Saat helikopter yang membawa Rendy dan Renata mendarat dengan mulus di Pegunungan Andesia, Jessy menatap pemandangan gunung bersalju dengan mata penuh tekad. Dia mengangguk singkat ke arah Rendy sebelum berbalik, bersiap untuk menjalankan misinya yang jauh lebih berbahaya. Tidak ada waktu untuk bersantai. Informasi yang dia peroleh tentang Kitab Kultivasi tidak bisa dianggap remeh, dan lawan utamanya, Sheila, sudah satu langkah di depan.Begitu Jessy masuk kembali ke helikopter, dia bertukar pandang dengan Ketua Klan Naga Emas, Septian Long, yang duduk di sebelahnya, dan Ketua Merak Putih, Lilian Shang. Keduanya adalah sekutu tangguh, namun Jessy tahu bahwa mereka semua punya agenda masing-masing. Meski tujuan mereka sejalan untuk sementara waktu, kecurigaan tidak pernah sepenuhnya hilang.Helikopter meluncur di udara malam, menuju Kota Angker di Negeri Malam. Suasana di dalam kabin semakin berat seiring perjalanan mendekati titik krusial. Lilian memandang Jessy dengan tatapan dingin
Sheila melancarkan serangan pertama, melesatkan pisau belati ke arah Jessy yang hanya menghindar dengan satu gerakan gesit. Pisau itu terbang membelah udara, nyaris mengenai Jessy yang sudah berdiri tegak dengan sorot mata tajam. Mereka saling mengukur, ketegangan begitu terasa di udara.Dengan sekali hentakan kaki, Sheila kembali melompat maju, melepaskan pukulan yang begitu cepat hingga hanya bayangannya yang tertinggal. Jessy, dengan ketangkasan yang hampir melampaui kemampuan manusia biasa, menepis serangan Sheila. Kilatan senjata logam mereka beradu, mengisi ruangan dengan suara dentingan yang memekakkan telinga. Sheila terus menerjang, dengan gerakan-gerakan liar dan agresif yang seolah-olah tak mengenal batas.“Sudah selesai, Jessy!” Sheila berseru, memutar tubuhnya dengan lincah, dan berhasil menebas ujung lengan baju Jessy, membuat darah mulai merembes keluar. Namun, Jessy tak goyah. Alih-alih gentar, dia menatap Sheila dengan senyum penuh ketenangan.“Jangan terlalu yakin,”
Jessy menatap Septian dan Lilian dengan tatapan tegas saat mereka berada dalam perjalanan kembali. "Kalian harus bertemu Naga Perang," katanya, menekankan perintah itu. Meskipun secara operasional ia yang mengatur misi, Jessy tahu, begitu pula mereka, bahwa pada akhirnya, Rendy Wang—si Naga Perang—tetaplah pemimpin tertinggi mereka, sosok di balik semua strategi yang berjalan di dalam Klan Naga Emas.Saat mereka akhirnya tiba, Jessy maju terlebih dahulu menemui Rendy. Dengan hati yang berdebar, ia menyerahkan Kitab Kultivasi itu, kitab yang begitu langka dan berharga hingga mampu mengantarkan seseorang menembus Alam Dewa. Dalam pandangannya, momen ini lebih dari sekadar misi—ini adalah upaya membuktikan diri, bahwa semua keberaniannya adalah untuk mendapatkan pengakuan dan kebanggaan dari sosok pemimpin yang ia hormati lebih dari siapa pun.Rendy menerima kitab itu dengan tatapan tenang, mengangguk singkat tanpa ekspresi berlebihan. Ia meletakkan kitab tersebut di mejanya dengan gerak
Rendy memandangi peta holografis, mata tajamnya menyapu detail wilayah di mana dua artefak suci lainnya berada. Kitab Kultivasi Kuno baru langkah awal, dan ia tahu, untuk mengendalikan musuh-musuh yang semakin kuat—The Killer, The Infinity, Sheila dan Empat Penjuru Angin, Clarissa, dan sekarang Shakira dengan Banshee-nya—maka ia membutuhkan kekuatan penuh dari Tiga Artefak Suci."Jessy, ini tugas berat, tapi kau adalah satu-satunya yang sanggup," ujar Rendy, suaranya mantap. "Pedang Langit Lima Elemental dan Golok Penghancur Naga. Kita harus mendapatkan keduanya sebelum mereka berpindah tangan.”Jessy mengangguk, menatap peta yang memperlihatkan pegunungan bersalju yang tampak tak tersentuh manusia, gurun luas yang penuh ilusi, dan sebuah reruntuhan yang tersembunyi di dasar samudra, masing-masing tempat yang diyakini menjadi lokasi dua artefak suci yang tersisa. Sejak lama, legenda menyebutkan bahwa dunia ini dibentuk dari Lima Elemental: Api, Air, Angin, Tanah, dan Petir. Kelima ele
