Pagi hari di rumah Tuan Lee, suasana sarapan terasa sedikit canggung. Tanu duduk di meja makan bersama ayah dan ibunya. Di depannya, semangkuk bubur yang hampir tidak tersentuh. Matanya terus melirik jam dinding dan jam di tangannya, tampak resah. Dia sudah memikirkan ini sejak semalam, jadi dia harus segera ke rumah Erika untuk memastikan semuanya baik-baik saja, terutama setelah telepon misterius dan kecelakaan yang hampir merenggut nyawa adiknya itu.Tuan Lee yang duduk di ujung meja, memandang putranya dengan tatapan tajam. Dia menyadari ketidaksabaran Tanu sejak dari tadi, bukan-bukan. Tanu tidak sabar sejak semalam.“Tanu, kamu kenapa? Dari tadi kok kelihatan terburu-buru, tapi saat makan justru melamun. Lihat isi mangkukmu!" tanya Tuan Lee sambil meletakkan cangkir tehnya.“Aku mau mampir ke rumah Erika, Pa. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja. Semalam aku nggak bisa tenang," jawab Tanu setelah menghela napas pelan, berusaha bersikap tenang meskipun hatinya tidak bisa.Mend
Di kantor perusahaan Lee, suasana sibuk sebelum jam kerja seperti biasanya. Ada beberapa karyawan yang mengerombol, membentuk blok-blok sendiri dengan topik yang berbeda juga - banyak hal yang dibicarakan, seperti gosip-gosip artis atau gosip teman mereka sendiri. Tanu baru saja tiba, setelah menyelesaikan sarapan yang penuh ketegangan di rumah bersama papanya. Meskipun pikirannya masih terpaut pada kondisi Erika, ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Hari ini, ada pertemuan penting dengan calon klien besar, dan dia harus berada dalam kondisi terbaik - mempersiapkan segala sesuatunya untuk presentasi. Beberapa saat kemudian - setelah 1 jam dari jam kerja, Tanu masuk ke ruang rapat. Tanu melihat beberapa stafnya sudah menunggu, bersiap untuk presentasi. Namun, tatapannya tertuju pada seorang tamu yang duduk di sudut ruangan. Seorang pria berpakaian formal dengan senyum tipis di wajahnya. Tamu tersebut memperkenalkan dirinya sebagai Mr. Han, wakil dari sebuah perusahaan besar yan
Di kantor Ryan, suasana tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya—kesibukan khas yang menyelimuti seluruh ruangan. Namun, di balik rutinitas tersebut, ada ketegangan yang tak kasat mata. Kecelakaan Erika dan Elsa terus membayangi semua orang, terutama Tomi dan Fery, yang kini duduk di ruangan kerja Elsa, memeriksa komputer dan laptopnya.Mereka berusaha menemukan petunjuk apa pun yang bisa menjelaskan kecelakaan Erika dan apakah Elsa sempat menemukan sesuatu sebelum dirinya sendiri terlibat dalam kecelakaan itu. Tomi menatap layar komputer dengan intens, mencoba membuka beberapa file yang terkunci dengan password, sementara Fery menyisir folder-folder yang tersimpan di laptop.“Kau yakin Elsa sempat menyimpan sesuatu di sini? Karena sejauh ini aku belum menemukan apa-apa,” ujar Fery, merasa sedikit tertekan - frustrasi.“Aku nggak yakin seratus persen, tapi berdasarkan obrolan terakhir kami, Elsa memang sedang menyelidiki sesuatu yang berhubungan dengan kecelakaan Bu Erika. Dia b
Selesai makan siang, Ryan akhirnya meninggalkan rumah untuk menuju rumah sakit. Dia berpikir tentang semua yang terjadi belakangan ini, terutama setelah mendapatkan pesan dari Tomi dan Fery. Isinya singkat, namun membuat Ryan was-was. Mereka - Tomi dan Fery, telah menemukan sesuatu yang sudah ditemukan Elsa saat penyelidikan.Kini, pikiran Ryan tidak bisa berhenti memikirkan apa yang dimaksud oleh Tomi dan Fery. Apakah Elsa menemukan sesuatu yang penting sebelum kecelakaan? Atau nyawa Elsa terancam karena "dalang" dari semua itu sudah mengetahui keberhasilan Elsa, sehinga berusaha melenyapkan Elsa dengan alasan kecelakaan?Setibanya di rumah sakit, Ryan langsung menuju kamar tempat Elsa dirawat. Di depan pintu, dia melihat Dedi yang terlihat lelah setelah berjaga semalaman. Dedi segera berdiri ketika melihat bosnya datang."Bagaimana keadaannya?" Ryan bertanya dengan suara tenang, meski sebenarnya hatinya berdebar kencang."Belum ada perubahan, Pak. Dokter bilang kondisinya masih stab
Jam sembilan malam, di ruang tunggu rumah sakit yang sepi, Ryan, Tomi, Fery, dan Dedi duduk mengelilingi sebuah meja kecil. Keempatnya berbicara dengan suara pelan, memastikan bahwa diskusi mereka tidak terdengar oleh siapa pun. Ada ketegangan di udara—suasana serius yang penuh kewaspadaan.Ruangan ini adalah ruang tunggu pasien, seperti sebuah kamar untuk beristirahat karena ruang rawat Elsa ini memang VVIP sehingga pihak keluarga atau yang menunggu pasien bisa nyaman saat istirahat sambil menunggu si sakit.Akhirnya Ryan memulai pembicaraan, suaranya dalam dan mantap. "Kita tidak bisa membiarkan siapa pun tahu apa yang sudah kita temukan sampai semuanya jelas. Saya tidak ingin ada kebocoran informasi. Apa pun yang terjadi, Elsa harus aman."Fery mengangguk, matanya menyapu ruangan seolah memastikan tidak ada orang yang mendengarkan. Mereka, sudah mengunci pintu terlebih dahulu dan berpesan pada dokter maupun perawat agar tidak melakukan pemeriksaan. Jika ada sesuatu yang terjadi pad
"Namanya... Reza, Pa. Kami dulu sering main bareng sebelum akhirnya dia kerja di luar negeri," jawab Tanu beralasan.Mendapat pertanyaan tak terduga ini membuat Tanu sedikit gugup, namun dia cepat menguasai diri sehingga bisa menemukan alasan yang tepat."Oh, Reza. Ya, Mama ingat. Kalau kamu memang perlu ketemu, ya sudah, tapi hati-hati di jalan. Jangan terlalu larut pulangnya," sahut Mamanya ikut angkat bicara. Dan untungnya, memang ada nama Reza di list pertemanannya yang tidak begitu diketahui oleh sang papa."Iya, Ma. Nanti juga segera pulang kalau acaranya selesai," jawab Tanu tersenyum, lega karena mereka tidak terlalu curiga. Setelah itu, Tanu berpamitan dan segera keluar dari rumah, menyiapkan dirinya untuk perjalanan ke rumah Erika. Sambil menyetir, pikirannya kembali ke pesan misterius yang dia terima semalam. Isi pesan tersebut singkat namun jelas.“Jika kamu ingin keluargamu tetap aman, berhenti menggali lebih dalam.”Ancaman ini membuat Tanu berpikir, apakah ini ada hub
Di kantor Ryan, suasana tampak seperti hari-hari biasanya. Karyawan sibuk dengan tugas-tugas mereka, dan tidak ada tanda-tanda ketegangan yang mungkin dirasakan sebab gara-gara memang tidak tahu apa-apa. Namun, Ryan tahu bahwa apa yang terlihat di luar hanyalah sebuah kepura-puraan. Di dalam pikirannya, segala sesuatunya jauh lebih rumit. Elsa masih belum sadar dari koma, dan ancaman yang terus berdatangan mulai mempersempit ruang geraknya.Ryan duduk di ruang kantornya, matanya fokus pada layar laptop di depannya. Bersama asistennya, Dedi, mereka sudah mulai menyusun rencana untuk menggali lebih dalam tentang siapa yang berada di balik semua ancaman ini. Namun, Ryan menyadari bahwa mereka tidak bisa terburu-buru. Setiap langkah harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian musuh yang mereka hadapi."Pak, saya baru saja dapat kabar dari orang dalam yang kita tanam. Ada gerakan dari pihak lawan, tapi sejauh ini mereka masih belum tahu kita sedang menyelidiki mereka."De
Beberapa hari setelah pembahasan serius dengan ketiga asistennya saat di ruang rawat Elsa, Ryan masih sibuk dengan pekerjaannya di kantor ketika dia menerima telepon dari Tomi yang sedang tugas berjaga di rumah sakit. Kabar yang sudah lama dia nantikan akhirnya datang—Elsa mulai menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Meskipun belum sepenuhnya pulih, ini adalah perkembangan positif yang sangat berarti."Baik, akan segera ke sana."Ryan langsung bergegas menuju rumah sakit, begitu telepon dengan Tomi selesai. Di dalam kamar, Elsa terbaring dengan selang-selang yang masih terpasang di tubuhnya, namun matanya sudah sedikit terbuka, memandang samar-samar ke sekeliling ruangan. Dokter yang menangani Elsa sedang berdiri di samping ranjangnya, memberikan penjelasan kepada Ryan yang baru tiba."Pak Ryan, pasien sudah menunjukkan perkembangan yang baik. Namun, kondisinya masih sangat lemah, jadi kami sarankan agar ia tetap beristirahat dan tidak banyak beraktivitas. Jangan dulu terlalu banyak
Tomi menggenggam alat rekam kecil yang ditemukan di saku pria tersebut. Matanya menyipit, menyadari bahwa ini lebih dari sekadar serangan fisik. Mereka sedang dipantau—kemungkinan, setiap langkah mereka dicatat dan mungkin juga dikirimkan ke seseorang yang lebih tinggi, dalang dari semua kejadian ini."Fer, tunggu!" seru Tomi, mengejar Fery dan Elsa yang baru saja mencapai tangga darurat.Fery menoleh, sedikit kebingungan melihat Tomi berlari dengan membawa alat kecil itu."Apa itu?" tanya Fery sambil mengerutkan kening.Tomi mengangkat alat itu di depan wajah mereka, memperlihatkan sesuatu yang ditemukannya tadi."Ini alat rekam, you now? Mereka bukan cuma datang untuk menyerang. Mereka memata-matai kita. Siapa pun yang menyerang pak Ryan semalam, mereka pasti ingin lebih dari sekadar peringatan. Mereka sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar," jelas Tomi mengangguk.Elsa menatap alat rekam itu dengan ngeri, paham dengan maksud perkataan Tomi. "Mereka tahu semua yang kita bicara
Keesokan paginya, suasana apartemen Dedi dipenuhi ketegangan yang tak terlihat namun terasa kuat. Ryan, yang tiba pagi-pagi setelah melewati malam yang sulit, duduk di ruang tamu bersama Dedi, Tomi, dan Fery. Wajahnya masih menunjukkan bekas-bekas serangan semalam, dengan beberapa luka di sudut bibir dan memar di pipi. Meski begitu, sorot matanya tajam, penuh tekad untuk menemukan siapa yang berada di balik semua ini."Pak Ryan, kita perlu tahu detail serangan semalam. Siapa yang nyerang Anda? Atau, apa ada mereka bilang sesuatu?" tanyaDedi mulai bicara, suaranya tenang tapi serius.Ryan menggeleng pelan sambil mengingat-ingat kejadian semalam, sebab dua pria yang menyerangnya juga tidak menyebutkan nama seseorang. Mereka hanya memberikan peringatan supaya dirinya tidak ikut campur urusan orang lain, padahal Ryan tidak tahu urusan siapa yang dimaksud."Mereka nggak bilang apa-apa. Dua orang, besar dan pastinya mereka terlatih. Mereka tahu apa yang mereka lakukan, nggak asal nyerang.
Beberapa saat sebelum Elsa keluar kamar.Setelah telepon dari Ryan berakhir, suasana di apartemen Dedi kembali tegang. Mereka bertiga tahu ini bukan sekadar kebetulan. Serangan terhadap Ryan menunjukkan bahwa ada seseorang di luar sana yang tidak main-main. Dedi, Tomi, dan Fery segera memutuskan untuk mempercepat langkah mereka dalam mengamankan Elsa dan mencari tahu siapa yang ada di balik semua ini.Tomi berdiri dari sofa, memasukkan ponselnya ke saku. "Kita harus buat rencana yang jelas. Mereka sudah menargetkan pak Ryan hari ini, dan Elsa mungkin target berikutnya."Fery mengangguk setuju dengan analisa rekannya itu. "Aku akan segera hubungi beberapa orang. Kita butuh pengawasan di sini, mungkin pasang CCTV tambahan, atau lebih baik lagi, kita datangkan tim yang bisa jaga secara fisik. Apartemen ini cukup tinggi, tapi tetap saja, kita nggak bisa ambil risiko."Dedi yang duduk diam sambil berpikir akhirnya angkat bicara. "Setuju. Kita nggak boleh remehkan ancaman ini. Selain itu, k
Malam itu, di apartemen Dedi, suasana mulai tenang setelah Elsa masuk ke kamarnya. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika ponsel Tomi tiba-tiba berdering. Nama Ryan muncul di layar, membuat Tomi segera mengangkatnya, dengan ekspresi yang mendadak serius."Pak Ryan, ada apa?" tanya Tomi cepat, merasakan jika ada sesuatu yang tidak beres karena syara Ryan yang terdengar tidak biasa..Dari seberang, suara Ryan memang terdengar berat namun tetap berusaha untuk tenang. Dia sudah keluar dari medan bahaya yang tadi sempat didapatkan.“Aku baru saja dihadang di jalan. Dua pria dengan mobil hitam mencoba memaksaku keluar dari mobil. Mereka nggak main-main. Aku harus melawan mereka, tapi berhasil keluar dari situ setelah sedikit adu fisik.” Ryan menjelaskan.Mata Tomi langsung menyipit, rasa khawatir merambat di pikirannya. “Apa Anda, baik-baik saja? Di mana Anda sekarang, pak Ryan?”“Ah, tenang, Tomi. Aku berhasil lolos. Sedikit babak b
Di tempat lain, Elsa baru saja tiba di apartemen Dedi. Perasaannya campur aduk, karena dia tidak pulang ke rumahnya - tempat tinggalnya selama beberapa waktu terakhir ini setelah menjadi asistennya Ryan. Meski merasa sedikit lebih baik setelah beberapa hari di rumah sakit, dia masih belum sepenuhnya pulih, baik fisik maupun mental.Dedi sendiri yang mengantarnya kali ini, karena Ryan memutuskan untuk langsung pulang ke rumah, mengingat ada urusan yang harus dia selesaikan di sana.Apartemen Dedi terletak di lantai yang cukup tinggi, menawarkan pemandangan indah kota saat malam hari. Begitu pintu lift terbuka, mereka berjalan menuju pintu apartemen yang tak jauh dari situ. Dedi menekan kode pengaman pintu, dan suara klik terdengar, menandakan pintu terbuka.Elsa sempat terkejut ketika melihat dua sosok yang sudah menunggu di dalam. Tomi dan Fery, dua sahabat dekat Dedi - yang juga rekan kerjanya, berdiri di ruang tamu, tampak sudah siap menyambut mereka. Wajah mereka cerah, menunjukkan
Di saat Ryan sedang dalam perjalanan pulang, tiba-tiba dua mobil hitam muncul di belakangnya. Kecepatan mereka meningkat dengan cepat, dan dalam sekejap, mereka sudah menempel di belakang mobilnya. Ryan bisa merasakan firasat buruk, tapi tetap mencoba tetap tenang sambil fokus menyetir.Tapi pada kenyataannya, dua mobil itu tidak memberikan kesempatan Rian untuk kabur. Mereka terus mepet dan itu membuat Ryan tidak bisa bergerak dengan bebas sehingga harus berhati-hati dengan kemudinya."Ini tidak beres," gumamnya sambil melirik ke kaca spion. Mobil-mobil itu seperti sengaja mengikuti setiap gerakannya.Ryan mencoba meningkatkan kecepatan, namun salah satu mobil dengan cepat berpindah ke jalur sebelah kiri, sejajar dengan mobilnya. Sementara itu, mobil lain tetap berada di belakangnya, seolah-olah memaksanya masuk ke dalam jebakan. Dengan keadaan seperti ini, dia sedikit kesulitan menghindar, apalagi Fery, supir pribadinya, tidak bersamanya. Fery sedang berada di apartemen Dedi, menyam
Kondisi Elsa berangsur membaik setelah perawatan intensif di rumah sakit. Luka-luka fisiknya mulai pulih, dan senyumnya yang lama hilang kini perlahan kembali menghiasi wajahnya. Dokter telah memberikan izin untuknya pulang, namun di balik kabar baik itu, ada kekhawatiran yang menggelayuti pikiran semua orang, terutama Dedi. Rekan kerja yang paling dekat dengannya, sejak mereka menjadi asisten Ryan.Dedi, yang selama ini selalu berada di samping Elsa - bekerja sama untuk kesuksesan perusahaan Ryan, tentu tahu bahwa membiarkannya pulang ke rumah bisa menjadi risiko besar. Meski tidak ada ancaman nyata yang terungkap, kejadian kecelakaan yang dialami Elsa tidak bisa dianggap sebagai kebetulan - apalagi Elsa tinggal seorang diri di rumahnya, sebab Elsa adalah yatim yang diusir oleh keluarga ibunya dan ditolong Ryan saat itu. Perasaan tidak nyaman semakin menghantui Dedi seandainya Elsa di rumah sendirian. Apalagi dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini, Dedi tidak bisa menyingkirkan pi
Waktu jam kantor sudah usai, sementara Ryan duduk termenung sendirian di ruang kantornya yang sepi - semua asistennya sudah pergi dan melakukan tugasnya masing-masing.Lampu meja yang redup memberikan suasana muram pada ruangan, seolah mencerminkan kegelisahan yang tak pernah pergi dari benaknya Ryan. Tangannya menggenggam pena, tapi pikirannya melayang jauh, menembus waktu, ke kehidupan yang pernah ia jalani. Suatu kehidupan yang membuatnya mati dengan cara yang tragis—dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya berada di sisinya.Ryan masih ingat dengan jelas, hari itu adalah hari yang kelam. Saat semua yang ia bangun perlahan hancur berantakan, dan ia tidak pernah sempat menemukan siapa yang berada di balik semua penderitaannya. Ryan tersenyum pahit, mengingat detik-detik menjelang kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tubuhnya terlempar dari mobil yang tergelincir di tikungan tajam jalan raya, dan saat kesadarannya perlahan memudar, hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya saat itu
Erika sedang duduk di teras rumahnya - sendiri karena Ryan masih berada di kantor, menikmati sore yang tenang dengan secangkir teh di tangannya. Udara sejuk sedikit membantu meredakan pikirannya yang sejak beberapa hari terakhir terus dipenuhi oleh kekacauan yang menimpa dirinya dan Elsa. Belum lagi pikiran tentang ancaman demi ancaman yang diterimanya - juga Tanu yang sering membuatnya khawatir, terutama setelah kegagalan perusahaan yang sempat membebani kakak laki-lakinya itu. "Atau, kegagalan kakak ada kaitannya dengan semua ini?" gumam Erika yang sedang berpikir. Ketika sedang tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Erika menoleh dan mendapati Nyonya Lee turun dari mobil mewahnya dengan elegan. Sosok wanita paruh baya itu tampak anggun dalam balutan busana mahal, namun senyum yang menghiasi wajahnya kali ini berbeda—ada sesuatu yang nampaknya ingin ia sampaikan. “Ma…” Erika berdiri, menyambut kedatangan ibu mereka dengan sedikit canggung. Bi