Setelah beberapa minggu menunggu, Rendy akhirnya menerima pesan rahasia dari kontaknya bahwa The Infinity menginginkan pertemuan. Lokasinya dirahasiakan dan dijaga dengan ketat, namun Rendy menyadari ini adalah kesempatan untuk bernegosiasi atau, jika diperlukan, mengakhiri konflik ini untuk selamanya.Dengan persetujuan Sembilan Naga Sakti, Rendy memutuskan untuk menghadiri pertemuan ini. Dia membawa beberapa anggota Klan Naga Sakti, termasuk Naga Langit Ryu Ten dan Naga Hitam Mei Xun, untuk memastikan perlindungan maksimal.Ketika mereka tiba di tempat yang dirahasiakan, suasana tegang langsung terasa. Para petinggi The Infinity, berpakaian dalam jubah hitam dan merah tua, berdiri berjajar dengan wajah yang penuh rahasia dan ancaman. Di ujung ruangan yang gelap itu, sosok bertopeng yang diyakini sebagai The Eternal duduk di atas takhta, dikelilingi oleh aura misterius.The Eternal berbicara dengan nada dingin, “Rendy Wang… aku mengagumi keberanianmu. Tapi kau harus tahu, melawan kam
Beberapa hari setelah pertemuan terakhir dengan The Eternal, Kartanesia terasa seperti kota yang menahan napas, tenang namun penuh ketegangan. Rendy Wang dan Sembilan Naga Sakti tidak hanya memperkuat benteng fisik dan pertahanan magis, tetapi juga mengerahkan semua intelijen dan mata-mata mereka untuk memantau setiap pergerakan musuh.Di markas utama, Katrin Chow menatap peta holografis yang memperlihatkan pergerakan dan potensi titik masuk Pasukan Abyss. Dengan jaringan teknologi canggih dari Wang Industries, mereka berhasil melacak konvoi kecil yang diperkirakan membawa anggota-anggota The Infinity.Ryu Ten, dengan tenang namun penuh wibawa, berkata, “The Infinity akan datang dari segala arah. Mereka ingin kita lengah, tetapi kita memiliki kekuatan gabungan yang mereka remehkan.”Rendy mengangguk, memfokuskan pandangannya pada Naga Strategis Huo Ming. “Kita perlu strategi yang bisa memecah pasukan mereka. Serangan mereka harus dihadapi di luar perbatasan Kartanesia. Aku ingin sebag
Setelah pertempuran itu, ketenangan di Kartanesia hanyalah ilusi sementara. Di balik kemenangan atas Pasukan Abyss, ancaman besar dari The Infinity terus menghantui pikiran Rendy. Bagi Rendy Wang, kemenangan itu hanya memberi mereka waktu yang sedikit untuk merencanakan langkah berikutnya. Klan Sembilan Naga Sakti berkumpul kembali, dan mereka semua merasakan bahaya yang kian mendekat.Beberapa hari setelah pertempuran, Rendy menerima pesan rahasia dari salah satu informannya di luar negeri. Pesan itu berisi satu nama, sosok yang berbahaya dan menjadi sosok misterius di balik The Infinity: Yin Xi, Sang Shadow Hunter. Sosok ini digambarkan sebagai pemimpin bayangan dari organisasi tersebut, seorang yang memiliki ambisi besar untuk menguasai segala lini ekonomi dan kehidupan manusia. Kabarnya, Yin Xi adalah seorang strategis jenius dan pengguna teknik kultivasi kuno yang memungkinkan dia untuk memanipulasi pikiran orang lain.Rendy, yang tak ingin membuang waktu, memutuskan bahwa mereka
Setelah berhari-hari berjuang melawan ombak besar dan angin yang menerjang kapal mereka, Rendy, Katrin, dan anggota Sembilan Naga Sakti akhirnya tiba di Pulau Naga. Pulau itu tampak seperti tempat yang terlupakan oleh waktu, terbungkus dalam kabut putih tebal yang membuat langit seakan tak terlihat. Tanah yang dipijak terasa lembab, diselimuti oleh dedaunan basah dan akar pohon yang menghalangi jalan mereka. Hutan belantara yang mereka masuki dipenuhi dengan aroma lembap tanah dan kayu basah, menyatu dengan udara dingin yang meresap ke dalam tubuh mereka. “Waspadalah,” bisik Katrin, suaranya seakan teredam oleh kabut yang mengelilingi mereka. “Tempat ini... ada sesuatu yang aneh di sini.” Rendy memfokuskan pandangannya ke depan, mencoba melihat lebih jauh ke dalam hutan yang tampak seperti dunia lain. Suasana di sekitar mereka semakin terasa suram dan berat, suara gemericik air dari aliran sungai terdekat semakin samar, digantikan oleh suara bisikan halus yang terdengar seperti ka
Penjaga kedua, Mei Huan, Sang Pengendali Ilusi, menunggu mereka di lembah yang penuh kabut. Kabut di lembah itu tebal dan pekat, seolah-olah memiliki nyawa, bergerak melingkari Rendy dan kelompoknya seperti tirai hantu yang menyusup ke dalam pikiran. Rasa dingin merayap di kulit mereka, menusuk hingga ke tulang, tetapi itu bukan sekadar dingin biasa—melainkan dingin dari kebimbangan dan keraguan yang ditanamkan Mei Huan, Sang Pengendali Ilusi. Anggota kelompok saling memandang dengan waspada, mata mereka penuh rasa curiga dan ketakutan yang tumbuh seiring dengan kabut yang semakin padat.Di tengah kabut, Rendy mulai merasakan bayangan masa lalunya kembali menghantuinya. Ia melihat sosok dirinya yang lebih muda, seorang pemuda yang tenggelam dalam ketidakberdayaan dan rasa kecewa yang begitu mendalam. Kenangan akan kegagalannya dulu berkelebat di sekitarnya seperti bayangan-bayangan gelap yang siap melahapnya.“Untuk apa kau berusaha?” suara Mei Huan berbisik, lembut namun mematikan,
Penjaga terakhir, Wu Sheng, Sang Roh Tanpa Batas, menghadang mereka di puncak gunung. Di puncak gunung yang diselimuti awan gelap, Wu Sheng, Sang Roh Tanpa Batas, menanti mereka dalam wujud yang hampir tak nyata. Bayangannya tampak kabur, bergeser dari satu titik ke titik lain dengan kecepatan yang mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap langkahnya membuat udara bergetar, meninggalkan jejak samar yang langsung memudar seolah-olah dimensi itu sendiri tak mampu menahan kehadirannya.Mei Xun, si Naga Hitam, menatap tajam sosok tak kasatmata di depannya. Ia telah menghadapi makhluk-makhluk dimensi lain sebelumnya, tetapi Wu Sheng adalah yang terberat. Dengan gerakannya yang halus namun bertenaga, Mei Xun memasuki posisi bertarung, lalu mengaktifkan jurus “Mata Bayangan Langit.” Dalam sekejap, pandangannya menjadi tajam seperti elang, mampu melihat celah antara dimensi tempat Wu Sheng bersembunyi.Wu Sheng bergerak cepat, berpindah tempat dengan gerakan kabur seperti angin gelap. Namun M
Di puncak tertinggi Pulau Naga, mereka membuka Kitab Abadi, halaman-halamannya dipenuhi simbol-simbol kuno yang berpendar keemasan. Setiap kata terasa hidup, berdesis halus seakan menuntun mereka untuk memahami rahasia yang terkandung di dalamnya. Kitab itu mengungkap kelemahan terbesar The Infinity—Pilar Sembilan Bayangan, struktur sakral yang menyokong kekuatan utama organisasi tersebut.Dengan perasaan tegang, mereka menyadari bahwa menghancurkan satu dari sembilan pilar ini saja dapat meruntuhkan keseimbangan energi The Infinity, membuka jalan bagi mereka untuk melawan organisasi itu. Namun, Kitab Abadi juga memperingatkan bahwa tiap pilar dilindungi oleh prajurit yang kuat dan dikendalikan oleh energi kegelapan yang berasal langsung dari Yin Xi, pemimpin The Infinity.Tanpa ragu, Rendy, Katrin, dan Mei Xun bersiap untuk menghadapi tantangan itu, memasuki wilayah di mana Pilar Pertama dijaga. Di hadapan mereka, muncul seorang prajurit tinggi besar, tubuhnya dipenuhi urat-urat ener