Di dalam perjalanan menuju Khatulistiwa, Naga Perang Rendy Wang duduk dalam diam, menatap ke arah jendela jet pribadinya, matanya menyiratkan kecemasan yang tak dapat disembunyikan. Bayangan Cindy Huang berkelebat di benaknya. Terlepas dari segala kemegahan dan kekuasaan yang ia miliki, dalam hatinya Cindy tetaplah seseorang yang penting, lebih dari sekadar gadis penjual lemper sederhana. Ada sesuatu yang tak tergantikan dalam dirinya, sesuatu yang membuat Rendy merasa tenang dan terhubung dengan dunia yang jauh dari hiruk pikuk kekuasaan dan pertempuran.Renata Zhang, yang duduk di kursi seberang, memperhatikan ekspresi Naga Perang dengan hati yang terasa berat. Meski ia selalu mendukung Rendy, kali ini ada kekosongan yang menguasai hatinya. Renata tahu bahwa meski dirinya tangguh dan kompeten dalam segala urusan profesional, ada sesuatu pada Cindy yang membuatnya merasa kalah – ketulusan hati yang belum tentu bisa ia miliki. Ia merasakan persaingan yang aneh di dalam hatinya, bukan
Setibanya di Paradise Hills, Rendy memandang bangunan megah di atas bukit dengan perasaan yang bercampur antara kehati-hatian dan kecemasan. Cindy, yang dulu ia kenal sebagai sosok sederhana, kini telah berubah menjadi pribadi yang jauh lebih kuat dan penuh strategi. Sebagai CEO Huang Corporation, Cindy tidak lagi menyisakan ruang untuk belas kasihan. Setiap ancaman, baik dari pesaing maupun sekutu, ia tangani dengan ketegasan yang semakin mendekati kejam. Sosoknya yang elegan dan dingin kini memiliki aura kekuasaan yang baru, membuatnya disegani dan ditakuti.Cindy berdiri di ruang tamu luas yang menghadap ke arah kedatangan Rendy. Tatapannya tajam, penuh kendali, menunggu seakan ia telah tahu maksud Rendy kembali ke Paradise Hills. Saat Rendy memasuki ruangan, Cindy tidak lagi menunjukkan kelembutan yang dulu menyatukan mereka. Alih-alih, ada sikap dingin yang menyelimuti setiap gerak-geriknya.“Rendy,” sapanya, tanpa senyum. “Aku dengar kau kembali... cukup mendadak. Kupikir kau si
Menyadari jebakan Cindy yang perlahan-lahan menjeratnya, Rendy tahu ia harus memutar otak untuk menghindari pengakuan apa pun yang bisa memperkuat posisi Cindy. Ia tak ingin menjadi alat bagi ambisi Cindy untuk memperluas kekuasaannya. Tanpa ragu, ia menyusun rencana licin—berlagak sebagai Rendy Wang yang dulu, menantu yang menurut ibu mertuanya hanya tahu bermalas-malasan dan bergantung pada kekayaan keluarga Huang.Pagi itu, ia melangkah ke ruang tamu rumah Vera Huang dengan pakaian kasual yang sengaja ia pilih agar terlihat sesederhana mungkin. Vera, yang tengah duduk dengan anggun di sofa, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, sorot matanya menyiratkan cemoohan yang tak tersembunyi.“Akhirnya menampakkan diri juga,” ujarnya tanpa basa-basi, menyiratkan kekecewaannya. “Kupikir kau sibuk mengurus hal-hal tak penting.”Rendy tersenyum lemah, mengesankan rasa malu dan ketidakberdayaan. “Maafkan aku, Ma. Aku hanya ingin memastikan Cindy tidak kesusahan. Tentu saja, aku sadar kalau
Rendy memutuskan untuk segera mengunjungi Kristin di Kepulauan Tropis, meskipun kekhawatiran akan Cindy masih membebani pikirannya. Masalah tiga artefak suci yang belum sepenuhnya berhasil dikumpulkan menambah tekanan yang ia rasakan, terutama mengingat betapa pentingnya artefak-artefak itu untuk menghadapi musuh-musuhnya. Terlebih lagi, perubahan dalam diri Cindy, yang kini menjadi sosok dingin dan penuh ambisi sebagai CEO Huang Corporation, membuatnya merasa semakin asing dengan wanita yang dulu begitu ia kenal.Entah kenapa, Jessy yang telah memiliki dua artefak kuno lainnya yaitu Pedang Langit Lima Elemental dan Golok Penghancur Naga tidak segera menyerahkannya kepada Naga Perang.Rendy mendapatkan alasan yang masuk akal untuk pergi sementara dari rumah Keluarga Huang sehingga kepergiannya yang lama ini tidak akan dipermasalahkan oleh Vera dan Cindy. Di dalam pesawat menuju Kepulauan Tropis, Rendy duduk termenung, menatap keluar jendela. Di balik niatnya untuk menolong Kristin, i
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata