Malam itu, Ryan duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan penuh konsentrasi. Elsa baru saja mengirimkan laporan yang merinci penyelidikan terhadap seorang pria bernama Andi. Dari hasil investigasi, Andi ternyata memiliki keterkaitan dengan sebuah kelompok kriminal kecil yang kerap kali menyelundupkan barang-barang ilegal, namun mereka bukan pelaku biasa."Ternyata teroganisir juga mereka," gumam Ryan menggeleng perlahan.Nama-nama lain yang muncul dalam laporan itu membuat Ryan semakin waspada. Andi adalah salah satu kaki tangan penting dari seorang tokoh yang lebih besar dan mungkin berpengaruh dalam jaringan kejahatan tersebut.Ponsel Ryan bergetar di meja, menampilkan pesan dari Elsa. Memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai laporannya."Ada bukti kuat bahwa Andi terlibat langsung dalam sabotase mobil Bu Erika. Dia juga terlihat beberapa kali bertemu dengan seseorang yang kita curigai sebagai dalang utama. Aku bisa lanjut menyelidiki kalau pak Ryan mengijinkan."Ryan
Setelah memberikan perintah pada Dedi, Ryan langsung bergegas setelah menutup teleponnya. Hatinya berdebar kencang, memikirkan Elsa yang baru saja mengalami kecelakaan. Padahal, mereka baru saja membahas langkah-langkah penting dalam penyelidikan Andi. Kini, situasi berubah secepat kilat, menambah rasa cemas yang telah menghantui sejak kecelakaan Erika kemarin."Sayang, aku mau menemui Dedi di rumah sakit." Ryan pamit pada sang istri, supaya istrinya tidak mencari-cari - nanti."Ke rumah sakit? Dedi sakit, mas?" tanya Erika dengan kening berkerut.Wanita itu tahu siapa Dedi, tapi tidak dengan sakitnya atau kabar terbaru dari salah satu asisten Ryan. Dia juga tahu siapa saja yang saat ini menjadi orang-orang kepercayaan suaminya, yang dari dulu memang menjadi asisten dan membantu pekerjaan Ryan."Elsa kecelakaan, sayang. Tidak apa-apa, kan? Aku hanya ingin memastikan saja, semuanya diurus dengan baik." Ryan kembali meminta izin untuk pergi ke rumah sakit tempat Elsa dibawa.Erika menga
"Minta pada Tomi dan Fery untuk menyelidiki TKP!" perintah Ryan."Baik, pak." Dedi mengangguk lalu merokok ponselnya dan menghubungi Tomi."Aku ingin segera mendapatkan laporan," terang Ryan menambahi.Dengan dugaan sementara itu, Ryan meminta Dedi untuk menelpon Tomi dan Fery, memberikan perintah untuk segera menyelidik ke tempat kejadian - di tempat Elsa kecelakaan. Bisa jadi, ada petunjuk penting yang bisa menunjukkan siapa pelaku yang sudah mencelakai Elsa.Beberapa jam berlalu dengan keheningan yang mencekam di ruang tunggu rumah sakit. Ryan dan Dedi hanya bisa duduk di sana, menatap ke arah ruang perawatan intensif tempat Elsa dirawat. Awalnya, ada sedikit kelegaan setelah dokter mengatakan kondisinya stabil. Tapi sekarang, situasi mulai terasa lebih suram.Tak lama, seorang perawat keluar dari ruang perawatan dan menghampiri mereka. "Maaf, saya butuh tanda tangan untuk prosedur tambahan. Kondisi pasien sedikit berubah, jadi dokter memutuskan untuk melakukan pemindaian - scannin
Beberapa waktu lalu.Tomi menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya yang mulai berkeringat. Mobil yang mereka kendarai nyaris tidak bergerak, terjebak dalam kemacetan panjang di tengah jalan raya kota. Fery yang duduk di sebelahnya, memukul-mukul setir dengan kesal."Macetnya parah banget. Kita bisa habis waktu di sini saja," gerutu Fery tidak sabar.Tiba-tiba, ponsel Tomi bergetar. Ia mengeluarkannya dari saku dan melihat nama Dedi muncul di layar. Tanpa menunggu lama, ia menjawab panggilan tersebut."Ya, Ded? Kami sedang dalam perjalanan," kata Tomi dengan suara sedikit frustasi."Dalam perjalanan? Lama sekali, kalian di mana sekarang?" tanya Dedi dari seberang - rumah sakit, suaranya terdengar tegang."Kami terjebak macet. Ada kecelakaan tadi, mungkin ini yang membuat jalanan jadi penuh. Kami masih di jalan, tapi kayaknya butuh waktu lebih lama untuk sampai ke TKP," jelas Tomi sambil melirik ke arah Fery, yang hanya mengangkat bahu tanda tidak berdaya."Pak Ryan sudah nunggu
Beberapa waktu kemudianDi lorong rumah sakit, suasana terasa tegang. Lampu-lampu neon yang terang tidak cukup untuk mengusir kecemasan yang menghantui. Ryan berdiri dengan gelisah di depan ruang operasi, sesekali melirik jam tangannya yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya. Dedi duduk di kursi tak jauh darinya, diam sambil menunduk, menahan segala emosi yang membuncah di dadanya.Sudah berjam-jam Elsa berada di dalam, dan hingga kini belum ada kabar yang pasti. Ryan hanya bisa berharap, meskipun kekhawatiran bahwa sesuatu yang lebih buruk bisa saja terjadi terus menghantuinya.Tiba-tiba, ponsel Dedi bergetar. Ia segera meraihnya, membaca pesan dari Tomi yang memberikan kabar tentang hasil penyelidikannya."Kami hampir sampai. Ada banyak bukti baru. Aku akan jelaskan begitu tiba."Dedi menghela napas, menoleh ke arah Ryan yang tampak semakin gelisah. Bosnya itu memang beda dari bos-bos yang lain, sebab rasa kekeluargaan mereka sangat kental - sudah seperti saudara sendiri."P
"Egh... Mas? Mas Ryan..." Erika mencari-cari sang suami."oh ya, mas Ryan sedang berada di rumah sakit. Bagaimana keadaan Elsa, ya?" gumam Erika, seorang diri.Tengah malam, Erika yang terbaring di kamarnya, terjaga di tengah malam. Sinar lampu dari luar masuk melalui celah tirai, menerangi sebagian ruangan yang sunyi. Meski tubuhnya masih terasa lemah, pikirannya berputar-putar, gelisah memikirkan keadaan suaminya yang ada di rumah sakit - menunggu operasinya Elsa bersama dengan Dedi dan dua asistennya yang lain.Wanita itu sadar bahwa sang suami memang seperti itu, tidak bisa mengabaikan orang-orang terdekatnya - meskipun itu adalah asistennya, jika sedang dalam keadaan darurat seperti ini. Apalagi dirinya sudah lebih baik daripada beberapa waktu lalu setelah kecelakaan yang dialaminya."Issshhh... aduh! Aku mau telpon mas Ryan, mau tanya keadaan Elsa."Erika mencoba duduk, meskipun rasa nyeri di tubuhnya masih terasa. Dengan sedikit usaha, ia meraih ponselnya yang tergeletak di me
Saat Ryan tiba di rumah, jam sudah menunjukkan lewat tengah malam. Rumah tampak sepi, namun lampu di kamar masih menyala. Ia masuk perlahan, tubuhnya terasa berat, dipenuhi kelelahan fisik dan mental setelah berjam-jam di rumah sakit bersama Elsa. Pikiran tentang asistennya yang kini dalam keadaan koma tak henti-hentinya menghantuinya, tapi ia tahu, di rumah ada hal lain yang harus ia perhatikan—Erika.Dia berjalan menuju kamar mereka, membuka pintu dengan hati-hati, berharap Erika sudah tertidur. Namun, yang ditemukannya adalah istrinya duduk di tepi tempat tidur, memeluk lututnya, wajahnya tampak pucat dan terlihat cemas dan khawatir."Sayang?" panggil Ryan lembut, sambil mendekat.Erika mendongak perlahan, dan begitu melihat Ryan, matanya melebar. Dia sempat melamun, sampai-sampai tidak sadar jika sang suami pulang dan masuk kamar."Mas Ryan... kamu, akhirnya kamu pulang." Suara Erika gemetar, menandakan bahwa ada sesuatu yang sangat mengganggunya. Ia berdiri perlahan, berjalan men
