Beberapa waktu kemudianDi lorong rumah sakit, suasana terasa tegang. Lampu-lampu neon yang terang tidak cukup untuk mengusir kecemasan yang menghantui. Ryan berdiri dengan gelisah di depan ruang operasi, sesekali melirik jam tangannya yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya. Dedi duduk di kursi tak jauh darinya, diam sambil menunduk, menahan segala emosi yang membuncah di dadanya.Sudah berjam-jam Elsa berada di dalam, dan hingga kini belum ada kabar yang pasti. Ryan hanya bisa berharap, meskipun kekhawatiran bahwa sesuatu yang lebih buruk bisa saja terjadi terus menghantuinya.Tiba-tiba, ponsel Dedi bergetar. Ia segera meraihnya, membaca pesan dari Tomi yang memberikan kabar tentang hasil penyelidikannya."Kami hampir sampai. Ada banyak bukti baru. Aku akan jelaskan begitu tiba."Dedi menghela napas, menoleh ke arah Ryan yang tampak semakin gelisah. Bosnya itu memang beda dari bos-bos yang lain, sebab rasa kekeluargaan mereka sangat kental - sudah seperti saudara sendiri."P
"Egh... Mas? Mas Ryan..." Erika mencari-cari sang suami."oh ya, mas Ryan sedang berada di rumah sakit. Bagaimana keadaan Elsa, ya?" gumam Erika, seorang diri.Tengah malam, Erika yang terbaring di kamarnya, terjaga di tengah malam. Sinar lampu dari luar masuk melalui celah tirai, menerangi sebagian ruangan yang sunyi. Meski tubuhnya masih terasa lemah, pikirannya berputar-putar, gelisah memikirkan keadaan suaminya yang ada di rumah sakit - menunggu operasinya Elsa bersama dengan Dedi dan dua asistennya yang lain.Wanita itu sadar bahwa sang suami memang seperti itu, tidak bisa mengabaikan orang-orang terdekatnya - meskipun itu adalah asistennya, jika sedang dalam keadaan darurat seperti ini. Apalagi dirinya sudah lebih baik daripada beberapa waktu lalu setelah kecelakaan yang dialaminya."Issshhh... aduh! Aku mau telpon mas Ryan, mau tanya keadaan Elsa."Erika mencoba duduk, meskipun rasa nyeri di tubuhnya masih terasa. Dengan sedikit usaha, ia meraih ponselnya yang tergeletak di me
Saat Ryan tiba di rumah, jam sudah menunjukkan lewat tengah malam. Rumah tampak sepi, namun lampu di kamar masih menyala. Ia masuk perlahan, tubuhnya terasa berat, dipenuhi kelelahan fisik dan mental setelah berjam-jam di rumah sakit bersama Elsa. Pikiran tentang asistennya yang kini dalam keadaan koma tak henti-hentinya menghantuinya, tapi ia tahu, di rumah ada hal lain yang harus ia perhatikan—Erika.Dia berjalan menuju kamar mereka, membuka pintu dengan hati-hati, berharap Erika sudah tertidur. Namun, yang ditemukannya adalah istrinya duduk di tepi tempat tidur, memeluk lututnya, wajahnya tampak pucat dan terlihat cemas dan khawatir."Sayang?" panggil Ryan lembut, sambil mendekat.Erika mendongak perlahan, dan begitu melihat Ryan, matanya melebar. Dia sempat melamun, sampai-sampai tidak sadar jika sang suami pulang dan masuk kamar."Mas Ryan... kamu, akhirnya kamu pulang." Suara Erika gemetar, menandakan bahwa ada sesuatu yang sangat mengganggunya. Ia berdiri perlahan, berjalan men
Segera, Tanu berjalan cepat menuju pintu, kunci mobil sudah tergenggam di tangannya. Ia harus segera memastikan bahwa Erika aman, terutama setelah telepon misterius itu. Langkahnya penuh dengan kegelisahan, namun ketika ia membuka pintu, sosok yang tak disangka muncul di hadapannya."Tanu? Mau ke mana kamu tengah malam begini?" Suara berat ayahnya, Tuan Lee, menghentikan langkahnya. Lelaki tua itu berdiri di lorong dengan mengenakan piyama, matanya sedikit menyipit karena kantuk yang masih melekat, tapi jelas tergambar kekhawatiran di wajahnya.Tanu mendadak tegang. Dia tak ingin membuat ayahnya cemas, terutama setelah dirinya baru saja keluar dari rumah sakit. Meskipun kondisinya sudah pulih, sang ayah masih sering memantau kesehatannya dengan ketat. Dan Tuan Lee bukanlah orang yang mudah diyakinkan jika itu menyangkut keluarganya, apalagi anak-anaknya.“Papa, aku cuma mau keluar sebentar,” jawab Tanu, mencoba bersikap santai, meski hatinya dipenuhi kecemasan karena takut ketahuan ni
Di rumah sakit, suasana malam terasa lebih sunyi daripada biasanya. Lampu-lampu di koridor menyala terang tapi tampak remang-remang bagi orang yang ada di tempat tersebut, hanya terdengar suara langkah-langkah kecil para perawat yang sedang berjaga. Di ruang tunggu dekat kamar rawat Elsa, Dedi dan Tomi duduk berdampingan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.Tomi melirik Dedi yang sedang mengamati ponselnya, seolah menunggu sesuatu. Keheningan di antara mereka membuat suasana semakin terasa tegang. Elsa yang masih terbaring di ruang rawat intensif telah melalui masa-masa kritis, namun keadaannya tetap belum stabil sepenuhnya. Dan ini membuat kecemasan mereka tak kunjung mereda.“Tomi. Kamu pikir, ini semua kebetulan nggak?” Dedi akhirnya berbicara lebih dulu, memecah keheningan. Suaranya rendah, tapi jelas terisi dengan kecurigaan.“Apa maksudmu, Ded?” Tomi menoleh, sedikit kaget mendengar pertanyaan itu.Dedi memandang Tomi serius, lalu menunduk sejenak sebelum melan
Pagi hari di rumah Tuan Lee, suasana sarapan terasa sedikit canggung. Tanu duduk di meja makan bersama ayah dan ibunya. Di depannya, semangkuk bubur yang hampir tidak tersentuh. Matanya terus melirik jam dinding dan jam di tangannya, tampak resah. Dia sudah memikirkan ini sejak semalam, jadi dia harus segera ke rumah Erika untuk memastikan semuanya baik-baik saja, terutama setelah telepon misterius dan kecelakaan yang hampir merenggut nyawa adiknya itu.Tuan Lee yang duduk di ujung meja, memandang putranya dengan tatapan tajam. Dia menyadari ketidaksabaran Tanu sejak dari tadi, bukan-bukan. Tanu tidak sabar sejak semalam.“Tanu, kamu kenapa? Dari tadi kok kelihatan terburu-buru, tapi saat makan justru melamun. Lihat isi mangkukmu!" tanya Tuan Lee sambil meletakkan cangkir tehnya.“Aku mau mampir ke rumah Erika, Pa. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja. Semalam aku nggak bisa tenang," jawab Tanu setelah menghela napas pelan, berusaha bersikap tenang meskipun hatinya tidak bisa.Mend
Di kantor perusahaan Lee, suasana sibuk sebelum jam kerja seperti biasanya. Ada beberapa karyawan yang mengerombol, membentuk blok-blok sendiri dengan topik yang berbeda juga - banyak hal yang dibicarakan, seperti gosip-gosip artis atau gosip teman mereka sendiri. Tanu baru saja tiba, setelah menyelesaikan sarapan yang penuh ketegangan di rumah bersama papanya. Meskipun pikirannya masih terpaut pada kondisi Erika, ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Hari ini, ada pertemuan penting dengan calon klien besar, dan dia harus berada dalam kondisi terbaik - mempersiapkan segala sesuatunya untuk presentasi. Beberapa saat kemudian - setelah 1 jam dari jam kerja, Tanu masuk ke ruang rapat. Tanu melihat beberapa stafnya sudah menunggu, bersiap untuk presentasi. Namun, tatapannya tertuju pada seorang tamu yang duduk di sudut ruangan. Seorang pria berpakaian formal dengan senyum tipis di wajahnya. Tamu tersebut memperkenalkan dirinya sebagai Mr. Han, wakil dari sebuah perusahaan besar yan
Di kantor Ryan, suasana tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya—kesibukan khas yang menyelimuti seluruh ruangan. Namun, di balik rutinitas tersebut, ada ketegangan yang tak kasat mata. Kecelakaan Erika dan Elsa terus membayangi semua orang, terutama Tomi dan Fery, yang kini duduk di ruangan kerja Elsa, memeriksa komputer dan laptopnya.Mereka berusaha menemukan petunjuk apa pun yang bisa menjelaskan kecelakaan Erika dan apakah Elsa sempat menemukan sesuatu sebelum dirinya sendiri terlibat dalam kecelakaan itu. Tomi menatap layar komputer dengan intens, mencoba membuka beberapa file yang terkunci dengan password, sementara Fery menyisir folder-folder yang tersimpan di laptop.“Kau yakin Elsa sempat menyimpan sesuatu di sini? Karena sejauh ini aku belum menemukan apa-apa,” ujar Fery, merasa sedikit tertekan - frustrasi.“Aku nggak yakin seratus persen, tapi berdasarkan obrolan terakhir kami, Elsa memang sedang menyelidiki sesuatu yang berhubungan dengan kecelakaan Bu Erika. Dia b
"Apa maksudmu, Bang Ded?" tanya Elsa dengan nada heran, menatap Dedi dengan bingung - tidak mengerti arah pembicaraannya tadi.Dedi menghela napas panjang, berhenti sejenak di depan lift yang belum terbuka. Ia memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka sebelum melanjutkan pembicaraannya."Aku tahu kamu dekat dengan Pak Ryan. Kita semua dekat dengannya, tapi aku melihat ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional antara kamu dan dia," ujar Dedi dengan serius, menatap langsung ke mata Elsa.Elsa mengerutkan kening. "Maksudmu, aku dan Pak Ryan...?" Ia tertawa kecil, merasa absurd dengan apa yang dipikirkan Dedi. "Bang Ded, kamu salah paham. Aku tidak ada perasaan apa-apa terhadap Pak Ryan. Dia bosku, dan kita hanya bekerja sama. Hubungan kita sebatas profesional, tidak lebih."Namun, Dedi tampak tidak terpengaruh oleh penjelasan Elsa. "El, aku tahu kamu orang yang baik. Tapi terkadang, kedekatan bisa menimbulkan persepsi yang salah, apalagi ketika orang lain melihatny
Beberapa hari setelah perbincangan Ryan dan Rangga, suasana di sekitarnya semakin stabil. Hubungan Ryan dengan orang-orang di sekitarnya mulai membaik, terutama dengan istrinya - Erika, yang sempat syok berat karena mengetahui papanya ikut terlibat dalam konspirasi yang ingin menjatuhkan suaminya. Sementara Nyonya Lee juga ikut syok dan akhirnya harus mengungsi ke luar negeri demi kesehatan mentalnya.Tanu yang sempat khawatir dengan kehadiran Rangga, akhirnya bisa bernapas lega setelah mengetahui bahwa Rangga tidak lagi memiliki ambisi untuk mengambil alih perusahaan. Tindakan Ryan yang memperbaiki hubungan dengan Rangga menjadi kunci untuk menghindari konflik lebih jauh, dan itu membuatnya semakin dihargai oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya.Sementara itu, di rumah, hubungan Ryan dan Erika semakin hangat. Meskipun sibuk dengan urusan perusahaan dan masalah-masalah yang baru saja berlalu, Ryan selalu meluangkan waktu untuk istrinya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama d
Beberapa hari setelah Tuan Lee, Tuan Haris, dan Nadia diproses hukum, suasana di perusahaan Ryan mulai stabil. Tidak ada yang bisa lepas begitu saja dari jerat hukum, jika memang mereka bersalah. Dan Ryan, tidak memiliki toleransi bagi mereka yang berkhianat.Berbeda dengan keadaan Ryan, Tanu justru sedang resah. Keberadaan Rangga yang masih berkeliaran di sekitar perusahaan Lee membuatnya merasa terganggu. Meski Rangga tidak lagi membuat keributan atau mencoba mengambil alih perusahaan, kehadirannya tetap memicu ketegangan yang membuat suasana tidak nyaman. Tanu tidak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya, sering kali mengeluh pada Ryan atau Erika tentang hal tersebut.Melihat ketidaknyamanan Tanu dan menyadari bahwa permasalahan di antara mereka bisa saja merusak hubungan keluarga yang tersisa, Ryan memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dia merasa sudah waktunya berbicara dengan Rangga, bukan sebagai rival bisnis, tetapi sebagai saudara yang masih memiliki ikatan darah dengan istrinya
Ryan berhenti melangkah dan menoleh kembali ke arah Tanu, matanya tampak serius. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Tanu membuat suasana yang semula mulai mereda kembali terasa tegang. Erika, yang berdiri di samping suaminya, menatap Tanu dengan cemas, seakan tahu bahwa pembahasan ini akan membawa kembali ingatan-ingatan buruk yang tentu saja masih membekas dengan jelas.Ryan menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kak Tanu, aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk kita semua. Apalagi, bagimu dan Erika, dia tetaplah papa kalian." Ryan berbicara dengan hati-hati, tak ingin memancing lebih banyak perasaan keduanya terluka."Tapi, Papa..." Suara Tanu tercekat, menelan ludahnya susah. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana jika dia—""Kita harus menyerahkan semuanya pada hukum, Kak Tanu." Ryan memotong dengan tegas, namun suaranya tetap tenang. "Semua bukti sudah jelas mengarah ke Papa. Dia terlibat dalam rencana bersama Tuan Haris dan melibatkan Nadia juga untuk mencelakak
Erika berjalan anggun memasuki ruang meeting, di sampingnya ada Ryan yang selalu tampak tenang namun penuh wibawa. Suara langkah kaki mereka berdua yang berirama membuat suasana di ruangan itu terasa semakin menegangkan. Tanu yang masih berdiri di depan meja konferensi menatap ke arah keduanya, sementara Rangga yang semula tampak percaya diri, kini mulai terlihat tidak nyaman dengan kehadiran mereka.Ryan, yang memegang saham terbesar di perusahaan ini setelah penyuntikan dana besar-besaran saat perusahaan Lee hampir bangkrut, hanya memberikan anggukan kecil kepada Tanu. Ia kemudian berjalan ke arah kursi di ujung meja, posisi yang biasanya diisi oleh pemegang keputusan tertinggi dalam pertemuan semacam ini.Erika, yang selama ini menjadi sosok penting di balik layar - sebab dirinya juga memiliki beberapa persen saham di perusahaan keluarganya ini, tidak banyak bicara. Namun kehadirannya kali ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan sekadar anak perempuan dari Tuan Lee, tetapi juga seora
Tanu berdiri tegak di ruang pertemuan yang luas, matanya menatap dengan tajam ke arah sepupunya - Rangga, yang memaksa ikut dalam pertemuan ini. Rangga duduk di hadapannya dengan sikap percaya diri, merasa menjadi bagian dari perusahaan yang saat ini dipimpin Tanu.Rangga, sepupu Tanu yang juga sekaligus keponakan Tuan Lee, kini berani menunjukkan ketertarikannya untuk mengambil alih kepemimpinan perusahaan yang selama ini dijalankan oleh Tuan Lee. Sementara itu, Tuan Lee, ayah Tanu dan Erika, kini tengah mendekam di penjara, jelas telah membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi banyak hal - termasuk merosotnya harga saham perusahaan. Namun, meskipun hubungan keluarga ini mengikat mereka dalam ikatan darah, Tanu tahu bahwa tidak ada tempat bagi Rangga di dalam dunia bisnisnya ini —terutama dengan segala yang telah terjadi.Tangga sendiri - bersama dengan keluarganya yang lain, sudah mendapatkan bagiannya di luar kota - perusahaan cabang yang selama ini ditangani mendiang ayahnya R
Malam itu, Ryan duduk di tepi tempat tidur mereka, memandangi Erika yang duduk masih betah terpaku di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar. Udara malam yang sejuk tampaknya tidak bisa menenangkan kekacauan yang bergejolak di dalam diri Erika.Ryan bisa melihatnya, bagaimana istrinya itu memendam sesuatu yang besar, sebuah kepedihan yang lebih dalam dari sekadar banyak peristiwa - termasuk kecelakaan yang pernah dia alami beberapa waktu lalu."Aku nggak tahu harus bagaimana, mas Ryan," ujar Erika pelan, suaranya serak."Kenapa, hm?" Ryan bertanya maksud perkataan istrinya."Papa... dia... dia..." Erika terhenti, suaranya hampir hilang ditelan perasaan yang mendalam."Selama ini aku merasa terjebak dalam permainan yang tak aku pahami. Semua ini ternyata sudah direncanakan sejak lama, dan aku... aku tidak pernah tahu apa-apa tentang rencana papa." Akhirnya, Erika bisa mengeluarkan kata-kata yang begitu menyesakkan dadanya.Ryan menghembuskan napas panjang, berjalan mendekat dan du
Setelah peristiwa yang mengguncang mereka semua, hari-hari selanjutnya penuh dengan ketegangan meskipun situasi sudah mulai mereda. Ryan masih berusaha menenangkan Erika dan dirinya sendiri setelah semua yang terjadi, sementara Elsa, Dedi, Fery, dan Tomi berusaha memberikan dukungan moral pada mereka berdua. Namun, ada satu hal yang tak banyak orang ketahui, bahkan Elsa sendiri belum menyadarinya.Dedi selalu memperhatikan Elsa dari kejauhan, bahkan sudah sejak lama. Di tengah segala kecemasan dan ketegangan yang mereka alami, Dedi merasa cemas dengan keberadaan Elsa yang selalu berada di dekat Ryan. Entah mengapa, setiap kali melihat Elsa tertawa atau berbicara dengan Ryan, hatinya terasa teriris. Dedi tahu perasaan ini bukan hal yang bisa ia tunjukkan, apalagi di tengah kesibukan mereka yang terus bergulir. Namun, perasaan itu semakin tak bisa ia bendung."Elsa, bisa bantu aku sebentar?" Dedi memanggil, berusaha tidak terlalu terlihat gelisah.Elsa yang sedang berdiri bersama Fery d
Ketika suasana semakin tegang dan tak terkontrol di ruangan gelap itu, tiba-tiba terdengar suara sirine polisi dari kejauhan, semakin dan mendekat ke lokasi. Ryan, Julian, dan Tuan Lee sama-sama tersentak, menyadari bahwa keadaan akan segera berubah drastis.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dengan keras. Dedi, Fery, dan Tomi masuk berbarengan, wajah mereka tegang namun sedikit lega melihat Ryan masih berdiri meskipun dengan wajah yang tampak lelah dan tubuh penuh luka."Kalian?!" seru Ryan, terkejut melihat asistennya. "Bagaimana kalian bisa tahu kami di sini?" tanyanya kemudian.Dedi mendekat cepat, matanya melirik sejenak ke arah Tuan Lee yang masih tersandar di dinding dan Tuan Haris yang tergeletak di lantai, juga Julian yang diam saja seperti tidak melakukan apapun dalam keadaan ini."Kami dapat info dari Elsa, Pak Ryan. Kami segera ke sini begitu tahu kau dalam bahaya," terang Dedi."Kau tamat, selesai sekarang ini, Tuan Haris. Polisi juga sudah di sini," ujar Fery dingi