin menantang, seolah berkata bahwa ia telah lelah menjadi korban hinaan. Suaranya rendah namun menggema dengan kepastian, "Aku sudah muak dipandang rendah. Jika aku mengaku sebagai Naga Perang, maka aku memang Naga Perang! Dan jika kau memaksaku menceraikan Cindy demi keuntunganmu sendiri, kau akan merasakan penyesalan yang meendalam!"Rendy sudah habis kesabaran dengan sikap arogan Vera yang selalu menghinanya.Tawa sinis Vera pecah, melayang ke udara seperti asap pahit, "Oh, jadi sekarang kau meng
HA-HA-HA ...!!!Tawa itu meledak di udara, menggetarkan ruangan dengan gaungnya yang menusuk telinga. Vera Huang menepuk-nepuk pahanya, seolah ucapan yang baru didengarnya adalah lelucon paling konyol yang pernah ada."Ha-ha-ha! Astaga, Rendy! Aku tahu kamu ini miskin dan tidak berguna, tapi aku sungguh tidak menyangka kamu juga pintar membual!" katanya dengan nada mengejek, matanya menyipit penuh penghinaan.Rendy mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan penuh amarah. "Aku tidak berbohong! Aku memang Naga Perang yang akan menarik seluruh investasi Wang Industries dari Huang Corporation! Aku sudah muak hidup seperti ini, tanpa kejelasan dan tanpa harga diri!" suaranya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena tekad yang sudah tak bisa dibendung lagi"Mentang-mentang nama margamu sama dengan nama perusahaan Grade A, terus kamu klaim kalau itu perusahaanmu? Hah! Sungguh lucu dan tak masuk akal!" sind