Di Kartanesia, suasana semakin tegang seiring persiapan menghadapi The Infinity yang berlangsung cepat dan penuh intensitas. Kota ini bagaikan sebuah benteng yang sedang disiapkan untuk menghadapi serangan besar. Para anggota Klan Sembilan Naga Sakti bersama pasukan elit mereka tersebar di berbagai titik strategis, setiap sudut kota dipenuhi dengan pasukan, mata-mata, dan ahli strategi yang bersiap menghadapi ancaman dari pasukan The Immortality. Rendy Wang berdiri tegak di atas gedung pusat komando Wang Industries, wajahnya keras dan dipenuhi ketegangan. Angin malam yang dingin menerpa kulitnya, tetapi rasa cemas yang menggelayuti hatinya jauh lebih menonjol. Di tangannya, Kitab Abadi terbuka, memberikan petunjuk tentang keberadaan Pilar Sembilan Bayangan yang harus mereka hancurkan. Di sampingnya, Katrin Chow memandang jauh ke bawah, ke pusat kota yang gelap dan sepi, menyadari bahwa semua ini akan menentukan nasib mereka. "Kita tidak punya banyak waktu," kata Rendy dengan suara t
Rendy menarik napas dalam-dalam, udara dingin menusuk paru-parunya, sementara matanya yang tajam menyapu badai salju yang mengamuk di sekelilingnya. Setiap butir salju yang beterbangan seakan menceritakan ancaman, namun tekadnya tak tergoyahkan. Setelah berhasil menaklukkan prajurit es pertama yang menyerang dengan keberanian setara badai itu, ia melangkah ke dalam kegelapan beku Formasi Kutub Es Tujuh Langkah. Angin mengaum lebih liar, menyembunyikan jebakan mematikan di balik tirai putih yang terus berputar.Saat langkah pertamanya menuju formasi kedua, tanah di bawahnya tiba-tiba bergetar hebat, mengirimkan getaran menakutkan ke seluruh tubuhnya. Tanah itu runtuh, menciptakan celah besar seakan ingin menelannya hidup-hidup. Dengan refleks instan, Rendy melompat ke samping, namun matanya menangkap gerakan kilat ... dinding es raksasa melesat dari bawah dan atas, berusaha menjepitnya dalam pelukan maut."Sial!" teriak Rendy, suara yang tertiup angin seolah menyatu dengan rintihan bad
Angin menderu tanpa ampun, menerjang wajah Rendy dengan suhu yang menusuk, seakan ribuan jarum es menyusup ke dalam kulitnya. Di sekelilingnya, salju menari liar, berputar-putar membentuk pusaran putih yang seakan ingin menelan segala sesuatu yang berada di lintasan badai. Di tengah kekacauan itu, dua sosok prajurit es meluncur bak bayangan, melangkah tanpa jejak di atas permukaan salju yang telah membeku kaku.Rendy, yang tengah berlari menyusuri medan yang terselimuti badai, tiba-tiba mengayunkan tubuhnya ke samping. Tepat di saat itulah, sebuah pedang es berkilauan meluncur mendekat, hampir saja menyapu bahunya dengan kecepatan yang mematikan. Udara di sekitar pedang itu bergetar, menampakkan efek membekukan yang menyeramkan pada setiap hal yang disentuhnya."Dekat sekali!" seru Rendy dengan nada terkejut, namun ia tak sempat mengeluh. Dalam satu gerakan refleks, ia memutar badannya dan melayangkan tendangan ke arah bayang-bayang prajurit itu. Namun, tendangannya hanya menyentuh ke
Di balik tirai salju tebal yang menutupi setiap sudut Pegunungan Es Abadi, dunia terlihat seperti lukisan sunyi yang menyimpan keindahan dan kematian sekaligus. Namun, Rendy, dengan tatapan waspada dan langkah yang terukur, tahu bahwa di balik pesona dingin itu tersimpan jebakan mematikan yang dirancang oleh Keluarga Besar Bai. Setiap langkah yang diambilnya terasa bagai melangkah di atas kristal pecah; dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang, diiringi oleh ketidakpastian medan yang licin dan berbahaya. Angin kencang menyusup lewat celah-celah antara puncak gunung, mendesis seperti bisikan kematian. Butiran es kecil yang tersapu angin menghantam wajahnya, meninggalkan rasa perih yang membakar, sementara jubah hitamnya menari liar di tengah pusaran salju, kontras dengan hamparan putih yang tak berujung. Rendy menatap sekeliling dengan mata tajam, menyusuri setiap bayangan dan jejak samar yang tertutup salju. Tiba-tiba, ia berhenti. Di bawah langkahnya, ada sebuah bekas jejak yang
Rendy melangkah mantap ke utara, angin dingin menerpa wajahnya, membawa serta butiran salju yang berkilauan di bawah cahaya rembulan. Hembusan napasnya mengepul, seiring dengan tekad yang semakin menguat di dalam dadanya. Ia harus menemui Keluarga Besar Bai secara langsung. Tiga kultivator Bai yang ia biarkan hidup telah menyampaikan pesannya, tetapi ia ragu pesan itu cukup kuat untuk menghentikan mereka."Aku harus memastikan mereka tidak menggangguku saat berhadapan dengan Zhang Wen," gumamnya, kedua matanya menatap lurus ke depan, penuh determinasi.Dalam perjalanannya, Rendy menyadari satu hal: ia telah melewatkan kesempatan menanyakan keberadaan ayahnya kepada Keluarga Xie dan Zhao. Pertarungan sengit dengan mereka telah menyita seluruh perhatiannya, dan kini, hanya Keluarga Besar Bai yang mungkin memiliki jawaban.Pegunungan Es Abadi membentang di hadapannya, rumah bagi Keluarga Besar Bai. Sebuah perkampungan luas tersembunyi di balik lapisan pertahanan berlapis, dengan formasi
Rendy Wang berdiri tegak di antara puing-puing kediaman keluarga Zhao. Angin malam berdesir, membawa aroma debu dan darah yang masih hangat. Kedua pedangnya—Pedang Kabut Darah dan Pedang Penakluk Iblis—berkilauan tajam di bawah cahaya bulan. Di hadapannya, Zhao Tiangxin menatap tajam, jubah patriarknya berkibar ditiup energi qi yang bergetar di sekelilingnya."Naga Perang!" suara Zhao Tiangxin bergema seperti guntur. "Aku akan menunjukkan padamu mengapa aku disebut sebagai Patriark Zhao!"Tangannya terangkat tinggi, telapak tangannya bersinar emas. Dengan satu gerakan sigil tangan, ia menarik energi langit dan bumi. "Formasi Penghancur Langit!"Awan di atas mereka bergolak, berputar membentuk pusaran yang menyedot kekuatan dari sekelilingnya. Udara bergetar, dan dalam sekejap, ratusan tombak qi berwarna emas terbentuk di langit, melayang dengan ujungnya mengarah lurus ke tubuh Rendy.Rendy mengangkat satu alis. "Begitu? Kau pikir formasi ini bisa menghentikanku?"Dengan satu hentakan
Dengan kecepatan yang tak terbayangkan, Rendy melesat ke depan seperti kilatan petir yang menyambar langit. Pedang Penakluk Iblis di tangannya bergetar, memancarkan cahaya merah menyala yang menebarkan hawa kematian di sekelilingnya. Dalam satu tebasan, gelombang energi memancar deras, menggetarkan udara dan menciptakan pusaran angin yang menghantam para praktisi keluarga Zhao dengan kekuatan dahsyat."Kalian yang mencari kematian kalian sendiri! Aku telah memberi kalian kesempatan untuk hidup! Kini, kesempatan itu telah hilang!" teriak Rendy yang bergerak dengan sangat cepat sehingga tidak kelihatan oleh mata biasa.Wuuusssh!Clash!Jeritan kesakitan menggema saat beberapa dari mereka terpental ke belakang, menghantam dinding dengan keras hingga retakan besar terbentuk di sekitarnya. Sementara itu, yang lain bahkan tak sempat menghindar—hanya ada kilatan merah yang membelah tubuh mereka, meninggalkan sisa-sisa tubuh yang jatuh dengan suara berdebum ke tanah."Apa ini? Dasar iblis! Ti
Malam itu, kediaman Keluarga Besar Zhao dipenuhi ketegangan yang merayap di setiap sudut benteng megah mereka. Cahaya lentera berkelap-kelip, memantulkan bayangan tajam dari para kultivator dan praktisi bela diri yang berjaga. Mata mereka tajam, napas tertahan, tangan menggenggam erat senjata seolah bersiap menghadapi bahaya yang sewaktu-waktu bisa menerjang.Di tengah ruang utama yang dipenuhi aroma dupa, seorang pria tua duduk di singgasananya dengan tenang. Rambut dan janggut putihnya tergerai panjang, namun tubuhnya yang bercahaya menunjukkan bahwa usia bukanlah batasan bagi kekuatannya. Zhao Tiangxin, pemimpin Keluarga Besar Zhao, menatap tajam ke arah seorang pengintai yang baru saja kembali dari misi penyelidikan."Siapa yang cukup kejam menghancurkan Keluarga Besar Xie?" Suaranya berat, penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan.Kultivator pengintai itu menelan ludah sebelum menjawab, tubuhnya sedikit gemetar. "Lapor, Tuan Besar! Pembunuh Patriark Xie adalah seorang pemuda yang
Rendy Wang berdiri tegap, tubuhnya dikelilingi aura merah dan emas yang berkobar liar, seolah mencerminkan amarah yang membakar dalam dirinya. Luka di bahunya menghangat, darah menetes perlahan, tetapi tatapannya tetap dingin, penuh determinasi.Xie Wu Jie, terhuyung di atas tanah yang retak, mencengkeram dadanya yang kini tercabik oleh tebasan Pedang Penakluk Iblis. Napasnya berat, tetapi di balik wajahnya yang penuh luka, senyum tipis terukir. "Kau pikir ini sudah berakhir?" suaranya parau, tapi penuh kepastian.Tiba-tiba, udara di sekitar mereka bergetar hebat. Gelombang energi hitam membuncah dari tubuh Xie Wu Jie, menyelimuti langit malam yang semakin kelam. Bayangan-bayangan pekat menjulur dari tanah, berputar-putar seperti tentakel yang mencari mangsa."Roh Pembalasan... Bangkitlah!"Teriakan Xie Wu Jie menggema, dan dari balik bayangan, sesosok entitas raksasa mulai terbentuk. Wujudnya menyerupai iblis bertaring dengan mata merah menyala dan tanduk berliku. Udara menjadi semak
Langit malam membentang kelam, hanya dihiasi bulan pucat yang menggantung dingin di antara gumpalan awan gelap. Udara terasa berat, dipenuhi ketegangan yang nyaris tak tertahankan. Energi bertabrakan di udara, menggetarkan tanah dan membuat dedaunan berdesir liar seakan gemetar ketakutan. Aroma besi yang samar tercium, bercampur dengan hawa panas dari pertarungan yang akan segera meletus.Rendy Wang berdiri dengan kedua kakinya tertanam kokoh di tanah yang mulai retak akibat tekanan kekuatan mereka. Kedua tangannya menggenggam senjata masing-masing—Pedang Kabut Darah yang memancarkan aura merah pekat di tangan kiri, dan Pedang Penakluk Iblis yang berpendar keemasan di tangan kanan. Matanya menyala tajam, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan.Di hadapannya, Xie Wu Jie melangkah maju, auranya semakin pekat, seperti kabut hitam yang siap melahap segala yang mendekat. Ia memegang tombak hitam dengan ukiran naga yang melilit sepanjang gagangnya, sementara tangan satunya menggenggam tong