Segera, Tanu berjalan cepat menuju pintu, kunci mobil sudah tergenggam di tangannya. Ia harus segera memastikan bahwa Erika aman, terutama setelah telepon misterius itu. Langkahnya penuh dengan kegelisahan, namun ketika ia membuka pintu, sosok yang tak disangka muncul di hadapannya."Tanu? Mau ke mana kamu tengah malam begini?" Suara berat ayahnya, Tuan Lee, menghentikan langkahnya. Lelaki tua itu berdiri di lorong dengan mengenakan piyama, matanya sedikit menyipit karena kantuk yang masih melekat, tapi jelas tergambar kekhawatiran di wajahnya.Tanu mendadak tegang. Dia tak ingin membuat ayahnya cemas, terutama setelah dirinya baru saja keluar dari rumah sakit. Meskipun kondisinya sudah pulih, sang ayah masih sering memantau kesehatannya dengan ketat. Dan Tuan Lee bukanlah orang yang mudah diyakinkan jika itu menyangkut keluarganya, apalagi anak-anaknya.“Papa, aku cuma mau keluar sebentar,” jawab Tanu, mencoba bersikap santai, meski hatinya dipenuhi kecemasan karena takut ketahuan ni
Waktu jam kantor sudah usai, sementara Ryan duduk termenung sendirian di ruang kantornya yang sepi - semua asistennya sudah pergi dan melakukan tugasnya masing-masing.Lampu meja yang redup memberikan suasana muram pada ruangan, seolah mencerminkan kegelisahan yang tak pernah pergi dari benaknya Ryan. Tangannya menggenggam pena, tapi pikirannya melayang jauh, menembus waktu, ke kehidupan yang pernah ia jalani. Suatu kehidupan yang membuatnya mati dengan cara yang tragis—dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya berada di sisinya.Ryan masih ingat dengan jelas, hari itu adalah hari yang kelam. Saat semua yang ia bangun perlahan hancur berantakan, dan ia tidak pernah sempat menemukan siapa yang berada di balik semua penderitaannya. Ryan tersenyum pahit, mengingat detik-detik menjelang kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tubuhnya terlempar dari mobil yang tergelincir di tikungan tajam jalan raya, dan saat kesadarannya perlahan memudar, hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya saat itu
Erika sedang duduk di teras rumahnya - sendiri karena Ryan masih berada di kantor, menikmati sore yang tenang dengan secangkir teh di tangannya. Udara sejuk sedikit membantu meredakan pikirannya yang sejak beberapa hari terakhir terus dipenuhi oleh kekacauan yang menimpa dirinya dan Elsa. Belum lagi pikiran tentang ancaman demi ancaman yang diterimanya - juga Tanu yang sering membuatnya khawatir, terutama setelah kegagalan perusahaan yang sempat membebani kakak laki-lakinya itu."Atau, kegagalan kakak ada kaitannya dengan semua ini?" gumam Erika yang sedang berpikir.Ketika sedang tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Erika menoleh dan mendapati Nyonya Lee turun dari mobil mewahnya dengan elegan. Sosok wanita paruh baya itu tampak anggun dalam balutan busana mahal, namun senyum yang menghiasi wajahnya kali ini berbeda—ada sesuatu yang nampaknya ingin ia sampaikan.“Ma…” Erika berdiri, menyambut kedatangan ibu mereka dengan sedikit canggung. Biasany
Ceklek!"Tanu!" panggil seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya - dengan nada tinggi."Kau..." Tanu tidak sanggup menyebutkan sebuah nama, yang baru saja masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Tanu mematung di tempatnya, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Wajah itu tidak asing baginya—begitu akrab hingga membawa kenangan yang sempat ia kubur dalam-dalam."Mei..." gumam Tanu, suaranya serak.Wanita itu melangkah masuk dengan tatapan penuh emosi. Dia tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Raut wajahnya tidak hanya memancarkan kemarahan, tetapi juga keteguhan, seolah dia datang dengan tujuan yang jelas."Tanu, kita harus bicara," kata Mei tegas, tanpa basa-basi."Kalau ini soal masa lalu, Maya, aku sudah selesai dengan semua itu. Aku sudah minta maaf..." Tanu menghela napas panjang, lalu kembali duduk di kursinya.Maya mendengus tak suka dengan jawaban Tanu, sebab dia ingin bicara sesuatu yang lebih besar daripada masalah yan
Perusahaan keluarga Lee.Di ruangannya, Tanu duduk termenung di balik meja kerjanya. Laporan keuangan yang sebelumnya memenuhi pikirannya kini hanya seperti bayangan kabur. Kata-kata mamanya, "Keluarga Lee membutuhkan penerus," terus terngiang di kepalanya. Meski ia tahu maksud mamanya baik, tapi rasanya terlalu banyak beban yang harus ia pikul.Bukannya Tanu tidak tertarik dengan Clara. Gadis itu anggun dan terlihat cerdas. Namun, pikirannya terlalu penuh dengan masalah perusahaan. Di balik pintu tertutup ruangannya, Tanu merasa sendirian, memikul harapan keluarganya yang begitu besar."Hm..."Dia menatap ponselnya yang tergeletak di meja, ada panggilan tak terjawab dari papanya - Tuan Lee. Mungkin sang papa ingin membahas situasi perusahaan, atau lebih buruk lagi, tentang rencana perjodohan ini.Bisa jadi, kan? Nyonya Lee tentu meminta dukungan dari suaminya, dengan alasan jika sudah waktunya Tanu menikah dan memiliki keluarga agar punya anak juga. Dan Nyonya Lee pastinya mengompor-
Rumah Sakit.Di kamar rawat inap Elsa, suasana terasa tenang meski udara dingin dari AC sedikit menusuk kulit. Elsa masih terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap menunjukkan tekadnya yang kuat. Di kursi sebelah tempat tidurnya, Dedi duduk dengan serius, tangannya memegang laptop kecil yang terhubung dengan ponsel Elsa.“Mas Dedi,” panggil Elsa, suaranya pelan namun tetap terdengar pasti.“Ya, El?” Dedi langsung menoleh, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.“Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki seseorang,” ujar Elsa tanpa basa-basi. Ia berusaha duduk, tetapi Dedi segera membantunya agar tidak terlalu memaksakan diri - karena Elsa masih belum cukup kuat.“Siapa yang harus aku selidiki, El?” tanya Dedi, wajahnya menunjukkan kesiapan penuh.“Diana,” jawab Elsa sambil menarik napas dalam. “Dia staf keuangan di perusahaan, mas. Beberapa waktu lalu, aku menemukan bukti kalau dia melakukan penyelewengan dana. Tapi sebelum aku bisa
Di tengah kesibukannya di kantor keluarga Lee, Tanu sibuk memeriksa tumpukan laporan keuangan yang harus ia teliti. Ia mengerjakan setiap angka dengan teliti, memastikan tidak ada kesalahan yang terlewatkan. Fokusnya penuh, meski kelelahan mulai terasa. Namun, keseriusannya tiba-tiba terhenti ketika pintu ruangannya diketuk keras, dan masuklah mamanya, Nyonya Lee, bersama seorang gadis muda yang cantik dan anggun.“Mama?” Tanu menatap mamanya dengan sedikit bingung, apalagi melihat kehadiran tamu tak diundang itu.Nyonya Lee tersenyum, tampak sangat senang dengan apa yang dilakukannya. "Tanu, sayang, Mama ingin mengenalkan seseorang padamu." Ia memandang gadis di sebelahnya dengan bangga."Ini Clara, anak temannya Mama. Kalian harus saling mengenal lebih baik, ya!" Nyonya Lee memperkenalkan gadis yang berada di sampingnya.Tanu menghela napas dalam-dalam. Ia bisa menebak ke mana arah percakapan ini akan menuju. Ya, sama seperti beberapa waktu lalu sebelum adiknya - Erika, resmi menika
Dia hari berlalu, suasana yang menegangkan perlahan-lahan mulai tenang. Erika, yang sebelumnya diteror dengan ancaman dan rasa takut, kini bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada lagi pesan-pesan menakutkan atau kejadian aneh yang mengancam keselamatan keluarganya. Meski begitu, Ryan tidak mau lengah. Dia tetap waspada dengan keselamatan istrinya. Dia tahu bahwa meskipun keadaan terlihat tenang, ancaman bisa datang kapan saja.Ryan mengambil keputusan untuk meningkatkan pengamanan bagi Erika. Ia mempekerjakan tim keamanan pribadi - yang memang dimiliki dan dipimpin Tomi untuk menjaga rumah mereka, memastikan Erika selalu ditemani oleh pengawal setiap kali ia keluar rumah. Meskipun Erika sempat merasa tidak nyaman dengan langkah ini, Ryan bersikeras bahwa ini adalah langkah pencegahan yang memang diperlukan."Aku tidak ingin mengambil risiko, Erika. Kita belum tahu siapa yang benar-benar ada di balik semua ini," terang Ryan saat istrinya protes.Erika masih mencoba meyakinkan Ryan bahwa
Elsa terdiam sejenak, menggigit bibirnya sambil menatap Erika dan Nyonya Lee yang sedang menunggu jawabannya dengan penuh harap. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, pintu ruang rawat terbuka. Ryan masuk dengan langkah tergesa, diikuti oleh Fery yang tampak membawa beberapa dokumen.Wajah Ryan langsung mencari Elsa begitu dia masuk. Tapi dia tersenyum begitu melihat keberadaan isteri dan mertuanya, Nyonya Lee. Setelah menyapa dan memberikan kecupan di kening, Ryan beralih pada Elsa. Dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada asistennya yang seorang ahli IT tersebut, meskipun saat ini Elsa masih berbaring di rumah sakit."Elsa, apa kabar?" tanyanya dengan nada kekhawatiran, tapi tetap tegas. Ia lalu menoleh sekilas ke arah Erika dan Nyonya Lee, memberi mereka senyum singkat sebelum akhirnya berjalan mendekat ke tempat tidur Elsa."Saya baik, Pak Ryan. Terima kasih sudah datang," jawab Elsa pelan, sedikit ragu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merapikan selimut di pan
Ryan tiba di kantor dengan suasana hati yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang istrinya, Erika yang pergi ke rumah sakit untuk menemui Elsa. Meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaan, pikirannya terus melayang pada Erika dan ancaman-ancaman yang mereka hadapi.Kantor pusat Ryan terletak di gedung perkantoran modern di pusat kota, lantai paling atas dengan pemandangan kota yang luas. Begitu ia masuk ke ruang kerjanya, dua asistennya, Dedi dan Fery, sudah menunggunya dengan tumpukan laporan yang perlu diselesaikan."Selamat pagi, Pak Ryan," sapa Dedi, sambil memberikan setumpuk dokumen yang sudah dirapikan. "Semua berkas sudah siap untuk presentasi pagi ini. Meeting dengan tim akan mulai lima belas menit lagi."Ryan mengangguk singkat, mengambil dokumen itu dan mulai membacanya sekilas. "Terima kasih, Dedi. Fery, pastikan kamu tetap standby selama meeting. Ada beberapa detail yang mungkin perlu kita diskusikan lebih lanjut setelah itu."Fery yang